Pluto
Pluto (nama planet minor: 134340 Pluto) adalah planet katai di sabuk Kuiper dan objek trans-Neptunus pertama yang ditemukan. Pluto merupakan planet katai terbesar dan bermassa terbesar kedua di Tata Surya dan benda terbesar kesembilan dan bermassa terbesar kesepuluh yang mengorbit Matahari secara langsung. Pluto merupakan objek trans-Neptunus dengan volume terbesar dan massa yang sedikit lebih kecil daripada Eris, planet katai di piringan tersebar. Layaknya objek lain di sabuk Kuiper, Pluto terdiri dari batu dan es[13] dan relatif kecil—kurang lebih seperenam massa Bulan dan sepertiga volume Bulan. Pluto memiliki orbit eksentris dan miring dengan jarak 30 sampai 49 satuan astronomi (4,4–7,3 miliar km) dari Matahari. Ini berarti ada saatnya Pluto lebih dekat ke Matahari daripada Neptunus; resonansi orbit yang stabil dengan Neptunus membuat kedua planet ini tidak bertabrakan. Pada tahun 2014, Pluto berjarak 32,6 sa dari Matahari. Cahaya Matahari butuh waktu 5,5 jam untuk mencapai Pluto pada jarak rata-ratanya (39,4 sa).[14] Pluto ditemukan tahun 1930 dan awalnya dinyatakan sebagai planet kesembilan dari Matahari. Setelah 1992, status planetnya dipertanyakan setelah para astronom menemukan sabuk Kuiper, lingkaran objek di luar Neptunus yang mencakup Pluto dan benda-benda lainnya. Tahun 2005, Eris, yang massanya 27% lebih besar daripada Pluto, ditemukan. Persatuan Astronomi Internasional (IAU) mengeluarkan definisi resmi "planet" untuk pertama kalinya pada tahun 2006.[15] Pluto tidak sesuai dengan definisi ini dan dipindahkan ke golongan "planet katai" yang baru saja dibuat, lebih tepatnya plutoid.[16] Sejumlah astronom meyakini bahwa Pluto masih dianggap sebagai planet.[17][18][19] Pluto sejauh ini diketahui memiliki lima satelit: Charon (terbesar; diameternya separuh diameter Pluto), Styx, Nix, Kerberos, dan Hydra.[20] Pluto dan Charon kadang dianggap sistem biner karena barisenter orbit mereka terletak di antara kedua objek ini.[21] IAU belum meresmikan definisi planet katai biner, dan Charon dinyatakan secara resmi sebagai satelit Pluto.[22] Pada tanggal 14 Juli 2015, New Horizons menjadi wahana pertama yang terbang melewati Pluto.[23][24][25][26] NASA berencana melakukan pengukuran rinci dan mengambil foto-foto Pluto beserta satelit-satelitnya menggunakan wahana New Horizons.[27][28] SejarahPenemuanPada tahun 1840-an, Urbain Le Verrier menggunakan mekanika Newton untuk memperkirakan posisi planet Neptunus yang saat itu belum ditemukan setelah menganalisis perturbasi di orbit Uranus.[29] Pengamatan Neptunus pada akhir abad ke-19 membuat para astronom berspekulasi bahwa orbit Uranus dipengaruhi oleh planet lain selain Neptunus. Tahun 1906, Percival Lowell—seorang warga Boston yang mendirikan Observatorium Lowell di Flagstaff, Arizona, pada 1894—merintis proyek jangka panjang untuk mencari planet kesembilan yang ia juluki "Planet X".[30] Pada 1909, Lowell dan William H. Pickering memberi beberapa perkiraan koordinat langit untuk planet tersebut.[31] Lowell dan observatoriumnya melakukan pencarian ini tanpa hasil sampai ia meninggal dunia tahun 1916. Tanpa sepengetahuan Lowell, surveinya menangkap dua foto Pluto yang kabur pada tanggal 19 Maret dan 7 April 1915, tetapi statusnya belum diketahui saat itu.[31][32] Terdapat empat belas pengamatan pratemuan lainnya waktu itu; temuan tertua dilakukan oleh Observatorium Yerkes tanggal 20 Agustus 1909.[33] Karena terlibat sengketa hukum selama sepuluh tahun dengan Constance Lowell, istri Percival, yang berusaha merebut bagian warisan observatorium Lowell senilai jutaan dolar, pencarian Planet X dihentikan sampai tahun 1929.[34] Direktur observatorium, Vesto Melvin Slipher, langsung menyerahkan tugas pencarian Planet X ke Clyde Tombaugh, seorang warga Kansas berusia 23 tahun yang didatangkan ke Observatorium Lowell karena Slipher terpesona oleh sampel gambar astronominya.[34] Tugas Tombaugh adalah memetakan langit malam secara sistematis melalui beberapa pasangan foto, lalu mempelajari setiap pasangan foto dan menentukan objek-objek yang berpindah posisi. Menggunakan pembanding kedip, ia dengan cepat memindah-mindahkan setiap lempeng foto untuk menciptakan ilusi gerak objek yang berpindah posisi atau berubah bentuk. Pada tanggal 18 Februari 1930, setelah satu tahun mencari, Tombaugh menduga ada objek yang bergerak di lempeng foto yang diambil tanggal 23 dan 29 Januari 1930. Foto berkualitas lebih rendah yang diambil tanggal 21 Januari membuktikan pergerakan tersebut.[35] Setelah pihak observatorium mengambil foto-foto lain untuk memperkuat bukti tersebut, kabar penemuan ini disampaikan ke Harvard College Observatory tanggal 13 Maret 1930.[31] NamaPenemuan ini diliput secara luas di seluruh dunia. Observatorium Lowell, pemegang hak pemberian nama objek baru ini, menerima lebih dari 1.000 sumbangan nama dari seluruh dunia, mulai dari Atlas sampai Zymal.