Share to:

 

Protokol Lusaka

Protokol Lusaka yang ditandatangani di Lusaka, Zambia, pada tanggal 31 Oktober 1994 mencoba mengakhiri Perang Saudara Angola dengan menggabungkan dan melucuti União Nacional para a Independência Total de Angola dan rekonsiliasi nasional. Kedua belah pihak menandatangani gencatan senjata sebagai bagian protokol tanggal 20 November.[1]

Negosiasi

Pada akhir tahun 1993, Uniao Nacional para a Independencia Total de Angola mendapatkan kendali lebih dari 70% Angola, namun keberhasilan militer pemerintahan pada tahun 1994 memaksa UNITA menuntut perdamaian. Dari bulan November, pemerintah telah mengambil kendali 60% negara. Pimpinan UNITA, Jonas Savimbi menyebut keadaan ini "krisis terparah" sejak pembentukannya. Savimbi yang secara pribadi enggan menandatangani perjanjian, meminta mantan SekJend. UNITA Jend. Eugenio Manuvakola untuk menggantikannya menandatangani perjanjian dan Presiden José Eduardo dos Santos menanggapi dengan meminta MenLu Venancio de Moura mewakili Movimento Popular de Libertação de Angola. Menurut Manuvakola, Savimbi menginginkannya bertindak sebagai kambing hitam[1][2]

Presiden Zimbabwe Robert Mugabe dan Presiden Afrika Selatan Nelson Mandela bertemu di Lusaka pada tanggal 15 November 1994 untuk memberi dukungan secara simbolis bagi protokol itu. Mugabe dan Mandela berkata mereka berharap bertemu dengan Savimbi dan Mandela memintanya datang ke Afrika Selatan, tetapi Savimbi tak memenuhinya.[2]

Syarat perjanjian

Di bawah persetujuan itu, pemerintah dan UNITA akan mengadakan gencatan senjata dan demobiliasi. 5.500 anggota UNITA, termasuk 180 militan, akan bergabung dengan Kepolisian Nasional Angola; 1.200 anggota UNITA, termasuk 40 militan, akan bergabung dengan angkatan kepolisian, dan jenderal UNITA akan menjadi perwira di Angkatan Bersenjata Angola. Prajurit sewaan asing akan kembali ke negaranya masing-masing dan semua pihak harus berhenti merekrut prajurit asing. Persetujuan itu memberikan rumah dan markas bagi para politikus UNITA. Pemerintah setuju mengangkat anggota UNITA untuk mengepalai kementerian pertambangan, perdagangan, kesehatan, dan pariwisata di samping 7 wakil menteri, duta besar, juga jabatan gubernur di Uíge, Lunda Sul, dan Cuanda Cubango, wakil gubernur, pemerintah kotamadya, wakil pemerintah, dan administrator komune. Pemerintah akan membebaskan semua tahanan dan memberi amnesti kepada seluruh militan yang terlibat dalam perang saudara.[1][2]

Persetujuan itu menciptakan komisi gabungan yang terdiri atas pejabat dari pemerintah Angola, UNITA, dan PBB beserta pemerintah Portugal, AS, dan Rusia yang jadi pengamat untuk mengawasi implementasinya. Pelanggaran atas syarat-syarat perjanjian akan dibahas dan ditinjau kembali oleh komisi itu.[1]

Ketetapan protokol itu, yang menggabungkan UNITA ke ranah militer, gencatan senjata, dan pemerintahan koalisi, serupa dengan Persetujuan Alvor yang memberikan kemerdekaan Angola dari Portugal pada tahun 197. Banyak masalah lingkungan yang serupa, saling tidak percaya antara UNITA dan Movimento Popular de Libertacao de Angola, kekeliruan internasional, dan tekanan berlebih pada pemeliharaan keseimbangan kekuasaan, sehingga menyebabkan protokol itu gugur dan perang saudara pecah.[1]

Persetujuan Damai Bicesse banyak menghukum pihak yang lama sementara Protokol Lusaka menjamin kekuasaan UNITA atas jabatan gubernur yang penting.[2]

