Sejarah RomaNegara-negara bersejarah
Sejarah Roma melingkupi sejarah kota Roma maupun sejarah peradaban bangsa Romawi Kuno. Sejarah bangsa Romawi telah memengaruhi dunia kiwari, teristimewa dalam perjalanan sejarah Gereja Katolik, sementara tatanan hukum bangsa Romawi telah memengaruhi banyak tatanan hukum kiwari. Sejarah bangsa Romawi dapat dibagi menjadi beberapa babak sebagai berikut:
NamaAsal-usul kebahasaan dari nama Roma sudah banyak diteliti. Menurut salah satu teori, nama Roma terambil dari kata Yunani Rṓmē (Ῥώμη), artinya "keberanian" atau "ketabahan",[2] mungkin sekali berasal dari akar kata *rum-, artinya "puting", yang diteorikan merujuk kepada totem serigala yang mengadopsi dan menyusui bayi kembar manusia, bahkan nama si kembar pun masih mirip-mirip dengan akar kata tersebut. Agaknya nama Etruski kota ini adalah Ruma.[3] Bandingan juga dengan kata Rumon, nama lama Sungai Tiber. Etimologi lebih lanjut dari nama Roma masih belum jelas, sama seperti kebanyakan kata Etruski. Thomas G. Tucker di dalam bukunya, Concise Etymological Dictionary of Latin (terbit tahun 1931), berpendapat bahwa nama itu mungkin sekali berasal dari kata *urobsma (bdk. urbs, robur) dan bisa juga dari kata-kata lain, "tetapi kecil kemungkinannya" berasal dari kata *urosma yang berarti "bukit" (bdk. kata Sangsekerta warsman- yang berarti "tinggi, ujung," kata Slavonika Lama врьхъ yang berarti "kemuncak, mercu", kata Rusia верх yang berarti "bagian atas, ke atas", kata Lituania virsus yang berarti "sebelah atas"). Linimasa Roma Kuno
Awal sejarahPrasejarahBerdasarkan bukti arkeologis, lingkungan kota Roma diperkirakan sudah didiami manusia selambat-lambatnya sejak 5.000 tahun silam, tetapi lapisan padat puing-puing yang jauh lebih muda umurnya mengaburkan keberadaan situs-situs zaman Batu Tua dan Batu Muda.[4] Bukti arkeologis tersebut mengisyaratkan bahwa cikal bakal terbentuknya kota Roma pada masa purba juga sudah dikaburkan oleh legenda pendirian kota Roma yang menampilkan tokoh Romulus dan Remus. Menurut tradisi, kota Roma didirikan pada tanggal 21 April 753 SM, mengacu kepada keterangan Marcus Terentius Varro,[5] dan kira-kira sejak saat itu kota Roma maupun daerah Latium terus-menerus didiami manusia nyaris tanpa jeda. Usaha-usaha ekskavasi pada tahun 2014 telah menyingkap keberadaan tembok yang dibangun jauh sebelum tahun 753 SM. Para arkeolog menemukan tembok batu dan pecahan tembikar yang diperkirakan berasal dari rentang waktu abad ke-9 SM sampai permulaan abad ke-8 SM. Selain itu terdapat pula bukti kedatangan manusia ke bukit Palatin seawal-awalnya pada abad ke-10 SM.[6][7] Situs Area Sant'Omobono sangat penting artinya bagi usaha memahami tiga proses yang saling berkaitan, yaitu monumentalisasi, urbanisasi, dan pembentukan negara di kota Roma menjelang akhir zaman Purba. Situs kuil Sant'Omobono diperkirakan berasal dari abad ke-7 sampai ke–6 SM, sehingga menjadikannya reruntuhan kuil tertua di Roma yang sudah diketahui keberadaannya.[8] Legenda asal mula kota RomaAsal mula nama kota Roma diduga berasal dari nama Romulus, tokoh legendaris yang dipercaya sebagai pendiri sekaligus raja pertamanya.[9] Konon Romulus dan Remus, anak kembar Dewa Mars dan masih terhitung keturunan Aeneas, pahlawan Troya, disusui seekor serigala betina sesudah ditelantarkan, dan sesudah dewasa berikhtiar mendirikan sebuah kota. Keduanya bertengkar, Romulus membunuh Remus, kemudian menamai kota baru itu menurut namanya sendiri. Sesudah mendirikan dan menamai kotanya sebagaimana dikisahkan dalam legenda tersebut, Romulus tanpa pandang bulu menyambut siapa saja, segala macam orang dari semua lapisan masyarakat, baik budak maupun orang merdeka, untuk menjadi warga negara kota Roma.