Logistik misi Pasukan Internasional Timor TimurLogistik militer dalam misi International Force East Timor (INTERFET) di Timor Timur pada 1999 dan 2000 melibatkan pasukan dengan jumlah maksimal 11.693 orang yang berasal dari 23 negara. Pasukan internasional ini dipimpin oleh Australia yang juga menyumbangkan pasukan terbesar yaitu 5.697 orang dan memiliki peran terbesar dari sisi logistik militer. Misi ini adalah penempatan pasukan Australia terbesar di luar negeri sejak Perang Vietnam. Posisi pemimpin koalisi merupakan peran yang benar-benar baru untuk Australia, sedangkan bagian logistik dari angkatan bersenjata negara tersebut, Australian Defence Force (ADF), telah mengalami pemangkasan dana pada dasawarsa 1990-an. Awalnya, ADF tidak memperkirakan akan bertanggung jawab untuk misi sebesar ini, serta penempatan besar pasukannya di luar negeri, terutama sebagai pemimpin koalisi internasional. INTERFET mulai bertugas di Timor Timur pada September 1999. Sebagian besar personel dan 90% kargo untuk misi ini diangkut melalui laut, mengandalkan sebuah regu tugas angkatan laut. Kapal katamaran cepat HMAS Jervis Bay dan kapal pendarat HMAS Tobruk milik Australia membawa berbagai perbekalan dan perlengkapan dari negara tersebut. Kapal lain yang terlibat adalah pengisi bahan bakar HMAS Success milik Australia, tanker HMNZS Endeavour milik Selandia Baru, dan tanker HMCS Protecteur milik Kanada. Sebelas negara melibatkan pesawatnya untuk sayap pengangkutan udara, INTERFET Coalition Airlift Wing (ICAW), yang total melakukan 3.400 misi penerbangan dan membawa 9.500 ton kargo dan 30.000 penumpang untuk mendukung misi INTERFET. Sebuah pangkalan logistik didirikan di Darwin, Australia Utara. Perbekalan, perlengkapan, dan kadang pasukan dikumpulkan dan dipersiapkan di kota tersebut sebelum dikirim ke Timor Timur lewat laut dan udara. Keadaan geografis Timor Timur menjadi salah satu tantangan untuk logistik misi ini. Hanya ada satu pelabuhan dalam yaitu di ibu kota Dili, dan sisi dermaganya hanya memiliki kedalaman 7 meter. Tidak banyak pantai yang dapat digunakan untuk menurunkan barang tanpa pelabuhan (Logistics Over-the-Shore atau LOTS) dan hanya ada tiga lapangan terbang. Operasi militer INTERFET sendiri mengandalkan konsep "membanjiri" Timor Timur dengan pasukan sebanyak mungkin, sehingga awalnya pasukan didaratkan secara cepat dengan minim kendaraan dan dukungan logistik. Selama bulan Oktober dan November, satuan-satuan logistik sibuk untuk melengkapi logistik pasukan tersebut. Dengan dukungan logistik ini, misi INTERFET berjalan tanpa masalah logistik yang parah, walaupun terjadi kekurangan suku cadang, pasokan medis, serta fasilitas tempat tinggal. Latar belakangPulau Timor, yang berada di tenggara Asia Tenggara Maritim, kini terbagi dua, yaitu Timor Barat yang merupakan bagian Indonesia dan Timor Timur yang menjadi negara sendiri yaitu Timor Leste. Pada masa dahulu, pulau tersebut diperintah oleh kerajaan-kerajaan kecil setempat,[1] hingga Bangsa Portugis datang dan mendirikan permukiman di bagian timur pulau pada 1633. Pada 1661, Belanda dan Portugal membuat perjanjian yang membagi pulau tersebut menjadi bagian barat milik Belanda dan bagian timur milik Portugis, dan Portugis menunjuk wali negeri untuk memerintah Timor Timur pada 1702. Pada lebih dari 250 tahun selanjutnya, paruh timur dari Pulau Timor hampir selalu berstatus daerah jajahan Portugis. Terjadi berbagai perlawanan dari rakyat pada abad ke-17 dan 18, dan sebuah pemberontakan besar terjadi pada 1911.[2] Pada awal Perang Dunia II, Timor Timur diduduki pasukan Australia dan Belanda,[3] lalu diserang Jepang pada Februari 1942.[4] Jepang mengalahkan pasukan utama Sekutu, tetapi sebagian pasukan Belanda dan pasukan komando Australia tetap aktif melancarkan gerilya hingga Januari 1943.[5] Pengalaman ini menyebabkan timbulnya kesan yang populer di kalangan bangsa Australia bahwa mereka memiliki ikatan khusus dengan Timor Timur.[6] Setelah Perang Dunia II, Australia menduduki Pulau Timor,[7] sembari mendukung kemerdekaan Indonesia dari Belanda. Australia mengusulkan agar Timor Timur menjadi sebuah perwalian PBB sesuai Bab XII Piagam PBB, tetapi usul ini dibatalkan setelah ditolak Britania (Inggris) Raya.[8][9] Timor Timur tetap menjadi jajahan Portugis[10] sedangkan Timor Barat menjadi bagian Indonesia setelah Konferensi Meja Bundar.[11] Setelah Revolusi Anyelir yang terjadi pada April 1974, Portugal perlahan melakukan proses dekolonisasi, dan pecah perang saudara di Timor Timur antara pendukung Uni Demokrasi Timor (UDT) dan Fretilin. Pada Oktober 1974, Indonesia memulai operasi militer dengan tujuan menggabungkan Timor Timur sebagai wilayahnya. Fretilin secara sepihak menyatakan kemerdekaan pada 28 November 1975 untuk mencegah jatuhnya negeri tersebut ke tangan Indonesia, tetapi ditanggapi Indonesia dengan serangan Operasi Seroja pada 7 Desember yang berakhir dengan aneksasi Timor Timur sebagai provinsi Indonesia.[12] Tindakan Indonesia ini didukung oleh Amerika Serikat dan Australia yang mengakui penggabungan Timor Timur ke Indonesia, sedangkan Portugal maupun PBB tidak mendukungnya.[13] Kebanyakan negara-negara lain menganggapnya sebagai "wilayah tanpa pemerintahan sendiri" yang berada di bawah pendudukan Indonesia. Setelah terjadinya Reformasi pada 1998, Indonesia menyetujui perjanjian dengan Portugal dengan perantara PBB yang mengatur referendum agar rakyat Timor Timur memutuskan antara kemerdekaan dan otonomi khusus dalam Indonesia. Referendum pada 5 Mei 1999 ini dimenangkan pihak pro-kemerdekaan,[14] tetapi milisi-milisi pro-Indonesia melakukan operasi bumi hangus yang didukung sebagian unsur Tentara Nasional Indonesia (TNI).[15] Pada 15 September 1999, Dewan Keamanan PBB mengadopsi Resolusi 1264 yang menyetujui pengiriman pasukan penjaga perdamaian internasional ke Timor Timur untuk bertindak menghentikan kekacauan.[16][17] Pasukan ini dipimpin Australia, direstui Indonesia, dan dinamakan INTERFET (International Force East Timor). Sebelumnya, Amerika Serikat (AS) menolak mengirimkan pasukan untuk intervensi karena khawatir akan konsekuensi politik dan ekonomi jika terjadi konflik dengan Indonesia.[16] AS juga merasa telah mengambil risiko dan menanggung biaya terbesar untuk intervensi internasional dalam Perang Bosnia dan merasa bahwa negara-negara sekutunya harus mengambil andil lebih.[18] Undang-undang yang disebut Helms-Biden Act yang disahkan pada 1999 membatasi dukungan militer AS terhadap PBB. Setelah Resolusi 1264, Presiden AS Bill Clinton menawarkan bantuan terbatas AS untuk INTERFET, termasuk "komunikasi, bantuan logistik, intelijen, pengangkutan personel dan material, serta koordinasi tanggapan kemanusiaan."[19] Alhasil, terjadi situasi yang unik bagi Australia yang sebelumnya belum pernah menjadi pemimpin koalisi internasional, dan juga unik bagi AS yang kini hanya berperan sebagai pembantu koalisi.[20] Menurut laporan NATO, doktrin militer kedua negara belum mempersiapkan rencana untuk situasi ini.[21][22][23] Misi ini mengalami berbagai tantangan logistik akibat kondisi Timor Timur. Wilayah itu hanya memiliki satu pelabuhan dalam, yaitu di ibu kota Dili. Sisi dermaga pelabuhan tersebut hanya memiliki kedalaman 7 meter, sehingga amat menyulitkan penggunaannya untuk kargo karena kapal kontainer berukuran 1.000 TEU rata-rata membutuhkan sarat sedalam 8 m di bawah permukaan laut.[24][25] Di luar pelabuhan Dili, tidak banyak pantai yang dapat digunakan sebagai untuk pendaratan logistik lewat pantai (Logistics Over-the-Shore, LOTS). Untuk pengangkutan udara, hanya ada tiga lapangan terbang di Timor Timur. Kawasan pedalamannya memiliki medan pegunungan dan jalan-jalan yang terjal, sempit, tidak terawat, dan sering putus akibat banjir selama musim hujan.