Kuil Salib, Fangshan
Kuil Salib (Hanzi: 十字寺; Pinyin: Shízì sì)[a] adalah bekas tempat ibadah yang berlokasi di Fangshan, Beijing. Tempat ini pernah digunakan oleh umat Buddha dan umat Kristen awal di Tiongkok pada periode yang berbeda. Kuil ini awalnya dibangun sebagai kuil Buddha. Namun, beberapa ahli berhipotesis bahwa kuil ini pernah digunakan oleh umat Kristen pada masa Dinasti Tang (618–907). Pada masa Dinasti Liao (916–1125), kuil ini kembali difungsikan sebagai kuil Buddha, dan kemudian digunakan oleh umat Kristen pada masa Dinasti Yuan (1271–1368). Selama Dinasti Ming (1368–1644), kuil ini kembali digunakan oleh umat Buddha hingga akhirnya dijual pada tahun 1911. Kuil ini pertama kali tercatat dalam studi modern pada tahun 1919, mengalami kerusakan selama Revolusi Kebudayaan, dan ditetapkan kembali sebagai situs yang dilindungi tingkat nasional pada tahun 2006. Beberapa ahli menilai bahwa kuil ini merupakan satu-satunya tempat ibadah Gereja dari Timur (juga dikenal sebagai Kekristenan Nestorian) yang ditemukan di Tiongkok.[b] Saat ini, situs tersebut menampilkan dua prasasti kuno, serta sisa-sisa fondasi dan dasar beberapa pilar. Prasasti-prasasti tersebut berasal dari masa Dinasti Liao dan Yuan, namun inskripsi pada kedua prasasti tersebut telah dirusak pada era Dinasti Ming. Pada awal abad ke-20, dua balok batu berukir salib dan pola lainnya juga ditemukan di situs ini, dengan salah satu balok tersebut memiliki inskripsi dalam bahasa Siria. Balok-balok tersebut kini dipamerkan di Museum Nanjing. SejarahSejarah awal: Penggunaan oleh Umat BuddhaMenurut prasasti dari masa Dinasti Liao (916–1125) yang terdapat di lokasi kuil, seorang biksu Buddha bernama Huijin (惠靜) mulai membangun kuil ini pada tahun 317, yaitu tahun pertama masa pemerintahan Kaisar Yuan, pendiri Dinasti Jin Timur (317–420).[6] Pada tahun 639, pada masa Dinasti Tang (618–907), seorang biksu bernama Yiduan (義端) merenovasi kuil tersebut.[6] Namun, cendekiawan Wang Xiaojing menyatakan bahwa penulis prasasti Liao mungkin telah keliru, dan kuil ini sebenarnya dibangun pada masa Dinasti Jin Akhir (936–947).[7] Nama biara pada zaman Jin dan Tang tidak diketahui.[8] Konteks Kekristenan Tiongkok AwalSetelah Konsili Efesus pada tahun 431 yang mengutuk Nestorius, patriark Konstantinopel, para pengikutnya pindah ke Kekaisaran Sasaniyah dan bergabung dengan Gereja dari Timur. Gereja dari Timur kemudian mengirim para misionaris ke Asia Tengah, Arabia, dan India, dan mendirikan keuskupan metropolitan di kota-kota penting sepanjang Jalur Sutra yang menuju ke Tiongkok. Pada tahun 635, biarawan Kristen Alopen mencapai Chang'an (sekarang Xi'an), ibu kota Dinasti Tang. Menurut cendekiawan Nicolas Standaert, komunitas Kristen Nestorian "relatif banyak" selama Dinasti Tang, terutama di kota-kota dengan banyak perdagangan asing, namun komunitas tersebut "mungkin tidak terlalu penting".[9] Pada tahun 845, Kaisar Wuzong dari Tang memulai penindasan Anti-Buddha Besar. Meskipun kaisar utamanya berniat untuk menindas agama Buddha, ia memerintahkan agar biksu dari semua agama asing, termasuk Kristen Nestorian, kembali ke kehidupan awam. Pada masa yang sama, Dinasti Tang kehilangan kendali atas wilayah Tiongkok barat laut dan rute antara Tiongkok dan Asia Tengah terputus. Meskipun agama Buddha pulih dari penindasan tersebut, Gereja dari Timur di Tiongkok lenyap bersama dengan kebanyakan agama asing lainnya.