[10] Agar rakyatnya dapat membina rumah tangga, Romulus mengundang suku-suku tetangga menghadiri sebuah perayaan yang diselenggarakan di Roma, kemudian melarikan anak-anak gadis mereka (dikenal sebagai peristiwa penculikan perempuan-perempuan Sabini). Seusai perang melawan orang Sabini, Romulus berbagi takhta dengan Titus Tatius, raja orang Sabini.[11] Romulus memilih 100 orang dari antara warga Roma yang paling berbudi untuk membentuk senatus (majelis tua-tua), dewan penasihat raja. Seratus tetua tersebut ia sapa dengan panggilan pater (bapa), dan keturunan merekalah yang kemudian hari dihormati sebagai patricius (bangsawan). Ia membentuk tiga centuria (pasukan seratus) eques (prajurit berkuda), yakni Ramni (artinya orang Romawi), Titii (menurut nama raja orang Sabini), dan Luceri (orang Etruski). Ia juga membagi rakyatnya menjadi tiga puluh curia (majelis). Nama tiap-tiap curia diambil dari nama tiga puluh perempuan Sabini yang berjasa melerai dan mengakhiri peperangan antara Romulus dan Tatius. Tiga puluh curia tersebut menjadi satuan-satuan pengambil keputusan melalui pemungutan suara di dalam comitia curiata (sidang majelis).[12] Pembentukan kotaCikal bakal kota Roma adalah padang-padang penggembalaan atau perkampungan-perkampungan di atas Bukit Palatin dan bukit-bukit di sekitarnya, kira-kira 30 km (19 mi) dari Laut Tirenia di tepi selatan Sungai Tiber. Mungkin sekali Bukit Kuirinal adalah pangkalan terdepan orang Sabini, salah satu kelompok masyarakat penutur rumpun bahasa Itali. Di lokasi tersebut, aliran Sungai Tiber berkelok. Di tengah kelokan sungai terdapat sebuah pulau yang menandai perairan dangkal, tempat orang dapat menyeberang dengan mudah. Dengan lokasi semacam ini, Roma berada di persimpangan lalu lintas sungai dan jalur ulang-alik utara-selatan kaum pedagang di kawasan barat Jazirah Italia. Temuan-temuan arkeologis membuktikan bahwa pada abad ke-8 SM sudah ada dua permukiman berkubu di lokasi yang kemudian hari menjadi kawasan kota Roma, yakni permukiman orang Rumi di Bukit Palatin dan permukiman orang Titientes di Bukit Kuirinal, dibekingi orang Luceres yang mendiami hutan-hutan di sekitarnya.[13] Rumi, Titientes, dan Luceres hanyalah tiga di antara sekian banyak komunitas penutur rumpun bahasa Itali di daerah Latium, sebuah dataran luas di Jazirah Italia, pada milenium pertama SM. Masyarakat-masyarakat penutur rumpun bahasa Itali terbentuk pada zaman prasejarah sehingga asal-usulnya tidak diketahui secara pasti, tetapi rumpun bahasa India-Eropa yang mereka tuturkan datang dari timur pada seperdua akhir milenium ke-2 SM. Menurut Dionisios dari Halikarnasos, banyak sejarawan Romawi (termasuk Porcius Cato dan Gaius Sempronius) beranggapan bahwa nenek moyang bangsa Romawi (keturunan kaum Aborigines) adalah orang Yunani, kendati anggapan itu sesungguhnya mereka dapatkan dari khazanah sastra legenda Yunani.[14] Orang Sabini, pada khususnya, adalah masyarakat yang pertama kali mengemuka di dalam uraian Dionisios dari Halikarnasos. Menurut Dionisios, orang Sabini tanpa disangka-sangka merebut Lista, kota yang dianggap sebagai ibu kota kaum Aborigines.[15] Konteks ItaliMasyarakat penutur rumpun bahasa Itali di lokasi tersebut terdiri atas orang Latini (di sebelah barat), orang Sabini (di sebelah hulu lembah Sungai Tiber), orang Umbri (di sebelah timur laut), orang Samni (di sebelah Selatan), orang Osci, dan lain-lain. Pada abad ke-8 SM, kelompok-kelompok tersebut mendiami Jazirah Italia bersama-sama dengan dua bangsa besar, bangsa Etruski di utara dan bangsa Yunani di selatan. Bangsa Etruski (Etrusci atau Tusci dalam bahasa Latin) diketahui berdiam di sebelah utara dari Roma, di Etruria (kawasan utara daerah Lazio, daerah Toskana, dan sebagian daerah Umbria sekarang ini). Bangsa ini mendirikan kota-kota seperti Tarquinia, Veii, dan Volterra. Budaya mereka pun sangat mempengaruhi budaya bangsa Romawi, mengingat beberapa Raja Roma menurut mitos adalah orang Etruski. Lantaran ketiadaan peninggalan pustaka, sastra keagamaan atau filsafat, sebagian besar pengetahuan tentang peradaban Etruski didapatkan para sejarawan dari barang-barang bekal kubur dan temuan-temuan makam.