Share to:

 

Konfrontasi Indonesia–Malaysia

Konfrontasi Indonesia-Malaysia
Bagian dari Pembentukan Malaysia dan Perang Dingin

Seorang tentara Inggris ditarik oleh helikopter Westland Wessex selama operasi di Kalimantan, Agustus 1964
Tanggal20 Januari 1963 –11 Agustus 1966
(3 tahun, 6 bulan, 3 minggu dan 1 hari)
LokasiSemenanjung Malaka, Kalimantan
Hasil

Kemenangan Persemakmuran Bangsa-Bangsa

Pihak terlibat
 Indonesia
Aliansi partai:
PKI[1][2]
PKKU[3][4][5]
PRB[6]
Tokoh dan pemimpin
Korban

Militer:

Sipil:


140 tewas (termasuk 44 gurkha)[9]
52 terluka[butuh rujukan]

23 killed[10]
8 wounded[10]
12 tewas[11]
16 terluka[butuh rujukan]
9 tewas[12]
beberapa terluka

Gurkha 44 tewas[butuh rujukan]
83 terluka[butuh rujukan]

Jumlah:

Konfrontasi Indonesia–Malaysia atau Konfrontasi Borneo (juga dikenal dalam Bahasa Indonesia / Melayu sebagai Konfrontasi) adalah konflik bersenjata dari tahun 1963 hingga 1966 yang bermula dari penentangan Indonesia terhadap pembentukan Federasi Malaysia. Setelah presiden Indonesia Soekarno digulingkan pada tahun 1966, perselisihan berakhir secara damai dan negara Malaysia terbentuk.

Pembentukan Malaysia adalah penggabungan Federasi Malaya (sekarang Semenanjung Malaysia), Singapura dan koloni mahkota Inggris di Borneo Utara dan Sarawak (secara kolektif dikenal sebagai Borneo Inggris, sekarang Malaysia Timur) pada September 1963.[13] Perintis penting konflik tersebut termasuk kebijakan konfrontasi Indonesia melawan Nugini Belanda dari Maret–Agustus 1962 dan Pemberontakan Brunei pada Desember 1962. Malaysia mendapat dukungan militer langsung dari Britania Raya, Australia, dan Selandia Baru. Indonesia mendapat dukungan tidak langsung dari Uni Soviet dan Tiongkok, sehingga menjadikannya salah satu bagian Perang Dingin di Asia.

Konflik tersebut merupakan perang yang tidak diumumkan dengan sebagian besar aksi terjadi di daerah perbatasan antara Indonesia dan Malaysia Timur di pulau Kalimantan. Konflik tersebut ditandai dengan pertempuran darat yang terkendali dan terisolasi, diatur dalam taktik brinkmanship tingkat rendah. Pertempuran biasanya dilakukan oleh operasi seukuran kompi atau peleton di kedua sisi perbatasan. Kampanye infiltrasi Indonesia ke Kalimantan berusaha untuk mengeksploitasi keragaman etnis dan agama di Sabah dan Sarawak dibandingkan dengan Malaya dan Singapura, dengan maksud mengungkap negara yang diusulkan Malaysia.

Medan hutan Kalimantan dan kurangnya jalan yang melintasi perbatasan Malaysia-Indonesia memaksa pasukan Indonesia dan Persemakmuran untuk melakukan patroli jarak jauh. Kedua belah pihak mengandalkan operasi infanteri ringan dan transportasi udara, meskipun pasukan Persemakmuran menikmati keuntungan dari penyebaran helikopter yang lebih baik dan pasokan ke pangkalan operasi yang akan datang. Sungai juga digunakan sebagai metode transportasi dan infiltrasi. Meskipun operasi tempur terutama dilakukan oleh pasukan darat, pasukan lintas udara memainkan peran pendukung yang vital dan pasukan angkatan laut memastikan keamanan sisi-sisi laut. Inggris memberikan sebagian besar upaya pertahanan, meskipun pasukan Malaysia terus meningkatkan kontribusi mereka, dan ada kontribusi berkala dari pasukan Australia dan Selandia Baru dalam gabungan Cadangan Strategis Timur Jauh yang ditempatkan saat itu di Malaysia Barat dan Singapura.[14]

Serangan awal Indonesia ke Malaysia Timur sangat bergantung pada sukarelawan lokal yang dilatih oleh Angkatan Darat Indonesia. Seiring waktu, pasukan infiltrasi menjadi lebih terorganisir dengan masuknya komponen pasukan Indonesia yang lebih substansial. Untuk mencegah dan mengganggu kampanye infiltrasi yang berkembang di Indonesia, Inggris merespons pada tahun 1964 dengan meluncurkan operasi rahasia mereka sendiri ke Kalimantan (Indonesia) dengan nama sandi Operasi Claret. Bertepatan dengan Soekarno mengumumkan "tahun penuh bahaya" dan kerusuhan rasial Singapura 1964, Indonesia meluncurkan kampanye operasi yang diperluas ke Malaysia Barat pada 17 Agustus 1964, meskipun tanpa keberhasilan militer.[15] Penumpukan pasukan Indonesia di perbatasan Kalimantan pada bulan Desember 1964 membuat Inggris mengerahkan pasukan yang signifikan dari Komando Strategis Angkatan Darat yang berbasis di Inggris dan Australia dan Selandia Baru mengerahkan pasukan tempur roulement dari Malaysia Barat ke Kalimantan pada tahun 1965–66. Intensitas konflik mulai mereda menyusul kudeta Oktober 1965 dan jatuhnya kekuasaan Soekarno kepada Jenderal Soeharto. Negosiasi perdamaian yang serius antara Indonesia dan Malaysia dimulai pada Mei 1966, dan kesepakatan damai terakhir ditandatangani pada 11 Agustus 1966 dengan Indonesia secara resmi mengakui Malaysia.[16]

Latar belakang

Situasi politik

Sebelum Konfrontasi, Sukarno berupaya mengembangkan kebijakan luar negeri Indonesia yang mandiri, dengan fokus utama menganeksasi Nugini Belanda untuk menyudahi Perang Kemerdekaan Indonesia, serta membangun kredibilitas Indonesia sebagai kekuatan internasional dengan agenda tersendiri yang berbeda dari Dunia Pertama dan Dunia Kedua. Indonesia adalah negara penting dalam perkembangan Gerakan Non-Blok, dan menjadi tuan rumah Konferensi Bandung pada tahun 1955. Indonesia secara gigih memperjuangkan akuannya atas Nugini Belanda dari tahun 1950 hingga 1962, meskipun menghadapi berbagai penentangan di Majelis Umum PBB untuk mendapatkan pengakuan klaimnya dari dunia internasional.

