Share to:

 

Penghormatan orang yang telah meninggal

Penghormatan orang yang telah meninggal atau venerasi orang yang telah meninggal, termasuk pada leluhur, didasarkan kecintaan dan rasa hormat kepada orang yang telah meninggal dunia. Dalam beberapa budaya, hal ini berkaitan dengan keyakinan dan kepercayaan bahwa mereka yang telah meninggal memiliki kehidupan yang berkelanjutan, serta mungkin memiliki kemampuan untuk mempengaruhi keberuntungan mereka yang masih hidup di dunia. Beberapa kelompok menghormati nenek moyangnya sendiri yang masih kerabatnya; beberapa komunitas agama atau kepercayaan, terutama Gereja Katolik, menghormati orang-orang suci sebagai perantara dengan Allah, serta berdoa bagi jiwa-jiwa yang telah meninggal yang berada di purgatorium.

Dalam budaya Eropa, Asia, dan Oseania, serta beberapa budaya Afrika dan Afro-Amerika, tujuan penghormatan (venerasi) nenek moyang adalah memastikan kesejahteraan nenek moyang secara berkelanjutan dan kecenderungan positif atas mereka yang masih hidup di dunia, dan terkadang untuk dimintakan pertolongan atau bantuan khusus. Fungsi sosial atau non-religius dari penghormatan nenek moyang adalah untuk menumbuhkan nilai-nilai kekerabatan seperti bakti, kesetiaan keluarga, dan kesinambungan garis keturunan keluarga. Penghormatan nenek moyang dilakukan dalam masyarakat dengan setiap tingkat kompleksitas teknologi, politik, ataupun sosial, dan tetap merupakan suatu komponen penting dalam berbagai praktik keagamaan pada zaman modern.

Gambaran umum

Hormat kepada leluhur tidak sama dengan pemujaan atau penyembahan dewa. Dalam beberapa budaya Afro-Amerika, para leluhur dipandang mampu sebagai perantara atas nama mereka yang masih hidup di dunia, sering kali sebagai pembawa pesan antara manusia dan dewa-dewa. Sebagai roh yang dulunya adalah manusia, mereka dipandang lebih mampu untuk mengerti kebutuhan manusia dibandingkan dengan makhluk ilahi. Dalam budaya lainnya, tujuan pemujaan leluhur bukan untuk meminta bantuan tetapi sebagai bakti seseorang. Beberapa budaya meyakini bahwa leluhur mereka benar-benar perlu dirawat atau dilayani oleh keturunan mereka yang masih hidup di dunia, dan praktik tersebut termasuk persembahan makanan dan berbagai ketentuan lainnya. Lainnya lagi tidak percaya bahwa para leluhur bahkan menyadari apa yang dilakukan keturunan mereka bagi mereka, tetapi ungkapan bakti itulah yang penting.

Kebanyakan budaya yang mempraktikkan penghormatan leluhur (bahasa Inggris: ancestor veneration) tidak menyebutnya "pemujaan leluhur" (ancestor worship). Dalam bahasa Inggris, kata worship (biasa diterjemahkan menjadi pemujaan atau penyembahan)[a] umumnya mengacu pada devosi dan cinta yang penuh hormat kepada dewa (ilah) atau Tuhan (Allah).[3][4][5] Namun, dalam budaya-budaya lainnya, tindakan pemujaan ini tidak berkaitan dengan keyakinan bahwa leluhur yang telah meninggal tersebut telah menjadi semacam dewa. Sebaliknya tindakan ini merupakan suatu cara untuk menghargai, menghormati, dan mengurus para leluhur dalam kehidupan setelah kematian mereka, serta mencari petunjuk atau bimbingan bagi keturunan yang masih hidup di dunia. Dalam hal ini banyak budaya dan agama melakukan praktik serupa. Beberapa di antaranya mungkin mengunjungi makam orang tua atau leluhur mereka, menaruh bunga di atasnya, berdoa bagi mereka untuk menghormati dan mengenang mereka, bahkan juga meminta leluhur mereka untuk terus menjaga mereka. Tetapi hal-hal ini tidak dianggap sebagai memuja atau menyembah karena istilah pemujaan atau penyembahan tidak menunjukkan makna demikian.

