Share to:

 

Pernikahan dalam Islam

Pernikahan dalam Islam merupakan akad antara seorang laki-laki dan perempuan untuk terikat dalam perkawinan. Tujuan pernikahan dalam Islam untuk memelihara nasab dari perkara yang diharamkan oleh Allah. Pernikahan dalam Islam bernilai ibadah karena merupakan salah satu perintah Allah. Anjuran untuk menikah dinyatakan oleh Muhammad dengan hadis larangan untuk tidak menikah. Pernikahan menjadi salah satu perkara sunnah bagi para rasul dalam Islam.

Peristilahan dan makna

Istilah pernikahan berasal dari bahasa Arab yaitu dari kata na-ka-ha atau zawaj yang berarti kawin. Arti sesungguhnya dari nikah adalah “menghimpit” atau “berkumpul”. Kedua makna ini merupakan kiasan untuk persetubuhan. Dalam konteks syariah Islam, nikah merupakan akad yang membuat pria dan wanita terikat perjanjian dalam perkawinan.[1] Kata 'na-ka-ha' tercantum pada Surah An-Nisa' ayat 3 di dalam Al-Qur'an.[2] Kata 'nikah' juga dapat dimaknai sebagai 'bergabung'. Pemaknaan bergabung ada dua yaitu bergabung dari sisi akad maupun dari sisi hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan. Kedua pemaknaan ini dicantumkan dalam Surah Al-Baqarah ayat 230.[3]

Dalil

Dalil dalam Al-Qur'an

Surah An-Nur : 32
Surah An-Nur : 32

Perintah Allah untuk mengadakan pernikahan ialah pada Surah An-Nur ayat 32. Dalam ayat ini, Allah memerintahkan untuk mengawinkan orang-orang yang masih sendirian dan dari para hamba sahaya laki-laki maupun perempuan yang layak untuk menikah. Perintah ini tetap harus dilakukan meskipun yang akan menikah dalam keadaan miskin. Di akhir ayat, Allah berjanji akan memberikan karunia kepada mereka dan mencukupkan kebutuhan mereka setelah menikah.[4]

Dalil dari hadis

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Anas bin Malik, mengisahkan tentang tiga orang sahabat Muhammad yang ingin menandingi ibadah Muhammad sebagai nabi dalam Islam. Ketiganya mengetahui ibadah Muhammad setelah menanyakannya kepada istri-istri Muhammad. Setelah mengetahui ibadah Muhammad, ketiganya merasa ibadah yang telah mereka lakukan masih sedikit. Ketiganya kemudian masing-masing berikrar untuk melakukan satu hal. Masing-masing hal yang ingin dilakukan yaitu shalat semalam penuh tanpa tidur, puasa setahun penuh dan tidak menikah. Setelah Muhammad mengetahui ikrar ketiga sahabatnya, Muhammad menemui mereka dan melarang mereka untuk melakukannya. Muhammad menjelaskan bahwa shalat dan tidur, puasa dan berbuka, serta menikah, merupakan sunnah darinya. Kemudian Muhammad melanjutkan bahwa siapa saja yang membenci sunnah darinya, maka ia bukan seorang muslim.[5]

Tujuan

Syariat Islam menetapkan mengadakan pernikahan untuk menjaga nasab. Pernikahan dijadikan sebagai sarana dalam memelihara manusia dari perkara yang diharamkan oleh Allah, seperti perzinaan dan homoseksualitas.[6] Pernikahan sebagai suatu akad merupakan bentuk pemenuhan perintah Allah, sehingga melakukan pernikahan dinilai sebagai ibadah.[7]

Tata cara

Khitbah atau peminangan

Dalam ajaran Islam, khitbah atau peminangan merupakan tahapan menuju pernikahan. Cara melakukan khitbah ialah seseorang yang ingin menikah menyatakan dengan jelas atas keinginan untuk menikah. Khitbah berlaku untuk laki-laki maupun perempuan. Tujuannya bagi laki-laki ialah untuk mengetahui sifat-sifat perempuan yang dicintainya untuk dinikahi. Sementara bagi perempuan, tujuannya untuk mengetahui kriteria seorang laki-laki yang ingin dinikahi.[8]