[10] Salah satu sumber primer Kekristenan Nestorian pada masa Dinasti Tang adalah Prasasti Xi'an. Prasasti tersebut dibuat sekitar tahun 781 dengan teks yang ditulis oleh biarawan Nestorian bernama Adam. Prasasti ini berisi penjelasan doktrin Kristen, sejarah Gereja dari Timur di Tiongkok dari tahun 635 hingga 781, berbagai pujian, dan daftar anggota rohaniwan di Tiongkok. Prasasti ini ditemukan di dekat Xi'an pada tahun 1620-an.[11] Kristen Nestorian Asia Tengah pindah ke Tiongkok utara pada abad ke-12 dan ke-13, meskipun tampaknya mereka tidak memiliki hubungan dengan Kristen Nestorian pada masa Dinasti Tang. Pada awal abad ke-13, ketika bangsa Mongol menaklukkan Tiongkok utara, beberapa orang Kristen Nestorian menduduki jabatan pemerintahan. Pada periode yang sama, Gereja dari Timur juga mendirikan provinsi-provinsi metropolitan baru di sepanjang rute perdagangan menuju Tiongkok.[12] Dinasti Yuan yang diperintah oleh Mongol (1271–1368) menempatkan gereja-gereja dan hierarki Nestorian di bawah administrasi pemerintahnya: jabatan Chongfu Si (崇福司; 'Pemerintahan Pemberkatan Kehormatan') didirikan pada tahun 1289 untuk mengawasi rohaniwan dan praktik Nestorian, dan administrator pertamanya adalah seorang Nestorian Arab bernama Isa.[13] Kekristenan di Tiongkok menurun lagi setelah kejatuhan Dinasti Yuan.[14] Ketika para bangsawan, orang asing yang berpindah agama, dan pedagang asing Mongol diusir dari Tiongkok, para misionaris Nestorian kemungkinan besar pergi bersama mereka. Catatan Dinasti Ming berikutnya (1368–1644) tidak menyebutkan keturunan Kristen Yuan.[15] Menurut cendekiawan Qiu Shusen, kebanyakan Nestorian era Yuan adalah orang Asia Tengah dari kasta Semu, yang kemudian berasimilasi dalam budaya Han dominan pada masa Ming dan tidak lagi mempraktikkan agama-agama barat mereka. Hal ini akhirnya menyebabkan lenyapnya Kekristenan Nestorian di Tiongkok.[16] Dinasti Tang: Kemungkinan Penggunaan oleh Umat KristenBeberapa cendekiawan berpendapat bahwa Kuil Salib mungkin digunakan oleh Gereja dari Timur di Tiongkok selama Dinasti Tang (618–907). Cendekiawan Jepang P. Y. Saeki berspekulasi bahwa para pengikut Kristen yang melarikan diri dari ibu kota Tang, Chang'an (sekarang Xi'an) ke Youzhou dan Liaodong[c] selama penindasan Huichang pada abad ke-9, mulai menggunakan kuil ini.[17] Tang Xiaofeng menunjuk pada prasasti Liao sebagai indikasi bahwa salib Kristen sudah ada di kuil tersebut sebelum masa Dinasti Liao. Selain itu, Tang mengklaim bahwa teks lain yang ditulis oleh Li Zhongxuan pada tahun 987 menunjukkan keberadaan komunitas Nestorian di Youzhou.[18] Namun, sinolog Inggris Arthur Christopher Moule berpendapat bahwa tidak ada bukti yang cukup kuat untuk menunjukkan bahwa Gereja dari Timur di Tiongkok mencapai Beijing sebelum abad ke-13.[19] Dinasti Liao: Penggunaan oleh Umat BuddhaSelama masa Dinasti Liao (916–1125), Kuil Salib dikenal dengan nama "Chongsheng Yuan" (崇聖院; 'Balai Orang Suci Terhormat'). Kuil ini dibangun ulang oleh umat Buddha pada masa pemerintahan Kaisar Muzong dari Liao, meskipun tanggal pasti pembangunannya tidak jelas. Prasasti Liao di tempat tersebut mencatat tahun kesepuluh masa pemerintahan Kaisar Yuan, yaitu sekitar tahun 960, tetapi juga mencantumkan "Bingzi" (丙子) sebagai siklus seksagesimalnya—sistem penanggalan kuno Tiongkok. Kedua pernyataan ini tidak sesuai,[20] dengan perbedaan sekitar 16 tahun.