Setelah dilanda krisis separatisme pada tahun 1958, termasuk terjadinya pemberontakan Permesta di Indonesia timur dan deklarasi Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia, Indonesia muncul sebagai kekuatan militer yang berpengaruh dan berkembang di Asia Tenggara.[17] Badan Intelijen Pusat Amerika Serikat (CIA), melalui anak organisasinya yang berbasis di Taiwan, Civil Air Transport (CAT), secara diam-diam memberikan dukungan kepada pemberontak di pulau-pulau terpencil, dengan tujuan untuk melemahkan atau menggulingkan rezim Presiden Sukarno. Sejak tahun 1957, CIA semakin kerap berhubungan dengan para pemimpin militer di Sumatra dan Sulawesi yang kritis terhadap rezim Sukarno. Menjelang akhir tahun 1957, pengiriman senjata dan amunisi ke Sumatra dengan menggunakan kapal dagang dan kapal selam Amerika semakin sering terjadi. Namun, Amerika percaya bahwa agar bantuan rahasia tersebut efektif, operasi semacam itu memerlukan bantuan dari pangkalan militer Inggris di Singapura untuk mengisi bahan bakar dan mendukung misi CAT yang diluncurkan dari Bangkok, Taiwan, atau Filipina.[18] Dengan masuknya bantuan senjata dari Soviet, Indonesia makin gencar mengajukan klaimnya atas Nugini Belanda. Pertikaian diplomatik mencapai puncaknya pada tahun 1962 ketika Indonesia meluncurkan upaya penyusupan besar-besaran melalui udara dan laut ke Nugini Belanda. Meskipun pasukan penyusup dikalahkan oleh pasukan Belanda dan Papua, Indonesia menunjukkan ancaman serius akan ambisinya untuk menginvasi Nugini Belanda. Belanda, yang menghadapi tekanan diplomatik yang makin meningkat dari Indonesia, serta dari Amerika yang ingin memastikan bahwa Indonesia tidak berpihak pada Komunis, akhirnya menyerah dan sepakat untuk mengadakan perundingan diplomatik. Kesepakatan tersebut memungkinkan Indonesia menguasai wilayah Papua Barat melalui jajak pendapat penentuan nasib sendiri (Penentuan Pendapat Rakyat) di wilayah tersebut pada tahun 1969. Dengan demikian, pada akhir tahun 1962, Indonesia meraih kemenangan diplomatik yang signifikan, yang makin memperkuat persepsi dirinya sebagai kekuatan regional yang penting. Dalam konteks kemenangan diplomatik inilah Indonesia lalu mengarahkan perhatiannya pada rencana Inggris yang hendak membentuk negara Malaysia bersatu.

Sebelum pemerintah Inggris mengumumkan kebijakan Timur Suez pada tahun 1968, mereka sudah mulai mengevaluasi ulang komitmennya untuk mempertahankan keberadaan pasukannya di Timur Jauh sejak akhir 1950-an. Di Asia Tenggara, Inggris berusaha menggabungkan koloninya di Borneo Utara dengan Federasi Malaya (yang telah merdeka dari Inggris pada tahun 1957), dan Singapura (yang telah memiliki pemerintahan sendiri sejak 1959). Pada bulan Mei 1961, pemerintah Inggris dan Malaya mengusulkan pembentukan federasi yang lebih besar bernama Malaysia, yang mencakup Malaya, Borneo Utara, Sarawak, Brunei, dan Singapura. Awalnya, Indonesia mendukung federasi yang diusulkan ini, meskipun Partai Komunis Indonesia (PKI) menentangnya dengan tegas.[1]

Di Brunei, tidak jelas apakah Sultan Omar Ali Saifuddien III akan mendukung Brunei bergabung dengan negara Malaysia bentukan Inggris, karena dengan bergabungnya Brunei, kewenangan politik Sultan akan berkurang, serta didukung oleh pendapatan minyak Brunei yang memastikan Brunei tetap mampu secara finansial jika memilih merdeka. Selain itu, seorang politisi Brunei bernama Dr. AM Azahari bin Sheikh Mahmud, meskipun mendukung penyatuan Borneo Utara, menentang penggabungan Brunei ke dalam Federasi Malaysia. Pada tahun 1961, ia menjajaki peluang memperoleh bantuan dari Indonesia untuk melatih prajurit Borneo. Jenderal Abdul Haris Nasution kemudian setuju untuk memberikan dukungan moral, dan Soebandrio, menteri luar negeri Indonesia sekaligus kepala intelijen, memberi isyarat untuk memberikan bantuan yang lebih substansial. Azahari adalah seorang tokoh sayap kiri yang pernah bertempur di Indonesia saat perang kemerdekaan. Setelah pertemuan tersebut, Indonesia mulai melatih pasukan sukarelawan kecil yang disebut Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU) di Kalimantan.[1]

Pada tanggal 8 Desember 1962, TNKU melancarkan Pemberontakan Brunei. Pemberontakan ini berakhir dengan kegagalan total, karena pasukan yang tidak terlatih dan dipersenjatai dengan buruk tidak mampu mencapai tujuan utamanya untuk menangkap Sultan Brunei, mengambil alih ladang minyak Brunei, atau menyandera orang Eropa. Dalam hitungan jam setelah pemberontakan dilancarkan, pasukan Inggris yang bermarkas di Singapura segera dikerahkan untuk menanggapi pemberontakan tersebut. Kegagalan pemberontakan tersebut terlihat jelas dalam waktu 30 jam ketika pasukan Gurkha yang diterbangkan dari Singapura mengambil alih kota-kota di Brunei dan memastikan keselamatan Sultan.