[24] Tantangan lain adalah adanya daerah Oecussi yang terpisah dari wilayah Timor Timur lainnya dan dikelilingi oleh wilayah Indonesia.[26] INTERFET juga tidak bisa mengandalkan bantuan lokal karena populasi Timor Timur amat miskin dan sebagian besar infrastrukturnya berada dalam kondisi buruk atau rusak.[24] Dalam rencana awal INTERFET, masing-masing negara anggota seharusnya mendukung logistik pasukannya sendiri. Namun, pada kenyataannya Australia sebagai pemimpin misi diminta menyediakan kemampuan militer yang tidak dapat disediakan anggota-anggota lainnya, terutama di bidang dukungan tempur.[27] Angkatan Bersenjata Australia (ADF, Australian Defence Force) sendiri mengalami pemangkasan anggaran pada tahun 1990-an. Kemampuan logistik dan dukungan tempur menderita pemangkasan terbesar,[28] karena para panglima militer maupun Pemerintahan John Howard memprioritaskan kemampuan tempur utama.[29][30] Pada 11 Maret 1999 Menteri Pertahanan Australia John Moore mengumumkan bahwa pengalihan dana dari bidang administrasi ke bidang kesiapan tempur memungkinkan mobilisasi Brigade 1 dalam waktu 28 hari, sama seperti Brigade 3. Menurut Moore, hal ini memungkinkan mobilisasi cepat dua brigade ke suatu titik di Asia Pasifik jika dibutuhkan, dan Timor Timur disebutkan sebagai salah satu contoh.[31] Pada kenyataannya, pemangkasan dana logistik menyebabkan pengerahan pasukan secepat ini tidak mungkin dilakukan.[29] Walaupun dalam jangka pendek pemangkasan tersebut menghasilkan penghematan dana, dikorbankannya fungsi logistik demi peningkatan kemampuan tempur inti "mengantar Angkatan Darat [Australia] ke jurang kegagalan operasional," menurut tulisan Letkol David Beaumont.[32] PerencanaanAustraliaPerencanaan di pihak Australia dimulai sejak Juli atau Agustus 1999, sebelum adanya Resolusi 1264. Panglima Komando Strategis Angkatan Darat Australia, Mayjen Michael Keating, meningkatkan status kesiagaan dari beberapa unsur ADF. Staf logistik di Canberra, Sydney, dan Brisbane juga mengetahui hal ini, tetapi tidak diberi izin untuk melakukan persiapan tertentu seperti menambah stok untuk pasukan dan gudang, membeli peralatan khusus, atau melakukan penempatan satuan, kendaraan, atau perbekalan. Tindakan-tindakan seperti ini dapat dideteksi dengan mudah, dan Australia khawatir memicu kecurigaan Indonesia sedangkan hubungan kedua negara sudah tidak baik.[33] Brigadir Mark Evans, panglima Brigade 3, mengadakan pertemuan rahasia dengan panglima-panglima bawahan di markasnya, Townsville, pada 22 Agustus. Pertemuan ini juga dihadiri Letkol Mick Kehoe, panglima Batalion Pendukung 10, yang bukan bawahan Evans tetapi bagian dari Pasukan Pendukung Logistik pimpinan Brigadir Jeff Wilkinson yang bermarkas di Sydney.[33] Marsekal Muda Robert Treloar, Panglima Teater Australia (Commander Australian Theatre, COMAST) menugaskan satuan Deployable Joint Force Headquarters (DJFHQ) pimpinan Mayjen Peter Cosgrove di Brisbane untuk merencanakan Operasi Spitfire,[33] yaitu evakuasi warga negara asing dan warga Timor Timur tertentu.[34] Staf logistik DFJHQ dipimpin Letkol Don Cousins. Perencanaan ini juga melibatkan Mayor Cliff Cole, perwira perencanaan senior di bawah Wilkinson. Mayor Jim Evans, yang memiliki pengalaman aktif enam bulan bersama satuan logistik Britania Raya selama Perang Bosnia, dilepaskan dari tugas utamanya di Pasukan Cadangan AD Australia untuk menjadi perwira penghubung (liaison officer) Wilkinson di DJFHQ.[33] Pasukan Pendukung Logistik tidak dirancang untuk mengelola dukungan logistik untuk pasukan di luar Australia; misinya sebenarnya adalah untuk mengepalai satuan-satuan logistik lapangan AD Australia. Selain itu pada 1999 satuan ini sedang mengalami reorganisasi.[35] Wilkinson berharap dirinya ditugaskan sebagai panglima seksi logistik Operasi Spittfire dan bertanggung jawab mengoordinasi logistik angkatan darat, laut, dan udara, tetapi penugasan ini baru terjadi pada 26 Agustus, sehari sebelum pasukan mulai ditempatkan di Australia Utara untuk memulai operasi.[36] Untuk mendukung Operasi Spitfire, Kehoe mengirim staf ahli kecil di bawah pimpinan Kapten Phil MacMaster untuk bekerja sama dengan Batalion Pendukung Adminstrasi Brigade 3 (3 BASB) pimpinan Letkol Steve Kinlock. Kelak Kehoe mengakui bahwa keputusan ini tidak tepat karena ia kehilangan personel kuncinya selama beberapa minggu.[37] Operasi Spitfire dimulai pada 6 September, dan sehari setelahnya Wilkinson menerima pemberitahuan pembentukan pasukan internasional di Timor Timur dengan nama Operasi Warden.[36] Operasi di Timor Timur dan sekitarnya disebut Operasi Stabilise, seangkan aktivitas dukungan logistik di Australia dimasukkan ke dalam Operasi Warden.[38] Wilkinson dibebaskan dari tugasnya mendukung logistik latihan militer Crocodile 99 yang dijadwalkan melibatkan Australia dan AS di Queensland utara pada bulan Oktober.[36][39] Operasi Spitfire berakhir pada 14 September dengan hasil 2.500 warga sipil dievakasi dari Timor Timur.[40] Perencanaan Operasi Warden dimulai pada 8 September.[36] Selandia BaruDi Selandia Baru, Panglima Angkatan Bersenjata Marsekal Udara Carey Adamson mengeluarkan instruksi dimulainya keikutsertaan negara tersebut di Timor Timur pada 23 Juni, dengan nama kode Operasi Castall. Angkatan Bersenjata Selandia Baru (NZDF, New Zealand Defence Force) membentuk sebuah kelompok perencanaan gabungan yang dipimpin Komodor Udara John Hamilton, tetapi proses perencanaan tidak leluasa karena khawatir menyinggung Indonesia. Adamson menginstruksikan sebuah kompi infantri dilengkapi unsur dukungan tempur dan helikopter, agar siaga dan mampu dimobilisasi dalam 28 hari. Kabinet Selandia Baru mencairkan dana agar 25 kendaraan M113 APC disiapkan untuk beroperasi. Petugas penghubung dikirim ke Australia pada bulan Agustus, termasuk seorang yang dikirim ke Sydney untuk mengamati persiapan logistik. Kolonel Martyn Dunne, seorang alumni sekolah militer Australia, dipilih sebagai kepala tim perencana karena dianggap lebih mengenal militer Australia dan juga karena pengalaman operasionalnya.[41] Selandia Baru segera menyadari bahwa Australia tidak akan membantu banyak dalam urusan logistik, dan bahkan Australia mengharapkan bantuan Selandia Baru dalam hal pengangkutan udara, laut, dan kebutuhan medis. Pada September, angkatan bersenjata kedua negara tetangga ini menandatangani persetujuan dukungan logistik. Regu perencana gabungan kedua negara memutuskan agar pasukan Selandia Baru dapat mencukupi kebutuhannya sendiri dan membawa pasokan cukup untuk 60 hari. Karena Timor Timur tidak memiliki fasilitas penanganan peti kemas, alat-alat berat pengangkut peti kemas dirancang dan dibuat di Selandia Baru. Regu gabungan ini juga menghitung kebutuhan untuk mengerahkan pasukan ke Dili dari Darwin, Australia Utara (yang direncanakan sebagai basis pasukan yang akan dikirim); Diperkirakan dua kapal niaga dengan kapasitas masing-masing 7.500 ton harus dicarter untuk satu kelompok batalion. Walaupun kapal niaga yang dapat dicarter cukup jarang di Selandia Baru, akhirnya ditemukan dua kapal yang cocok. Sebuah pesawat kargo Boeing 747 juga disewa untuk mengangkut kargo prioritas tinggi ke Darwin.[42] Dalam salah satu penerbangannya, pesawat tersebut membawa sekitar 109 ton kargo, termasuk tujuh kendaraan 4x4.[43] Dua kapal niaga yang dicarter Selandia Baru adalah MV Edamgracht, yang tiba di Darwin pada 12 Oktober, dan MV Edisongracht yang tiba pada 19 Oktober. Kedua kapal ini membawa 120 kendaraan atau alat berat, dan 1000 ton kargo dalam 10 peti kemas. Sebuah peleton operasi terminal menurunkan barang-barang ini di pelabuhan Darwin.