[16] Bangsa Yunani sudah mendirikan banyak koloni di kawasan selatan Jazirah Italia antara tahun 750 sampai 550 SM (kemudian hari disebut daerah Magna Graecia oleh bangsa Romawi), antara lain Kumai, Napoli, Regio Kalabria, Kroton, Sibaris, dan Taranto, demikian pula di sepertiga bagian Sisilia, yakni di bagian timur pulau itu.[17][18] Zaman EtruskiSesudah tahun 650 SM, bangsa Etruski kian berkuasa dan memperluas wilayah kedaulatannya sampai ke tengah kawasan utara Jazirah Italia. Menurut tradisi bangsa Romawi, tujuh orang raja silih berganti memerintah kota Roma dari tahun 753 sampai tahun 509 SM, mulai dari Romulus, yang konon mendirikan kota Roma bersama-sama saudara kembarnya, Remus. Konon tiga raja terakhir adalah orang Etruski (sekurang-kurangnya peranakan Etruski), yakni Tarquinius Priscus, Servius Tullius, dan Tarquinius Superbus (menurut sumber-sumber sastrawi kuno, ayah Tarquinius Priscus adalah seorang pengungsi Yunani, sementara ibunya berkebangsaan Etruski). Nama-nama mereka merujuk kepada Tarquinia, kota bangsa Etruski. Livius, Plutarkhos, Dionisios dari Halikarnasos, dan pujangga-pujangga kuno lainnya mengklaim bahwa Roma silih berganti diperintah tujuh orang raja pada abad-abad permulaan sejarah kota itu. Menurut kronologi tradisional yang dibakukan pujangga Varro, rentang waktu pemerintahan ketujuh raja tersebut adalah 243 tahun, rata-rata satu orang raja memerintah selama kurang lebih 35 tahun. Pandangan tradisional ini sudah diketepikan dunia kesarjanaan kiwari sejak terbitnya karya tulis Barthold Georg Niebuhr. Orang-orang Galia memusnahkan sebagian besar catatan sejarah Roma ketika menyerang kota itu seusai Pertempuran Allia tahun 390 SM (menurut Polibios, pertempuran itu terjadi pada tahun 387 atau 386 SM), dan catatan sejarah yang masih tersisa pada akhirnya sirna ditelan waktu atau hilang dicuri orang. Karena tidak ada catatan sejarah yang berasal dari zaman Kerajaan Roma, semua keterangan mengenai raja-rajanya tidak boleh ditelan mentah-mentah begitu saja.[20] Daftar raja-raja Roma pun masih diragukan nilai kesejarahannya, kendati raja-raja terakhir mungkin saja adalah tokoh-tokoh nyata. Beberapa sejarawan meyakini (sekali lagi, keyakinan mereka masih dipermasalahkan) bahwa Roma berada di bawah pengaruh bangsa Etruski kira-kira seabad lamanya. Pada kurun waktu ini, dibangun sebuah jembatan yang dinamakan Pons Sublicius untuk menggantikan jalur penyeberangan Sungai Tiber. Cloaca Maxima juga dibangun pada kurun waktu ini. Konon bangsa Etruski sangat piawai dalam mengerjakan bangunan-bangunan semacam itu. Dari segi kebudayaan dan teknik, boleh dikata bangsa Etruski adalah bangsa kedua yang besar berpengaruhnya terhadap perkembangan Roma, sesudah Bangsa Yunani. Manakala kian melebarkan sayap ke selatan, bangsa Etruski bententuhan langsung dengan bangsa Yunani dan mula-mula berhasil tampil unggul dalam konflik-konflik dengan masyarakat pendatang Yunani, tetapi sesudah itu Etruria mengalami keterpurukan. Keadaan ini dimanfaatkan Roma untuk memberontak dan berhasil merebut kemerdekaannya dari bangsa Etruski sekitar tahun 500 SM. Roma juga mengganti sistem pemerintahannya dari kerajaan menjadi republik yang bertumpu pada Senatus, lembaga yang