Dukungan Indonesia untuk TNKU masih menjadi perdebatan. Meskipun pada saat itu Indonesia menyangkal keterlibatannya secara langsung, Indonesia mendukung tujuan TNKU untuk menggagalkan terbentuknya Federasi Malaysia. Setelah kegagalan militer TNKU di Brunei, pada tanggal 20 Januari 1963, Menteri Luar Negeri Indonesia Subandrio mengumumkan bahwa Indonesia akan menerapkan kebijakan Konfrontasi dengan Malaysia, bertentangan dengan kebijakan sebelumnya yang mendukung rencana Inggris. Kebijakan tersebut disusul oleh penyusupan pasukan Indonesia ke wilayah Malaysia pada tanggal 12 April 1963, ketika sebuah kantor polisi di Tebedu, Sarawak, diserang.[19]

Kondisi medan

Setelah berakhirnya konflik, Borneo terbagi antara Brunei, Indonesia, dan Malaysia. Penguasaan atas pulau ini menjadi isu utama yang memicu perang pada masa itu.

Pada tahun 1961, Pulau Borneo terbagi menjadi empat wilayah terpisah. Kalimantan, yang terdiri dari empat provinsi Indonesia, berada di bagian selatan pulau tersebut. Di bagian utara, terdapat Kesultanan Brunei (sebuah protektorat Inggris) serta dua koloni Inggris, yakni Borneo Utara (kelak dinamai Sabah) dan Sarawak.

Tiga wilayah Inggris di Borneo memiliki populasi sekitar 1,5 juta orang, dengan separuhnya adalah suku Dayak. Sarawak memiliki populasi sekitar 900.000 jiwa, Sabah sekitar 600.000, dan Brunei sekitar 80.000. Sedangkan penduduk non-Dayak di Sarawak, 31% adalah etnis Tionghoa dan 19% adalah Melayu. Di Sabah, 21% non-Dayak adalah etnis Tionghoa dan 7% adalah Melayu, sedangkan di Brunei, populasi non-Dayak terdiri dari 28% etnis Tionghoa dan 54% Melayu. Ada juga sejumlah besar orang Indonesia di Tawau, Sabah selatan, serta komunitas Tionghoa yang besar dan aktif secara ekonomi di Sarawak. Meskipun jumlah penduduk Dayak banyak, mereka tersebar di seluruh wilayah di daerah pelosok dan tidak memiliki organisasi politik yang terstruktur. Sarawak terbagi menjadi lima wilayah administratif, sementara Sabah, yang ibu kotanya terletak di Jesselton (sekarang Kota Kinabalu) di pesisir utara, terbagi menjadi beberapa residensi; residensi pedalaman dan Tawau berbatasan dengan Indonesia.

Selain di bagian ujung perbatasan, batas wilayah koloni Inggris dengan Indonesia umumnya mengikuti perbukitan di sepanjang perbatasannya, dengan ketinggian mencapai hampir 2.500 meter di Divisi Kelima. Di Divisi Pertama, terdapat beberapa jalan, termasuk satu jalan utama dari Kuching menuju Brunei dan kemudian terhubung ke Sandakan di pesisir timur Sabah. Tidak ada jalan di Divisi Keempat dan Kelima atau di Residensi Pedalaman, dan di Divisi Ketiga hanya terdapat jalan pesisir yang berjarak sekitar 150 mil dari perbatasan. Pemetaan wilayah ini umumnya kurang memadai, dengan peta Inggris hanya menampilkan detail topografi yang minim. Peta Indonesia bahkan lebih buruk; hanya "selembar kertas hitam putih menampakkan seluruh Kalimantan yang diambil dari buku pelajaran sekolah" pada tahun 1964.[20]

Kalimantan dibagi menjadi empat provinsi, dengan Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat berbatasan dengan Borneo Inggris. Ibu kota Kalimantan Barat adalah Pontianak di pantai barat, berjarak sekitar 160 km dari perbatasan, dan ibu kota Kalimantan Timur adalah Samarinda di pantai selatan, sekitar 350 km dari perbatasan. Tidak ada jalan di sepanjang wilayah perbatasan kecuali jalan-jalan setapak di bagian barat, dan tidak ada jalan yang menghubungkan Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat.[butuh rujukan]

Kurangnya infrastruktur jalan dan jalur kendaraan yang layak di kedua sisi perbatasan membuat pergerakan pasukan terbatas pada jalur jalan setapak yang umumnya tidak tertera di peta, serta pengangkutan pasukan melalui jalur air dan udara. Ada banyak sungai besar di kedua sisi perbatasan yang menjadi sarana utama pergerakan. Terdapat pula sejumlah padang rumput kecil yang cocok untuk digunakan sebagai tempat pendaratan pesawat ringan dan helikopter yang memasok suplai melalui udara.[butuh rujukan]

Garis khatulistiwa melintas kira-kira 160 kilometer di sebelah selatan Kuching, dan sebagian besar wilayah utara Kalimantan menerima curah hujan lebih dari 3.000 mm (120 inci) setiap tahunnya. Secara alami, Kalimantan tertutup oleh hutan hujan tropis yang melingkupi daerah pegunungan dan dilalui oleh banyak sungai dengan tebing-tebing curam serta puncak bukit yang lebarnya hanya beberapa meter. Curah hujan yang tinggi menciptakan sungai-sungai besar, yang menjadi jalur transportasi utama sekaligus penghalang taktis yang kuat. Hutan bakau lebat yang menutupi dataran pasang surut yang luas, dengan banyak sungai kecil, adalah ciri khas pada kebanyakan wilayah pesisir, termasuk Brunei dan kedua ujung perbatasan. Ada juga daerah pertanian di lembah-lembah dan sekitar desa-desa, serta hutan rimba yang lebat di sekitar pemukiman suku-suku pedalaman.[butuh rujukan]

Pemberontakan Sarawak

Pada tahun 1946, Raja Sarawak, Charles Vyner Brooke, menyerahkan negara bagian tersebut kepada Kerajaan Inggris dengan keyakinan bahwa hal tersebut akan menjadi keputusan terbaik bagi rakyat Sarawak setelah berakhirnya Perang Dunia II.[21] Sarawak kemudian menjadi koloni Kerajaan Inggris, yang dikelola oleh Kantor Kolonial di London, yang kemudian mengirimkan seorang gubernur untuk membawahi Sarawak. Gerakan anti-penyatuan yang didominasi oleh suku Melayu, yang menolak pengambilalihan Sarawak oleh Inggris, diduga menjadi cikal bakal lahirnya gerakan anti-Malaysia di Sarawak, yang kemudian dipimpin oleh Ahmad Zaidi Adruce.[butuh rujukan]