[44] OrganisasiWikinson dan Cousins setuju bahwa untuk mendukung Operasi Spitfire dan operasi-operasi selanjutnya dibutuhkan sebuah pangkalan di Darwin, yaitu sebuah kota yang terletak sekitar 720 km di tenggara Pulau Timor, di Wilayah Utara Australia.[36] Keduanya juga menyadari kelemahan pelabuhan, bandara, fasilitas penyimpanan dan distribusi barang, serta jaringan informasi dan komunikasi kota tersebut. Namun, Darwin dinilai memiliki kelebihan karena letaknya yang cukup terpencil sehingga cenderung lebih mandiri, fasilitasnya yang lebih baik dibanding kota lain yang berukuran sama, dan hubungan baik antara militer dengan pemerintah dan warga setempat.[35] Pada 28 Agustus, Wilkinson menunjuk Letkol Barry McManus, panglima Batalion Pendukung 9, untuk memimpin Regu Pendukung Logistik (FLSG) Operasi Spitfire dengan markas di Darwin. Ia ditempatkan di Markas Besar Komando Utara (NORCOM), sebuah pusat operasional yang bertanggung jawab merencanakan dan melaksanakan operasi di arah utara Australia (biasanya operasi pengamatan dan mata-mata). Brigadir Bruce Osborn, Direktur Jenderal Manajemen Karier di AD Australia, melakukan pencarian perwira untuk dijadikan staf FLSG dan DJFHQ.[36] Praktik alih daya (outsourcing) dalam fungsi logistik bukan inti di ADF menyebabkan kurangnya staf militer di berbagai bidang seperti juru masak dan petugas terminal pelabuhan.[45] Panglima ADF Laksamana Chris Barrie menggabungkan perencanaan strategi dan operasional untuk pengerahan pasukan ke Timor Timur dibawah Markas Besar ADF tanpa melibatkan kepala staf AD, AL, dan AU.[46] Treloar ditugaskan sebagai panglima nasional Australia, dan Wilkinson ditugaskan sebagai Panglima Komponen Logistik. Komodor Jim Stapleton menjadi Panglima Komponen Laut, dan Komodor Udara Roxley McLennan menjadi Panglima Komponen Udara.[47] Stapleton memiliki tugas ganda, yaitu sebagai Panglima Komponen Laut di bawah perintah Cosgrove dan sebagai Komodor Flotila di bawah perintah Panglima Laut COMAST Laksamana Muda John Lord.[48] Pasukan Amerika Serikat yang terlibat dalam misi ini ditempatkan di bawah naungan USFORINTERFET di bawah pimpinan Brigjen USMC John G. Castellaw, panglima Brigade Ekspedisi Laut 3 AS.[20] Staf inti USFORINTERFET yang berjumlah 35 orang tiba di Darwin pada 20 September.[49] Barrie mengumumkan organisasi operasi Australia pada 19 September:
Batalion Pendukung 10 telah berdiri sejak 1 Maret 1998 dan sebagian besar bermarkas di Townsville, Queensland.[50] Tugas utamanya adalah memberikan dukungan lini ketiga (dukungan umum) untuk operasi, dengan tugas tambahan memberikan dukungan lini keempat (logistik) di Queensland Utara. Karena variasi tugasnya ini, organisasinya terdiri dari campuran komponen siaga dan non-siaga. Misalnya, Kompi Peralatan 2 adalah satuan non-siaga yang memiliki banyak warga sipil, demikian juga dengan Kompi Pasokan Tempur 26 yang bertanggung jawab atas pasokan kelas I (makanan dan air minum), kelas III (bahan bakar, minyak, dan pelumas), dan kelas V (amunisi).[37][51] Batalion ini tidak memiliki rancangan kerja untuk penempatan di luar negeri.[51] Pada November 1999, Kepala Staf AD Australia Letjen Frank Hickling mengumumkan bahwa Batalion Pendukung 10 akan mulai dibebaskan dari tanggung jawabnya di Queensland Utara setelah November 2000. Untuk sementara waktu, batalion ini dibagi dua menjadi Batalion Pendukung 10 (INTERFET) yang akan berangkat ke Timor Timur dan Batalion Pendukung 10 (Garis Belakang) yang tinggal di Queensland Utara di bawah pimpinan Mayor Max Walker, perwira Kompi Peralatan 2.[37] Militer Australia belum mengalami perlengkapan yang cukup untuk misi luar negeri sebesar INTERFET; misalnya, sebanyak 4.000 jaket flak harus dipinjam dan diterbangkan dari gudang milik Amerika Serikat di Colombus, Ohio.[52] Banyak barang memiliki stok rendah di gudang Australia maupun Selandia Baru karena mengandalkan barang yang dipasok just in time (pada saat dibutuhkan saja).[53] Para prajurit Australia yang akan berdinas memborong keperluan seperti pisau cukur, pasta gigi, dan tabir surya di supermarket karena khawatir akan ketersediaan logistik di Timor Timur. Selain itu para prajurit juga diberi vaksin untuk ensefalitis Jepang, penyakit endemik di Timor Timur, yang melibatkan tiga suntikan dalam waktu empat minggu, dan larangan terbang selama sepuluh hari setelah suntikan terakhir.[54] PengangkutanLewat lautSebagian besar penumpang yang harus diangkut, serta 91% kargo tiba di Timor Timur lewat laut.[55] Gugus tugas laut yang terdiri dari kapal pendarat berat AL Australia HMAS Tobruk, kapal pendarat HMAS Balikpapan, Brunei and Labuan. Kapal pengisi bahan bakar Australia HMAS Success berangkat dari Darwin pada 18 September dengan pengawalan sejumlah kapal fregat: HMAS Adelaide dan HMAS Anzac milik Australia, HMNZS Te Kaha milik Selandia Baru, serta HMS Glasgow milik Britania. Success tiba di Timor Timur pada 20 September bersamaan dengan ketibaan regu pertama INTERFET melalui udara.[56] Kapal penjelajah AS USS Mobile Bay, kapal tanker Selandia Baru HMNZS Endeavour, fregat Prancis Vendémiaire serta fregat Australia HMAS Darwin telah menunggu perairan sekitar Timor Timur. Endeavour memainkan peran penting membawa bahan bakar penerbangan karena kapal pengisi bahan bakar Australia lainnya yaitu HMAS Westralia masih belum beroperasi akibat kebakaran pada tahun 1998.[57] Kapal pendarat Australia HMAS Kanimbla and Manoora yang dibeli pada 1994 sedang diperlengkapi dan tidak dapat digunakan. Sebagai gantinya, AL Australia menyewa kapal katamaran cepat HMAS Jervis Bay pada 10 Juni.[58] Kapal tersebut tiba di Dili pada 21 September membawa 541 pasukan penerjun dari Batalion 3 Resimen Diraja Australia. Sebuah regu penyelam AL Australia melakukan operasi pengintaian di pelabuhan, dan Tobruk mendaratkan pasukan serta 29 kendaraan ringan ASLAV milik Resimen Kavaleri 2.[59] Tobruk melakukan empat perjalanan pulang-pergi dari Darwin ke Timor Timur setelah pendaratan pertamanya, dan membawa 642 prajurit serta 2.000 ton kargo.[60] Australia tidak hanya disibukkan dengan pengiriman pasukan ke Timor Timur dalam hitungan hari, tetapi juga pemindahan pasukan, perlengkapan, dan stok barang dari seluruh Australia. Pengangkutan Batalion Pendukung 10 menimbulkan tantangan tersendiri. Awalnya batalion ini direncanakan bergerak lewat darat dari Townsville ke pelabuhan Darwin untuk berangkat ke Timor Timur. Namun, batalion ini tidak memiliki staf dengan pengalaman memadai untuk operasi jarak jauh seperti ini,[61] dan ada kemungkinan kerugian peralatan di perjalanan atau saat menunggu kapal di Darwin.[62] Para perwira di Sydney menemukan dua kapal yang bersedia disewakan oleh pemiliknya, yaitu kapal pengangkut hasil tani Calatagan dan kapal peti kemas Denmark Svendborg Guardian. Kedua kapal ini tidak terlalu cocok untuk misi pengangkutan militer dan banyak awaknya tidak bisa berbahasa Inggris, tetapi keduanya dapat dimodifikasi dengan bantuan berusahaan bongkar muat setempat. Alhasil, kendaraan dan perlengkapan sebesar 7.000 meter persegi dapat diangkut langsung dari Townsville ke Dili tanpa kerugian apapun. Kendaraan dan perlengkapan lainnya sebesar 3.000 meter persegi dibawa ke Darwin lewat jalan darat dan dikirim ke Dili menggunakan sejumlah kapal termasuk kapal Prancis Siroco, RSS Intrepid milik Singapura, dan kapal sipil Denmark Arktis Atlantic.