[21] Prasasti Liao tidak menunjukkan adanya hubungan antara tempat tersebut dengan Kekristenan, dan diyakini bahwa Chongsheng Yuan adalah sebuah kuil Buddha.[22] Cendekiawan Xu Pingfang berpendapat bahwa kegiatan Nestorian di tempat tersebut baru dimulai setelah kegiatan Buddha berakhir.[23] Xu juga meyakini bahwa kesalahan dalam teks prasasti tersebut kemungkinan besar bukan dibuat oleh penulis aslinya, tetapi oleh orang-orang Ming yang mengukir ulang prasasti tersebut.[24] Dinasti Yuan: Penggunaan oleh Umat KristenKekristenan Nestorian menyebar ke seluruh wilayah tersebut setelah Mongol merebut ibu kota Jurchen Jin, Zhongdu (kini dekat Beijing), pada tahun 1215. Di bawah rezim Mongol-Yuan, Beijing memiliki seorang uskup metropolitan.[25] Terdapat beberapa teori mengenai bagaimana Kuil Salib, yang berada di luar Beijing, digunakan oleh umat Kristen pada masa Dinasti Yuan. Wang berhipotesis bahwa seorang penganut Nestorian melewati Fangshan, menemukan kuil yang terbengkalai, dan mengubahnya menjadi tempat biara.[26] Tang Xiaofeng dan Zhang Yingying juga berpendapat bahwa kemungkinan Kuil Salib dibangun ulang pada periode tersebut.[27] Rabban Sauma (s. 1220–1294) adalah seorang rahib Kristen Nestorian Uighur yang lahir di Beijing pada masa Dinasti Yuan dan melakukan perjalanan dari Tiongkok ke Baghdad. [28][29][30] Menurut catatan sezaman, Sauma muda menjadi seorang asketik selama tujuh tahun di sebuah gunung yang berjarak sehari perjalanan dari Beijing.[31] Moule berspekulasi bahwa Kuil Salib mungkin dekat dengan tempat pertapaan Sauma.[32] Shi Mingpei berpendapat bahwa deskripsi tempat pertapaan Rabban Sauma "sangat mirip" dengan Kuil Salib dan wilayah sekitarnya,[33] dan Tang Li kemudian beranggapan dalam buku tahun 2011 bahwa Rabban Sauma berasal dari tempat tersebut.[34] Wang meyakini bahwa umat Kristen Nestorian telah meninggalkan tempat tersebut sebelum tahun 1358, ketika para biksu Buddha mulai merombak kuil tersebut.[26] Perombakan tersebut selesai pada tahun 1365.[22] Menurut prasasti Yuan, seorang biksu Buddha bernama Jingshan (淨善) menginisiasi rekonstruksi karena ia bermimpi didatangi sesosok dewa saat bermeditasi, dan kemudian melihat salib bersinar di atas sebuah duaja kuno di tempat kuil tersebut.[35] Prasasti tersebut mencantumkan nama para dermawan besar kuil tersebut, yakni pangeran Huai Temür Bukha , pejabat kasim Zhao Bayan Bukha (趙伯顏不花), dan menteri Qingtong , dengan ukiran itu sendiri dibuat oleh Huang Jin .[23] Pada tahun 1992, Xu Pingfang berpendapat bahwa Temür Bukha akrab dengan praktik Nestorian karena neneknya, Sorghaghtani Be, adalah seorang penganut Nestorian. Ia mungkin meminta agar kuil Buddha tersebut tetap menggunakan nama "Kuil Salib" ketika dibangun ulang, dan agar artefak-artefak Nestorian dilestarikan.[23] Namun, para cendekiawan modern umumnya menganggap bahwa ukiran pada prasasti Yuan merupakan pemalsuan yang dilakukan pada masa Dinasti Ming, dan bahwa informasi terkait para dermawan Yuan itu palsu.[36][37] Wang berpendapat bahwa nama resmi kuil tersebut pada masa Yuan adalah "Chongsheng Yuan".[26] Ia juga berpendapat bahwa penduduk Tionghoa Han pada masa itu menggunakan istilah "kuil salib" untuk merujuk pada gereja-gereja Nestorian secara umum, dan bahwa umat Nestorian pada masa itu tidak akan menyebutnya "Kuil Salib".