Menurut Vernon L. Porritt dan Hong-Kah Fong, sejumlah gerakan sayap kiri dan komunis sudah ada di kalangan penduduk Tionghoa di perkotaan Sarawak sejak tahun 1930-an dan 1940-an. Beberapa kelompok komunis paling awal di Sabah di antaranya adalah Liga Anti-Fasis, yang kemudian berubah menjadi Tentara Pembebasan Ras, dan Liga Anti-Jepang Borneo, yang terdiri dari Liga Anti-Jepang Kalimantan Utara dan Liga Anti-Jepang Kalimantan Barat. Organisasi tersebut dipimpin oleh Wu Chan, yang dideportasi oleh pemerintah kolonial Sarawak ke Tiongkok pada tahun 1952. Kelompok komunis lainnya di Sarawak termasuk Asosiasi Pemuda Tionghoa Luar Negeri yang dibentuk pada tahun 1946, dan Liga Pembebasan beserta sayap pemudanya, Asosiasi Pemuda Maju, yang muncul pada tahun 1950-an. Organisasi-organisasi tersebut kemudian menjadi inti dari dua gerakan gerilya Komunis: Tentara Rakyat Kalimantan Utara anti-Malaysia (PARAKU) dan Gerilyawan Rakyat Sarawak (PGRS). Berbagai kelompok komunis ini oleh media Barat disebut sebagai Organisasi Komunis Klandestin (CCO) atau Organisasi Komunis Sarawak (SCO).[22]

Anggota Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak, Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU), dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) berfoto bersama untuk menandai hubungan erat antara mereka ketika Indonesia berada di bawah pemerintahan Sukarno.

SCO didominasi oleh etnis Tionghoa, tetapi juga mendapat dukungan dari suku Dayak. Namun, SCO hanya mendapat sedikit dukungan dari suku Melayu dan suku asli lainnya di Sarawak. Pada puncaknya, SCO memiliki sekitar 24.000 anggota.[5] Sepanjang tahun 1940-an dan 1950-an, pengaruh Maoisme menyebar di sekolah-sekolah berbahasa Tionghoa di Sarawak. Setelah Perang Dunia II, pengaruh Komunis juga merambah gerakan buruh dan Partai Persatuan Rakyat Sarawak (SUPP), yang mayoritas anggotanya berasal dari etnis Tionghoa dan merupakan partai politik pertama di negara bagian tersebut, yang didirikan pada bulan Juni 1959. Pemberontakan Sarawak dimulai setelah Pemberontakan Brunei pada tahun 1962, dan SCO berperang bersama para pemberontak Brunei dan pasukan Indonesia pada masa Konfrontasi Indonesia–Malaysia.[22][23]

SCO dan para pemberontak Brunei mendukung dan menyebarkan gagasan penyatuan seluruh wilayah Borneo Inggris untuk membentuk negara Kalimantan Utara yang merdeka dan berhaluan kiri. Ide ini awalnya diusulkan oleh A. M. Azahari, pemimpin Partai Rakyat Brunei, yang telah menjalin hubungan dengan gerakan nasionalis Sukarno, bersama dengan Ahmad Zaidi, di Jawa pada tahun 1940-an. Meskipun demikian, Partai Rakyat Brunei mendukung bergabungnya Brunei dengan Malaysia dengan syarat penyatuan tiga wilayah Borneo utara yang dipimpin oleh sultan tersendiri, sehingga menolak adanya dominasi oleh Malaya, Singapura, penguasa Melayu, atau pedagang Tionghoa.[4]

Rencana pembentukan Negara Kesatuan Borneo Utara dipandang sebagai alternatif penyatuan Malaya oleh oposisi lokal. Penolakan penguasa lokal di seluruh wilayah Borneo umumnya didasarkan pada perbedaan ekonomi, politik, sejarah, dan budaya antar negari-negari Borneo dan Malaya, serta penolakan untuk tunduk di bawah dominasi politik semenanjung. Baik Azahari maupun Zaidi melarikan diri ke Indonesia semasa Konfrontasi. Meskipun Zaidi kemudian kembali ke Sarawak dan status politiknya dipulihkan, Azahari tetap berada di Indonesia hingga meninggal pada tanggal 3 September 2002.

Setelah Pemberontakan Brunei ditumpas, sisa-sisa Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU) melarikan diri ke Indonesia. Lantaran takut akan pembalasan dari Inggris, ribuan komunis Tionghoa juga melarikan diri dari Sarawak. Rekan-rekan mereka yang tinggal di Sarawak dikenal sebagai CCO oleh Inggris, tetapi disebut sebagai PGRS—Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak—oleh Indonesia. Soebandrio bertemu dengan pemimpin kelompok tersebut di Bogor, dan A.H Nasution mengirim tiga pelatih dari Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) Batalyon 2 ke Nangabadan, dekat perbatasan Sarawak, di mana terdapat kira-kira 300 peserta pelatihan. Beberapa bulan kemudian, dua letnan juga diutus ke sana.[1]

PGRS beranggotakan kurang lebih 800 orang, yang bermarkas di Batu Hitam, Kalimantan Barat, dengan 120 penasihat berasal dari dari badan intelijen Indonesia dan sejumlah kecil kader yang dilatih di Tiongkok. Partai Komunis Indonesia juga terlibat, yang dipimpin oleh seorang revolusioner beretnis Arab bernama Sofyan. PGRS melancarkan sejumlah serangan ke Sarawak, tetapi lebih banyak waktu yang dihabiskan untuk membangun basis pendukung di Sarawak. Sementera itu, militer Indonesia tidak mendukung PGRS yang berhaluan kiri.[2]

Konflik

Awal pertikaian

Motif Sukarno untuk memulai konfrontasi masih menjadi bahan perdebatan. Mantan Menteri Luar Negeri Indonesia, Ide Anak Agung Gde Agung, berpendapat bahwa Sukarno sengaja meredam keberatan Indonesia atas pembentukan negara Malaysia saat Indonesia tengah fokus mengklaim Irian Barat. Setelah kemenangan diplomatik Indonesia dalam sengketa Irian Barat, Sukarno terdorong untuk memperluas dominasi Indonesia terhadap negara-negara tetangga yang lebih lemah. Sebaliknya, Sukarno diduga terpaksa mengalihkan perhatian terhadap konflik luar negeri baru karena adanya tekanan dari PKI dan akibat ketidakstabilan politik di Indonesia.

