Pertempuran Tulagi dan Gavutu-Tanambogo
Pertempuran Tulagi dan Gavutu–Tanambogo adalah pertempuran darat dalam Perang Pasifik antara tentara Angkatan Laut Kekaisaran Jepang dan Sekutu (khususnya Korps Marinir Amerika Serikat). Pertempuran berlangsung dari 7 Agustus hingga 9 Agustus 1942 di Kepulauan Solomon sebagai bagian dari pendaratan Sekutu dalam kampanye Guadalkanal. Marinir Amerika Serikat yang berada di bawah komando Mayor Jenderal Alexander Vandegrift, berhasil mendarat dan merebut Pulau Tulagi, Pulau Gavutu, dan Pulau Tanambogo yang telah dijadikan pangkalan angkatan laut dan pesawat amfibi Jepang. Pendaratan marinir disambut perlawanan gigih tentara Angkatan Laut Kekaisaran Jepang yang kalah dalam jumlah dan persenjataan dibandingkan pasukan Sekutu, namun terus melawan hingga hampir semua tentara Jepang yang tersisa tewas. Bersamaan dengan pendaratan Marinir Amerika Serikat di Tulagi dan Gavutu–Tanambogo, tentara Sekutu juga mendarat di Guadalkanal yang berdekatan. Sekutu bertujuan merebut lapangan terbang yang sedang dibangun tentara Jepang. Bertolak belakang dari pertempuran mati-matian di Tulagi dan Gavutu, pendaratan Sekutu di Guadalkanal tidak mendapat perlawanan berarti. Pendaratan di Tulagi dan Guadalkanal merupakan awal dari kampanye Guadalkanal yang berlangsung selama 6 bulan, dan mengawali serangkaian pertempuran yang melibatkan persenjataan terpadu antara tentara Sekutu dan tentara Jepang di kawasan Kepulauan Solomon. Latar belakangPada 7 Desember 1941, Jepang menyerang Armada Pasifik Amerika Serikat di Pearl Harbor, Hawaii. Serangan Pearl Harbor melumpuhkan sebagian besar armada kapal perang Amerika Serikat, dan menandai dimulainya secara resmi keadaan perang antara kedua negara. Tujuan awal pemimpin perang Jepang dalam Perang Pasifik adalah menetralisasi armada Amerika Serikat, merebut wilayah jajahan negara Barat yang kaya sumber daya alam, dan memperoleh pangkalan militer strategis untuk mempertahankan Kekaisaran Jepang Raya di Asia dan Pasifik. Untuk mendukung tujuan-tujuan tersebut, selama beberapa bulan pertama tahun 1942, tentara Jepang menyerang dan mengambil alih Filipina, Thailand, Malaya, Singapura, Hindia Belanda, Pulau Wake, Britania Baru, Kepulauan Gilbert, dan Guam.[6] Dua upaya Jepang untuk memperluas perimeter pertahanan mereka di Samudra Pasifik selatan dan tengah digagalkan dalam Pertempuran Laut Karang (Mei 1942) dan Pertempuran Midway (Juni 1942). Kedua kemenangan strategis ini memberikan kesempatan bagi Sekutu untuk mengambil inisiatif dan melancarkan ofensif terhadap Jepang di suatu tempat di Pasifik.[7] Sekutu memilih Kepulauan Solomon, khususnya Pulau Guadalcanal, Pulau Tulagi, dan Pulau Florida yang berada di bagian selatan Kepulauan Solomon sebagai lokasi untuk ofensif pertama mereka.