KoneksionismeKoneksionisme atau teori coba-coba adalah sebuah teori belajar yang dikemukakan oleh Edward Lee Thorndike. Teori ini menyatakan bahwa perilaku setiap makhluk hidup merupakan hubungan antara rangsangan dan tanggapan.[1] Prinsip dari teori koneksionisme adalah asosiasi.[2] Pengembangan teori koneksionisme didasarkan kepada percobaan oleh Thorndike yang dilakukannya terhadap ayam dan kucing.[3] Koneksionisme memiliki hukum-hukum belajar tertentu.[4] Hukum-hukum belajar ini meliputi hukum kesiapan, hukum akibat dan hukum latihan.[5] Pemikiran Thorndike mengenai koneksionisme termasuk salah satu pelopor dalam psikologi pendidikan.[6] SejarahKoneksionisme sebagai teori belajar dikembangkan sebagai hasil percobaan dari Edward Lee Thorndike terhadap kucing yang mengalami kelaparan. Dalam percobaannya, kucing tersebut dimasukkan ke dalam sangkar.[7] Pintu sangkar dibiarkan dalam keadaan tertutup dan dapat terbuka secara otomatis apabila bagian kenop didalam sangkar disentuh. Kucing yang berada di dalam sangkar pelakukan kegiatan coba-coba. Kucing melakukan coba-coba secara berulang dengan kecenderungan untuk tidak mengulangi perbuatan yang tidak memberikan hasil.[8] Hasil percobaan ini memberikannya kesimpulan bahwa kemampuan untuk memilih tanggapan yang tepat disertai dengan adanya usaha dan pengalaman kegagalan akan menghasilkan hubungan antara rangsangan dan tanggapan. Kesimpulan ini dijadikannya sebagai teori belajar dengan nama pembelajaran coba-coba untuk bentuk belajar yang paling sederhana. Thorndike juga menyebutnya sebagai pembelajaran memilih dan menghubungkan. Setelah mengetahui bahwa ada hukum-hukum tertentu dari kegiatan belajar, Thorndike menamakan teori belajarnya sebagai koneksionisme atau teori asosiasi.[7] Konsep dasarKonsep koneksionisme termasuk salah satu aliran behaviorisme.[9] Psikologi behavioristik memberikan pengaruh terhadap teori koneksionisme sebagai salah satu teori belajar behavioristik.[10] Koneksionisme menjadi salah satu teori belajar yang berpengaruh dalam studi psikologi. Dalam koneksionisme, belajar merupakan proses pembentukan hubungan antara rangsangan dan tanggapan.[11] Thorndike berpendapat bahwa perubahan perilaku terjadi karena adanya kegiatan belajar. Proses belajar ini dapat dalam wujud nyata maupun bersifat abstrak.[12] Belajar dalam wujud nyata dapat diamati sedangkan yang dalam wujud abstrak tidak dapat diamati.[13] Koneksionisme yang dikembangkan oleh Thorndike juga termasuk salah satu teori belajar sosial.[14] Rangsangan dalam koneksionisme berbentuk masalah. Suatu masalah merupakan suatu perkara yang harus diselesaikan. Seseorang yang berada dalam lingkungan yang menuntut penyelesaian masalah akan menghasilkan reaksi dengan cara tertentu. Reaksi inilah yang disebut tanggapan. Hubungan antara rangsangan yang menghasilkan tanggapan inilah yang diartikan oleh Thorndike sebagai belajar.[15] Sifat hubungan antara rangsangan dan tanggapan ini adalah hubungan asosiasi.[16] PenamaanThorndike memiliki pandangan bahwa belajar merupakan hubungan antara rangsangan dan tanggapan.[17] Karenanya, teori koneksionisme yang dikemukakan olehnya juga disebut dengan beberapa nama lain. Nama-nama ini yaitu teori hubungan rangsangan-tanggapan atau psikologi pembelajaran rangsangan-tanggapan. Ada pula yang menyebutnya dengan nama pembelajaran coba-coba.[18] Koneksionisme disebut pula dengan teori coba-coba karena melakukan penilaian terhadap tanggapan dari suatu rangsangan tertentu.