[36] Tombaugh meminta Slipher menyumbang nama untuk objek ini sebelum didahului orang lain.[36] Constance Lowell mengusulkan Zeus, Percival, dan Constance. Usulan tersebut diabaikan.[37] Nama Pluto, diambil dari dewa dunia bawah, diusulkan oleh Venetia Burney (1918–2009), pelajar berusia 11 tahun asal Oxford, Inggris, yang tertarik dengan mitologi klasik.[38] Ia mengusulkan nama ini saat sedang bercakap-cakap dengan kakeknya, Falconer Madan, mantan pustakawan di Bodleian Library, Universitas Oxford. Madan meneruskan usulan nama tersebut ke dosen astronomi Herbert Hall Turner. Turner menyampaikannya ke rekan-rekannya di Amerika Serikat.[38] Objek ini memiliki nama resmi pada 24 Maret 1930.[39][40] Setiap anggota Observatorium Lowell diberi hak suara untuk memilih satu dari tiga nama: Minerva (sudah menjadi nama asteroid), Cronus (reputasinya rendah karena diusulkan oleh astronom Thomas Jefferson Jackson See yang kurang tepercaya), dan Pluto. Pluto mendapat suara bulat.[41] Nama ini diumumkan tanggal 1 Mei 1930.[38] Setelah diumumkan, Madan memberikan Venetia hadiah sebesar £5 (setara dengan £290, atau $430 USD tahun 2016),[42].[38] Pilihan nama ini didorong oleh fakta bahwa dua huruf pertama Pluto adalah inisial Percival Lowell, dan salah satu simbol astronomi Pluto (, unicode U+2647, ♇) merupakan monogram yang dibentuk dari huruf 'PL'.[43] Simbol lainnya (, U+2BD3, ⯓) mirip dengan simbol Neptunus (), tetapi memiliki lingkaran tambahan di tengah trisula.[44] Ini jarang terjadi dalam astronomi saat ini, tetapi umum dalam astrologi. Nama ini pun langsung disambut secara luas. Pada tahun 1930, Walt Disney tampaknya terinspirasi oleh nama ini setelah ia memperkenalkan anjing pendamping Mickey Mouse bernama Pluto, tetapi animator Disney Ben Sharpsteen tidak dapat mengonfirmasi sebab anjing tersebut diberi nama demikian.[45] Tahun 1941, Glenn T. Seaborg mengadopsi nama elemen kimia plutonium dari planet Pluto sesuai tradisi penamaan planet baru. Plutonium diberi nama setelah uranium, dari Uranus, dan neptunium, dari Neptunus.[46] Sebagian besar bahasa di dunia menggunakan nama "Pluto" dalam berbagai transliterasi.[h] Dalam bahasa Jepang, Houei Nojiri mengusulkan terjemahan Meiōsei (冥王星, "Bintang Raja (Dewa) Dunia Bawah"), dan kata ini dipinjam oleh bahasa Cina, Korea, dan Vietnam.[47][48][49] Sejumlah bahasa di India memakai nama Pluto, sedangkan bahasa-bahasa lainnya seperti Hindi memakai nama Yama, Penjaga Neraka dalam mitologi Hindu dan Buddha, demikian halnya dengan bahasa Vietnam.[48] Rumpun bahasa Polinesia cenderung memakai nama dewa dunia bawah pribumi, misalnya Whiro dalam bahasa Maori.[48] Planet XSetelah ditemukan, redupnya Pluto dan tidak adanya piringan pasti membuat gagasan Planet X Lowell diragukan.[30] Perkiraan massa Pluto diperkecil terus menerus sepanjang abad ke-20.[50]
Astronom awalnya menghitung massa Pluto berdasarkan dugaan pengaruhnya terhadap Neptunus dan Uranus. Pada tahun 1931, Pluto diperkirakan memiliki massa yang kurang lebih sama dengan Bumi. Perkiraan tahun 1948 menyamakan massa Pluto dengan massa Mars.[52][54] Tahun 1976, Dale Cruikshank, Carl Pilcher, dan David Morrison dari Universitas Hawaii menghitung albedo Pluto untuk pertama kalinya dan membuktikan bahwa albedo Pluto sesuai dengan ciri-ciri es metana; ini berarti Pluto sangat cerah untuk planet seukurannya sehingga ukurannya pasti kurang dari 1 persen massa Bumi.[55] (albedo Pluto 1.3–2.0 kali lebih besar daripada albedo Bumi.[2]) Pada tahun 1978, penemuan satelit Pluto, Charon, memungkinkan pengukuran massa Pluto untuk pertama kalinya: kurang lebih 0,2% massa Bumi, dan terlalu kecil bila ikut mempertimbangkan ketidaksesuaian di orbit Uranus. Beberapa pencarian Planet X alternatif selanjutnya, terutama oleh Robert Sutton Harrington,[57] gagal. Tahun 1992, Myles Standish menggunakan data penerbangan Voyager 2 saat melewati Neptunus tahun 1989 yang merevisi perkiraan massa Neptunus menjadi 0,5%—sebanding dengan massa Mars—untuk menghitung ulang pengaruh gravitasi Pluto terhadap Uranus. Dengan perhitungan baru, ketidaksesuaian orbit dan pencarian Planet X tidak berlaku lagi.[58] Kini, hampir semua ilmuwan sepakat bahwa Planet X sesuai definisi Lowell tidak pernah ada.[59] Lowell membuat prediksi orbit dan posisi Planet X pada tahun 1915 yang persis dengan orbit dan posisi Pluto pada saat itu. Setelah Pluto ditemukan, Ernest W. Brown segera menyimpulkan bahwa prediksi ini hanya kebetulan saja;[60] pendapat ini masih dipercayai sampai sekarang.