[8] Sebagai bagian dari Operation Mo yang mengakibatkan Pertempuran Laut Karang, Angkatan Laut Kekaisaran Jepang mengirim pasukan untuk menginvasi Tulagi dan pulau-pulau yang berdekatan di selatan Kepulauan Solomon. Pasukan Jepang yang didaratkan di Tulagi terutama berasal dari Korps Khusus Pendarat Angkatan Laut 3 dari Kure. Tulagi berada dalam kekuasaan Jepang pada 3 Mei 1942. Jepang membangun pangkalan pesawat amfibi, stasiun pengisian kapal bahan bakar, dan pangkalan komunikasi di Tulagi serta di pulau-pulau terdekat: Gavutu, Tanambogo, dan Florida. Semua pangkalan Jepang tersebut segera dalam keadaan operasional. Sekutu terus mengamati gerak-gerik Jepang di Tulagi, dan kecemasan mereka makin meningkat pada pada awal Juli 1942 setelah Angkatan Laut Jepang mulai membangun lapangan udara berukuran besar di Tanjung Lunga di Pulau Guadalkanal yang berdekatan. Pada Agustus 1942, Jepang di Guadalkanal telah memiliki sekitar 900 prajurit di Tulagi dan pulau-pulau sekitarnya, ditambah 2.800 personel konstruksi (sebagian besar di antaranya adalah buruh dan spesialis konstruksi Jepang dan Korea).[9] Lapangan terbang di Tanjung Lunga, bila selesai, akan dipakai untuk melindungi pangkalan utama Jepang di Rabaul sekaligus dipakai untuk mengancam jalur logistik dan komunikasi Sekutu. Selain itu, lapangan terbang Tanjung Lunga dapat dipakai sebagai daerah tumpuan untuk ofensif Jepang di kemudian hari ke Fiji, Kaledonia Baru, dan Samoa. Rencana Sekutu untuk menyerang bagian selatan Kepulauan Solomon dikemukakan Panglima Tertinggi Armada Amerika Serikat Laksamana Ernest King. Laksamana King mengusulkan ofensif yang dapat menyulitkan Jepang menggunakan bagian selatan Kepulauan Solomon sebagai pangkalan untuk mengancam jalur logistik antara Amerika Serikat dan Australia, dan memakainya sebagai tumpuan untuk sebuah kampanye militer dengan tujuan akhir membuka jalan bagi Amerika Serikat merebut kembali Filipina.[10] Panglima Sekutu untuk Kesatuan Pasifik Laksamana Chester Nimitz menetapkan wilayah perang yang disebutnya medan perang Pasifik Selatan, dan menunjuk Laksamana Madya Robert L. Ghormley sebagai komandan untuk memimpin ofensif Sekutu di Kepulauan Solomon.[11] Dalam rangka persiapan menyerang Jepang, pada Mei 1942, Mayor Jenderal Amerika Serikat Alexander Vandegrift diperintahkan untuk memindahkan Divisi I Marinir dari daratan Amerika Serikat ke Selandia Baru. Unit-unit angkatan darat, laut, dan udara Sekutu juga dikirim untuk mendirikan pangkalan di Fiji, Samoa, dan Kaledonia Baru.[12] Espiritu Santo di Hebrida Baru dipilih sebagai markas besar dan pangkalan utama untuk serangan akan datang yang diberi sandi Operasi Watchtower. Operasi ini ditetapkan untuk dilancarkan pada 7 Agustus 1942. Pada awalnya, serangan Sekutu direncanakan hanya ke Tulagi dan Kepulauan Santa Cruz, tidak termasuk ke Guadalkanal. Namun, setelah pesawat pengintai Sekutu mengetahui Jepang sedang berusaha membangun lapangan udara di Guadalcanal, perebutan lapangan udara ditambahkan ke dalam rencana, sementara operasi ke Santa Cruz dibatalkan.[13] Kesatuan ekspedisi Sekutu untuk Operasi Watchtower yang terdiri dari 75 kapal perang dan kapal angkut dari Amerika Serikat dan Australia, berkumpul dekat Fiji pada 26 Juli 1942, dan melakukan satu kali latihan pendaratan sebelum berangkat menuju Guadalkanal pada 31 Juli.[14][15] Vandegrift bertugas sebagai komandan gabungan 16.000 pasukan Sekutu (sebagian besar Marinir Amerika Serikat) yang dikerahkan dalam pendaratan, dan secara pribadi memimpin penyerbuan ke Guadalkanal. Sebagai komandan 3.000 marinir Amerika Serikat yang mendarat di Tulagi dan pulau-pulau sekitarnya: Florida, Gavutu, dan Tanambogo adalah Brigadir Jenderal Amerika Serikat William H. Rupertus yang menaiki kapal transpor USS Neville (APA-9).