Pada akhir 1950-an, Sukarno berpendapat bahwa Malaysia adalah negara boneka Inggris, sebuah eksperimen neokolonial, dan perluasan Malaysia akan meningkatkan kontrol Inggris di wilayah tersebut, yang berdampak pada keamanan nasional Indonesia. Sukarno dengan tegas menentang rencana dekolonisasi Inggris, termasuk pembentukan Federasi Malaysia, yang menyatukan Semenanjung Malaya dan Borneo Inggris. Sukarno menuduh Malaysia sebagai negara boneka Inggris yang bertujuan untuk memberlakukan imperialisme dan kolonialisme baru di Asia Tenggara, serta membatasi ambisi Indonesia untuk menjadi kekuatan regional di kawasan tersebut.[24]

Ada pula yang berpendapat bahwa kampanye Sukarno menentang pembentukan Malaysia dilatarbelakangi oleh keinginannya untuk memisahkan Malaya, Kalimantan Utara, Sarawak, dan Singapura sebagai satu negara tersendiri, sehingga tidak mau tunduk terhadap usulan Inggris untuk melakukan dekolonisasi dengan menyebutnya sebagai neokolonialisme yang dilakukan oleh negara Inggris sebagai salah satu cara untuk melebarkan hegemoni Inggris di kawasan tersebut.[25][26] Di saat bersamaan, Filipina mengklaim Borneo Utara bagian timur sebagai miliknya, dengan alasan bahwa koloni Borneo tersebut memiliki hubungan sejarah dengan Filipina melalui Kesultanan Sulu.

Sukarno

Meskipun Sukarno tidak secara langsung mengklaim wilayah Borneo bagian utara untuk digabungkan ke dalam Kalimantan Indonesia, ia melihat pembentukan Malaysia sebagai hambatan bagi Maphilindo, sebuah gagasan persatuan iredentis nonpolitis yang mencakup Malaya, Filipina, dan Indonesia. Presiden Filipina, Diosdado Macapagal, awalnya tidak menentang gagasan ini dan bahkan memprakarsai Persetujuan Manila. Meskipun tidak terlibat dalam pertikaian tersebut, Filipina menunda pengakuannya atas Malaysia sebagai penerus negara Malaya. Akibatnya, Malaysia memutuskan hubungan diplomatik dengan Filipina.

Indonesia bersikukuh bahwa pembentukan Malaysia memungkinkan Inggris untuk mempertahankan hak istimewa terkait penggunaan pangkalan militernya di Singapura, dan dengan demikian makin memperkuat pertahanan Inggris di Asia Tenggara, yang dianggap sebagai ancaman tersirat. Subandrio, Menteri Luar Negeri Indonesia, menjelaskan kepada Duta Besar Amerika Serikat, Howard P. Jones, bahwa kebijakan konfrontasi ini berkaitan dengan Malaya, bukan Malaysia, dan merupakan reaksi Indonesia atas kebijakan anti-Djakarta dan dukungan terhadap aksi pemberontakan yang diterapkan oleh Malaya dan Inggris pada tahun 1958.[18]

Pada bulan April 1963, penyusupan mata-mata dan serangan pertama yang tercatat terjadi di Borneo. Pasukan penyusup yang berlatih di Nangabadan dibagi dua dan dipersiapkan untuk melancarkan operasi pertama. Pada tanggal 12 April 1963, sekelompok penyusup menyerang dan merebut kantor polisi di Tebedu di Divisi 1 Sarawak, kira-kira 64 km dari Kuching dan 3,2 km dari perbatasan dengan Kalimantan.[27] Kelompok lainnya menyerang desa Gumbang, di sebelah barat daya Kuching, pada akhir bulan yang sama. Hanya sekitar separuh dari mereka yang kembali. Dari perspektif militer, konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia bisa dikatakan dimulai setelah penyerangan Tebedu.[28]

Sebelum pernyataan resmi konfrontasi Indonesia terhadap Malaysia pada 20 Januari 1963, Komisi Cobbold telah melaporkan mengenai kelayakan pembentukan negara Malaysia pada tahun 1962, dengan menyimpulkan bahwa adanya dukungan yang cukup besar di koloni Borneo untuk pembentukan negara Malaysia. Namun, lantaran meningkatnya penentangan dari Indonesia dan Filipina terhadap rencana pembentukan Malaysia, fase negosiasi baru diusulkan untuk mendengarkan keberatan dari kedua negara tersebut. Untuk menyelesaikan sengketa ini, negara-negara calon anggota Federasi Malaysia bertemu dengan perwakilan Indonesia dan Filipina di Manila pada tanggal 30 Juli 1963. Beberapa hari sebelum pertemuan tersebut, pada 27 Juli 1963, Sukarno melanjutkan retorikanya yang semakin memanas, menyatakan bahwa ia akan "mengganyang Malaysia." Dalam pertemuan di Manila, Filipina dan Indonesia secara resmi sepakat untuk menerima pembentukan Malaysia jika mayoritas penduduk Borneo Utara dan Sarawak mendukungnya dalam referendum yang diselenggarakan oleh PBB.[29]

Sebelum pertemuan di Manila, Pemerintah Malaya telah menetapkan tanggal 31 Agustus sebagai tanggal pembentukan negara Malaysia (kelak diperingati sebagai hari kemerdekaan Malaya). Namun, dalam negosiasi di Manila, pemerintah Malaya dibujuk oleh pemerintah Indonesia dan Filipina untuk menunda peresmian Malaysia hingga tanggal 15 September 1963, ketika putusan PBB telah dikeluarkan. Setelah perundingan di Manila, Perdana Menteri Malaya, Tunku Abdul Rahman, mengumumkan bahwa negara Malaysia akan terbentuk pada 16 September 1963, terlepas dari hasil putusan PBB.[30]

Borneo Utara dan Sarawak, yang memperkirakan bahwa putusan PBB akan mendukung pembentukan Malaysia, memproklamirkan diri sebagai bagian dari Malaysia pada tanggal 31 Agustus 1963, sebelum putusan PBB dipublikasikan. Pada 14 September, putusan PBB diterbitkan, yang memberikan dukungan bagi pembentukan negara Malaysia. Malaysia secara resmi berdiri pada 16 September 1963. Indonesia langsung bereaksi dengan mengusir Duta Besar Malaysia dari Jakarta. Dua hari kemudian, perusuh yang diorganisir oleh PKI membakar Kedutaan Besar Inggris di Jakarta. Ratusan perusuh merusak Kedutaan Besar dan rumah diplomat Singapura di Jakarta . Di Malaysia, mata-mata Indonesia ditangkap, dan massa menyerbu Kedutaan Besar Indonesia di Kuala Lumpur.[31]