[58] PengelompokanKesalahan: silakan tentukan gambar dalam baris pertama Sejak 1992 sampai seterusnya, banyak benda angkasa yang ditemukan mengorbit di wilayah yang sama seperti Pluto, artinya Pluto merupakan bagian dari populasi objek bernama sabuk Kuiper. Hal ini membuat status planetnya dipertanyakan. Banyak pihak mempersoalkan tergolong atau tidaknya Pluto dengan populasi sekitarnya. Direktur museum dan planetarium menciptakan kontroversi dengan menurunkan Pluto dari model planet-planet Tata Surya. Hayden Planetarium dibuka kembali—bulan Februari 2000 setelah direnovasi—dengan model delapan planet dan baru diliput secara luas hampir satu tahun kemudian.[61] Seiring ditemukannya objek-objek yang ukurannya sama dengan Pluto di wilayah tersebut, para ilmuwan berpendapat bahwa Pluto perlu dikelompokkan sebagai salah satu objek sabuk Kuiper; Ceres, Pallas, Juno, dan Vesta juga kehilangan status planetnya setelah banyak asteroid ditemukan di sekitarnya. Tanggal 29 Juli 2005, para astronom mengumumkan penemuan objek trans-Neptunus baru, Eris, yang diperkirakan lebih besar daripada Pluto. Ini merupakan objek terbesar yang ditemukan di Tata Surya sejak Triton tahun 1846. Para penemu dan pers awalnya menyebut Eris planet kesepuluh, tetapi tidak ada konsensus resmi perihal status planetnya.[62] Pihak lain di komunitas astronom menganggap penemuan ini alasan terkuat untuk mengganti status Pluto menjadi planet minor.[63] Pengelompokan IAUPerdebatan mulai muncul pada tanggal 24 Agustus 2006 seiring diterbitkannya resolusi IAU yang menetapkan definisi kata "planet" secara resmi. Menurut resolusi tersebut, ada tiga syarat utama agar suatu objek dapat dianggap sebagai "planet":
Pluto gagal memenuhi syarat ketiga, karena massany hanya 0,07 kali massa objek-objek lain di orbitnya (sebagai perbandingan, massa Bumi 1,7 juta kali lipat massa objek yang tersisa di orbitnya).[63][65] IAU juga memutuskan bahwa benda-benda seperti Pluto yang tidak memenuhi syarat ketiga akan dikelompokkan sebagai planet katai. Pada tanggal 13 September 2006, IAU memasukkan Pluto dan Eris beserta sateltinya, Dysnomia, ke Minor Planet Catalogue. Masing-masing diberi penanda planet kecil resmi "(134340) Pluto", "(136199) Eris", dan "(136199) Eris I Dysnomia".[66] Apabila Pluto diberi penanda saat ditemukan, angka penandanya sekitar 1.164, bukan 134.340. Ada berbagai penolakan dari komunitas astronom terkait pengelompokan ulang ini.[67][68][69] Alan Stern, penyidik utama misi New Horizons NASA ke Pluto, menolak resolusi IAU secara terbuka; ia menyatakan bahwa "definisi ini jelek karena alasan teknis".[70] Stern keberatan karena menurut definisi baru ini, Bumi, Mars, Jupiter, dan Neptunus yang berbagi orbit dengan asteroid tidak bisa dikatakan sebagai planet.[71] Ia berpendapat bahwa semua satelit bulat berukuran besar, termasuk Bulan, justru bisa dikatakan sebagai planet.[19] Klaim Stern yang lain adalah karena kurang dari lima persen astronom yang mendukung resolusi ini, keputusan IAU tidak mewakili seluruh komunitas astronom.[71] Marc W. Buie, astronom Observatorium Lowell, menyampaikan pendapatnya soal definisi baru ini di situs webnya dan menolak definisi ini.[72] Astronom lainnya mendukung IAU. Mike Brown, astronom yang menemukan Eris, mengatakan bahwa "melalui prosedur rumit yang mirip sirkus ini, entah bagaimana muncullah jawaban yang tepat. Jawaban ini sudah dinanti-nanti. Ilmu pengetahuan pada akhirnya akan memperbaiki diri sendiri meskipun melibatkan emosi yang kuat."[73] Tanggapan masyarakat terhadap keputusan IAU beragam. Walaupun banyak yang menerima pengelompokan ulang ini, banyak pula pihak yang berusaha membatalkan keputusan ini lewat petisi daring agar IAU mempertimbangkan kembali definisi baru tersebut. Resolusi yang diperkenalkan oleh beberapa anggota Majelis Negara Bagian California menyebut keputusan IAU sebagai "penistaan ilmu pengetahuan".[74] Dewan Perwakilan Rakyat New Mexico mengesahkan resolusi yang menyatakan bahwa Pluto diakui sebagai planet di langit New Mexico sebagai penghormatan kepada Tombaugh, warga New Mexico; resolusi tersebut juga menyatakan 13 Maret 2007 sebagai Hari Planet Pluto.[75][76] Senat Illinois mengesahkan resolusi serupa pada tahun 2009 atas dasar bahwa Clyde Tombaugh, penemu Pluto, lahir di Illinois. Resolusi tersebut menegaskan bahwa Pluto "diturunkan statusnya secara tidak adil menjadi planet 'kerdil'" oleh IAU.[77] Sejumlah tokoh masyarakat juga menolak perubahan ini atas alasan tidak adanya kesepakatan di kalangan ilmuwan seputar isu ini atau kemungkinan bahwa para ilmuwan selalu mengakui Pluto sebagai planet dengan alasan sentimental sekalipun keputusan IAU menyatakan sebaliknya.[78] Pada tahun 2006, dalam pemilihan Kata Pilihan ke-17, American Dialect Society memilih plutoed (terplutokan) sebagai kata pilihan tahun 2006. "Memplutokan" berarti "menurunkan derajat atau nilai seseorang atau sesuatu".[79] Peneliti dari dua kubu yang bertentangan mengadakan pertemuan pada tanggal 14–16 Agustus 2008 di Johns Hopkins University Applied Physics Laboratory. for a conference that included back-to-back talks on the current IAU definition of a planet.