[16] Awal pertempuranCuaca buruk memungkinkan kesatuan ekspedisi Sekutu tiba di kawasan Guadalkanal pada pagi 7 Agustus tanpa terlihat oleh Jepang. Lalu lintas radio dari kesatuan invasi Sekutu terdeteksi oleh Jepang yang menyiapkan pesawat pengintai siap terbang saat dini hari.[17] Kapal-kapal dari kesatuan pendarat dibagi menjadi dua kelompok: satu kelompok ditugaskan menyerang Guadalkanal sementara kelompok lainnya bertugas menyerang Tulagi, Florida, dan Gavutu-Tanambogo.[18] Pesawat-pesawat dari kapal induk USS Wasp mengebom instalasi-instalasi Jepang di Tulagi, Gavutu, Tanambogo, dan Florida. Dalam serangan itu, 15 pesawat amfibi Jepang yang sedang berada di pelabuhan, dihujani tembakan dan hancur. Beberapa dari pesawat amfibi tersebut sedang memanaskan mesin sebelum lepas landas sehingga banyak dari awak pesawat dan awak darat yang ikut tewas.[19] Kapal penjelajah USS San Juan dan kapal perusak USS Monssen, serta USS Buchanan membombardir lokasi pendaratan yang direncanakan sebelumnya di Pulau Tulagi dan Pulau Florida. Sebagai perlindungan bagi serangan ke Tulagi, Gavutu, dan Tanambogo, Marinir Amerika Serikat dari Batalion I Marinir dan Resimen Marinir II didaratkan di Pulau Floria pada pukul 07.40 tanpa mendapat perlawanan. Mereka dipandu ke lokasi sasaran oleh beberapa orang Australia, seperti Letnan Frank Stackpool yang akrab dengan daerah Florida-Tulagi karena sebelumnya pernah tinggal dan bekerja di daerah itu.[20] Pertempuran TulagiPagi pukul 08.00, dua batalion Marinir Amerika Serikat, termasuk Batalion Raider I di bawah Letnan Kolonel Merritt A. Edson dan Batalion II Resimen V Marinir (2/5) melakukan pendaratan tanpa perlawanan di pantai barat Tulagi, sekitar di tengah-tengah antara kedua ujung pulau yang berbentuk persegi panjang.[21] Tumpukan karang dekat pantai menghalangi kapal pendarat hingga tidak dapat sampai di pantai. Meskipun demikian, pasukan Marinir mampu mengarungi sisa 100 meter tanpa hambatan dari tentara Jepang, yang tampaknya terkejut melihat pendaratan musuh, dan belum mulai melakukan perlawanan terorganisir. Pada waktu itu, pasukan Jepang di Tulagi dan Gavutu, satu detasemen Korps Khusus Angkatan Laut 3 Kure (SNLF), ditambah personel Satuan Udara Yokohama di bawah komando Kapten Shigetoshi Miyazaki memberi isyarat kepada komandan mereka di Rabaul, Kapten Sadayoshi Yamada bahwa Tulagi sedang diserang, dan sedang menghancurkan peralatan dan dokumen-dokumen. Berita ditutup dengan pesan, "Kekuatan pasukan musuh sangat luar biasa, Kami akan bertahan sampai titik darah penghabisan." Komandan unit SNLF Masaaki Suzuki memerintahkan anak buahnya untuk bersiap dalam posisi defensif di Tulagi dan Gavutu.