Dalam pengertian tersebut frasa "penghormatan leluhur" mungkin memberikan arti yang lebih akurat perihal apa yang dilihat para praktisi hal tersebut, seperti kelompok masyarakat yang dipengaruhi Konfusianisme, Buddhisme, dan Tionghoa, serta budaya-budaya Eropa dan Afrika, tentang apa yang mereka lakukan. Hal ini selaras dengan arti kata veneration (biasa diterjemahkan jadi penghormatan saja)[b] dalam bahasa Inggris, yaitu penghormatan yang besar karena martabat, hikmat, atau dedikasi seseorang.[7][8][9]

Romawi Kuno

Sarkofagus Romawi dari awal abad ke-2 yang menggambarkan kematian Meleagros.

Bangsa Romawi Kuno, seperti banyak kelompok masyarakat Mediterania, menganggap tubuh atau badan orang yang telah meninggal adalah kotor atau menimbulkan pencemaran.[10] Selama periode Romawi Klasik, sering kali tubuh orang yang meninggal dikremasi dan abunya ditempatkan di sebuah makam di luar tembok kota. Banyak waktu dalam bulan Februari yang dikhususkan untuk pemurnnian, pendamaian, dan penghormatan atas mereka yang telah meninggal, terutama pada festival Parentalia selama 9 hari di mana pada saat itu suatu keluarga menghormati para leluhurnya. Keluarga tersebut mengunjungi pemakaman dan berbagi kue serta wine, keduanya dalam bentuk persembahan kepada yang telah meninggal dan sebagai hidangan makanan di antara mereka sendiri. Parentalia mendekati akhirnya pada tanggal 21 Februari dengan perayaan Feralia yang lebih serius, suatu festival publik atas kurban dan persembahan kepada Manes, roh-roh jahat yang mungkin ada pada orang yang telah meninggal dan memerlukan pendamaian.[11] Salah satu frasa inskripsional yang paling umum pada epitaf Latin adalah Dis Manibus, disingkat D.M, "untuk para dewa Manes", yang terdapat bahkan pada beberapa batu nisan umat Kristen. Caristia, yang diperingati tanggal 22 Februari, merupakan suatu perayaan garis keluarga karena berkelanjutan hingga keturunannya masih hidup sekarang.[12]

Suatu keluarga bangsawan Romawi menampilkan gambar-gambar leluhur di tablinium rumah mereka (domus). Beberapa sumber menunjukkan bahwa potret-potret ini adalah patung dada, sedangkan yang lainnya mengatakan bahwa topeng kematian juga ditampilkan. Topeng-topeng tersebut, kemungkinan dimodelkan dari lilin atas wajah almarhum, merupakan bagian dari prosesi pemakaman ketika seorang kaum elit Romawi meninggal dunia. Pengiring jenazah profesional mengenakan topeng-topeng tersebut dan regalia dari leluhur orang yang meninggal saat jenazah tersebut dibawa dari rumah, melalui jalan-jalan, sampai ke tempat pemakaman.[13]

Budaya Afrika Tenggara dan Barat

Penghormatan leluhur merupakan hal yang lazim di seluruh Afrika dan berperan sebagai dasar dari banyak agama. Hal ini sering ditambah dengan keyakinan akan adanya wujud tertinggi, tetapi doa dan/atau korban biasanya dipersembahkan kepada para leluhur yang mungkin menjadi semacam dewa kecil. Penghormatan leluhur tetap ada pada banyak masyarakat Afrika, terkadang dipraktikkan bersama dengan agama-agama yang dianut kemudian seperti Kekristenan (misalnya di Nigeria di kalangan suku Igbo) dan Islam (di kalangan berbeda dari orang Mandé dan Bamum) di sebagian besar benua tersebut.[14][15]

Budaya Asia Timur

Tionghoa

Jepang

Korea

Jesa, altar Korea untuk para leluhur

Di Korea, penghormatan leluhur disebut dengan istilah umum jerye (hangul: 제례; hanja: ) atau jesa (hangul: 제사; hanja: ). Contoh-contoh penting jerye misalnya Munmyo jerye dan Jongmyo jerye, yang dilakukan secara periodik setiap tahun untuk menghormati para cendekiawan Konfusian dan raja zaman kuno. Perayaan yang diadakan saat peringatan kematian seorang anggota keluarga itu disebut charye (차례), dan masih dipraktikkan sampai saat ini.[16]