[80] Dengan tajuk "The Great Planet Debate",[81] konferensi ini merilis pernyataan pascakonferensi bahwa para ilmuwan gagal menyepakati definisi planet.[82] Tepat sebelum konferensi ini, pada tanggal 11 Juni 2008, IAU mengumumkan bahwa kata "plutoid" akan digunakan untuk menyebut Pluto dan objek-objek lain dengan sumbu semi-mayor orbit yang lebih besar daripada sumbu semi-mayor Neptunus dan massa yang cukup untuk membuatnya nyaris bulat.[83][84][85] Orbit dan rotasiPeriode orbit Pluto adalah 248 tahun Bumi. Ciri orbitnya sangat berbeda dengan ciri orbit planet yang melingkar mengelilingi Matahari dengan bidang acuan nyaris datar (ekliptika). Sebaliknya, orbit Pluto justru sangat terinklinasi relatif ke ekliptika (lebih dari 17°) dan eksentris (eliptis). Eksentrisitas yang tinggi ini berarti ada wilayah orbit Pluto yang lebih dekat dengan Matahari daripada orbit Neptunus. Barisenter Pluto–Charon mencapai perihelion pada tanggal 5 September 1989,[1][i] dan diketahui terakhir kali lebih dekat ke Matahari daripada Neptunus antara tanggal 7 Februari 1979 dan 11 Februari 1999.[86] Dalam jangka panjang, orbit Pluto berantakan (chaotic). Walaupun simulasi komputer dapat digunakan untuk memprediksi posisinya sampai beberapa juta tahun (ke depan dan belakang), setelah waktu jedanya lebih panjang daripada waktu Lyapunov (10–20 juta tahun), perhitungan komputer mulai mengarah ke spekulasi: Pluto sensitif terhadap hal-hal kecil yang tak terukur di Tata Surya dan faktor-faktor tak terbayangkan yang perlahan akan mengganggu orbitnya.[87][88] Hubungan dengan NeptunusMeski orbit Pluto tampaknya melintasi orbit Neptunus apabila dilihat secara langsung dari atas, orbit kedua objek ini sejajar sehingga mereka tidak akan pernah bertabrakan atau berdekatan. Ada beberapa alasan yang memungkinan fenomena ini. Sederhananya, seorang pengamat dapat mengamati dua orbit ini dan melihat bahwa keduanya tidak berpotongan. Ketika Pluto berada di jarak terdekat dengan Matahari, atau terdekat dengan orbit Neptunus bila dilihat dari atas, Pluto juga berada pada jarak terjauh di atas orbit Neptunus. Orbit Pluto melintas kira-kira 8 SA di atas orbit Neptunus sehingga mencegah terjadinya tabrakan.[89][90][91] Titik naik dan turun Pluto, yaitu titik-titik saat orbitnya melintasi ekliptika, saat ini terpisah dari titik naik dan turun Neptunus sebesar lebih dari 21°.[92] Ini sendiri tidak cukup untuk melindungi Pluto; perturbasi dari beberapa planet lain (khususnya Neptunus) mampu mengubah beberapa aspek orbit Pluto (misalnya presesi orbitnya) dalam kurun jutaan tahun dan meningkatkan kemungkinan tabrakan. Ada beberapa mekanisme lain yang memengaruhi Pluto. Salah satunya, Pluto berada dalam resonansi gerak rata-rata 2:3 dengan Neptunus, artinya setiap kali Pluto melakukan dua putaran orbit, Neptunus melakukan tiga putaran. Kedua objek ini kemudian kembali ke posisi awalnya dan siklus ini berulang kembali; setiap siklus berlangsung sekitar 500 tahun. Dalam siklus 500 tahun, pola ini sangat teratur sehingga ketika Pluto pertama kali berada di dekat perihelion, Neptunus berada lebih dari 50° di belakang Pluto. Ketika Pluto mendekati perihelion kedua, Neptunus sudah mengitari satu setengah orbitnya dengan jarak yang sama di depan Pluto. Jarak minimal Pluto dan Neptunus adalah lebih dari 17 SA, lebih besar daripada jarak minimal Pluto dan Uranus (11 SA).[91] Resonansi 2:3 antara kedua objek ini sangat stabil selama jutaan tahun.[93] Ini mencegah perubahan orbit relatif terhadap satu sama lain; siklus ini selalu berulang dengan cara yang sama sehingga kedua objek ini tidak akan bisa melintas dekat satu sama lain. Bahkan apabila orbit Pluto tidak berinklinasi tinggi, kedua objek ini tidak akan bisa bertabrakan.[91] Faktor lainBerbagai penelitian membuktikan bahwa selama jutaan tahun, sifat umum kesejajaran orbit Pluto dan Neptunus tidak berubah.[89][94] Ada beberapa resonansi dan interaksi lain yang mengatur hal-hal rinci dari gerak relatif keduanya dan menstabilkan Pluto. Resonansi dan interaksi ini berasal dari dua mekanisme tambahan (selain resonansi gerak rata-rata 2:3). Pertama, argumen perihelion Pluto, sudut antara titik tempat Pluto melintasi ekliptika dan titik tempat Pluto berada pada jarak terdekat dengan Matahari, mengalami librasi sekitar 90°.[94] Ini berarti ketika Pluto berada pada jarak terdekat dengan Matahari, Pluto berada di titik terjauh di atas bidang Tata Surya sehingga mencegah pertemuan dengan Neptunus. Hal ini merupakan akibat langsung dari mekanisme Kozai,[89] mekanisme yang mengaitkan eksentrisitas suatu orbit terhadap inklinasinya ke benda sumber perturbasi yang lebih besar—Neptunus dalam kasus ini. Relatif terhadap Neptunus, amplitudo librasinya 38°, jadi pemisahan sudut perihelion Pluto dengan orbit Neptunus selalu lebih besar daripada 52° (90°–38°). Pemisahan sudut terdekat seperti ituterjadi setiap 10.000 tahun sekali.