[22] Pasukan Marinir dari Batalion 2 Resimen V mengamankan ujung barat laut Tulagi tanpa perlawanan. Mereka lalu bertemu dengan Batalion Raider Edson, dan sepanjang hari bersama-sama maju ke ujung tenggara pulau sambil mengalahkan beberapa kantong-kanting pertahanan Jepang uang terisolir. Sekitar tengah hari, Suzuki mereposisi pertahanan utama Jepang ke garis 9°6′26″S 160°8′56″E / 9.10722°S 160.14889°E di atas sebuah bukit yang disebut Bukit 281 oleh pasukan Amerika (Bukit 280 menurut beberapa sumber) dengan memanfaatkan ketinggian lokasi dan jurang dalam yang berdekatan di ujung tenggara pulau. Pertahanan Jepang termasuk puluhan gua di tebing-tebing batu gamping yang digali saling bersambungan oleh terowongan, serta liang-liang senapan mesin yang dilindungi oleh karung-karung pasir. Pasukan Marinir sampai ke daerah pertahanan Jepang menjelang senja. Sadar mereka tidak memiliki waktu terang yang tersisa untuk melakukan serangan skala penuh, marinir mulai menggali lubang untuk bertahan malam itu.[23] Sepanjang malam itu, tentara Jepang menyerang posisi Marinir sebanyak lima kali, dimulai pukul 22.30.[24] Serangan Jepang terdiri dari serbuan frontal, selain upaya-upaya infiltrasi dalam regu-regu kecil atau secara individu ke arah pos komando Edson. Sebagai akibatnya, beberapa kali terjadi perkelahian satu lawan satu melawan Marinir. Tentara Jepang sempat menembus garis pertahanan Marinir dan merebut sebuah senapan mesin, namun dipukul mundur kemudian. Setelah menderita kerugian lebih banyak, garis pertahanan Marinir dapat dipertahankan hingga malam selesai. Tentara Jepang menderita kerugian besar dalam serangan mereka. Hanya dalam semalam, seorang Marinir bernama Edward H. Ahrens menewaskan 13 prajurit Jepang yang menyerang posisinya sebelum ia sendiri tewas.[25] Mengenai serangan Jepang pada malam itu, saksi mata prajurit raider Marinir Pete Sparacino berkata,
Dini hari 8 Agustus, enam penyusup Jepang yang bersembunyi di bawah beranda bekas markas besar kolonial Inggris menembak dan menewaskan tiga anggota Marinir. Hanya dalam waktu lima menit kemudian, anggota Marinir yang lain menewaskan enam tentara Jepang dengan granat. Selanjutnya pagi itu, setelah mendaratkan pasukan tambahan yang disebut Batalion 2 Resimen II Marinir (2/2), pasukan Marinir mengepung Bukit 281 dan jurang di dekatnya. Bukit dan jurang dibombardir dengan tembakan mortir sepanjang pagi, dan Marinir menyerang dua posisi Jepang, termasuk dengan memakai peledak improvisasi untuk menghabisi tentara Jepang yang bertahan di banyak gua-gua dan lubang-lubang perlindungan pada bukit dan jurang.[27] Posisi pertahanan Jepang satu demi satu dihancurkan dengan peledak hasil improvisasi. Perlawanan berarti dari tentara Jepang berakhir menjelang siang hari, walaupun beberapa prajurit yang tersisa masih dapat ditemukan dan dibunuh pada beberapa hari berikutnya.[28] Dalam pertempuran Tulagi, 307 prajurit Jepang dan 45 prajurit Amerika Serikat tewas. Tiga prajurit Jepang ditawan.[29] Pertempuran Gavutu–TanambogoPulau-pulau kecil Gavutu dan Tanambogo yang berdekatan dijadikan pangkalan pesawat amfibi Jepang serta didiami 536 personel angkatan laut Jepang dari Satuan Udara Yokohama dan Korps Khusus Pendaratan Angkatan Laut 3 Kure, ditambah teknisi sipil serta buruh Jepang dan Korea dari Unit Konstruksi 14.[30] Dua pulau Gavutu dan Tanambogo pada dasarnya adalah gundukan karang, keduanya memiliki ketinggian sekitar 42 meter, dan dihubungkan satu sama lain oleh jalan lintas yang panjangnya 500 meter. Pihak Amerika menyebut bukit-bukit di Gavutu dan Tanambogo sebagai Bukit 148 dan Bukit 121 sesuai ketinggian mereka diukur dengan satuan kaki.