Sebagian besar umat Katolik, Buddhis, dan yang tak beragama mempraktikkan upacara leluhur, namun umat Protestan tidak. Larangan dari Gereja Katolik atas ritual leluhur dicabut pada tahun 1939, di mana Gereja Katolik secara resmi mengakui upacara leluhur sebagai suatu praktik sipil.[17]

Upacara leluhur biasanya dibagi ke dalam tiga kategori:[18]

  1. Charye (차례, 茶禮) - upacara minum teh yang diadakan empat kali setahun pada hari-hari besar (Tahun Baru Korea, Chuseok)
  2. Kije (기제, 忌祭) - upacara rumah tangga yang diadakan pada malam sebelum peringatan kematian seorang leluhur (기일, 忌日)
  3. Sije (시제, 時祭; disebut juga 사시제 or 四時祭) - upacara musiman yang diadakan untuk para leluhur dari lima generasi di atasnya atau lebih (biasanya dilakukan setiap tahun pada bulan lunar kesepuluh)

Vietnam

Sebuah altar Vietnam untuk para leluhur.

Penghomatan leluhur adalah salah satu aspek yang paling mempersatukan dalam budaya Vietnam, sebagai praktik dari semua orang Vietnam, terlepas dari afiliasi keagamaannya (Buddhis atau Katolik) mereka memiliki sebuah altar leluhur di rumah atau tempat usaha mereka.

Di Vietnam, orang-orang secara tradisi tidak memperingati kematian (sebelum pengaruh Barat), tetapi peringatan kematian orang yang dicintai selalu merupakan suatu acara penting. Selain pertemuan penting dari para anggota keluarga untuk suatu perjamuan dalam mengenang yang meninggal, batang dupa dibakar bersama dengan uang neraka, dan piring-piring besar berisi makanan sebagai persembahan di atas altar leluhur, yang mana biasanya terdapat foto atau plakat yang bertuliskan nama-nama almarhum.

Praktik dan persembahan ini sering dilakukan selama perayaan religius atau tradisi yang penting, memulai usaha baru, atau bahkan ketika seorang anggota keluarga membutuhkan bimbingan atau nasihat, dan merupakan suatu ciri penekanan budaya Vietnam sebagai wujud bakti.

Suatu ciri pembeda yang cukup signifkan dalam penghormatan leluhur Vietnam yakni perempuan secara tradisi diperbolehkan untuk berpartisipasi dan mendampingi pemimpin upacara leluhur, tidak seperti doktrin Konfusian Tionghoa yang hanya memperbolehkan keturunan laki-laki untuk melakukan ritual semacam itu.[19]

Budaya Asia Tenggara dan Selatan

Birma (Myanmar)

Penyembahan atau pemujaan leluhur tidak lagi dilakukan dalam Birma (Myanmar) zaman modern (kecuali dalam beberapa komunitas minoritas etnis) namun masih berbekas, seperti penyembahan Bo Bo Gyi (secara harfiah "buyut"), serta roh-roh penjaga lainnya seperti nat, yang mana semuanya mungkin merupakan sisa-sisa upacara bersejarah pemujaan leluhur.[20]

Pemujaan leluhur dilakukan dalam istana kerajaan Birma pra-kolonial. Pada masa Wangsa Konbaung, gambar para raja yang telah meninggal (terbuat dari emas batangan) dan selir mereka disembah tiga kali setahun oleh keluarga kerajaan, selama Tahun Baru Burma (Thingyan), di awal dan akhir prapaskah Buddhis (Vassa). Gambar-gambar tersebut disimpan dalam perbendaharaannya dan disembah di Zetawunzaung (ဇေတဝန်ဆောင်, "Galeri Para Leluhur") bersama dengan sebuah kitab syair pujian.[21]

Beberapa akademisi menghubungkan hilangnya pemujaan leluhur dengan pengaruh doktrin-doktrin agama Buddha tentang ketidakkekalan (anicca) dan penolakan atas 'diri' (anatta).[22]

Kamboja

Budaya Eropa

Suatu pemakaman di daerah pedesaan di Spanyol.