[93] Kedua, bujur titik kenaikan kedua benda angkasa ini—titik tempat keduanya melintasi ekliptika—berada dalam keadaan nyaris resonansi dengan librasi atas. Ketika dua bujur tersebut sama—contohnya seseorang menggambar garis lurus melintasi kedua titik dan Matahari—perihelion Pluto terletak tepat di sudut 90° sehingga Pluto berada pada jarak terdekat dengan Matahari saat Pluto berada di jarak tertinggi di atas orbit Neptunus. Ini disebut superresonansi 1:1. Semua planet Jovian, terutama Jupiter, memainkan peran penting dalam pembentukan superresonansi ini.[89] Untuk memahami sifat librasi, seorang pengamat perlu mengambil sudut pandang kutub, melihat ke bawah di ekliptika dari tempat yang jauh tempat planet-planet mengorbit berlawanan arah jarum jam. Setelah melewati titik kenaikan, Pluto berada di dalam orbit Neptunus dan bergerak lebih kencang, mendekati Neptunus dari belakang. Tarikan graitasi yang kuat antara keduanya mengakibatkan momentum sudut pindah ke Pluto dari Neptunus. Pluto pun bergerak ke orbit yang sedikit lebih besar dan bergerak sedikit lebih lambat menurut hukum ketiga Kepler. Perubahan orbit ini memiliki dampak perlahan terhadap perubahan perihelion dan bujur orbit Pluto (dan Neptunus secara perlahan). Setelah terulang berkali-kali, Pluto melambat dan Neptunus semakin cepat sehingga Neptunus bertemu Pluto di sisi berlawanan orbitnya (dekat titik berlawanan tempat pengamat memulai eksperimen ini). Proses ini kemudian dibalik, dan Pluto kehilangan momentum sudutnya ke Neptunus, sampai Pluto bergerak semakin cepat sehingga bertemu Neptunus lagi di titik aslinya. Seluruh proses ini berlangsung selama 20.000 tahun dari awal sampai akhir.[91][93] RotasiPeriode rotasi Pluto (satu hari) setara dengan 6,39 hari Bumi.[95] Seperti Uranus, Pluto berotasi di "sisinya" pada bidang orbitnya dengan kemiringan sumbu 120°, jadi variasi musimnya ekstrem; saat titik balik matahari, seperempat permukaannya mengalami siang sepanjang tahun, sedangkan seperempat lainnya malam sepanjang tahun.[96] Siang di Pluto tergolong lemah, mirip subuh di Bumi; NASA telah membuat kalkulator "Waktu Pluto" yang menyesuaikan cahaya di Bumi dengan cahaya di Pluto pada siang hari. Misalnya, tanggal 13 Juli 2015, di koordinat Applied Physics Laboratory tempat wahana New Horizons dibangun, Waktu Pluto adalah 20:38,[97][98] empat menit lebih lambat daripada senja semu pukul 20:34 di koordinat tersebut menurut NOAA.[99] Kuasi-satelitSedikitnya terdapat satu benda minor, (15810) 1994 JR1, yang menjadi kuasi-satelit Pluto, sejenis konfigurasi orbit bersama.[100] Benda tersebut sudah menjadi kuasi-satelit Pluto selama kurang lebih 100.000 tahun dan akan tetap menjadi kuasi-satelit sampai 250.000 tahun berikutnya. Perilaku kuasi-satelit ini terjadi setiap 2 juta tahun sekali.[100][101] Diduga terdapat beberapa orbit bersama (co-orbit) Pluto lainnya. GeologiKarena jaraknya yang jauh, Pluto sulit dipelajari secara mendalam dari Bumi. Pada tanggal 14 Juli 2015, wahana antariksa New Horizons terbang melintasi sistem Pluto dan memberi banyak informasi seputar planet ini.[25] PermukaanLebih dari 98 persen permukaan Pluto terdiri atas es nitrogen dengan jejak-jejak metana dan karbon monoksida.[103] Permukaan Pluto yang menghadap Charon mengandung lebih banyak es metana, sedangkan permukaan sebaliknya mengandung lebih banyak es nitrogen dan karbon monoksida.[104] Kontur permukaan Pluto tidak datar; ini dapat diamati dari variasi kecerahan dan warna permukaannya.[105] Pluto merupakan salah satu benda paling kontras di Tata Surya, sama kontrasnya seperti satelit Saturnus, Iapetus.[106] Warnanya beragam antara hitam arang, jingga gelap, dan putih.[107] Warna Pluto mirip Io namun sedikit lebih jingga dan tidak terlalu merah seperti Mars.[108] Struktur dalamKerapatan Pluto adalah 1.860±0.013 g/cm3.[109] Karena peluruhan elemen radioaktif akan memanaskan es yang kemudian memisahkan bebatuan di dalamnya, ilmuwan memperkirakan bahwa struktur dalam Pluto memiliki lapisan-lapisan tertentu. Material batu terdapat di inti padat yang dikelilingi mantel es air. Intinya diperkirakan berdiameter kurang lebih 1700 km, 70% diameter Pluto.[102] Proses pemanasan ini bisa saja berlangsung sampai sekarang; proses tersebut menciptakan lapisan laut cair di bawah permukaan setebal 100 sampai 180 km di batas inti–mantel.[102][110] Massa dan ukuran