[31] Tentara Jepang berkubu di bunker-bunker dan gua-gua yang mereka bangun dengan kuatnya di kedua bukit tersebut.[32] Selain itu, tentara Jepang yang berkubu di kedua pulau dapat saling membantu karena masing-masing berada dalam jarak sasaran tembak senapan mesin satu sama lainnya. Pihak Amerika bahkan keliru mempercayai kedua pulau tersebut hanya dijaga oleh 200 prajurit angkatan laut dan pekerja konstruksi.[33] Pada 7 Agustus pukul 12.00, Gavutu diserang oleh Batalion Parasut 1 Marinir Amerika Serikat yang berkekuatan 397 prajurit. Serangan mereka dilakukan pada tengah hari karena tidak ada cukup pesawat untuk memberi perlindungan udara bagi pendaratan yang dilakukan pada saat yang sama di Guadalkanal, Tulagi, dan Gavutu.[34] Bombardemen dari angkatan laut yang terjadi sebelumnya telah merusakkan ramp pesawat amfibi hingga memaksa kapal pendarat angkatan laut mendaratkan pasukan marinir di lokasi yang lebih terbuka di pantai kecil yang berdekatan, dan berlabuh di 9°6′53.30″S 160°11′19.20″E / 9.1148056°S 160.1886667°E. Tembakan senapan mesin Jepang mulai mengakibatkan kerugian besar, menewaskan atau melukai 1 dari 10 Marinir yang didaratkan ketika mereka cerai-berai naik ke darat sambil berusaha menghindari tembakan silang yang datang dari kedua arah pulau.[35] Marinir yang selamat berhasil memasang dua senapan mesin Browning untuk menekan tembakan yang datang dari gua-gua di bukit Gavutu, dan memberi kesempatan bagi lebih banyak Marinir untuk masuk jauh ke darat dari lokasi pendaratan. Sambil mencari perlindungan, para Marinir menjadi kocar-kacir dan berada dalam keadaan terjepit. Perwira operasi batalion Kapten George Stallings memerintahkan Marinir untuk memulai tembakan yang menekan musuh dengan memakai senapan mesin dan mortir ke kedudukan senapan mesin Jepang di Tanambogo. Tidak lama kemudian, pesawat pengebom tukik Amerika Serikat menjatuhkan beberapa bom di Tanambogo yang mengurangi volume tembakan dari lokasi tersebut.[36] Setelah sekitar dua jam, Marinir tiba dan mulai mendaki Bukit 148. Di mulai dari puncak, para Marinir mulai membersihkan posisi-posisi pertahanan Jepang dari bukit—sebagian besar di antaranya masih aktif—dengan memakai bahan peledak, granat tangan, dan pertarungan satu lawan satu.[37] Dari puncak bukit, para Marinir juga berhasil meningkatkan tembakan yang menekan posisi-posisi Jepang di Tanambogo.[38] Komandan batalion Marinir di Gavutu meradio Jenderal Rupertus untuk meminta penambahan pasukan sebelum mencoba menyerbu ke Tanambogo.[39] Sebagian besar dari 240 personel Jepang yang bertahan di Tanambogo adalah awak pesawat dan awak pemeliharaan dari Satuan Udara Yokohama. Satu kompi Marinir dari Batalion 1, Resimen II Marinir dikirim Jenderal Rupertus ke Pulau Florida untuk membantu penyerangan ke Tanambogo. Rupertus tidak mengindahkan saran dari stafnya yang mengatakan satu kompi saja tidak cukup. Keliru mempercayai pertahanan Jepang di Tanambogo hanya ringan, kompi yang dikirim Rupertus mencoba melakukan serangan amfibi secara langsung ke Tanambogo tak lama setelah hari mulai gelap pada 7 Agustus. Diterangi oleh tembakan-tembakan yang dimulai saat kapal-kapal angkatan laut Amerika Serikat