[62] Selama Operasi Stabilise, Australia menyewa 17 kapal komersial untuk menambah kapasitas armada pengangkutnya. Semuanya adalah kapal asing karena Departemen Pertahanan menganggapnya lebih ekonomis dibandingkan kapal Australia. Operasi ini menambah beban pelabuhan Darwin, dan fasilitasnya diperbaharui sehingga kapasitas dermaganya meningkat menjadi 70 ton. Untuk mengurangi beban ini, evakuasi korban dilakukan ke kota-kota lain, dan sebagian pembelian dilakukan di Sydney untuk mengurangi beban untuk pemasok di Darwin. Otoritas Pelabuhan Darwin mengelola pelabuhan dengan bantuan seorang petugas penghubung dari ADF, dan berhasil meningkatkan kapasitas pelabuhan empat kali lipat tanpa mengalami keterlambatan.[35][63] Lewat udaraSebanyak 13 pesawat C-130 Hercules milik Angkatan Udara Australia (RAAF) berada di bawah komando Panglima Komponen Udara McLennan. Pesawat-pesawat ini berada di bawah Sayap 86 Detasemen B RAAF yang bermarkas di Amberley, Darwin, dan Tindal, dipimpin oleh Squadron Leader (setara Mayor Penerbang) Simon Giles.[64] Pesawat-pesawat Australia ini ditambah dua Hercules milik Skadron 40 Angkatan Udara Selandia Baru (RNZAF) dengan enam orang awak,[43] serta sebuah Hercules dengan dua awak dan sepuluh montir dari Skadron Angkut 517 Amerika Serikat. Pesawat AS tersebut biasanya berbasis di Alaska tetapi sedang berada di Selandia Baru untuk menunjang kunjungan Presiden Bill Clinton terkait KTT Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC). Kelak AS menggenapinya dengan tambahan pesawat dan personel dari Gugus Ekspedisi Udara 613, sehingga sumbangan angkutan udara AS mencapai empat buah Hercules, 20 awak pesawat dan 33 orang montir.[65][66] Pasukan pertama yang tiba lewat udara adalah pasukan-pasukan khusus Australia (Special Air Service Regiment), Selandia Baru (New Zealand Special Air Service), dan Britania (Special Boat Service) yang diterbangkan dari Darwin dengan pesawat Hercules Australia dan Selandia Baru pada 20 September.[57][67] Mereka mendarat di Bandara Komoro Dili (kini Bandara Presidente Nicolau Lobato) dan mengamankan bandara tersebut. Setelah bandara tersebut dinyatakan aman, Hercules-Hercules lain berdatangan dari Townsville membawa Batalion 2 Resimen Diraja Australia dan dua kendaraan lapis baja M113 APC dari Resimen Kaveleri 3/4. Pada hari pertama tersebut, INTERFET melakukan 33 pendaratan dan membawa 1.500 prajurit ke Timor Timur.[56] Satu kompi pasukan Gurkha dari Batalion 2 Resimen Senapan Gurkha Diraja Britania mendarat pada dini hari 21 September dan mengambil alih pengamanan kompleks Misi Perserikatan Bangsa-Bangsa di Timor Timur (UNAMET).[68][69] Pangkalan helikopter Dili telah ditinggalkan penghuninya, tetapi tidak ada kerusakan berarti.[70] Dua belas helikopter UH-60 Black Hawk dari Resimen Terbang 5 AD Australia langsung terbang dari Darwin ke Dili, dan kapal-kapal ditempatkan di sepanjang rutenya kalau-kalau perlu dilakukan pendaratan darurat.[70][59] AU Selandia Baru ikut mendaratkan tiga helikopter UH-1 Iroquois milik Skadron 3 pada 26 September, dan ditambah tiga helikopter lainnya menjelang pertengahan Oktober.[57] AD Australia juga mengirim sejumlah helikopter OH-58 Kiowa milik Skadron Pengintai 162, dan tiga pesawat Super King Air milik Skadron Terbang 173. Empat pesawat DHC-4 Caribou milik Sayap 86 Detasemen B AU Australia mulai mendarat pada 10 Oktober.[59][71] Secara keseluruhan INTERFET mengirim 49 pesawat terbang dan helikopter ke Timor Timur.[59] Tim pemandu lalu lintas udara pimpinan squadron leader George Christianson tiba dari Townsville bersama anggota staf Brigade 3, tetapi tidak membawa peralatan komunikasi. Christianson memasuki menara pengawas bandara dan menjelaskan lewat penerjemah bahwa ia adalah seorang pemandu lalu lintas udara, dan kemudian menjalankan tugasnya bersama prajurit Indonesia dengan menggunakan radio TNI.[70][72] Skadron 381 RAAF bertanggung jawab mengelola operasi INTERFET di bandara Dili, dan Skadron 382 bertugas di Bandara Cakung di Baucau, kota kedua terbesar Timor Timur. Skadron Pertahanan Udara 2 RAAF mengambil alih pengamanan kedua bandara tersebut.[73] AU Australia juga mengerahkan 22 alat pemuat untuk pesawat ke Dili, tetapi ini dirasa tidak cukup sehingga AU Selandia Baru juga mengirim dua tim pemuat yang masing-masing ditempatkan di Darwin dan Dili.[74] Sayap Udara Gabungan INTERFET (ICAW) bertugas dengan markas di Darwin, dan melibatkan 11 negara. Tiga Hercules milik AU Prancis mulai beroperasi di Darwin pada 22 September. Dua Hercules milik AU Kanada dari Skuadron Pengangkut 436 tiba di Townsville dari Trenton, Ontario pada 20 September bersama regu pengiring sebelum pindah ke Darwin pada 27 September.[75][76] Empat pesawat C-130K Hercules milik AU Britania (RAF) tiba sebelum 20 September, tetapi dua ditarik pada 23 September dan satu lagi ditarik pada 1 November, menyisakan satu pesawat dari RAF. RAF mengalami berbagai kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan ban di Dili pada 20 Oktober, dan bocornya ban di Darwin pada 21 Oktober saat sebuah pesawat mendarat setelah salah satu mesinnya mati.[77] Dua pesawat Fiat G222 milik Angkatan Udara Italia, sebuah Hercules dari Skadron Pengangkut 601 milik AU Thailand, serta tiga pesawat Transall C-160 milik AU Jerman. Secara keseluruhan, ICAW melakukan 3.400 penerbangan untuk menunjang misi INTERFET, membawa 9.500 ton kargo serta 30.000 penumpang.[78] Operasi logistikSistem distribusiUntuk mendukung konsep operasi Cosgrove yang mengandalkan "membanjiri" Timor Timur dengan pasukan tempur sebanyak mungkin, Mark Evans menempatkan Brigade 3 dengan jumlah kendaraan dan dukungan logistik yang minim.[70] Berbeda dengan skenario latihan-latihan militer yang di Australia bagian utara pada tahun 1980-an dan 1990-an, dukungan logistik akan tiba setelah pasukan tempur alih-alih ditempatkan terlebih dahulu.[79] Situasi operasional misi ini sulit dipastikan, sehingga kebutuhan barang-barang seperti amunisi dan pasokan medis tidak dapat diperkirakan di awal. Alhasil, menurut rencana barang-barang dikumpulkan dulu di Darwin dari gudang militer di Sydney untuk kemudian dikirim sesuai kebutuhan lewat udara menggunakan aset-aset ICAW atau lewat laut menggunakan kapal Jervis Bay dan Tobruk. Pasokan ini akan diterima Batalion Pendukung 10 (10 FSB) yang kemudian mendistribusikannya lewat 3 BASB atau langsung kepada prajurit.[80] Barang-barang tersebut dikumpulkan di Darwin terlebih dahulu karena jika langsung dikirim ke Timor Timur dikhawatirkan tidak ada pasukan yang cukup untuk menerimanya dan tidak ada fasilitas yang cukup untuk menyimpan dan mengangkutnya sebagaimana dialami pasukan Australia pada 1966 dalam Perang Vietnam.[81] Cousins mengatur prioritas barang-barang dibantu saran dari Kolonel Ash Power, perwira operasi di bawah Cosgrove. Stok darurat disimpan di kapal HMAS Success.[80] Kargo milik Australia dilacak dengan tiga sistem komputer, Standard Defence Supply System (SDSS), Interim Demand System (LNIDS) dari Lotus Notes, dan Cargo Visibility System (CVS). Ketiga sistem ini telah digunakan Australia dalam misi Peace Monitoring Group di Bougainville, Papua Nugini pada 1994 dan telah diperbarui sebagai tindak lanjut misi tersebut. Penggunaan tiga sistem berbeda menimbulkan masalah yang telah disadari sejak tahun-tahun sebelumnya, tetapi tetap digunakan akibat berbagai faktor. CVS tidak digunakan dalam Operasi Warden karena sistem tersebut tidak mampu menangani kebutuhan urgen berjumlah besar. SDSS adalah sistem pilihan Departemen Pertahanan, tetapi satuan-satuan di lapangan lebih menyukai sistem LNIDS yang lebih sederhana, bahkan menggunakannya untuk sistem inventaris padahal LNIDS tidak dirancang untuk itu.