Upaya penyusupan

Sewaktu perundingan perdamaian masih berlangsung alot, Indonesia tetap melanjutkan kampanye penyusupannya. Pada tanggal 14 Agustus, seorang kepala desa melaporkan adanya penyusupan di Divisi ke-3, dan tindak lanjut menunjukkan bahwa jumlah penyusup kira-kira 50 orang. Serangkaian kontak terjadi saat pasukan 2/6 Gurkha melakukan patroli dan penyergapan; setelah sebulan, 15 orang tewas dan tiga tertangkap. Gurkha melaporkan bahwa para penyusup terlatih dengan baik dan dipimpin secara profesional, tetapi penguasaan senjata mereka buruk. Para tahanan melaporkan adanya 300 penyusup dalam waktu seminggu dan 600 dalam dua minggu.[32] Pertempuran Long Jawai merupakan penyusupan besar pertama di pusat Divisi ke-3, yang dipimpin oleh Mayor RPKAD Mulyono Soerjowardojo,[33] yang dikirim ke Nangabadan pada awal tahun. Proklamasi kemerdekaan Malaysia pada September 1963 menandai dikerahkannya satuan-satuan Angkatan Bersenjata Malaysia ke Borneo (sekarang Malaysia Timur).[34]

Serangan oleh angkatan bersenjata Indonesia terhadap pasukan Malaysia tidak meningkatkan kredibilitas "antiimperialis" Sukarno. Indonesia juga mengerahkan Azahari, yang mengklaim bahwa angkatan bersenjata Indonesia tidak terlibat dalam operasi aktif. Sukarno kemudian meluncurkan usulan perdamaian, dan pada akhir Januari, ia menyatakan bahwa Indonesia siap untuk gencatan senjata. Negosiasi kemudian dimulai di Bangkok, tetapi pelanggaran perbatasan terus berlanjut, dan negosiasi tersebut gagal. Negosiasi dilanjutkan pada pertengahan 1964 di Tokyo dan juga berakhir dengan kegagalan.[35]

Sementara itu, angkatan bersenjata Indonesia yang dipimpin oleh Jenderal Ahmad Yani makin khawatir dengan memburuknya situasi dalam negeri di Indonesia dan mulai diam-diam menghubungi pemerintah Malaysia, sembari berusaha mengurangi konfrontasi hingga ke tingkat minimal.[36] Langkah tersebut diambil untuk melindungi angkatan bersenjata yang kewalahan usai melancarkan Operasi Trikora di Irian Barat, sekaligus mempertahankan posisi politiknya di dalam negeri, terutama terhadap Partai Komunis Indonesia, yang merupakan pendukung fanatik konfrontasi.[37]

Perluasan konflik ke Semenanjung Malaysia

Sarawak Rangers (kelak menjadi bagian dari Malaysian Rangers) yang beranggotakan suku Iban melompat dari helikopter Bell UH-1 Iroquois Angkatan Udara Australia untuk menjaga perbatasan Malaysia–Thailand.

Selagi perseteruan berkecamuk, pada tanggal 3 Mei 1964, Sukarno mengesahkan Dwi Komando Rakyat (Dwikora). Dwikora berisi seruan Sukarno agar rakyat membela Revolusi Indonesia dan mendukung revolusi di Malaya, Singapura, Sarawak, dan Sabah untuk menggagalkan pembentukan Federasi Malaysia. Bertepatan dengan pengumuman Sukarno tentang 'hidup penuh bahaya' sewaktu perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia, angkatan bersenjata Indonesia memulai kampanye penyusupan udara dan laut ke Semenanjung Malaysia pada tanggal 17 Agustus 1964.[38] Pada 19 Agustus 1964, sekelompok pasukan laut, yang terdiri dari Pasukan Gerak Cepat, KKO, dan selusin komunis Malaysia, menyeberangi Selat Malaka dengan perahu, berlabuh di Pontian dalam tiga rombongan pada malam hari. Namun, mereka disergap oleh tentara Persemakmuran, dan hampir semua penyusup tertangkap.[39] Pada 2 September, tiga pesawat Lockheed C-130 Hercules berangkat dari Jakarta menuju Semenanjung Malaysia, terbang rendah untuk menghindari deteksi radar. Malam berikutnya, dua dari C-130 berhasil mencapai tujuannya, dan pasukan PGT melompat dan mendarat di dekat Labis di Johor. C-130 yang tersisa jatuh ke Selat Malaka saat berupaya menghindari penyergapan oleh RAF Javelin FAW 9 yang diluncurkan dari RAF Tengah. Akibat badai petir, penerjunan 96 pasukan payung tidak tentu arah, sehingga mereka mendarat di dekat pangkalan militer 1/10 Gurkhas, yang bergabung dengan Batalyon Pertama, Resimen Persemakmuran, yang ditempatkan di sekitar Malaka.[38][40][41][42]

Perluasan konflik Indonesia ke Semenanjung Malaysia memicu Krisis Selat Sunda, dengan berlayarnya kapal induk Inggris HMS Victorious dan dua kapal perusak melintasi Selat Sunda. Angkatan bersenjata Persemakmuran bersiap untuk melancarkan serangan udara terhadap wilayah yang menjadi basis penyusup Indonesia di Sumatra jika aksi penyusupan Indonesia masih terus berlanjut. Terjadi ketegangan selama tiga minggu sebelum krisis tersebut diselesaikan secara damai.[43]

Pada bulan-bulan terakhir tahun 1964, konflik kedua negara mulai mencapai kebuntuan. Angkatan bersenjata Persemakmuran berhasil mencegah upaya penyusupan Indonesia ke Borneo dan Semenanjung Malaysia untuk sementara waktu. Namun, situasi kembali berubah pada bulan Desember 1964 ketika intelijen Persemakmuran mulai melaporkan adanya aksi penyusupan besar-besaran oleh Indonesia melalui wilayah Kalimantan di seberang Kuching, yang berpotensi memperuncing pertikaian. Dua batalyon Inggris kemudian dikerahkan ke Borneo.[44][45] Sementara itu, karena operasi pendaratan di Malaysia dan aksi penyusupan pasukan Indonesia yang berkelanjutan, Australia dan Selandia Baru juga mulai mengerahkan pasukan tempur ke Borneo pada awal tahun 1965.[46]

Operasi Claret

Tentara Inggris sedang melakukan patroli untuk melacak keberadaan musuh di belantara Brunei.