melakukan bombardemen ke arah pulau, 5 kapal pendarat yang mengangkut kompi Marinir dijadikan sasaran tembakan gencar ketika mereka mendekat ke pantai. Hasilnya, banyak awak perahu pendarat dari Angkatan Laut Amerika Serikat tewas atau luka, serta ketiga perahu pendarat rusak berat. Sadar keadaan sudah tidak menguntungkan lagi, komandan kompi Marinir memerintahkan perahu-perahu yang tersisa untuk berangkat dengan membawa marinir yang terluka. Ia sendiri dan selusin anak buah yang telah mendarat berlari melintasi jalan lintas untuk berlindung di Gavutu. Tentara Jepang pada hari itu mengalami kerugian 10 orang tewas.[40] Sepanjang malam itu, Marinir di Gavutu dilindungi oleh hujan badai yang lebat sementara tentara Jepang melakukan serangan-serangan terpisah terhadap mereka. Vandegrift bersiap mengirim pasukan bantuan untuk membantu penyerangan ke Tanambogo. Batalion 3 Resimen II Marinir (3/2) yang sedang berada di atas kapal di lepas pantai Guadalkannal diberi tahu untuk bersiap menyerang Tanambogo pada 8 Agustus.[41] Batalion 3 mulai mendarat di Gavutu pada 8 Agustus pukul 10.00, dan membantu menghancurkan pertahanan Jepang yang tersisa di pulau itu. Setelah tugas mereka selesai pada pukul 12.00,[42] Batalion 3 kemudian siap untuk menyerang Tanambogo. Para Marinir di Gavutu memberikan perlindungan tembakan ketika Batalion 3 menyerang. Sebagai persiapan sebelum melakukan serangan, mereka meminta bombardemen dari pesawat pengebom tukik kapal induk Amerika Serikat dan tembakan meriam angkatan laut. Setelah pesawat dari kapal induk secara tidak sengaja menjatuhkan bom ke pasukan Marinir Amerika Serikat di Gavutu yang menewaskan 4 prajurit, dukungan udara dari kapal induk dibatalkan. Meskipun demikian, San Juan menempatkan tembakan-tembakan meriamnya pada sasaran yang tepat, dan menembaki Tanambogo selama 30 menit. Serangan Marinir dimulai pukul 16.15 dari perahu pendarat dan seberang jalan pintas, serta dibantu dua tank ringan Stuart. Marinir mulai mendapat kemajuan melawan pertahanan Jepang. Salah satu dari dua tank terpisah dari dukungan infanteri karena tersangkut tunggul pohon. "Gerombolan ganas" yang terdiri dari 50 awak pesawat Jepang mengelilingi tank dan membakarnya. Dua awak tank tewas sementara dua awak lainnya dipukuli hingga terluka parah sebelum sebagian besar dari penyerang tewas akibat tembakan senapan Marinir. Total 42 tentara Jepang tewas terhitung oleh Marinir di sekeliling tank yang terbakar, termasuk perwira pelaksana dari Satuan Udara Yokohama dan beberapa pilot pesawat amfibi. Salah seorang tentara Jepang yang selamat dalam peristiwa tank tersebut berkata, "Saya ingat, saya lihat atasan saya Mayor Udara Saburo Katsuta di atas tank. Itu untuk terakhir kali saya melihatnya."[43] Sepanjang hari itu, pasukan Marinir secara sistematis mendinamit gua-gua, dan sebagian besar telah dihancurkan pada pukul 21.00.[44] Sejumlah kecil tentara Jepang yang selamat melakukan serangan-serangan terpisah sepanjang malam, di antaranya termasuk perkelahian satu lawan satu. Pada tengah hari 9 Agustus, semua pertahanan Jepang di Tanambogo telah hancur.