[82] Regu FLSG pimpinan McManus bertanggung jawab melakukan pembelian, penerimaan, penyimpanan, dan pengiriman pasokan dari Darwin. Regu ini tidak memiliki operator terlatih yang cukup dalam penggunaan SDSS dan LNIDS untuk melacak perpindahan barang atau untuk memesan barang-barang seperti suku cadang. Ia juga tidak memiliki personel yang cukup untuk menyiapkan palet atau memuat barang ke pesawat, dan ia hanya memiliki empat staf untuk menangani surat-surat yang kelak akan membludak. Ia membentuk satuan ad hoc bernama Top End Distribution Squadron (TEDS) dan menyewa gudang eks-militer yang telah dijual di Berrimah, Darwin untuk dijadikan gudang penyimpanan barang-barang sebelum barang dikirim ke Timor Timur. Sebuah satuan operasi terminal dibentuk di Pangkalan RAAF di Darwin untuk menangani pengiriman lewat udara. Ia mengoordinasikan pengiriman lewat udara dengan Sayap Pendukung Tempur Ekspedisi 395 dan Skadron Pendukung Tempur Ekspedisi 321 di Darwin, dan mengoordinasikan pengiriman lewat laut dengan pangkalan HMAS Coonawarra. Akhirnya, sekitar 120 personel ditugaskan di FSLG, diambil dari Batalion Pendukung 9 dan 10 serta Batalion Pendukung Layanan Tempur 7.[83] Kinloch ditugaskan sebagai Kepala Regu Pendukung Komponen Darat yang bertanggung jawab menunjang pasukan garis depan di Dili sebelum kedatangan Batalion Pendukung 10.[84] Kebutuhan pokokPrioritas logistik pertama misi ini adalah air minum. Air yang berada di Dili tidak dianggap layak minum sebelum regu insinyur militer datang membawa alat pengebor. Setiap prajurit harus membawa air untuk seluruh kebutuhan dalam satu hari, sehingga harus memikul 8 hingga 10 liter. Jatah air untuk satu hari lagi juga dibawa di kapal-kapal dan pesawat-pesawat yang membawa pasukan. Dua tangki air berisi masing-masing 22.000 liter dibawa pada 21 September menggunakan perahu pendarat, dan digunakan untuk mengisi jeriken-jeriken yang dikirim lewat darat dan laut. HMAS Tobruk juga membawa tiga truk yang penuh berisi air botol dan jeriken. Cousins juga memerintahkan prajuritnya membawa jatah makanan untuk sehari. Ia memperkirakan jatah makanan harus dibatasi selama dua atau tiga pekan. Makanan tambahan dibawa dengan kapal Tobruk dan Jervis Bay, tetapi tambahan berjumlah besar baru datang pada 26 September saat Tobruk kembali ke Dili. Sejumlah air serta 10.000 porsi makanan disimpan di HMAS Success untuk keperluan darurat.[83] Kontingen dari luar Australia diminta membawa pasokan cukup untuk 52 hari,[83] tetapi banyak yang tiba membutuhkan bantuan segera, termasuk untuk memasok makanan serta menurunkan dan mengangkut peralatan dan pasokan.[81] Misalnya, kontingen pertama dari Filipina tiba tanpa makanan ataupun air sama sekali.[85] Angkatan laut menjadi satu-satunya sumber minyak diesel dan bahan bakar penerbangan untuk INTERFET selama tiga bulan pertama Operasi Stabilise, dengan konsumsi sebesar 3.000 liter per hari. Australia tidak memiliki kemampuan mendaratkan bahan bakar lewat pantai; awalnya helikopter-helikopter Sea King harus membawa bahan bakar dari HMAS Success ke Dili dalam drum-drum yang digantung di bawah helikopter. Pada pertengahan Oktober, truk tangki milik angkatan darat berdatangan, tetapi truk tersebut harus diangkut ke atas perahu pendarat yang kemudian membawanya ke laut dekat posisi HMAS Success yang kemudian mengisi tangki truk tersebut. Proses ini memakan waktu lima jam.[83][86] Pengemudi truk sering diundang ke kapal Success untuk mandi, diberi makanan hangat, dan dicuci pakaiannya sambil menunggu.[87] HMNZS Endeavour berlayar pulang-pergi dari Singapura atau Darwin membawa kira-kira 150 ton bahan bakar penerbangan dan 2.200 minyak diesel dalam sekali jalan. Endeavor pulang ke Selandia Baru pada 20 Oktober, dan kemudian Success pun pulang ke Australia dan digantikan oleh HMCS Protecteur milik Kanada yang juga membawa sebuah helikopter Sea King dari Skadron Helikopter Laut 443.[75][86] Setiap prajurit membawa pasokan amunisi masing-masing. Stok tambahan dibawa oleh HMAS Tobruk dan Jervis Bay, sedangkan cadangan untuk keperluan darurat disimpan di kapal-kapal di pelabuhan Dili. Karena terlalu berat, amunisi dipasok lewat laut dan bukan udara. Setiap satuan militer diminta membawa suku cadang dan pasokan untuk 15 hingga 30 hari.[83] Sebanyak 1.500 prajurit Brigade 3 yang pertama kali tiba di Timor Timur memiliki amunisi terbatas, sedangkan TNI memiliki 15.000 prajurit yang diperkirakan memiliki amunisi cukup.[88] Pihak Australia juga mengkhawatirkan jalur udara dan lautnya yang dapat dihadang Indonesia: TNI memiliki kapal-kapal perang di perairan sekitar yang dilengkapi dua kapal selam Tipe 209.[40] Laporan intelijen Australia juga melaporkan keberadaan sejumlah pesawat Indonesia di Timor Barat, Nusa Tenggara Timur: tiga pesawat BAE Hawk, beberapa OV-10 Bronco, dan sebuah C-212 Aviocar, serta sebuah helikopter Aérospatiale Puma. Untuk mengantisipasi konfrontasi, AU Australia menugaskan sejumlah pesawat patroli maritim P–3 Orion untuk mengawasi kapal selam, dan dua pesawat tempur F/A-18 Hornet disiagakan jika diperlukan untuk bertahan ataupun menyerang dari udara.[89] Rencana pengiriman pasokan ini cukup sederhana, tetapi sangat sensitif terhadap hal-hal di luar rencana. Masalah mulai terjadi dalam 48 jam pertama. Kedatangan personel serta pasokan medis tertunda, padahal keadaan masih tidak pasti dan jatuhnya korban masih mungkin terjadi. Selain itu, kebutuhan personel dan peralatan AU Australia untuk mengoperasikan bandara tidak direncakan sebelumnya.[90] Tak seperti dalam Operasi Spitfire, sayap udara dalam misi ini (ICAW) harus melayani pasukan dari banyak negara. Akibat permintaan politik, ICAW harus mengirim perwakilan media dan personel UNAMET juga harus beserta peralatan dan barang-barangnya, mendahului sebagian tentara Australia beserta kendaraan dan barang-barangnya yang harus antre menunggu.[70] Sebagian prajurit Brigade 3 yang ingin segera bergabung dengan rekan-rekannya di Timor Timur merasa frustasi melihat orang lain diberangkatkan sementara mereka menunggu, dan memaki-maki staf pengatur keberangkatan.[91] Sementara itu, di Timor Timur kendaraan INTERFET yang minim ditambah dengan armada kendaraan Land Rover Discovery yang telah ditinggalkan di kompleks UNAMET.[90] Pasukan INTERFET mengamankan Dili, Baucau, dan Lospalos pada 4 Oktober,dan pasukan INTERFET mulai bergerak menuju daerah dekat perbatasan Timor Barat, Nusa Tenggara Timur. Fase pertama pergerakan ini disebut Operasi Lavarack, yang melibatkan bergeraknya unsur-unsur 2 RAR dan Resimen Kavaleri 3/4 ke Balibo, yang berhasil diamankan pada 5 Oktober. Setelah itu, pasukan INTERFET bergerak ke kota perbatasan lainnya yaitu Maliana pada 10 Oktober. Operasi Strand dimulai pada 6 Oktober dengan target kawasan Suai di pantai selatan. Pada 22 Oktober, Operasi Respite dimulai dengan target Oecussi. Terakhir, pada 21 November, pasukan Gurkha mendarat di pulau Atauro di sebelah utara Dili.[26][92] Batalion Pendukung 10 (10 FSB) perlu ditempatkan di Dili sebelum satuan-satuan yang telah bertugas menghabiskan pasokannya masing-masing dan cadangan yang dikendalikan Regu Pendukung Komponen Darat habis pula.[93] Regu penyelidik beranggotakan tujuh orang yang dipimpin panglima batalion Kehoe berangkat dari Townsville ke Darwin dengan penerbangan komersial Qantas, lalu ke Dili pada 27 September dengan pesawat Hercules milik Prancis.[94] Kehoe memutuskan bahwa batalionnya akan bermarkas di pelabuhan Dili, walaupun menyimpan amunisi di pelabuhan dapat menimbulkan risiko.[95] Ia lalu kembali ke Darwin untuk bertemu regu depan batalion yang tiba di Darwin dengan penerbangan komersial Air Niugini pada 30 September. Mereka lalu berangkat ke Dili malam harinya dengan kapal HMAS Jervis Bay. Sebagian besar anggota batalion juga mengikuti rute ini pada 8 Oktober.