Operasi Claret adalah serangkaian serangan lintas batas yang dilakukan secara rahasia oleh pasukan Persemakmuran Inggris di Borneo dari bulan Juni 1964 hingga awal 1966. Serangan ini dilakukan oleh pasukan khusus—termasuk Special Air Service Inggris , Special Air Service Regiment Australia, dan New Zealand Special Air Service—serta infanteri reguler. Pada fase awal konflik, tentara Persemakmuran Inggris dan Malaysia hanya berupaya mengontrol perbatasan dan melindungi pusat-pusat penduduk dari serangan Indonesia. Namun, pada tahun 1965, mereka memutuskan untuk mengambil tindakan lebih agresif, melintasi perbatasan untuk memperoleh informasi dan memburu para penyusup Indonesia yang mundur hingga ke perbatasan.[28] Pertama kali disetujui pada bulan Mei 1965, kemudian diekspansi sehingga termasuk penyerangan lintas batas pada bulan Juli.[47]

Operasi ini, yang disepakati pertama kali pada bulan Mei 1965, kemudian diperluas dengan melancarkan penyergapan lintas batas pada bulan Juli. Patroli rahasia ini dilakukan oleh tim pengintaian kecil yang melintasi perbatasan dari negara bagian Sarawak atau Sabah di Malaysia ke Kalimantan di Indonesia untuk menyergap tentara Indonesia yang akan memasuki Malaysia Timur. Awalnya, wilayah patroli dibatasi hingga 2.700 m, tetapi kemudian diperluas hingga 5.500 m, dan kemudian diperluas lagi hingga 9.100 m setelah pecahnya Pertempuran Plaman Mapu pada bulan April 1965. Tentara konvensional diarahkan untuk menyergap tentara Indonesia, baik saat mereka melintasi perbatasan maupun saat masih berada di wilayah Kalimantan.[47][48] Operasi Claret dilancarkan oleh tentara Persemakmuran Inggris, yang menyebabkan jatuhnya banyak korban di pihak Indonesia dan membuatnya tetap dalam posisi bertahan di sisi perbatasan. Operasi ini baru diumumkan kepada publik oleh Inggris pada tahun 1974, sedangkan pemerintah Australia tidak mengakui keterlibatannya secara resmi hingga tahun 1996.[49][50]

Akhir konfrontasi

Demonstrasi anti-Indonesia oleh sekelompok perempuan Malaysia pada tahun 1965.

Menjelang akhir 1965, konflik antar kedua negara mengalami kebuntuan. Presiden baru Filipina, Ferdinand Marcos, berupaya meredakan ketegangan, dan berbeda dengan pendahulunya, ia tidak menggalakkan klaim Filipina atas Sabah Utara secara gigih. Untuk menengahi pertikaian, Filipina berencana untuk mengakui Federasi Malaysia. Pada tanggal 5 Februari 1965, Filipina memberitahu Indonesia mengenai normalisasi hubungannya dengan Kuala Lumpur. Sukarno menentang dan mengecam tindakan Marcos dalam pidatonya, yang mengejutkan Manila. Pidato Sukarno memicu gelombang baru masyarakat yang mendukung konfrontasi, dan organisasi pemuda serta keagamaan mengecam rencana Marcos.[51]

"Jika Marcos ingin membantu Malaysia, itu urusannya, tetapi kami akan terus menghancurkan Malaysia, bahkan jika kami harus bertempur sendirian."

— Sukarno, menanggapi tindakan Marcos, [51]

Pada malam tanggal 30 September 1965, terjadi percobaan kudeta di Jakarta. Enam pemimpin militer senior Indonesia dibunuh, sementara Jenderal Nasution berhasil melarikan diri dari para penculiknya. Di tengah kebingungan, Sukarno setuju untuk membiarkan Suharto mengambil alih komando darurat dan mengendalikan Jakarta serta angkatan bersenjata yang ditempatkan di sana. Dalang upaya kudeta tersebut dituduhkan kepada Partai Komunis Indonesia (PKI), dan dalam beberapa minggu dan bulan berikutnya, upaya penangkapan dan pembunuhan terhadap anggota dan simpatisan PKI terjadi di Jakarta dan seluruh penjuru Indonesia. Dengan makin kuatnya citra Suharto, skala dan intensitas upaya penyusupan Indonesia ke Borneo mulai mereda. Rentetan peristiwa yang dipicu oleh kegagalan kudeta tersebut menyebabkan menguatnya kekuasaan Suharto secara bertahap dan makin terpinggirnya Sukarno. Pada saat yang sama, pembersihan antikomunis menyebar di seluruh Indonesia. Penguatan kekuasaan Suharto setelah peristiwa 30 September memungkinkannya untuk membentuk pemerintahan baru dan pada bulan Maret 1967, Suharto membentuk kabinet baru.[52]

Pada tanggal 28 Mei 1966, dalam konferensi di Bangkok, pemerintah Malaysia dan Indonesia menyatakan bahwa konflik telah berakhir. Namun, kewaspadaan di Borneo belum bisa dilonggarkan. Berkat upaya Suharto, perjanjian damai ditandatangani pada tanggal 11 Agustus dan diratifikasi dua hari kemudian.[7] Pada awal pemerintahan Suharto, Operasi Claret terus berlanjut, dan pada bulan Maret 1966, batalion Gurkha terlibat dalam sejumlah pertempuran sengit di Kalimantan.Tindakan konfrontasi kecil oleh tentara Indonesia terus berlanjut di daerah perbatasan.[53]

Pada awal 1966, dengan makin stabilnya perpolitikan di Indonesia, RPKAD bekerja sama dengan PGRS membentuk pasukan gerilya di Sabah dan Sarawak. Pasukan di Sabah tidak pernah melintasi perbatasan, tetapi dua kelompok pasukan memasuki Sarawak pada bulan Februari dan Mei dan mendapatkan dukungan dari simpatisan lokal. Kelompok pertama berhasil bertahan hingga bulan Juni dan dievakuasi setelah Konfrontasi berakhir. Para penyintas dari kelompok kedua juga berhasil kembali ke Indonesia.[54]

Daftar pertempuran

Penyelesaian damai

Menjelang akhir 1965, Jenderal Soeharto memegang kekuasaan di Indonesia setelah berlangsungnya Gerakan 30 September. Oleh karena konflik domestik ini, keinginan Indonesia untuk meneruskan perang dengan Malaysia menjadi berkurang dan peperangan pun mereda.