Di negara-negara Katolik di Eropa (kemudian dilanjutkan dengan Gereja Anglikan di Inggris), 1 November (Hari Raya Semua Orang Kudus) hingga saat ini masih dikenal sebagai hari untuk menghormati mereka yang telah meninggal dan mereka yang telah dinyatakan sebagai santo/santa secara resmi oleh Gereja tersebut. 2 November (Hari Arwah), atau "Hari Orang Mati", adalah hari untuk mengenang semua umat beriman yang telah meninggal dunia. Pada hari tersebut, para keluarga pergi ke pemakaman untuk menyalakan lilin bagi kerabat mereka yang telah meninggal, menaruh bunga di atas makamnya, dan lain-lain, serta sering kali sebagai kesempatan berpiknik.

Malam sebelum Hari Raya Semua Orang Kudus —"All Hallows Eve" atau "Hallowe'en"— merupakan hari Katolik yang tidak resmi untuk mengenang kenyataan adanya neraka, berkabung bagi para jiwa yang jatuh ke tangan iblis, mengingat kembali cara-cara untuk menghindari neraka, dan sebagainya. Perayaan ini umumnya dirayakan di Amerika Serikat dan sebagian Britania Raya dalam suatu nuansa ketakutan dan kengerian sambil bersuka ria, serta ditandai dengan mengisahkan cerita hantu, api ungun, mengenakan kostum, dan membuat Jack-o'-lantern; di kalangan anak-anak melakukan "trick-or-treating", yakni berkeliling dari pintu ke pintu rumah tetangga untuk meminta permen.

Budaya Keltik Britonik

Di Cornwall dan Wales, festival leluhur pada musim gugur berlangsung sekitar tanggal 1 November. Festival tersebut di Cornwal dikenal dengan nama Kalan Gwav, dan di Wales namanya Calan Gaeaf. Festival-festival tersebut memiliki beberapa kemiripan dengan Samhain, suatu festival Gaelik yang lebih terkenal, yang mana merupakan asal mula perayaan Halloween modern.[23]

Budaya Keltik Gaelik

Selama festival Samhain, tanggal 1 November di Irlandia dan Skotlandia, orang yang telah meninggal diduga kembali ke dunia orang hidup; persembahan makanan dan penerangan diberikan kepada mereka.[24] Pada hari festival tersebut, orang-orang zaman dahulu memadamkan api pada perapian di rumah mereka, berpartisipasi dalam suatu festival api unggun masyarakat, kemudian membawa pulang suatu nyala api dari api komunal tersebut dan menggunakannya untuk menyalakan kembali perapian di rumah mereka.[25] Kebiasaan ini terus dilanjutkan dalam zaman modern hingga batas tertentu, baik di bangsa-bangsa Keltik maupun diasporanya.[26] Penerangan di jendela, yang digunakan untuk memandu pulang orang yang telah meninggal, dibiarkan menyala sepanjang malam.[24] Di Pulau Man festival tersebut dikenal sebagai "Sauin lama" atau Hop-tu-Naa.[27]

Catatan

  1. ^ Dalam bahasa Indonesia, KBBI mengartikan kata pemujaan sebagai perbuatan atau upacara penghormatan kepada dewa atau berhala,[1] sedangkan kata penyembahan diartikan sebagai perbuatan tertentu (dengan sujud, simpuh, atau sungkem) yang mengungkapkan rasa hormat dan khidmat yang ditujukan kepada orang yang dimuliakan,[2] walaupun dalam praktiknya kata pemujaan dan penyembahan sering kali saling dipertukarkan untuk penggunaan yang diarahkan kepada Tuhan.
  2. ^ KBBI menyatakan arti penghormatan sebagai perbuatan menghormati yang menandakan rasa khidmat atau takzim dengan cara seperti menyembah atau menunduk. Selain itu juga tertulis bahwa penghormatan yang berlebih-lebihan dapat berubah menjadi pemujaan.[6]