[94] Kolonel Grant Cavanaugh ditugaskan menjadi panglima Markas Dukungan Logistik. Ia tiba di Dili pada 24 September tetapi tidak memiliki staf, dan tidak membawahi Kinloch (yang bertanggung jawab kepada Evans) ataupun McManus (yang bertanggung jawab kepada Cosgrove).[96] Wilkinson menyisihkan anggota stafnya sendiri untuk ditugaskan kepada Cavanaugh. Ia juga dibantu taruna Australian Command and Staff College (semacam akademi militer), yang membantu menyusun surat perintah operasi logistik sepanjang 40 halaman dengan 54 lampiran.[97] Kesiapan 10 FSB tertunda karena prioritas lebih dahulu diberikan untuk menurunkan kendaraan dan barang-barang milik Batalion 5/7 Resimen Diraja Australia (5/7 RAR), sehingga 10 FSB baru benar-benar beroperasi pada 20 Oktober.[95] Sementara itu, kendaraan-kendaraan lapis baja milik Skadron B Resimen Kavaleri 3/4 sudah mengalami masalah besar menjelang 14 Oktober. Banyak bantalan roda yang aus akibat diforsir selama tiga minggu operasi, dan tidak ada suku cadang untuk melakukan perbaikan atau perawatan. Beberapa kendaraan dinyatakan tidak layak pakai, dan penggunaan kendaraan lainnya juga dibatasi hingga sisa rombongan Skadron B tiba pada minggu setelahnya membawa suku cadang.[98] Staf pengangkut memberi prioritas untuk makanan, air, bahan bakar, dan amunisi. Kontingen-kontingen yang bukan dari Australia mengeluhkan kurang jelasnya prioritas dan komando. Laporan dari kontingen Kanada menyebutkan kondisi di Darwin:
KonstruksiResimen Insinyur Tempur 3 adalah satuan zeni INTERFET pertama yang tiba di Timor Timur.[100] Sebagian besar mendarat dari HMAS Jervis Bay pada 27 September,[101] dan beroperasi mendukung Brigade 3.[100] Seksi Kerja 198 mengambil posisi pada 2 dan 5 Oktober.[102] Satuan ini merencanakan dan mengoordinasi tugas-tugas terkait konstruksi dari 10 hingga 13 Oktober, Kolonel Ahmad Mostafa melakukan eksplorasi secara rinci di Timor Timur, dan mengembangkan sebuah rancangan teknis. Ia menemukan tiga tantangan dari segi teknis. Yang pertama adalah jalan; resimen zeni ini menghabiskan banyak waktu untuk merawat jalan dan jembatan, tetapi musim hujan yang akan datang berpotensi membuat jalanan putus. Tantangan kedua adalah kubangan lumpur yang dapat memenuhi bandara maupun bangunan-bangunan INTERFET serta menjebak kendaraan jika hujan turun deras. Yang ketiga adalah masalah sampah dan tinja. Para prajurit buang air di toilet portabel yang dibawa dari Australia, dan tinjanya harus selalu dijemput oleh truk-truk tinja. Sementara itu, sampah kering dikumpulkan di situs pembuangan sampah dekat bandara.[100] Sejak awal prajurit INTERFET mendapati bahwa infrastruktur Timor Timur yang minim banyak pula dihancurkan oleh milisi pro-Indonesia,[103] sedangkan DJFHQ tidak memiliki staf insinyur.[61] Kemampuan zeni Australia telah berkurang akibat pemotongan anggaran, tetapi AD Australia masih memiliki dua skadron konstruksi, terkait dengan keterlibatan AD dalam program bantuan masyarakat untuk komunitas penduduk aborigin di daerah terpencil. Skadron pertama, Skadron Konstruksi 17 berada di Sydney dengan kesiagaan bergerak 180 hari karena baru menyelesaikan misi di Jumbun, Queensland,[104] sedangkan Skadron Konstruksi 17 sedang bertugas di Rockhampton untuk kegiatan Crocodile 99.[36] Kesiagaan Skadron Konstruksi 17 ditingkatkan menjadi hanya 28 hari pada 13 September, tetapi skadron ini tidak diberi tambahan anggota untuk menggenapi personelnya, dan tidak pula diberi izin untuk membeli stok dan peralatan teknis.[105] Pada 20 September skadron ini diberi pemberitahuan untuk bergerak dalam 7 hari, dan barulah diberi tambahan 22 orang dari satuan lain.[105] Australia berharap banyak negara lain akan membantu mengirimkan insinyur militer, tetapi setelah Australia melayangkan permintaan hanya Kenya yang mengirimkan pasukan zeni, dan mereka baru dijadwalkan tiba akhir Desember.[106][100] Regu depan Skadron Konstruksi 17 mengambil alih sumber air utama di Dili dari Resimen Insinyur Tempur 3 pada 14 Oktober, dan mulai mencari sumber air baru. Rombongan utama skadron tersebut tiba pada 26 Oktober dengan 160 orang dan 130 kendaraan. Mereka menemukan mesin-mesin bor yang telah ditinggalkan, lalu memasang filter air dan alat klorinasi sehingga menjadi sumber air bersih untuk anggota INTERFET maupun populasi sipil. Komando Pendukung yang dipimpin Mayjen Des Mueller menambah peralatan dengan membeli mesin pemecah batu, mesin pengaduk semen, dan anjungan kerja.[107] Pekerjaan-pekerjaan konstruksi dipersulit dengan banyaknya barang yang telah dibeli tetapi belum dikirim karena sistem pemasok yang digunakan tidak mampu memenuhi permintaan yang begitu banyak.[61] Prioritas Skadron Konstruksi 17 adalah modifikasi pangkalan helikopter Dili agar dapat beroperasi di semua cuaca. Pangkalan helikopter ini berada di tanah yang rendah sehingga rawan banjir di musim hujan. Seksi Kerja 198 membuat rancangan baru yang membutuhkan pembongkaran hingga lapisan subdasar, pembuatan beton hardstand, dan pemasangan alas aluminium untuk membuat 11 landasan. Pekerjaan ini dilakukan Skadron Konstruksi 17 selama empat minggu. Lapangan terbang di Suai juga diperbarui agar dapat mendukung operasi pesawat Hercules terlepas dari cuaca. Landasan pacunya diperanjang hingga 150 meter dan ujungnya diperlebar agar bisa digunakan pesawat untuk berbalik arah. INTERFET juga membuat beton hardstand, bangunan akomodasi, bengkel, dan lima landasan helikopter.[108] Mostafa mendesak agar Skadron Konstruksi 21 juga dikirim ke Timor Timur, tetapi pihak Departemen Pertahanan khawatir bahwa INTERFET justru sibuk membangun infrastruktur Timor Timur yang bukan merupakan tugasnya. Akhirnya satu rombongan dari skadron tersebut ditugaskan pada 8 November, tetapi jumlahnya dibatasi hanya 80 orang.[107] Sebagian besar rombongan tiba di Dili pada 3 Desember, dan pekerjaan jalan baru dimulai pada 17 Desember. Skadron Konstruksi 21 memperbaiki jalan dari Dili ke Aileu. Pasukan zeni Kenya tiba pada 26 Desember dan memperbaiki jalan-jalan yang ada di selatan. Hujan deras mulai turun tetapi musim hujan tahun 1999 ternyata tidak sederas yang dikhawatirkan. Pada pertengahan Januari, Resimen Insinyur Tempur 3 pulang sehingga tidak menyisakan sumber daya untuk merawat jalan-jalan di kawasan perbatasan.[109] Untuk memecahkan masalah kebersihan, Skadron Konstruksi 17 mendirikan bangunan-bangunan toilet, dengan tangki septik yang dapat dipompa dan sumber air tersendiri. Bangunan untuk pencucian pakaian juga didirikan dan dilengkapi saluran air dan listrik, dan fasilitas terpisah untuk menangani limbah hitam maupun air kelabu. Lokasi pembuangan sampah padat dibangun sekitar 10 kilometer dari Dili. Penginapan semi-permanen untuk 500 orang didirikan di bandara Dili. Skadron Pembantu Tempur Ekspedisi 381 membantu pendirian bangunan. Skadron Konstruksi 17 juga membuat fasilitas pembersihan barang-barang, peralatan, dan kendaraan yang akan dikembalikan ke Australia agar memenuhi peraturan karantina Australia. Fasilitas ini memiliki 20 ruangan dengan tangki dan pompa air, serta dihubungkan dengan jaringan listrik dan pipa-pipa air.[108] Fasilitas tempat tinggalSejak akhir Oktober, muncul harapan di kalangan satuan-satuan yang ditempatkan di Timor Timur untuk mendapat fasilitas lebih nyaman.[81] Di Sydney, Letkol Dianne Gallasch menegosiasikan kontrak untuk mengirim buah dan sayur segar dari Darwin, serta membuat sistem fleksibel untuk mengisi ulang jatah makanan. Peti kemas berpendingin, generator listrik, dan dapur-dapur bergerak dikirim ke Timor Timur sehingga pada minggu keenam setelah kedatangan INTERFET di Dili 22 dapur lapangan dapat beroperasi menyiapkan makanan hangat. Namun, banyak tentara yang masih harus tidur di tanah dan belum ada fasilitas cuci pakaian. Pasukan diberi dana untuk membayar warga Timor Timur untuk mencuci pakaian, tetapi tidak semua satuan menggunakan uang ini dengan tepat.