Implementasi

Misi Verifikasi Angola PBB III dan MONUA menghabiskan 1,5 miliar dolar AS untuk mengawasi implementasi protokol itu. Perserikatan Bangsa-bangsa biasanya tidak menjalankan ketetapan yang melarang UNITA membeli senjata asing dan kedua belah pihak terus menimbun persediaan. Dewan Keamanan PBB tak mengesahkan angkatan penjaga perdamaian di daerah ini sampai tahun 1995 dan menunda penyebaran penuh sampai akhir tahun 1996. Seperti yang dikatakan pejabat PBB kepada Human Rights Watch pada tahun 1995, Perwakilan Khusus PBB, Blondin Beye meliput pelanggaran HAM karena "keadaan terlalu sensitif untuk pemantaian HAM serius. Mempublikasikan apa yang kami tau dapat merusak proses perdamaian dan mengembalikan perang." Pada bulan Mei 1998, Beye berubah pikiran dan PBB mulai melaporkan pelanggaran. 3 bulan setelah pemerintah menandatangai perjanjian itu, pada bulan Februari 1995, Ketua Staf Jenderal João de Matos mengeluhkan bahwa perdamaian hanya bisa dicapai bila pemerintahan mengalahkan UNITA secara militer, menyebut protokol itu "sebuah kesalahan". Dari bulan Desember, pemerintah dan UNITA kembali dalam keadaan perang. Divisi HAM PBB tak menerbitkan laporan apapun antara bulan Januari-Juli 1999 karena perang mencegah mereka menyelidiki. Setelah protokol itu, pemerintah dan UNITA terlibat dalam pembunuhan, penyiksaan, dan pelanggaran HAM lain terhadap penduduk sipil tanpa pandang bulu.[1]

Tidak hanya UNITA yang tidak mendemobilisasi, namun juga UNITA membeli banyak senjata pada tahun 1996 dan 1997 dari sumber-sumber pribadi di Albania dan Bulgaria, dan dari Zaire, Afsel, Republik Kongo, Zambia, Togo, dan Burkina Faso. Pada bulan Oktober 1997, PBB menjatuhkan sanksi perjalanan kepada pimpinan UNITA, tetapi PBB menunggu sampai bulan Juli 1998 untuk membatasi ekspor berlian UNITA dan membekukan rekening bank UNITA. Sementara pemerintah AS memberikan 250 juta dolar AS kepada UNITA antara tahun 1986-1991, UNITA menghasilkan 1,72 miliar dari hasil ekspor berlian antara tahun 1994-1999, terutama melalui Zaire ke Eropa. Di saat yang sama, pemerintah Angola menerima banyak senjata dari pemerintah Belarus, Brasil, Bulgaria, RRC, dan AfSel. Di saat tidak ada pengapalan senjata kepada pemerintah yang melanggar protokol, tidak ada negara yang menginformasikan Daftar Senjata Konvensional PBB seperti yang diperlukan.[1]

Pada bulan Maret 1995, militan UNITA menembak dan menghancurkan helikopter UNAVEM III di Quibaxe. Pemimpin militer bertemu di Waku Kungo pada tanggal 10 Januari dan Februari 1995 untuk memastikan kedua belah pihak terus mengawasi gencatan senjata. Savimbi dan Dos Santos bertemu 4 kali setelah ditembakjatuhnya helikopter itu di Lusaka pada tanggal 6 Mei, di Gabon pada bulan Agustus, di Brusel pada bulan September, dan pada bulan Maret 1996 di Libreville, Gabon. Di antara pertemuan pertama dan kedua, Dos Santos menawarkan kedudukan wakil presiden kepada Savimbi, tetapi ditampik pada bulan Agustus 1996 selama Kongres UNITA III.[1]

Executive Outcomes, sebuah perusahaan militer swasta memiliki 400-500 prajurit upahan di Angola yang bertempur atas nama pemerintah Angola hingga bulan Januari 1996 yang melanggar ketetapan repatriasi protokol itu.[1]

Savimbi dan Dos Santos berbicara lewat telepon pada bulan Desember 1997 dan mencapai persetujuan pada tanggal 9 Januari 1998 untuk mengimplementasikan protokol itu, namun perang kembali berkecamuk dan proses perdamaian berakhir.

Lihat juga

Rujukan

  1. ^ a b c d e f g h i Vines, Alex. Angola Unravels: The Rise and Fall of the Lusaka Peace Process, 1999. Human Rights Watch.
  2. ^ a b c d Rothchild, Donald S. Managing Ethnic Conflict in Africa: Pressures and Incentives for Cooperation, 1997. Hal. 137-138.
Kembali kehalaman sebelumnya