Manfaat

Sarana memperbanyak amal

Seorang laki-laki yang menikah akan dapat memperbanyak sedekah terhadap istrinya. Ia memperoleh pahala bernilai sedekah dari menafkahi maupun melakukan persetubuhan dengan istrinya. Setelah itu, apabila suami-istri memperoleh anak yang saleh dari Allah, maka ibadah dari anaknya akan menambah amal kebaikan bagi suami-istri tersebut di dunia dan memperberat timbangannya di akhirat.[9]

Pernikahan yang menghasilkan keturunan dengan anak yang saleh akan mencegah terputusnya pahala amal dari orang tua meskipun mereka telah meninggal. Ketidak-terputusan amal ini dinyatakan oleh Muhammad sebagai nabi dalam Islam. Penyebab ketidak-terputusan amal orang tua meski telah meninggal karena adanya anak yang saleh yang selalu mendoakan orang tuanya. Dalam hadis lain disebutkan bahwa seorang ayah memperoleh derajat yang tinggi di surga karena istighfar dari anaknya.[9]

Keteladanan

Sunnah para rasul

Sebuah hadis yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari Abu Ayyub menyebutkan bahwa Muhammad menyatakan ada empat perkara yang merupakan sunnah dari para rasul. Salah satu dari keempatnya ialah menikah. Sedangkan tiga lainnya adalah rasa malu, memakai wewangian dan bersiwak.[6]

Keharaman

Laki-laki memiliki lebih dari empat istri sekaligus

Ajaran Islam membatasi seorang laki-laki hanya boleh mempunyai istri paling banyak empat orang saja. Pengharaman bagi lelaki untuk memiliki lebih dari empat istri sekaligus didasarkan kepada Surah An-Nisa' ayat 3. Ayat ini menetapkan batasan bagi laki-laki untuk menikahi dua, tiga atau empat perempuan saja. Setelah itu, ayat ini menambahkan kondisi untuk menikahi satu perempuan saja pada laki-laki yang memiliki ketakutan tidak mampu berlaku adil terhadap istrinya.[10]

Seorang laki-laki yang telah menikah dengan empat istri sekaligus hanya dapat menikah dengan seorang wanita lain setelah salah satu istrinya diceraikan. Pernikahan pun hanya dapat diadakaan setelah berakhirnya masa iddah bagi istri yang diceraikan jika istrinya masih hidup. Pada kondisi istri dicerai mati, maka laki-laki dapat menikah lagi tanpa adanya masa iddah.[10]

Melarang seorang wanita untuk menikah

Pada Surah Al-Baqarah ayat 232 menjadi dasar melarang tindakan pengurungan seorang wanita untuk menghalanginya menikah dengan laki-laki yang dicintainya. Ayat ini memisalkannya dengan janda hasil perceraian yang telah habis masa iddahnya dan ingin menikah lagi. Di dalam ayat ini, Allah melarang para wali untuk melarang janda yang menjadi perwaliannya untuk menikah lagi dengan laki-laki lainnya apabila keduanya saling rela untuk menikah secara makruf.[11]

Referensi

Catatan kaki

  1. ^ Sanjaya dan Faqih 2017, hlm. 11.
  2. ^ Sanjaya dan Faqih 2017, hlm. 11-12.
  3. ^ Sanjaya dan Faqih 2017, hlm. 12.
  4. ^ Al-Mashri 2011, hlm. 7.
  5. ^ Arifandi 2018, hlm. 6-8.
  6. ^ a b Arifandi 2018, hlm. 6.
  7. ^ Ja'far 2021, hlm. 15.
  8. ^ Ja'far 2021, hlm. 3.
  9. ^ a b Al-Mashri 2011, hlm. 4.
  10. ^ a b Al-Mashri 2011, hlm. 148.
  11. ^ Al-Mashri 2011, hlm. 7-8.

Daftar pustaka

Kembali kehalaman sebelumnya