[81][110] Cousins mendesak pengiriman tenda dan peralatan berkemah, tetapi Komando Pendukung di Melbourne kesulitan memenuhinya karena banyak prioritas lain. Cosgrove telah menetapkan bahwa prioritas utama adalah menjaga tempo operasi, dan prioritas selanjutnya adalah pengumpulan makanan, bahan, bakar, air, dan amunisi sebelum tibanya musim hujan. Cosgrove adalah veteran Perang Vietnam dan pernah mengalami hidup susah sebagai tentara dalam waktu lama, sehingga ia juga merasa pasukan INTERFET juga dapat bertahan lama tanpa fasilitas-fasilitas kenyamanan. Mayjen John Hartley, Panglima Komando Darat Australia, mengunjungi Timor Timur pada 4 dan 5 November, dan menulis laporan yang sangat mengkritik kinerja dua panglima terkait logistik, yaitu Treloar dan Mueller.[81][110] Selama November, personel logistik di Australia dan Timor Timur berusaha menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang telah menunggak, mengumpulkan barang-barang sebelum musim hujan, dan memperbaiki kondisi hidup pasukan di lapangan. FSLG mengirim rata-rata 176 ton kargo per hari dan 60 peti kemas berpendingin berisi bahan makanan segar. Kebutuhan suku cadang yang menunggak akhirnya dipenuhi pada awal November, dan kantin serta peralatan mandi tersedia di Balibo. Pada 12 November, Resimen 2 RAR akhirnya menerima peralatan berkemah yang lengkap, termasuk tenda, kursi, meja, tandu, dan papan-papan kayu untuk membuat jalan setapak di atas lumpur. Pada 15 Desember, tanggung jawab mendukung pasukan di Timor Timur diambil alih Markas Dukungan Logistik.[109] HelikopterMenurunkan barang adalah pekerjaan sulit di pelabuhan-pelabuhan Timor Timur yang kondisinya masih buruk, terutama di Suai tidak ada peralatan untuk menurunkan peti-peti kemas yang membawa barang-barang milik pasukan Kanada dan Selandia Baru. Peti-peti kemas harus diturunkan dari HMAS Tobruk menggunakan derek jangkung kapal ke sebuah perahu pendarat, lalu harus dijemput truk khusus ketika perahu tersebut tiba di darat. Prosedur ini cukup boros waktu dan tidak aman. Helikopter dengan kemampuan angkat berat dapat menjadi pilihan yang lebih baik, tetapi AL Australia tidak memiliki helikopter seperti itu sedangkan CH-47 Chinook milik AD Australia sedang dilarang terbang akibat masalah transmisi. Australia meminta bantuan Amerika Serikat. Pada 29 September, Menteri Pertahanan Amerika Serikat William Cohen menyediakan empat helikopter CH-53 Sea Stallion milik Satuan Ekspedisi Laut 31, yang beroperasi dari kapal serbu amfibi USS Peleliu. Pada 5 Oktober, kelompok ini digantikan oleh helikopter-helikopter milik Satuan Ekspedisi Laut 11 yang beroperasi dari USS Belleau Wood. Kedua kapal serbu amfibi AS ini merupakan tipe khusus untuk membawa helikopter (landing helicopter assault, LHA) dan dilengkapi dukungan teknis untuk helikopter-helikopter tersebut. Namun, Amerika Serikat merasa bahwa pengerahan kapal-kapal ini beserta ribuan pelaut dan marinir hanya untuk mendukung empat helikopter cukup boros dari segi ekonomi.[111][112] Militer Amerika Serikat kemudian memilih mengandalkan logistik sipil. Perusahaan DynCorp dikontrak untuk menyediakan 2 helikopter Mi-8 dan 2 Mi-26 bersama awak dan montirnya. Karena mendekati musim hujan, operasi helikopter akan membutuhkan pembangunan landasan beton di bandara Dili, tetapi Timor Timur tidak memiliki fasilitas pembuatan beton yang memadai. Alhasil, seluruh peralatan konstruksi berserta pekerja terlatihnya harus didatangkan. Menurut Acquisition and Cross-Servicing Agreement antara Amerika Serikat dan Australia, pihak Australia harus menyediakan jatah makanan untuk 100 personel udara, darat, dan konstruksi yang terlibat, beserta bahan bakar untuk kendaraan dan helikopter mereka. Australia juga membantu transportasi personel dan peralatan melalui posko Amerika Serikat di Darwin. Kedua helikopter Mi-8, beserta suku cadang dan tangki bahan bakarnya, diterbangkan dari Bulgaria ke Timor Timur meggunakan pesawat pengangkut An-124 milik Rusia, sedangkan kedua Mi-26 terbang sendiri dari Rusia dalam perjalanan 10 hari. Dari Desember 1999 hingga Februari 2000, keempat helikopter ini mencatat 475 jam terbang tanpa kecelakaan, membawa 6.400 penumpang dan 850 ton kargo.[111] KesehatanSkema vaksinasi untuk ensefalitis Jepang terbukti efektif dan tidak ada kasus penyakit tersebut di kalangan INTERFET. Penyakit yang paling umum diderita pasukan adalah malaria (334 kasus) dan demam berdarah (306).[113] Kedua penyakit ini endemik di Timor Timur dan tidak ada vaksin untuk penyakit demam berdarah, walaupun terdapat indikasi bahwa vaksin ensefalitis Jepang sedikit efektif mencegah demam berdarah. Kedua penyakit ini juga tidak memerlukan tindakan selain mengistirahatkan pasien hingga sembuh.[114] Tindakan pencegahan untuk kedua penyakit ini, serta penyakit-penyakit akibat nyamuk lainnya, adalah menggunakan obat pengusir nyamuk, jaring nyamuk dengan permetrin, dan menyemprot tempat nyamuk berkembang biak dengan insektisida.[115] Bagi Australia, kepulangan tentara dari Timor Timur dikhawatirkan dapat menyebarkan demam berdarah, terutama di Queensland Utara yang memiliki populasi Aedes aegypti yang bertindak sebagai vektor penyakit ini. Sembilan kasus ditemukan di kalangan tentara di Townsville yang terletak di Queensland Utara; semua pasien diamati dengan ketat, tetapi penyakit tersebut tidak menular ke warga sipil.[116] Malaria penjadi masalah besar dan seorang personel PBB dari Malaysia meninggal akibat penyakit tersebut.[113] Australia melakukan tindakan profilaksis (pencegahan) dengan memberikan setiap tentara dosis 100 miligram antibiotik doksisiklin per hari sejak dua hari sebelum berangkat dan diteruskan selama dua minggu setelah pulang.[115] Bagi yang mengalami efek samping terhadap obat ini, dosisnya diganti dengan 250 miligram meflokuin. Setelah pulang, para tentara juga diberi 7,5 miligram primakuin tiga kali sehari. Selain itu, tim kecil dari Institut Malaria AD Australia yang dipimpin Mayor Scott J. Kitchener datang ke Dili sebagai penasihat. Kelak, percobaan dengan meflokuin di Timor Timur pada 2001 dan 2002 menemukan bahwa 6,5% tentara mengalami efek samping, terutama gejala neuropsikiatri.[117] Hingga saat ini masih ada kekhawatiran mengenai penggunaan obat ini.[118] Sumber daya kesehatan INTERFET juga dibebani oleh populasi sipil Timor Timur yang menderita patah tulang atau infeksi luka senjata tajam, termasuk banyak anak-anak. Sebagian mengalami patah tulang yang tidak diperbaiki dengan benar. Pasokan medis yang tersedia tidak cukup untuk mengimbangi permintaan yang banyak, dan para prajurit meminta pasokan medis dari klinik-klinik yang telah ditinggalkan penghuninya, Rumah Sakit Umum Dili, dan gudang-gudang TNI.[119] Pada pertengahan oktober tim bedah lapangan INTERFET membuka Rumah Sakit INTERFET di sebuah bangunan Museum dengan 55 ranjang dan berbagai layanan medis. Stafnya diambil dari Rumah Sakit Lapangan 1 AD Australia di Brisbane dan Rumah Sakit 6 AU Australia di Laverton, Victoria. Mereka memiliki pengalaman dari operasi bantuan ke Papua Nugini pasca tsunami 1998. Sebanyak 80% dari kunjungan rumah sakit berasal dari anggota INTERFET, tetapi rumah sakit ini juga melayani warga Timor Timur dan warga sipil lainnya. RS INTERFET juga memiliki satu-satunya instalasi rawat intensif yang berperalatan lengkap di Dili. Kasus yang tidak terlalu parah dirujuk ke RS Militer Prancis dan RS Umum Dili, yang dioperasikan oleh Palang Merah.