Pada 28 Mei 1966, dalam sebuah perundingan di Bangkok, Malaysia dan Indonesia mengumumkan perdamaian setelah Soeharto mengutus Adam Malik sebagai wakil untuk berunding dengan Tunku Abdul Rahman. Aksi kekerasan berakhir pada bulan Juni, dan perjanjian perdamaian ditandatangani pada 11 Agustus dan diresmikan dua hari kemudian. Indonesia secara resmi mengakhiri konfrantasi terhadap Malaysia pada tahun 1967.

Lihat pula

Catatan

  1. ^ Sebelum Federasi, tiga entitas terpisah Malaya, Sarawak, dan Kalimantan Utara berpartisipasi secara mandiri
  2. ^ Sampai 1965

Catatan kaki

  1. ^ a b c d Conboy 2003, hlm. 93–95.
  2. ^ a b Conboy 2003, hlm. 156.
  3. ^ Fowler 2006, hlm. 11, 41
  4. ^ a b Pocock 1973, hlm. 129.
  5. ^ a b Corbett 1986, hlm. 124.
  6. ^ Sejarah Indonesia : "The Sukarno Years". Retrieved 30 May 2006.
  7. ^ a b c d e f g h i Carver 1986, hlm. 806.
  8. ^ a b c d e f Moulton 1967, hlm. 349.
  9. ^ UK Armed Forces Operational deaths post World War II (PDF). Ministry of Defence. 2015. hlm. 4. 
  10. ^ a b "Indonesian Confrontation, 1963–66 | Australian War Memorial". www.awm.gov.au. 
  11. ^ "NZ and Confrontation in Borneo – Confrontation in Borneo | NZHistory, New Zealand history online". nzhistory.govt.nz. 
  12. ^ "Speech by the President of the SAF Veterans' League, Brigadier-General (NS) Winston Toh, At the Konfrontasi Memorial Ceremony on 10 March 2016, 1825hrs |" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 26 March 2023. Diakses tanggal 17 February 2022. 
  13. ^ Mackie 1974, hlm. 36–37 & 174.
  14. ^ Dennis & Grey 1996, hlm. 25.
  15. ^ Edwards 1992, hlm. 306.
  16. ^ Dennis & Grey 1996, hlm. 318.
  17. ^ Cain 1997, hlm. 67.
  18. ^ a b Jones, M. (1999-11-01). "'Maximum disavowable aid': Britain, the United States and the Indonesian rebellion, 1957–58". The English Historical Review (dalam bahasa Inggris). 114 (459): 1179–1216. doi:10.1093/ehr/114.459.1179. ISSN 0013-8266. 
  19. ^ Easter 2004, hlm. 46.
  20. ^ Conboy 2003, hlm. 102.
  21. ^ Reece 1993, hlm. 72.
  22. ^ a b Fong 2005, hlm. 183–192.
  23. ^ Kheng 2009, hlm. 132–152.
  24. ^ Hitoshi Hirakawa; Hiroshi Shimizu (24 June 1999). Japan and Singapore in the World Economy: Japan's Economic Advance Into Singapore 1870–1965. Routledge. hlm. 180. ISBN 978-1-134-65174-0. 
  25. ^ "Juni 1964: Konfrontasi Indonesia-Malaysia". Asumsi.co. 4 March 2021. Diakses tanggal 29 October 2024. 
  26. ^ "Bukan Ingin Rebut Sabah dan Sarawak, Ini Alasan Presiden Soekano Perang Lawan Malaysia 1964". Dayak International Organization. 20 September 2022. Diakses tanggal 23 October 2024. 
  27. ^ Pocock 1973, hlm. 153.
  28. ^ a b Dennis et al. 2008, hlm. 152.
  29. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Tun Hanif Omar 2007
  30. ^ Mackie 1974, hlm. 174–175.
  31. ^ Pocock 1973, hlm. 173.
  32. ^ Pocock 1973, hlm. 170.
  33. ^ van der Bijl 2007, hlm. 80–85.
  34. ^ Majid 2007, hlm. 154.
  35. ^ Pocock 1973, hlm. 179–181, 188.
  36. ^ Weinstein, Franklin B. (2007). Indonesian Foreign Policy and the Dilemma of Dependence: From Sukarno to Soeharto (dalam bahasa Inggris). Equinox Publishing. ISBN 9789793780566. 
  37. ^ Crouch, Harold (2007). The Army and Politics in Indonesia (dalam bahasa Inggris). Equinox Publishing. ISBN 9789793780504. 
  38. ^ a b Conboy 2003, hlm. 161.
  39. ^ James & Sheil-Small 1971, hlm. 146.
  40. ^ van der Bijl 2007, hlm. 135–138.
  41. ^ James & Sheil-Small 1971, hlm. 148–150.
  42. ^ Pugsley 2003, hlm. 206–213.
  43. ^ Edwards 1992, hlm. 319.
  44. ^ Gregorian 1991, hlm. 55.
  45. ^ Jones 2002, hlm. 272.
  46. ^ van der Bijl 2007, hlm. 165.
  47. ^ a b Pugsley 2003, hlm. 255.
  48. ^ Horner 2002, hlm. 83–84.
  49. ^ Forbes, Mark (23 March 2005). "Truth still a casualty of our secret war". The Age. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2 September 2006. Diakses tanggal 27 April 2009. 
  50. ^ Coates 2006, hlm. 333.
  51. ^ a b Weinstein, Franklin B. (2009). Indonesia Abandons Confrontation: An Inquiry Into the Functions of Indonesian Foreign Policy (dalam bahasa Inggris). Equinox Publishing. ISBN 978-602-8397-45-2. 
  52. ^ Pocock 1973, hlm. 215.
  53. ^ Pocock 1973, hlm. 213–214.
  54. ^ Conboy 2003, hlm. 158–161.

Pustaka

  • Van der Bijl, Nicholas (2007). Confrontation: the war with Indonesia, 1962-1966. Pen & Sword Military. ISBN 9781844155958. OL 22546200M. 

Pustaka lanjutan

Pranala luar

Kembali kehalaman sebelumnya