beranggotakan bangsawan-bangsawan kota itu, beserta rapat-rapat rakyat yang mengikutsertakan hampir semua warga pria yang terlahir merdeka di dalam penentuan kebijakan negara dan memilih magistratus setiap tahun. Bangsa Etruski meninggalkan pengaruh yang lama membekas di dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat kota Roma. Dari merekalah bangsa Romawi belajar membangun kuil-kuil, dan mungkin saja bangsa Etruski pula yang memperkenalkan pemujaan tiga serangkai dewata, Yuno, Minerva, dan Yupiter, dari dewa-dewi bangsa Etruski, yaitu Uni, Menrva, dan Tinia. Meskipun demikian, pengaruh bangsa Etruski terhadap pertumbuhkembangan Roma acap kali dilebih-lebihkan.[21] Roma pada hakikatnya adalah sebuah kota Latin, dan tidak pernah menjadi sebuah kota Etruski yang seutuhnya. Lagi pula bukti-bukti menunjukkan bahwa bangsa Romawi mendapat pengaruh yang sangat besar dari kota-kota Yunani di selatan jazirah, terutama melalui hubungan perdagangan.[22] Zaman republikCerita-cerita yang banyak beredar tentang masa-masa permulaan Republik Romawi (sebelum kira-kira tahun 300 SM, manakala prasasti-prasasti dalam bahasa Latin Lama dan sastra sejarah Yunani mengenai Roma menyajikan lebih dari sekadar bukti-bukti kejadian nyata) pada umumnya dianggap sebagai legenda belaka, nilai kesejarahannya pun menjadi pokok perdebatan di kalangan klasikawan. Menurut anggapan turun-temurun, Republik Romawi berdiri dari tahun 509 SM sampai tahun 27 SM. Selepas tahun 500 SM, Roma dikabarkan menyatukan kekuatan dengan kota-kota bangsa Latin guna menghadapi rongrongan orang Sabini. Dengan memenangkan Pertempuran Danau Regillus pada tahun 493 SM, Roma menegakkan kembali supremasinya atas negeri-negeri orang Latin yang lepas dari genggamannya sesudah pemerintahan monarki tumbang. Sesudah melewati berbagai pergumulan panjang, supremasi ini akhirnya dapat dikekalkan pada tahun 393, ketika bangsa Romawi berjaya menundukkan orang Volsci dan orang Aequi. Pada tahun 394 SM, bangsa Romawi juga berhasil menyingkirkan ancaman bahaya dengan menundukkan tetangga Etruskinya di Veii. Kekuasaan bangsa Etruski akhirnya terkungkung di Etruria, dan Roma pun menjadi kota yang paling unggul di Latium. Pada tahun 509 SM, Roma menyepakati sebuah perjanjian resmi dengan negara kota Kartago. Perjanjian ini menetapkan batas mandala pengaruh kedua kota itu dan mengatur hubungan perdagangan di antara keduanya.[23] Pada waktu yang sama, Heraklides menyebutkan bahwa Roma pada abad ke-4 adalah salah satu kota Yunani (Plut. Cam. 22). Musuh-musuh Roma yang sesungguhnya adalah suku-suku perbukitan yang bertetangga, yaitu orang Volsci, orang Aequi, dan tentu saja orang Etruski. Seiring bergulirnya waktu dan kian meluasnya wilayah kedaulatan bangsa Romawi berkat keberhasilan militernya, muncul musuh-musuh baru. Musuh yang paling sengit adalah orang Galia, yaitu sekumpulan suku dengan persatuan renggang yang menguasai hampir seluruh kawasan utara Eropa, termasuk daerah yang dewasa ini menjadi kawasan utara dan kawasan tengah-timur negara Italia. Pada tahun 387 SM, Roma dijarah dan dibumihanguskan oleh orang Senoni yang datang dari kawasan timur Italia di bawah kepemimpinan Brennus, kepala suku yang berhasil memimpin rakyatnya mengalahkan angkatan perang Romawi dalam Pertempuran Allia di Etruria. Banyak catatan sejarah sezaman yang menyiratkan bahwa orang Senoni ingin menghukum Roma karena sudah melanggar netralitas diplomatisnya di Etruria. Orang Senoni berkirab sejauh 130 kilometer (81 mi) ke Roma tanpa mencelakai desa-desa di sekitarnya, dan langsung pulang sehabis menjarah Roma.[24] Tidak lama kemudian, Brennus dibuat bertekuk lutut oleh Diktator Furius Kamilus di Tusculum.