[38] Namun, karena nama "Kuil Salib" bersifat sederhana dan langsung, penduduk lokal mulai menggunakannya setelah kedatangan umat Nestorian.[39] Dinasti Ming dan Qing: Penggunaan oleh Umat BuddhaUmat Kristen Nestorian masih memiliki keberadaan di Tiongkok utara pada awal Dinasti Ming. Sekitar tahun 1437,[d] beberapa biarawan Nestorian mengunjungi Kuil Yunju, yang juga berada di Fangshan, dan meninggalkan catatan.[23][40] Misionaris Yesuit Matteo Ricci (1552–1610, berada di Tiongkok pada 1582–1610) mendengar dari seorang Yahudi bahwa terdapat penganut Nestorian di Tiongkok utara pada awal Dinasti Ming. Ricci mencatat bahwa umat Nestorian di Tiongkok menyembunyikan identitas keagamaan mereka, namun masih menyebut bekas gereja Nestorian sebagai "Gereja Salib".[41] Pada tahun 1535, tempat tersebut dibangun ulang oleh seorang biksu Buddha bernama Dejing (德景), dengan dukungan penduduk desa setempat dan keluarga Gao Rong (高榮), keponakan dari pejabat kasim Ming yang berpengaruh, Gao Feng . Selama proses rekonstruksi, prasasti Liao dan Yuan diubah, dan bangunan tersebut secara resmi dikenal sebagai "Kuil Salib" pada masa itu.[26] Pada zaman Dinasti Qing (1644–1912), dalam Sejarah Kabupaten Fangshan (房山縣誌) yang dikompilasikan sekitar tahun 1664, Kuil Salib disebutkan secara singkat. Tempat tersebut dicantumkan bersama kuil-kuil Buddha lainnya di kabupaten tersebut.[42] Dalam Yifengtang Jinshi Wenzi Mu (藝風堂金石文字目; 'Indeks Teks Ukiran Perunggu dan Batu buatan Yifengtang') yang ditulis pada tahun 1897, Miao Quansun mencantumkan teks prasasti Liao.[43] Sekitar tahun 1911, para biksu Buddha menjual kuil tersebut dan tanah di sekitarnya.[44] Penemuan Kembali dan Pengembangan ModernPenyebutan awal Kuil Salib dalam konteks akademik Barat muncul dalam The New China Review pada Juli 1919, ketika H. I. Harding menyebut keberadaan kuil tersebut di dekat Beijing dan bahwa namanya mungkin memiliki hubungan potensial dengan Kekristenan.[45][2] Pada tahun yang sama, diplomat Skotlandia Reginald Johnston menemukan kembali tempat tersebut saat mencari tempat berlindung dari badai petir. Pada Oktober 1919, di bawah pseudonim "Christopher Irving", Johnston menerbitkan artikel tentang situs tersebut berjudul "A Chinese Temple of the Cross".[45][2][46] Cendekiawan P. Y. Saeki mengunjungi tempat tersebut pada tahun 1931, dan mencatat bahwa sebagian besar bangunan di tempat tersebut masih ada pada masa itu.[42] Saeki mencatat adanya gerbang Shanmen (sebuah jenis balai masuk kuil Buddha), disusul oleh Balai Empat Raja Sorgawi. Di luar balai, terdapat halaman pertemuan dengan dua pohon gingko, dan prasasti-prasasti Liao dan Yuan di sebelah setiap pohon. Halaman pertemuan memiliki dapur dan asrama untuk para biksu di sebelah kanan dan asrama lainnya di sebelah kiri. Balai Utama kuil tersebut berada di ujung halaman pertemuan, dan berisi tiga patung Buddha.[47] Sebuah kajian abad ke-21 menyatakan bahwa bangunan Shanmen berjarak 17,5 m (57 ft) di selatan Balai Utama, dengan dimensi 7,08 m × 11,24 m (23,2 ft × 36,9 ft).[48] Pada masa Revolusi Kebudayaan, dua prasasti tersebut dijatuhkan dan dipecah menjadi berkeping-keping.[49] Pada tahun 1990-an, cabang Beijing dari Dewan Kristen Tiongkok dan Gerakan Patriotik Tiga Pendirian membangun kembali tembok di tempat tersebut.[50] Pada tahun 2006, reruntuhan tersebut diangkat menjadi Situs Sejarah dan Budaya Utama yang Dilindungi Tingkat Nasional.