Referensi

  1. ^ puja, kateglo.com 
  2. ^ sembah, kateglo.com 
  3. ^ (Inggris) worship, Cambridge University Press 
  4. ^ (Inggris) worship, Oxford University Press, diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-10-03, diakses tanggal 2015-11-03 
  5. ^ (Inggris) worship, Merriam-Webster, Incorporated 
  6. ^ hormat, kateglom.com 
  7. ^ (Inggris) venerate, Cambridge University Press 
  8. ^ (Inggris) veneration, Oxford University Press, diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-10-23, diakses tanggal 2015-11-03 
  9. ^ (Inggris) veneration, Merriam-Webster, Incorporated 
  10. ^ (Inggris) Michele Renee Salzman, "Religious koine and Religious Dissent," in A Companion to Roman Religion (Blackwell, 2007), p. 116.
  11. ^ (Inggris) Salzman, "Religious Koine," p. 115.
  12. ^ (Inggris) William Warde Fowler, The Roman Festivals of the Period of the Republic (London, 1908), p. 418.
  13. ^ (Inggris) R.G. Lewis, "Imperial Autobiography, Augustus to Hadrian," Aufstieg und Niedergang der römischen Welt II.34.1 (1993), p. 658.
  14. ^ (Inggris) Igor Kopytoff (1997), "Ancestors as Elders in Africa", dalam Roy Richard Grinker, Christopher Burghard Steiner, Perspectives on Africa: A Reader in Culture, History, and Representation, Blackwell Publishing, ISBN 1-55786-686-4 
  15. ^ (Inggris) Some reflections on ancestor workship in Africa Diarsipkan 2009-04-25 di Wayback Machine., Meyer Fortes, African Systems of Thought, pages 122-142, University of Kent.
  16. ^ (Inggris) Ancestor Worship and Korean Society, Roger Janelli, Dawnhee Janelli, Stanford University Press, 1992. ISBN 0-8047-2158-0.
  17. ^ (Inggris) Park, Chang-Won (10 June 2010). Cultural Blending in Korean Death Rites. Continuum International Publishing Group. hlm. 12–13. ISBN 978-1-4411-1749-6. 
  18. ^ (Inggris) Bae, Choon Sup (August 2007). "The Challenge of Ancestor Worship in Korea" (PDF). University of Pretoria. 
  19. ^ (Inggris) Rambo, A. Terry (2005). Searching for Vietnam: selected writings on Vietnamese culture and society. Trans Pacific Press. hlm. 75. ISBN 978-1-920901-05-9. 
  20. ^ (Inggris) Sadan, Mandy (2005). Monique Skidmore, ed. Burma at the turn of the twenty-first century. Hawaii: University of Hawaii Press. hlm. 90–111. ISBN 978-0-8248-2897-4. Diakses tanggal 2010-08-27. 
  21. ^ (Inggris) Harvey, G. E. (1925). History of Burma. Longmans. hlm. 327–328. 
  22. ^ (Inggris) Spiro, Melford E. (1978). Burmese Supernaturalism. Transaction Publishers. hlm. 69–70. ISBN 978-1-56000-882-8. 
  23. ^ (Inggris) Davies, John; Jenkins, Nigel (2008). The Welsh Academy Encyclopaedia of Wales. Cardiff: University of Wales Press. ISBN 978-0-7083-1953-6.
  24. ^ a b (Inggris) McNeill, F. Marian (1961, 1990) The Silver Bough, Vol. 3. William MacLellan, Glasgow ISBN 0-948474-04-1 pp.11-46
  25. ^ (Inggris) O'Driscoll, Robert (ed.) (1981) The Celtic Consciousness New York, Braziller ISBN 0-8076-1136-0 pp.197-216: Ross, Anne "Material Culture, Myth and Folk Memory" (on modern survivals); pp.217-242: Danaher, Kevin "Irish Folk Tradition and the Celtic Calendar" (on specific customs and rituals)
  26. ^ (Inggris) Hutton, Ronald (1993). The Pagan Religions of the Ancient British Isles: Their Nature and Legacy. Oxford, Blackwell. hlm. 327–341. ISBN 0-631-18946-7. 
  27. ^ (Inggris) Moore, A.W. (ed) Manx Ballads & Music (1896) G & R Johnson, Douglas.

Pranala luar

Kembali kehalaman sebelumnya