[25][26] Sesudah menundukkan orang Senoni, Roma buru-buru membangun kembali gedung-gedungnya dan melancarkan serangan, menaklukkan menundukkan orang Etruski dan merampas wilayah dari orang Galia di utara. Selepas tahun 345 SM, Roma meluaskan mandalanya ke selatan dengan memerangi suku-suku Lain lainnya. Musuh utama Roma di kawasan selatan adalah orang Samni yang terkenal garang. Orang Samni mampu mengecoh dan menjebak legiun Romawi dalam Pertempuran Cukit Klaudina pada tahun 321 SM. Meskipun beberapa kali dikalahkan lawan, termasuk orang Samni, angkatan perang Romawi pantang mundur. Pada tahun 290 SM, Roma sudah menguasai lebih dari setengah Jazirah Italia. Pada abad ke-3 SM, polis-polis Yunani di selatan pun dapat dibuat bertekuk lutut. Di tengah peperangan yang tidak berkesudahan itu (dari permulaan zaman Republik sampai zaman Principatus, pintu kuil Dewa Yanus hanya ditutup dua kali, karena pintu kuil dibiarkan tetap terbuka selama Roma berada dalam masa perang), Roma dihadapkan dengan kemelut kemasyarakatan yang besar, yaitu Konflik Tatanan. Di dalam pergulatan politik antara golongan plebs (jelata) dan golongan patricius (bangsawan) Republik Romawi purba ini, golongan plebs memperjuangkan kesetaraan dengan golongan patricius. Konflik Tatanan yang memainkan peran penting di dalam pengembangan tata negara Republik Romawi ini bermula pada tahun 494 SM, ketika semua orang dari golongan plebs minggat meninggalkan kota (secessio plebis yang pertama) pada saat Roma sedang sibuk berperang melawan dua suku tetangganya. Peristiwa minggat yang pertama inilah yang menjadi latar belakang penciptaan jabatan tribunus plebis, dan dengan demikian untuk pertama kalinya golongan plebs mendapatkan kekuasaan yang nyata.[27] Menurut anggapan turun-temurun, Roma menjadi sebuah negara republik pada tahun 509 SM. Meskipun demikian, Roma harus melewati rentang waktu beberapa abad sebelum menjadi kota gilang-gemilang yang lazim dibayangkan orang. Pada abad ke-3 SM, Roma sudah menjadi kota terkemuka di Jazirah Italia. Semasa berlangsungnya perang-perang Punik antara Roma dan Kartago (tahun 264–146 SM), marwah Roma kian melejit lantaran untuk pertama kalinya kota itu menjadi ibu kota sebuah kemarajaan lintas laut. Semenjak abad ke-2 SM, populasi Roma mengalami peningkatan yang signifikan, manakala para petani Italia berbondong-bondong pindah ke kota itu sesudah terdepak dari lahan-lahan warisan leluhur mereka lantaran kebijakan baru pemerintah untuk membuka lahan-lahan usaha tani yang sangat luas dan digarap para budak, yakni lahan-lahan yang disebut latifundium. Kemenangan atas Kartago dalam Perang Punik II menghasilkan dua provinsi pertama yang terletak di luar Jazirah Italia, yaitu Sisilia dan Sardinia.[28] Beberapa daerah di Spanyol (Hispania) menyusul kemudian, dan pada permulaan abad ke-2, bangsa Romawi terseret ke dalam urusan-urusan Alam Yunani. Pada masa itu, semua kerajaan Helenistis dan negara-negara kota Yunani sedang terpuruk, letih akibat perang-perang saudara yang tidak berkesudahan dan mengandalkan tenaga prajurit upahan. Bangsa Romawi terkagum-kagum melihat peradaban bangsa Yunani. Bangsa Yunani memandang Roma sebagai sekutu yang berguna dalam perang-perang saudara mereka, dan tidak seberapa lama kemudian legiun-legiun Romawi pun diundang untuk ikut mencampuri urusan-urusan dalam negeri Yunani. Hanya dalam tempo kurang dari 50 tahun, seluruh Jazirah Yunani takluk kepada bangsa Romawi. Legiun Romawi dua kali menumpas fomasi falang angkatan perang Makedonia, pada tahun 197 SM dan pada tahun SM. Pada tahun 146 SM, Konsul Lucius Mummius menyerbu Korintus dan pada akhirnya merenggut kemerdekaan dari negeri Yunani. Tahun itu juga, Cornelius Scipio