Pluto memiliki massa 1,31×1022 kg, kurang dari 0,24 persennya Bumi,[117] dan diameternya 2370 km.[5] Luas permukaannya 1,665×107 km2, kurang lebih sama dengan luas permukaan Rusia. Gravitasi permukaannya 0,067g (dibandingkan dengan 1g di Bumi). Penemuan satelit Pluto, Charon, tahun 1978 memungkinkan pengukuran massa sistem Pluto–Charon menggunakan rumus Newton dari hukum ketiga Kepler. Pengamatan Pluto yang bersamaan dengan Charon memungkinkan para ilmuwan mengukur diameter Pluto lebih tepat, sedangkan penemuan optik adaptif membuat mereka dapat menentukan bentuknya lebih tepat.[118] Dengan kurang dari 0,2 massa Bulan, Pluto memiliki massa yang jauh lebih ringan daripada planet terestrial dan lebih ringan daripada tujuh satelit, Ganimede, Titan, Kalisto, Io, Bulan, Europa, dan Triton. Massanya jauh lebih ringan daripada yang diperkirakan sebelum Charon ditemukan. Pluto memiliki dua kali diameter dan dua belas kali massa planet katai Ceres, objek terbesar di sabuk asteroid. Pluto memiliki massa yang lebih ringan daripada planet katai Eris, objek trans-Neptunus yang ditemukan tahun 2005, namun Pluto memiliki diameter yang lebih besar (2370 km) daripada perkiraan diameter Eris (2326 km).[5] Penentuan ukuran Pluto sulit dilakukan karena kondisi atmosfer[114] dan kemungkinan asap hidrokarbon.[112] Pada Maret 2014, Lellouch, de Bergh et al. menerbitkan temuan terkait rasio percampuran metana di atmosfer Pluto yang konsisten denagn diamter Pluto di atas 2360 km; "tebakan terbaik" mereka adalah 2368 km.[116] Tanggal 13 Juli 2015, misi Long Range Reconnaissance Imager New Horizons NASA menetapkan diameter Pluto sepanjang 2.370 km (1.470 mi).[5][6] AtmosferPluto memiliki atmosfer tipis terdiri atas nitrogen (N2), metana (CH4), dan karbon monoksida (CO) yang eksis dalam keadaan kesetimbangan bersama es di permukaannya.[119] Tekanan permukaan bervariasi antara 6,5 hingga 24 μbar (0,65 hingga 2,4 Pa),[120] kira-kira satu juta sampai 100.000 kali lebih rendah daripada tekanan atmosfer Bumi. Orbit elips Pluto diperkirakan memiliki dampak besar terhadap atmosfernya; seiring Pluto bergerak menjauhi Matahari, atmosfernya perlahan membeku. Saat Pluto mendekati Matahari, suhu permukaan padat Pluto meningkat sehingga esnya menyublim. Layaknya keringat yang mendinginkan tubuh ketika menguap dari kulit, proses sublimasi ini turut mendinginkan permukaan Pluto.[121] Metana, gas rumah kaca kuat, di atmosfer Pluto menciptakan inversi suhu dengan suhu udara rata-rata 36 K lebih hangat 10 km di atas permukaan.[122] Atmosfer bawahnya memiliki kandungan metana yang lebih tinggi daripada atmosfer atasnya.[122] Ketika Pluto menjauhi Matahari tahun 2002, tekanan atmosfernya (0,3 Pa) lebih tinggi daripada tahun 1988, karena pada tahun 1987 kutub selatan Pluto muncul untuk pertama kalinya dalam 120 tahun. Hal ini menyebabkan es nitrogen menyublim dari kutub. Butuh beberapa dasawarsa agar nitrogen ini memadat lagi dan menyatu dengan kutub utara Pluto yang gelap.[123] SatelitPluto diketahui memiliki lima satelit alami: Charon, pertama kali diidentifikasi tahun 1978 oleh astronom James Christy; Nix dan Hydra, keduanya ditemukan tahun 2005;[124] Kerberos, ditemukan tahun 2011;[125] dan Styx, ditemukan tahun 2012.[126] Orbit satelit-satelit ini melingkar (eksentrisitas < 0.006) dan sebidang dengan ekuator Pluto (inklinasi < 1°),[127][128] sehingga miring 120° relatif terhadap orbit Pluto. Sistem Plutonian sangat lengkap: lima satelit ini mengorbit di dalam 3% wilayah yang memungkinkan orbit langsung secara stabil.[129] Charon mengorbit dekat dengan Pluto. Charon cukup besar agar berada dalam kesetimbangan hidrostatis dan memindahkan barisenter sistemnya ke luar Pluto. Di luar Charon terdapat satelit-satelit sirkumbiner kecil bernama Styx, Nix, Kerberos, dan Hydra. Periode orbit semua satelit Pluto terhubung dalam sistem resonansi orbit dan resonansi dekat.[128][130] Bila mempertimbangkan presesi, periode orbit Styx, Nix, dan Hydra memiliki rasio pasti 18:22:33.[128] Terdapat pula urutan rasio terdekat 3:4:5:6 antara periode Styx, Nix, Kerberos, dan Hydra dengan periode Charon; nilai tersebut mendekati pasti bila urutannya dibalik.[128][131] Sistem Pluto–Charon merupakan satu dari sedikit sekali sistem di Tata Surya yang barisenternya terletak di atas permukaan primer (contoh kecilnya 617 Patroclus, contoh besarnya Matahari dan Jupiter).[132] Sistem ini dan ukuran besar Charon relatif terhadap Pluto membuat para astronom menjulukinya planet katai ganda.[133] Sistem ini juga tidak lazim di antara sistem-sistem planet karena masing-masing planet terkunci secara pasang surut dengan satu sama lain. Charon selalu menghadapkan wajah yang sama ke Pluto, dan Pluto selalu menghadapkpan wajah yang sama ke Charon. Dari posisi setiap benda, benda lawannya selalu berada di posisi langit yang sama atau selalu kabur.[134] Ini juga berarti bahwa periode rotasi setiap benda sama dengan waktu yang dibutuhkan bagi seluruh sistem untuk berotasi mengitari pusat gravitasi bersamanya.