[51] Keadaan saat iniBeberapa cendekiawan menganggap Kuil Salib sebagai satu-satunya tempat ibadah Gereja dari Timur yang ditemukan di Tiongkok.[52][e] Tempat ini berlokasi di dekat Desa Chechang (车厂村) di Wilayah Zhoukoudian, Distrik Fangshan, di barat daya Kota Beijing. Lahan kuil memiliki panjang 50 m (160 ft) dari timur ke barat, dan 45 m (148 ft) dari utara ke selatan. Tempat ini dikelilingi oleh tembok di keempat sisinya, dengan pintu masuk di sisi utara dan selatan.[54] Setelah hujan deras pada tahun 2012 merusak situs dan tembok, saluran air dan kamera pengawas ditambahkan.[55] Tidak ada bangunan yang masih berdiri di situs Kuil Salib.[54] Terdapat beberapa sisa bangunan di bagian utara dan barat situs tersebut, tempat Balai Utama dan asrama biksu Buddha pernah berdiri .[56] Situs Balai Utama memiliki dimensi 11,32 m (37,1 ft) dari utara ke selatan, dan 19,6 m (64 ft) dari timur ke barat. Terdapat pangkalan pilar yang tersebar di reruntuhan Balai Utama, dan sisa-sisa tangga di depannya.[54] Di depan Balai Utama, terdapat dua pohon gingko: satu pohon kuno dan satu lagi yang baru ditanam. Pohon yang baru ditanam ini menggantikan pohon kuno lainnya yang hancur akibat kebakaran.[50] Terdapat jalan setapak di antara kedua pohon tersebut. Di bagian selatan jalan setapak ini, terdapat prasasti Dinasti Yuan, dan prasasti Dinasti Liao berada di sebelah timurnya.[48] Di sebelah selatan prasasti Yuan, terdapat beberapa tanda yang nyaris tak terlihat dari bangunan Shanmen.[48] Sebuah replika Prasasti Xi'an ditambahkan pada situs ini pada awal abad ke-21, dan ditempatkan di depan tembok utara.[48] RelikPrasasti batuTerdapat dua prasasti di situs Kuil Salib: prasasti Liao yang didirikan pada tahun 960, dan prasasti Yuan yang didirikan pada tahun 1365. Keduanya diukir ulang pada masa Dinasti Ming pada tahun 1535. Selama Revolusi Kebudayaan, prasasti Liao dipatahkan di bagian tengah dan bagian kiri bawahnya hilang, sementara prasasti Yuan dipecah menjadi tiga bagian. Pada awal abad ke-21, keduanya diperbaiki dan didirikan kembali.[49] Kedua prasasti tersebut memuat ukiran, meskipun tidak secara eksplisit menyebutkan Kekristenan.[36] Prasasti Yuan menampilkan salib di atasnya. Namun, menurut cendekiawan Wang Xiaojing, ukiran tersebut kemungkinan besar tidak dibuat oleh Nestorian, karena pembuatan prasasti adalah praktik Tionghoa Han, dan hanya sedikit Nestorian Han pada masa Dinasti Yuan.[57] Para cendekiawan umumnya sepakat bahwa meskipun kedua prasasti tersebut berasal dari masa Dinasti Liao dan Yuan, ukirannya diubah oleh penulis dari Dinasti Ming, dan terdapat kesalahan dalam penanggalan dan nama individu yang disebutkan.[58][59] Menurut Wang Xiaojing, untuk meningkatkan status kuil dan mendapatkan lebih banyak dukungan dan sumbangan dari umat Buddha,[60] para penulis Ming mengubah ukiran kedua prasasti tersebut untuk mengklaim bahwa kuil ini menerima piagam kerajaan,[61] menerima sumbangan dari tokoh terkenal, dan bahwa ukuran prasasti tersebut lebih besar pada masa Dinasti Yuan. Tang Xiaofeng dan Zhang Yingying berpendapat bahwa ukiran tersebut didasarkan pada rumor yang beredar.[59] Plakat batuSebuah plakat batu yang diukir dengan karakter 『古剎十字禪林』; 'Kuil Buddha Salib Kuno'[62] sebelumnya dipasang di atas gerbang kuil.[63] Catatan dari tahun 1919 menunjukkan bahwa plakat tersebut masih ada. Namun, pada tahun 1931, Saeki mencatat bahwa plakat tersebut telah jatuh dan remuk.