Aemilianus, anak Scipio Africanus, meluluhlantakkan kota Kartago, dan menjadikannya salah satu provinsi Romawi. Pada tahun berikutnya, angkatan perang Romawi di bawah pimpinan Tiberius Gracchus berhasil mendaulat Spanyol, selanjutnya mulai menjajaki daratan Asia ketia raja Pergamon yang terakhir menyerahkan kerajaannya ke dalam tangan bangsa Romawi. Menjelang akhir abad ke-2, muncul tantangan baru. Serombongan besar suku bangsa Jermani, yakni orang Cimbri dan orang Teutones, menyeberangi Sungai Rhone dan memasuki Jazirah Italia. Gaius Marius terpilih menjadi konsul lima kali berturut-turut (total tujuh kali terpilih menjadi konsul), dan secara telak memenagkan pertempuran pada tahun 102 SM dan 101 SM. Ia juga merombak dan memperbaharui angkatan perang Romawi, memberinya tatanan yang sedemikian baiknya sehingga terus dipakai tanpa perubahan berabad-abad lamanya. Tiga puluh tahun pertama dari abad terakhir sebelum tarikh Masehi diwarnai masalah-masalah internal yang mengancam eksistensi Republik Romawi. Perang Mitra, antara Roma melawan para sekutunya, dan Perang Budak (pemberontakan para budak) merupakan konflik-konflik yang sukar diatasi.[29] Semuanya berlangsung di Jazirah Italia, dan memaksa bangsa Romawi untuk mengubah kebijakannya terkait para sekutu dan kawulanya.[30] Ketika itu Roma sudah menjadi negara dengan wilayah kedaulatan yang sangat luas, dan menjadi sangat makmur lantaran bergelimang harta kekayaan yang berasal bangsa-bangsa taklukan (dalam bentuk upeti, bahan pangan, maupun tenaga kerja alias budak belian). Para sekutu Roma merasa kesal lantaran sudah bersusah payah berperang bahu-membahu dengan bangsa Romawi tetapi hanya mendapatkan sedikit keuntungan lantaran bukan warga negara Romawi. Sekalipun dikalahkan, tuntutan mereka pada akhirnya dikabulkan, dan pada permulaan abad pertama tarikh Masehi seluruh penduduk Jazirah Italia pada praktiknya adalah warga negara Romawi. Meskipun demikian, pertumbuhan Imperium Romanum (kekuasaan bangsa Romawi) melahirkan masalah-masalah baru dan tuntutan-tuntutan baru yang tidak dapat diatasi oleh sistim politik lama Republik Romawi dengan para magistratusnya yang setiap tahun dipilih langsung oleh rakyat maupun pembagian kekuasaanya. Perang Saudara Sula yang disusul masa pemerintahannya selaku diktator, perintah-perintah luar biasa Pompeius Magnus, dan Triumviratus pertama kian memperjelas kenyataan tersebut. Pada bulan Januari 49 SM, Yulius Kaisar, panglima yang berjaya menaklukkan Galia, menyeberangi Sungai Rubiko berasama legiun-legiunnya, menduduki kota Roma, dan melancarkan perang saudara melawan Pompeius. Pada tahun berikutnya, Yulius Kaisar berhasil menghancurkan lawan-lawannya, dan memerintah Roma selama empat tahun. Sesudah ia tewas terbunuh pada tahun 44 SM,[31] senatus berusaha memulihkan kembali tatanan republik, tetapi tokoh-tokoh andalan mereka, Markus Yunius Brutus (keturunan pendiri Republik Romawi) dan Gayus Kasius Longinus, dibuat bertekuk lutut oleh Markus Antonius, perwira bawahan Yulius Kaisar, dan Oktovianus, kemenakan Yulius Kaisar. Tahun 44 SM sampai tahun 31 SM adalah tahun-tahun perebutan kekuasaan antara Markus Antonius dan Oktavianus (kemudian hari dikenal dengan nama Agustus). Pada tanggal 2 September 31 SM, di tanjung Aktion, Jazirah Yunani, pecah pertempuran terakhir yang berlangsung di laut. Oktavianus keluar sebagai pemenang, dan menjadi satu-satunya penguasa Roma (dan seluruh jajahannya). Perang laut tersebut menjadi tonggak sejarah yang menandai akhir zaman Republik dan awal zaman Principatus.[32][33] Zaman kekaisaran