[95] Pada tahun 2007, pengamatan oleh Observatorium Gemini terhadap jejak-jejak amonia hidrat dan kristal air di permukaan Charon membuktikan adanya krio-geyser aktif.[135] Satelit-satellit Pluto diyakini terbentuk lewat tabrakan antara Pluto dan benda berukuran serupa pada awal sejarah Tata Surya. Tabrakan ini melepaskan material yang bertumpuk menjadi satelit di sekitar Pluto.[136] Namun demikian, Kerberos memiliki albedo yang lebih rendah daripada albedo satelit-satelit Pluto lainnya[137] sehingga tidak mungkin terbentuk melalui tabrakan besar.[138] Asal usulAsal usul dan identitas Pluto telah membingungkan para astronom. Salah satu hipotesis awal menyatakan bahwa Pluto adalah satelit Neptunus yang dikeluarkan dari orbitnya oleh satelit terbesar, Triton. Gagasan ini akhirnya ditolak setelah studi dinamika orbit kedua planet menunjukkan bahwa fenomena seperti itu mustahil terjadi.[140][141] Tempat sejati Pluto di Tata Surya mulai terungkap pada tahun 1992 ketika para astronom mulai menemukan benda-benda es kecil di luar Neptunus yang lebih kecil daripada Pluto baik orbit, ukuran, maupun komposisinya. Populasi trans-Neptunus ini diyakini menjadi sumber berbagai komet periode rendah. Para astronom sekarang percaya bahwa Pluto adalah anggota sabuk Kuiper terbesar,[j] sabuk objek stabil antara 30 dan 50 SA dari Matahari. Per 2011, survei abuk Kuiper sampai magnitudo 21 hampir selesai dan benda-benda berukuran Pluto lainnya yang tersisa diperkirakan berada di luar 100 SA dari Matahari.[142] Seperti objek-objek sabuk Kuiper (KBO) lainnya, Pluto memiliki fitur yang sama seperti komet; misalnya, angin matahari perlahan meniupkan permukaan Pluto ke luar angkasa layaknya komet.[143] Menurut salah satu klaim, apabila Pluto diletakkan di tempat yang sama seperti Bumi, Pluto akan memiliki ekor seperti komet pada umumnya.[144] Klaim ini diragukan dengan alasan kecepatan lepas Pluto terlalu tinggi sehingga perilaku mirip komet ini tidak mungkin terjadi.[145] Meski Pluto adalah objek sabuk Kuiper terbesar yang pernah ditemukan,[112] satelit Neptunus, Triton, yang ukurannya agak lebih besar daripada Pluto, memiliki kemiripan geologi dan atmosfer dan diyakini sebagai objek sabuk Kuiper yang terperangkap.[146] Eris (baca di atas) memiliki ukuran yang kurang lebih sama dengan Pluto (dengan massa yang lebih besar) tetapi tidak dianggap sebagai bagian populasi sabuk kuiper. Eris justru dianggap sebagai anggota populasi terkait yang disebut piringan tersebar. Sejumlah objek sabuk Kuiper seperti Pluto berada dalam resonansi orbit 2:3 dengan Neptunus. KBO yang memiliki resonansi orbit ini disebut "plutino", istilah yang diturunkan dari nama Pluto.[147] Seperti anggota sabuk Kuiper lainnya, Pluto dipercayai sebagai planetesimal endapan: komponen piringan protoplanet asli di sekitar Matahari yang gagal menggumpal menjadi planet. Sebagian besar astronom sepakat bahwa posisi Pluto saat ini disebabkan oleh migrasi dadakan Neptunus pada awal pembentukan Tata Surya. Seiring pindahnya Neptunus menjauhi Matahari, Neptunus mendekati objek-objek di protosabuk Kuiper, menangkap satu objek (Triton), mengunci objek lainnya ke dalam resonansi orbit, dan melempar objek lainnya ke orbit yang kacau. Objek-objek di piringan tersebar, kawasan tak stabil yang tumpang tindih dengan sabuk Kuiper, diyakini terbentuk akibat interaksi dengan resonansi migrasi Neptunus.[148] Model komputer buatan Alessandro Morbidelli dari Observatoire de la Côte d'Azur di Nice tahun 2004 menunjukkan bahwa migrasi Neptunus ke sabuk Kuiper bisa saja dipicu oleh pembentukan resonansi 1:2 antara Jupiter dan Saturnus sehingga menghasilkan dorongan gravitasi yang mendorong Uranus dan Neputunus ke orbit yang lebih tinggi dan membuat keduanya bertukar tempat; jarak Neptunus dari Matahari pun berlipat ganda. Pelemparan objek-objek dari sabuk proto-Kuiper juga dapat menjelaskan Pengeboman Berat Akhir 600 juta tahun setelah terbentuknya Tata Surya dan munculnya troya Jupiter.[149] Pluto diasumsikan pernah memiliki orbit nyaris melingkar sekitar 33 SA dari Matahari sebelum migrasi Neptunus menggiringnya ke dalam resonansi orbit.[150] Model Nice didasarkan pada asumsi bahwa terdapat seribu benda berukuran Pluto di piringan planetesimal pertama yang mencakup Triton dan Eris.[149] Pengamatan dan penjelajahanJarak Pluto dari Bumi menyulitkan studi mendalam planet tersebut dari Bumi. Pada tanggal 14 Juli 2015, wahana antariksa New Horizons milik NASA terbang melintasi sistem Pluto dan memberi banyak informasi tentang sistem tersebut.[25] PengamatanMagnitudo semu visual rata-rata Pluto sebesar 15,1 dan mencapai kecerahan 13,65 di perihelion.[2] Dibutuhkan teleskop untuk melihatnya; apertur 30 cm (12 in) lebih diutamakan.