Mohamad Tonny Harjono
Mohamad Tonny Harjono (lahir 4 Oktober 1971) adalah seorang perwira tinggi TNI Angkatan Udara lulusan Akademi Angkatan Udara (AAU) TNI tahun 1993 yang menjabat Kepala Staf TNI Angkatan Udara sejak tanggal 5 April 2024.[1] Tonny tercatat pernah menduduki sejumlah jabatan penting. Dia adalah mantan ajudan Presiden Joko Widodo. Dia kemudian menjabat Danlanud Adi Soemarmo, Danlanud Halim Perdanakusuma, Staf Khusus Kasau, Sekretaris Militer Presiden, Dankodiklatau, Pangkoopsudnas, Pangkogabwilhan II dan terakhir sebagai Kasau. Pesawat-pesawat tempur yang pernah diterbangkan oleh Marsekal TNI Mohamad Tonny Harjono: Pesawat jenis Hawk MK-53, F-16 Fighting Falcon, Sukhoi 27 dan Sukhoi 30. Riwayat pendidikan
Karir militer
Insiden Bawean 2003Tonny termasuk salah satu pilot F-16 TNI-AU yang pernah terlibat dalam peristiwa dengan pesawat-pesawat F/A-18 Hornet, Angkatan Laut Amerika Serikat yang terjadi di wilayah udara Pulau Bawean, pada 3 Juli 2003. Pada saat itu radar Komando Pertahanan Udara Nasional Indonesia dan Pusat Operasi Pertahanan Nasional menangkap ada lima titik mencurigakan yang terbang dalam formasi rapat dan tidak teridentifikasi. Namun ketika satu flight pesawat tempur TNI AU dikirimkan untuk melakukan identifikasi, tidak ditemukan obyeknya. Dua jam kemudian, terlihat manuver-manuver pesawat terbang tanpa identitas dan ada laporan dari para penerbang pesawat Bouraq Indonesia Airlines, bahwa manuver-manuver mereka yang berkecepatan tinggi sudah membahayakan kesalamatan dan keamanan penerbangan sipil berjadual. Pesawat-pesawat itu juga tidak melakukan komunikasi dengan menara pengatur lalu-lintas penerbangan nasional.[8][9][10][11][12] Panglima Komando Pertahanan Udara Nasional Indonesia, saat itu dijabat Marsekal Muda TNI Teddy Sumarno, mengirimkan dua F-16 B untuk melakukan misi mencegat, mengidentifikasi dan mengusir mereka dari wilayah udara nasional. Penerbangan ini memiliki call sign Falcon Flight. Pemimpin penerbangan bersandikan Falcon 1, bernomor ekor TS-1603 yang diawaki oleh Kapten PNB Ian Fuady dan Kapten PNB Fajar Adriyanto. Falcon 2, bernomor ekor TS-1602, diawaki oleh Kapten PNB Mohamad Tonny Harjono dan Kapten PNB M. Satrio Utomo. Dalam misinya, mereka bertugas untuk identifikasi visual dan menghindari konfrontasi, dengan cara tidak mengunci (lock on) sasaran dengan radar atau rudal sehingga misi identifikasi tidak dianggap mengancam.[8][9][12][10][11] Ketika Falcon Flight tiba di lokasi, mereka langsung disambut oleh dua pesawat F/A-18 Hornet milik Angkatan Laut Amerika Serikat sehingga mereka terlibat dalam perang radar (radar jamming). Dalam peristiwa itu, salah satu penerbang tempur TNI AU sudah dalam posisi terkunci secara radar oleh penerbang tempur A AL AS. Sedang pesawat lainnya sedang saling berkejaran dalam posisi dog fight cukup ketat. Pesawat TNI AU kemudian berinisiatif melakukan gerakan menggoyang sayap (rocking wing) yang menyatakan bahwa mereka tidak dalam posisi mengancam pesawat AL AS.[8][9][12][10][11] Ketika komunikasi berhasil dibuka, diketahui bahwa kedua pesawat AL AS dan jajaran kapal induk Angkatan Laut Amerika Serikat, USS Carl Vinson (CVN-70), merasa bahwa mereka berlayar di wilayah perairan internasional dan meminta agar kedua pesawat TNI AU untuk menjauh. Namun disampaikan oleh pesawat TNI AU bahwa mereka, pesawat-pesawat AL AS berada dalam wilayah kedaulatan Republik Indonesia sesuai dengan Deklarasi Djuanda. Falcon Flight meminta mereka untuk segera mengontak ke ATC setempat, Bali Control, yang hingga saat itu tidak mengetahui keberadaan mereka. Mengetaui adanya itu, pesawat-pesawat AL AS itu kemudian terbang menjauh.[8][9][12][10][11] PenghargaanTanda Jasa dan Brevet
KeteranganReferensi
|