Awal mula kekaisaranMenjelang berakhirnya zaman Republik Romawi, kota Roma sudah mencapai kemegahan yang layak dimiliki ibu kota sebuah kemaharajaan yang menguasai seluruh Laut Tengah. Ketika itu Roma adalah kota terbesar di dunia. Puncak kepadatan populasinya diperkirakan berkisar pada angka 450.000 sampai lebih dari 3,5 juta jiwa, sementara angka perkiraan yang paling populer di kalangan sejarawan adalah 1 sampai 2 juta jiwa.[35] Kemegahan Roma meningkat pada masa pemerintahan Kaisar Agustus, yang menuntaskan proyek-proyek pembangunan Yulius Kaisar dan menambahkan proyek-proyek yang tercetus dari gagasannya sendiri, misalnya Forum Agustus dan Ara Pacis. Konon Kaisar Agustus pernah mengatakan bahwa Roma yang ia jumpai adalah sebuah kota batu-bata dan Roma yang ia tinggalkan adalah sebuah kota pualam (Urbem latericium invenit, marmoream reliquit). Para pengganti Kaisar Agustus berusaha mengulang keberhasilannya dengan cara menambahkan kontribusi mereka sendiri kepada kota itu. Pada tahun 64 M, masa pemerintahan Kaisar Nero, terjadi musibah kebakaran besar yang menghanguskan sebagian besar kota Roma, tetapi musibah tersebut justru dijadikan alasan dilakukannya usaha-usaha pengembangan yang baru.[36][37] Roma pada masa itu adalah kota yang disubsidi pemerintah. Kurang lebih 15 sampai 25 persen pasokan gandumnya dibiayai oleh pemerintah pusat. Usaha perdagangan dan industri hanya memainkan peran kecil jika dibandingkan dengan usaha perdagangan dan industri di kota-kota lain semisal Aleksandria. Ini berarti Roma harus bergantung kepada barang-barang dan produksi dari daerah-daerah lain di Kekaisaran Romawi untuk menghidupi warganya yang begitu banyak. Sebagian besar barang-barang tersebut dibiayai dengan pajak yang dipungut pemerintah. Andaikata tidak disubsidi pemerintah, mungkin saja Roma hanyalah sebuah kota kecil.[38] Populasi Roma menyusut sesudah mencapai puncaknya pada abad ke-2. Pada akhir abad itu, yakni pada masa pemerintahan Kaisar Markus Aurelius, Roma dilanda Wabah Antonina yang merenggut 2.000 nyawa sehari.[39] Markus Aurelius mangkat pada tahun 180. Masa pemerintahannya menjadi penutup zaman "Lima Kaisar Budiman" dan Pax Romana. Putranya, Komodus, yang naik takhta pada tahun 177 M, mengampu kuasa imperium paripurna, yang santer dikait-kaitkan dengan keterpurukan berangsur Kekaisaran Romawi Barat. Populasi Roma tinggal secuil dari jumlah tertinggi yang pernah dicapainya ketika Tembok Aurelianus rampung dikerjakan pada tahun 273 (pada tahun itu, populasi Roma tinggal 500.000 jiwa saja). Pada masa itu, sebagian kaum ningrat Romawi hidup berpindah-pindah di Roma setelah bencana letusan Gunung Vesuvius pada tahun 79 M membinasakan kota Pompeii. Kemelut abad ke-3Semenjak permulaan abad ke-3, keadaan mulai berubah. "Kemelut Abad Ketiga" menyifatkan bencana-bencana dan gejolak-gejolak political yang melanda Kekaisaran Romawi yang sudah berada di ambang kehancuran. Keresahan akibat dibayang-bayangi ancaman invasi bangsa barbar terlihat jelas pada keputusan Kaisar Aurelianus untuk memagari ibukota dengan tembok raksasa sepanjang hampir 20 km (12 mi) yang rampung dikerjakan pada tahun 273. Secara resmi Roma tetap menjadi ibu kota kekaisaran, tetapi para kaisar semakin jarang melewatkan waktu di kota itu. Sesudah perombakan politik yang dilakukan Kaisar Dioklesianus pada abad ke-3, Roma kehilangan peran tradisionalnya sebagai pusat penyelenggaraan negara. Kemudian hari, kaisar-kaisar wilayah barat menjalankan pemerintahan dari kota Milan atau Ravenna, maupun dari kota-kota di Galia. Pada tahun 330, Kaisar Konstantinus I mendirikan ibu kota kedua di Konstantinopel. KristenisasiAgama Kristen masuk ke Roma pada abad ke-1 M. Selama dua abad pertama tarikh Masehi, pemerintah Kekaisaran Romawi lebih sering menganggap agama Kristen sebagai salah satu sekte belaka dari agama Yahudi ketimbang sebagai sebuah agama tersendiri. Tak seorangpun kaisar pernah mengundangkan hukum-hukum yang menentang iman Kristen maupun Gereja, dan berbagai aniaya yang pernah menimpa umat Kristen dilakukan di bawah payung kewenangan pejabat-pejabat pemerintah lokal.