[151] Pluto tampak seperti bintang tanpa piringan tampak meski menggunakan teleskop besar karena diameter sudutnya hanya 0,11". Peta terawal Pluto (dibuat akhir 1980-an) adalah peta kecerahan yang dibuat berdasarkan pengamatan dekat gerahan oleh satelit terbesarnya, Charon. Astronom melakukan pengamatan terhadap perubahan total kecerahan rata-rata sistem Pluto–Charon ketika gerhana. Misalnya, menggerhanakan titik cerah di Puto menghasilkan perubahan total kecerahan yang lebih besar daripada gerhana titik gelap. Pemrosesan komputer terhadap berbagai pengamatan seperti ini dapat digunakan untuk menghasilkan peta kecerahan. Cara ini juga dapat diterapkan untuk melacak perubahan kecerahan seiring waktu.[152][153] Peta-peta yang lebih bagus dihasilkan dari foto-foto Teleskop Luar Angkasa Hubble (HST) yang memiliki resolusi lebih tinggi dna lebih rinci,[106] melenyapkan variasi sepanjang beberapa ratus kilometer, termasuk kawasan kutub dan titik terang besar.[108] Peta tersebut dibuat menggunakan pemrosesan komputer canggih yang mencari peta proyeksi yang pas dengan beberapa piksel foto Hubble.[154] Peta ini masih menjadi peta Pluto paling rinci sampai New Horizons terbang melintasi sistem ini pada Juli 2015 karena dua kamera HST yang digunakan untuk membuat peta tersebut sudah dipensiunkan.[154] PenjelajahanPluto memberi tantangan besar bagi wahana antariksa karena massanya yang kecil dan jaraknya yang jauh dari Bumi. Voyager 1 awalnya direncanakan mengunjungi Pluto, namun operator di Bumi lebih memilih jalur penerbangan dekat Titan, satelit Saturnus, sehingga tidak bisa mengunjungi Pluto. Voyager 2 tidak terbang melintasi jalur menuju Pluto.[155] Tidak ada upaya serius untuk menjelajahi Pluto sampai dasawarsa terakhir abad ke-2. Bulan Agustus 1992, ilmuwan JPL Robert Staehle menghubungi penemu Pluto, Clyde Tombaugh, dan meminta izin mengunjungi planetnya. "Saya persilakan dia datang ke sana," kata Tombaugh, "meski perjalanannya panjang dan dingin".[156] Walaupun ada kesempatan awal, pada tahun 2000 NASA membatalkan misi Pluto Kuiper Express karena naiknya biaya dan tertundanya kendaraan peluncur.[157] Seteah perdebatan politik sengit, misi baru ke Pluto bernama New Horizons didanai oleh pemerintah Amerika Serikat pada tahun 2003.[158] New Horizons berhasil diluncurkan pada tanggal 19 Januari 2006. Ketua misi, S. Alan Stern, membenarkan bahwa sebagian abu Clyde Tombaugh yang meninggal dunia tahun 1997 ditempatkan di wahana antariksa tersebut.[159] Pada awal 2007, wahana ini memanfaatkan bantuan gravitasi Jupiter. Pendekatan terdekatnya dengan Pluto terjadi pada 14 Juli 2015; pengamatan ilmiah Pluto telah dimulai lima bulan sebelum pendekatan terdekat dan terus berlanjut sedikitnya satu bulan setelah pendekatan. New Horizons merekam foto-foto (jauh) pertama Pluto pada akhir September 2006 saat sedang menguji Long Range Reconnaissance Imager (LORRI).[160] Foto yang diambil dari jarak kurang lebih 4,2 miliar kilometer ini membuktikan kemampuan wahana ini untuk melacak target-target jauh; ini penting untuk penerbangan manuver menuju Pluto dan objek sabuk Kuiper lainnya. New Horizons menggunakan paket penginderaan jauh yang meliputi instrumen pencitraan dan alat penelitian ilmiah radio, serta spektroskopi dan eksperimen lainnya, untuk mempelajari geologi dan morfologi global Pluto dan satelitnya, Charon, memetakan komposisi permukaannya, dan menganalisis atmosfer netral Pluto beserta tingkat lepasnya. New Horizons juga merekam foto permukaan Pluto dan Charon. Satelut-satelit kecil Pluto yang ditemukan sesaat sebelum dan sesudah peluncuran wahana menjadi tantangan tersendiri. serpihan dari tabrakan antara objek-objek sabuk Kuiper dan satelit-satelit kecil, serta kecepatan lepasnya yang relatif rendah, berpotensi menciptakan cincin debu pekat. Bila New Horizons terbang melintasi sistem cincin ini, wahana ini bisa saja rusak akibat mikrometeoroid.[161] Pada tanggal 4 Februari 2015, NASA merilis foto-foto baru Pluto (diambil tanggal 25 dan 27 Januari) dari wahana New Horizons.[162] Saat perekaman foto, New Horizons berada pada jarak 203.000.000 km (126.000.000 mi) dari Pluto. Tanggal 20 Maret 2015, NASA mengundang masyarakat umum untuk mengusulkan nama fitur-fitur permukaan yang akan ditemukan di Pluto dan Charon.[163] Tanggal 15 April 2015, Pluto terlihat memiliki kutub es.[164] Antara April dan Juni 2015, New Horizons mulai mengirimkan foto-foto Pluto yang kualitasnya lebih baik daripada Hubble Space Telescope .[165][166] Rencana penjelajahanMisi ulang-alik pengorbit/pendarat/pengambil sampel Pluto direncanakan pada tahun 2003. Rencana tersebut meliputi penerbangan 12 tahun dari Bumi ke Pluto, pemetaan dari orbit, beberapa kali pendaratan, wahana air hangat, dan produksi bahan bakar in situ untuk penerbangan pulang beserta sampel ke Bumi selama 12 tahun. Tenaga dan pendorong dihasilkan oleh sistem reaktor nuklir MITEE bimodal.[167] Galeri
Lihat pula
Catatan
Referensi
Pranala luar
|