MaisirDalam Islam, perjudian (bahasa Arab: ميسر, translit. maisîr, maysir, maisira atau bahasa Arab: قمار, translit. qimâr),[1] dilarang (bahasa Arab: haram). Maisir dilarang oleh hukum Islam (syariah) dengan alasan bahwa "perjanjian antara pemain yang didasarkan pada bujukan berbuat kejahatan yang diada-adakan oleh harapan yang sepenuhnya angan-angan dalam pikiran para pemain bahwa mereka akan mendapatkan keberuntungan hanya dengan bertaruh nasib belaka, tanpa pertimbangan untuk kemungkinan kerugian".[1] DefinisiBaik qimar dan maisir mengacu pada permainan peluang, tetapi qimar adalah sejenis (atau bagian) dari maisir.[2] Penulis Muhammad Ayub mendefinisikan maisir sebagai "berharap sesuatu yang berharga dengan mudah dan tanpa membayar kompensasi yang setara untuk itu atau tanpa bekerja untuk itu, atau tanpa melakukan tanggung jawab terhadapnya dengan cara permainan peluang".[2] Sumber lain, Faleel Jamaldeen, mendefinisikannya sebagai "perolehan kekayaan secara kebetulan (bukan karena usaha)".[3] Ayub mendefinisikan qimar sebagai "juga berarti menerima uang, keuntungan, atau menggunakan barang dengan biaya orang lain, memiliki hak atas uang atau manfaat dengan menggunakan kesempatan";[2] sementara Jamaldeen sebagai "permainan peluang".[3] Terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama mengenai definisi maisir. Hal ini karena ada beberapa orang yang bermain hanya untuk hiburan dan bukan mencari keuntungan pribadi. Mereka melakukan permainan di masa lapar atau musim dingin. Hasil taruhan akan mereka bagikan kepada orang misikin.[4] Dalam kitab suciDisebutkan dalam Al-Quran bahwa permainan bertaruh nasib, termasuk maisir, adalah "dosa besar" dan "perbuatan keji Setan". Hal ini juga disebutkan dalam hadis.
SejarahDi masa jahiliah, beberapa suku telah mengharamkan perjudian. Sejarawan berpendapat bahwa al-Aqra' bin Habis at-Tamimi adalah orang pertama yang mengharamkan kebiasaan ini. Terkadang, pemain mempertaruhkan apa pun untuk mendapatkan kekayaan secara instan. Mengingat banyaknya mudarat yang ditimbulkan, Islam mengharamkan perjudian.[4] PelaksanaanPermainan ini diikuti oleh tujuh peserta. Jika kekurangan pemain, peserta lain boleh mengambil lebih dari satu bagian untuk diundi. Pemain ini disebut tamim. Seekor unta dibeli dan disembelih, lalu dibagi menjadi sepuluh bagian. Selanjutnya, seorang pengundi (al-hurdhah) ditunjuk. Pengundi tersebut harus orang yang tidak mampu membeli daging dari uangnya sendiri. Mereka lalu mengambil sebelas anak panah. Tujuh panah akan keluar dari undian dan pemiliknya dinyatakan menang, sisanya membayar kekalahan sesuai bagian yang bisa diperolehnya jika menang.[7] Pelaksanaan undiannya sebagai berikut. Tujuh panah yang sudah dipilih pemain ditambah empat yang tidak dipilih diserahkan kepada pengundi yang tangan kanannya sudah ditutup dengan sehelai kain agar dia bisa adil. Kemudian, sehelai kai putih dibentangkan di atas kedua tangannya. Seseorang kemudian menyerahkan wadah kesebelas anak panah dengan memalingkan wajah dari pengundi. Pengundi lalu mengacak anak panah di bawah kain dengan tangan kirinya. Setelah anak panah keluar dan pemenang ditentukan, peserta yang kalah membayar. Daging unta yang sudah disembelih tadi dibagikan kepada semua orang selain yang kalah.[8] Lihat jugaReferensi
Daftar Pustaka
Informasi yang berkaitan dengan Maisir |