[120] Urusan sipilLebih dari 72.000 warga sipil kembali ke Dili sebelum awal Oktober, kebanyakan dari daerah sekitarnya, tetapi warga dari daerah-daerah yang lebih jauh juga mulai berdatangan. Stadion Dili menjadi titik pusat pemberian bantuan kemanusiaan. Militer Australia menggunakan pengalaman mereka di Operasi Solace (misi penjaga perdamaian di Somalia pada 1992–1993) untuk mengembangkan teknik-teknik mengurangi gangguan saat distribusi bantuan. Letkol Joe Ison, perwira dari Batalion Urusan Sipil 96 Amerika Serikat, mendirikan Pusat Operasi Militer Sipil pada 25 September. Ia membawa tim 10 orang, yang selanjutnya ditambah dengan tentara Australia dari Markas Besar INTERFET. Ison mengoordinasikan upaya bantuan dengan UNHCR (Komisioner Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi), UNICEF, Program Pangan Dunia, Palang Merah, Oxfam, dan badan-badan lainnya. Pada awal November tim Ison digantikan oleh detasemen dari Batalion Urusan Sipil 322 dari Hawaii, AS. Saat Brigade 3 Australia bergerak ke daerah perbatasan dekat Timor Barat, mereka menemukan lembaga-lembaga kemanusiaan di sana sedang kesulitan menyampaikan bantuan. Salah satu perwakilan organisasi menceritakan bahwa ia hanya memiliki satu truk yang membutuhkan waktu 2 bulan untuk memindahkan pasokan 6 ton ke Suai di pantai selatan Timor Timur, dan ini pun terancam oleh putusnya jalan akibat musim hujan. Dua helikopter militer CH-53 berhasil memindahkan pasokan ini dalam kurang dari satu hari.[119][121] Surat menyuratBeberapa anggota Batalion Pendukung 10 Australia pernah bertugas dalam operasi luar negeri di Rwanda dan Papua Nugini, tetapi mereka masih terkejut dengan banyaknya surat yang diterima di Timor Timur. Surat yang harus dikirim ke Kantor Pos Lapangan Australia (AFPO) 5 di Dili (menggunakan palet L) meningkat dari 250 kg/hari pada Oktober menjadi 12 ton per hari di awal November. Mendekati hari Natal, jumlah surat meningkat hingga 37 ton per hari pada pertengahan November. Para anggota keluarga dan teman-teman tentara Australia memanfaatkan adanya pengiriman gratis. Kapal Jervis Bay ditugaskan menjemput surat dari Darwin tiga kali seminggu, sementara surat dikirim ke Australia setiap hari. Satuan yang bertugas menangani surat kadang harus bekerja 14 hingga 16 jam per hari.[122][123] Logistik koalisiPada puncaknya, misi INTERFET diikuti 23 negara dengan total personel 11.693 orang.[124] Kontingen terbesar adalah Australia dengan 5.697 orang,[124] sehingga merupakan penempatan luar negeri terbesar untuk militer negara tersebut setelah Perang Vietnam.[125] Kendala bagi Australia sebagai pemimpin koalisi menurut seorang perwira hukum Australia Mayor Bronwyn Worswick adalah "sistem logistik kami disiapkan untuk memasok kami sendiri. [Sistem ini] tidak disiapkan untuk memasok dan pada dasarnya menjual ke negara lain."[126] Saat operasi dimulai, persetujuan resmi tentang dukungan logistik baru dibuat dengan Britania Raya dan Selandia Baru. Alhasil kontingen-kontingen lain tiba tanpa mengetahui apa yang harus mereka bayar, dan perselisihan mengenai pasokan dan penggantian biayanya berpotensi merusak kesatuan koalisi.[127] Kebijakan INTERFET mengharuskan semua barang dibukukan agar penggantian biaya menjadi jelas, tetapi Australia mengecualikan Selandia Baru dari persyaratan ini. Hal ini disebabkan kedua negara adalah sekutu dekat yang telah memiliki budaya operasi hampir serupa, sehingga kebutuhan operasi dapat diprioritaskan dan rincian-rincian dapat diurus kemudian. Budaya operasi negara-negara ASEAN berbeda dan mereka ingin memperlakukan dukungan logistik sebagai transaksi komersial. Beberapa negara mengandalkan pembayaran tunai, termasuk saat mengambil hal-hal kecil. Pasukan Korea Selatan pernah meminta ganti rugi saat jatah makanan datang terlambat. Pompa bahan bakar milik Australia tidak memiliki meteran sehingga sulit mengukur jumlah bahan bakar yang diberikan bagi kontingen lain. Selain itu, Australia sebelumnya tidak memiliki prosedur untuk membukukan biaya dan upah untuk servis kendaraan, sehingga harus diimprovisasi di lapangan.[127] Dalam Panduan untuk Negara yang Menyumbangkan Pasukan, setiap kontingan diminta datang ke Australia dengan mencukupi kebutuhan sendiri selama 42 hari, tetapi hal ini tidak terbukti di lapangan. Beberapa kontingen tiba tanpa dukungan logistik atau dengan dukungan terbatas, dengan harapan bahwa Australia sebagai pemimpin koalisi akan menyediakannya.[128] Dukungan penting datang dari Jepang yang menyumbangkan 100 juta dolar AS untuk misi ini.[129] Karena keterbatasan sistem komputer Australia, biaya-biaya ADF dalam mendukung INTERFET baru terkumpul pada September 2000, sehingga menunda klaim penggantian uang Australia dari Dana Perwalian INTERFET PBB.[82] Akhir misiINTERFET menyerahkan tanggung jawab administrasi Timor Timur kepada UNTAET (Pemerintahan Sementara PBB di Timor Timur) pada kurun waktu antara 1 hingga 23 Februari 2000.[130] Dukungan logistik Australia masih dibutuhkan sementara pemerintahan UNTAET sedang ditegakkan.[131] Pada 20 Februari, Batalion Pendukung 10 Australia menyerahkan tanggung jawab logistik di Timor Timur, sekaligus sisa-sisa anggotanya di lapangan, kepada Batalion Pendukung 9.[37] Penyerahan tanggung jawab logistik kepada UNTAET baru dilakukan pada 1 Juli 2000.[131] EvaluasiBagi Australia, intervensi di Timor Timur membuka mata tentang kelemahan logistik militer negara tersebut. ADF tidak memiliki doktrin logistik gabungan AD-AL-AU, dan ketiga angkatan tersebut tidak pernah melakukan latihan logistik gabungan untuk mendukung pasukan gabungan. Australia tidak memiliki peralatan penting seperti alat pengisian bahan bakar dari kapal ke pantai, dan tidak ada truk garpu dan trailer yang cukup untuk memindahkan peti-peti kemas. ADF juga kekurangan tenaga ahli di bidang operasi terminal pelabuhan dan bandara, distribusi bahan bakar, juru tulis untuk barang-barang pasokan, spesialis medis, dan juru masak. Anggapan bahwa ADF dapat membeli barang-barang tambahan jika dibutuhkan ternyata tidak terbukti, karena penyedia yang ada tidak mampu mengimbangi lonjakan permintaan terhadap barang pribadi, stok militer, peralatan, maupun suku cadang. Amerika Serikat harus mengirim pesawat-pesawatnya untuk membawa helm dan jaket flak dari gudang di AS. Sistem logistik terkomputerisasi Australia hanya dirancang untuk melacak pergerakan kargo antara pangkalan-pangkalan di Australia dan tidak ke pasukan di luar negeri. Sistem personalia tidak otomatis dan sempat ada empat orang di bawah umur yang dikirim ke Timor Timur. Komando Pendukung butuh waktu 54 hari sebelum siap mengambil alih tanggung jawab di Timor Timur.[132][133] Menurut Wilkinson, kondisi logistik untuk dukungan operasi di Timor Timur sudah merupakan kondisi "yang termudah". Medan operasi terletak dekat dengan Australia, luas wilayah kecil dan jumlah pasukan juga relatif kecil, tidak ada pertempuran besar, dan satuan-satuan logistik dapat beroperasi tanpa gangguan dari lawan.[134] Situasi logistik pun akhirnya stabil setelah pasukan berada di Timor Timur. Sistem logistik yang awalnya terbebani tidak lagi dibanjiri permintaan besar terhadap amunisi dan pasokan tempur lainnya.[27] Entah karena nasib baik atau kememimpinan yang baik, INTERFET dapat menjalankan misinya dengan pasokan memadai tanpa adanya masalah logistik yang parah, walaupun ada kekurangan suku cadang, pasokan medis, dan fasilitas tinggal.[135] Menurut sejarawan Bob Breen, "Orang Australia menuntut lebih banyak dari sistem logistiknya dibandingkan bangsa-bangsa lain, dan menerima dukungan yang bagi bangsa lain hanya ada dalam mimpi".[135] ReferensiCatatan kaki
Daftar pustaka
|