[62][64] Ketika Wu Mengling (吴梦麟) mengunjungi tempat tersebut pada Oktober 1992, ia menemukan salah satu kepingan yang remuk di depan pohon gingko.[64] Menurut Wang, plakat tersebut kini disimpan oleh Biro Artefak Budaya Distrik Fangshan,[64] sementara Tang dan Zhang mengklaim bahwa plakat tersebut disimpan di Museum Kesenian Ukir Batu Beijing.[65] Balok batu ukirDi situs Kuil Salib sebelumnya terdapat dua balok batu ukir. Kedua balok batu tersebut berbentuk persegi panjang dengan rongga vertikal di bagian belakangnya. Tingginya 68,5 cm dan lebarnya 58,5 cm. Pada masing-masing balok, bagian depan memiliki ketebalan 22 cm dan bagian samping memiliki ketebalan 14 cm. Setiap balok memiliki salib yang diukir pada bagian depannya, serta bunga yang diukir pada kedua sisi sampingnya.[66] Cendekiawan Niu Ruiji mengklaim bahwa kedua balok batu tersebut awalnya terhubung, dengan dua salib di ujung yang berlawanan.[67] Reginald Johnston pertama kali menemukan balok batu tersebut dan mencatatnya dalam artikelnya pada tahun 1919.[46][45] Johnston mencatat klaim para biksu bahwa balok-balok tersebut ditemukan di bawah tanah pada tahun 1357, saat perbaikan Balai Raja Surgawi dari kuil tersebut.[45] Pada tahun 1921, Francis Crawford Burkitt menerbitkan identifikasi dan terjemahan ukiran pada salah satu balok batu.[68] Khawatir bahwa orang asing akan mengambil balok batu tersebut dari situs, Zhuang Shangyan dan Wang Zuobin dari Komisi Peiping untuk Pelestarian Barang Antik (北平古物保管委員會)[f] mensurvei situs tersebut pada September 1931.[66] Sebulan kemudian, balok-balok tersebut dipindahkan ke Museum Sejarah Peiping (北平歷史博物館) untuk dipamerkan.[69] Selama Perang Tiongkok-Jepang Kedua, balok-balok tersebut dipindahkan ke Nanjing dan saat ini disimpan di Museum Nanjing. Sebuah replika dari salah satu balok berada dalam koleksi Museum Nasional Tiongkok, dan dua replika berada di dekat Kuil Yunju.[50] Menurut Tang Li, umat Kristen yang mengikuti tradisi Siria Timur di Timur Jauh sering kali menerapkan pemujaan salib dan gambar.[70] Meskipun keduanya menampilkan salib dan bunga dalam vas, detail ukiran berbeda antara kedua balok tersebut. Sisi salah satu balok menampilkan serunai dalam sebuah vas;[66] salib di bagian depannya dilengkapi dengan awan dan teratai, serta menampilkan motif bunga Baoxiang di bagian tengahnya. Selain itu, salib tersebut disertai dengan inskripsi dalam bahasa Suryani, yang bertuliskan:[71]
Menurut P. G. Borbone, teks tersebut sering kali dikaitkan dengan salib kemenangan. Perpaduan tulisan-salib juga ditemukan pada ukiran pemakaman dekat Chifeng di Mongolia Dalam, namun teks tersebut ditempatkan di atas lengan salib Chifeng.[74] Menurut Moule, F. C. Burkitt menemukan teks Suryani yang sama di sekitar salib Kristen, namun dengan tambahan frasa "salib hidup", dalam salah satu manuskrip injil Suryani Add. 14459, sebagai bagian depan Injil Lukas.[32] Pada balok batu lainnya, salib tersebut juga memiliki pola Baoxianghua, dengan dua bentuk mirip hati di ujung kiri dan kanan salib. Balok tersebut juga menampilkan dua lapis teratai, satu menghadap ke atas dan satu lagi menghadap ke bawah. Di sisi tersebut, peoni ditampilkan pada bagian dasar.[75] Catatan
Referensi
SumberSurat kabar
Disertasi
Artikel jurnal
Bab buku
Buku
Bacaan lebih lanjut
Pranala luar
|