[11] Koneksionisme juga disebut sebagai psikologi behavioristik ketika perkembangan teorinya telah menjadi lebih luas.[19] Hukum-hukumDalam teori koneksionisme, hewan dan manusia memiliki kesamaan prinsip dalam hal belajar.[20] Thorndike menyatakan bahwa belajar merupakan proses asosiasi antara kesan yang dihasilkan oleh indra dengan kecenderungan untuk bertindak. Kegiatan belajar ini terjadi dengan adanya hukum-hukum tertentu yang melibatkan proses pemilihan dan penghubungan. Hukum-hukum ini ada yang bersifat pokok dan ada yang bersifat pelengkap.[21] Hukum-hukum ini disebutkan oleh Thordike dalam bukunya yang berjudul Inteligensi Hewan. Buku ini diterbitkan pada tahun 1911.[22] Dalam proses belajar manusia, Thorndike mennyatakan bahwa ada 3 hukum pokok yang berlaku. Ketiganya adalah hukum kesiapan, hukum akibat dan hukum latihan.[23] Hukum kesiapanHukum kesiapan diartikan sebagai kemudahan pembentukan hubungan antara rangsangan dan tanggapan karena adanya kesiapan untuk belajar. Dalam hukum ini, pembelajar harus disiapkan terlebih dahulu agar mampu menerima pembelajaran.[24] Hukum kesiapan ini kemudian dirumuskan lagi menjadi empat kondisi. Pertama, perilaku siap disertai dengan pelaksanaan akan menghasilkan kepuasan. Kedua, perilaku siap tetapi tidak dilaksanakan akan menghasilkan kekecewaan. Ketiga, perilaku tidak siap dan tidak dilaksanakan akan menghasilkan kepuasan. Keempat, perilaku tidak siap tetapi dilaksanakan secara terpaksa akan menghasilkan kekecewaan.[25] Dalam hukum kesiapan, pendidik harus membuat peserta didik siap untuk menerima informasi sebagai rangsangan dalam belajar.[26] Kesiapan peserta didik harus ditinjau dari segi fisik maupun psikis.[27] Hukum akibatHukum akibat menekankan peran tanggapan sebagai penguat atau pelemah dari suatu hubungan.[28] Hukum akibat menyatakan bahwa hubungan antara rangsangan dan tanggapan akan semakin kuat jika tanggapan menghasilkan efek yang memuaskan. Sebaliknya, hubungan antara rangsangan dan tanggapan akan semakin lemah jika tanggapan menghasilkan efek yang tidak memuaskan.[29] Thorndike merevisi hukum akibat yang dikemukakannya ini. Ia menyatakan bahwa hubungan tidak diperlemah oleh tanggapan negatif dan hubungan juga belum tentu diperkuat oleh tanggapan positif.[30] Hukum latihanHukum latihan menyatakan bahwa latihan yang disertai dengan pengulangan akan memberikan keberhasilan dalam belajar.[31] Dalam hukum ini, peluang timbulnya tanggapan yang benar dapat diperbesar dengan pengulangan terhadap pengalaman-pengalaman.[32] Hukum latihan memberikan keterangan bahwa pengulangan merupakan prinsip utama dalam belajar. Materi pelajaran yang diulang-ulang akan membuatnya semakin dikuasai.[33] KekuranganKoneksionisme memiliki kekurangan pada penerapannya dalam proses belajar. Proses belajar dalam koneksionisme menghasilkan pembelajaran yang mengutamakan mekanisme. Peserta didik menjadi penghafal bahan pelajaran tetapi tidak memahami cara menerapkannya. Kekurangan lain dari koneksionisme adalah pemusatan pembelajaran kepada guru. Kondisi ini membuat perseta didik menjadi pasif dalam pembelajaran sehingga materi dijadikan sebagai perhatian utamanya.[34] Koneksionisme juga tidak memberikan cara untuk mengukur berbagai perilaku yang bersifat tidak nyata.[35] Ini menjadi kekurangan teori koneksionisme sebagai aliran behaviorisme. Dalam behaviorisme pengukuran perilaku merupakan hal yang utama. Namun, koneksionisme tidak mampu mengukur sesuatu yang tidak dapat diukur melalui pengamatan.[36] Referensi
Pranala luar |