[45] Dalam pertempuran merebut Gavutu dan Tanambogo, 476 tentara Jepang dan 70 anggota Marinir dan Angkatan Laut Amerika Serikat tewas. Dari 20 tentara Jepang yang ditawan selama pertempuran, sebagian besar di antaranya bukan tentara Jepang melainkan pekerja Korea yang tergabung dalam unit konstruksi Jepang.[46] Pendaratan di GuadalcanalBerbeda dari Tulagi, Gavutu, dan Tanambogo, pendaratan di Guadalkanal menemui perlawanan yang jauh lebih sedikit. Pada 7 Agustus pukul 09.10, Jenderal Vandegrift dan 11.000 prajurit Marinir Amerika Serikat mendarat di pantai Guadalkanal antara Tanjung Koli dan Tanjung Lunga. Gerak maju mereka menuju Tanjung Lunga tidak menemui perlawanan kecuali dari hutan hujan yang "lebat". Mereka berhenti untuk bermalam sekitar 1.000 meter dari lapangan terbang Tanjung Lunga. Keesokan harinya—lagi-lagi hanya menemui sedikit perlawanan—pasukan Marinir maju sampai ke Sungai Lunga. Lapangan terbang telah berhasil diamankan pada 8 Agustus pukul 16.00. Unit konstruksi angkatan laut Jepang telah meninggalkan kawasan lapangan terbang, meninggalkan makanan, persediaan, dan peralatan konstruksi serta kendaraan dalam keadaan utuh.[47] PascapertempuranSelama pertempuran, sekitar 80 tentara Jepang melarikan diri dari Tulagi dan Gavutu–Tanambogo dengan cara berenang ke Pulau Florida. Namun, mereka semuanya diburu dan tewas oleh pasukan Marinir dan Pasukan Pertahanan Kepulauan Solomon Protektorat Inggris selama dua bulan berikutnya.[48] Sekutu dengan segera mengubah pelabuhan Tulagi yang merupakan salah satu dari pelabuhan alam terbaik di Pasifik Selatan, menjadi pangkalan angkatan laut dan stasiun pengisian bahan bakar Sekutu. Selama kampanye Guadalkanal dan Kepulauan Solomon, Tulagi merupakan pangkalan penting bagi operasi laut Sekutu. Selama berlangsungnya kampanye Guadalkanal, kawasan laut di sekitarnya berada dalam kekuasaan Jepang pada malam hari sehingga kapal-kapal Sekutu di daerah Guadalcanal yang tidak dapat berangkat sebelum malam tiba biasanya berlindung di pelabuhan Tulagi. Kapal-kapal Sekutu yang rusak dalam pertempuran laut antara Agustus dan Desember 1942 di sekitar Guadalkanal biasanya berlabuh di pelabuhan Tulagi untuk perbaikan sementara sebelum menuju pelabuhan di garis belakang untuk perbaikan permanen.[49] Pada akhir kampanye Guadalkanal, Tulagi juga dijadikan pangkalan untuk PT boat yang berusaha menghancurkan konvoi Tokyo Express milik Jepang yang bolak-balik membawa logistik dan pasukan bantuan ke Guadalkanal. Kecuali sejumlah prajurit yang ditinggalkan untuk membangun, menjaga, dan mempertahankan pangkalan di Tulagi, sebagian besar prajurit Marinir Amerika Serikat yang melakukan serangan ke Tulagi dan pulau-pulau kecil sekitarnya telah dipindahkan ke Guadalkanal untuk membantu pertahanan lapangan udara di Tanjung Lunga yang kemudian oleh Sekutu disebut Lapangan Udara Henderson. Lapangan Udara Henderson di kemudian hari menjadi tempat berlangsungnya pertempuran menentukan di Guadalkanal.[50] Mengenang TulagiPertempuran di Tulagi diperingati dengan menjadikannya nama kapal induk pengawal Angkatan Laut Amerika Serikat USS Tulagi. Kapal induk Tulagi berada dalam dinas aktif dari tahun 1943 hingga 1946. Catatan kaki
Referensi
Pranala luarWikimedia Commons memiliki media mengenai Battle of Tulagi and Gavutu-Tanambogo.
Bacaan selanjutnya
|