[40] Peninggalan tertulis berupa sepucuk surat dari Plinius Muda, wali negeri Bitinia, kepada Kaisar Trayanus menggambarkan aniaya dan hukuman mati yang ditimpakannya ke atas umat Kristen. Kaisar Trayanus membalas dengan imbauan supaya Plinius tidak mencari-cari orang Kristen maupun meminta masyarakat untuk diam-diam melaporkan keberadaan orang Kristen, tetapi hanya menghukum orang Kristen yang menjalankan agamanya secara terang-terangan dan menolak murtad.[41] Suetonius secara sambil lalu menyebutkan bahwa pada masa pemerintahan Kaisar Nero, "hukuman ditimpakan ke atas orang Kristen, yaitu golongan pengikut takhayul baru yang meresahkan" (superstitionis novae ac maleficae).[42] Suetonius tidak menyebutkan alasan hukuman tersebut dijatuhkan. Tacitus melaporkan bahwa seusai musibah Kebakaran Besar di Roma pada tahun 64, beberapa pihak dalam masyarakat yakin bahwa Kaisar Nerolah yang mendalangi kebakaran itu dan berusaha mengambinghitamkan orang-orang Kristen.[43] Perang melawan bangsa Yahudi pada masa pemerintahan Nero, yang benar-benar menggoyahkan kestabilan negara sampai-sampai menimbulkan perang saudara dan mendorong Nero untuk bunuh diri, menjadi alasan tambahan untuk menggencet sekte 'Yahudi' ini. Kaisar Dioklesianus melancarkan aniaya besar-besaran yang terakhir sekaligus yang terkejam terhadap umat Kristen, mulai dari tahun 303 sampai 311. Agama Kristen sudah terlalu luas menyebar untuk dapat diberantas, dan pada tahun 313, terbit Maklumat Milan yang secara resmi menoleransi keberadaannya. Kaisar Konstantinus I (kaisar tunggal dari tahun 324 sampai 337) adalah Kaisar Romawi pertama yang memeluk agama Kristen. Pada tahun 380, Kaisar Teodosius I menetapkan agama Kristen sebagai agama resmi negara. Pada masa pemerintahan Kaisar Teodosius, rakyat dilarang menyambangi kuil-kuil pagan,[44] api abadi di kuil Dewi Vesta yang menghadap alun-alun Roma dipadamkan, para kenya Dewi Vesta dibubarkan, pengamal ilmu tenung burung dan ilmu sihir dipidana. Kaisar Teodosius menolak permintaan para senator pagan untuk memugar Mezbah Kemenangan di balai sidang senatus. Peralihan keyakinan Kekaisaran Romawi ke agama Kristen melejitkan Uskup Roma (kemudian hari lebih dikenal dengan sebutan Sri Paus) menjadi pemuka agama yang dituakan di Kekaisaran Romawi Barat, sebagaimana dinyatakan secara resmi pada tahun 380 di dalam Maklumat Tesalonika. Meskipun peranannya di Kekaisaran Romawi kian terpinggirkan, kota Roma masih memiliki wibawa lantaran kebersejarahannya. Pada kurun waktu inilah proyek-proyek pembangunan yang terakhir di kota Roma dilaksanakan. Kaisar Maksensius, pendahulu Konstantinus, mendirikan gedung-gedung semisal basilika kota Roma di lingkungan alun-alun. Kaisar Konstantinus sendiri membangun Gapura Konstantinus sebagai tanda peringatan kemenangannya melawan Maksensius. Kaisar Dioklesianus membangun rumah-rumah pemandian terbesar yang pernah ada. Kaisar Konstantinus juga adalah orang pertama yang menjadi penyandang dana pembangunan gedung-gedung resmi agama Kristen di kota Roma. Ia menghibahkan Istana Lateran kepada Sri Paus, dan membangun basilika besar yang pertama, yakni Basilika Lama Santo Petrus. Invasi bangsa Jermani dan tumbangnya kekaisaran baratMeskipun demikian, Roma tetap menjadi salah satu benteng pertahanan Paganisme, di bawah pimpinan kaum bangsawan dan para senator. Zaman kiwari
Penyatuan ItaliaPada tahun 1870, daerah-daerah kekuasaan Sri Paus terjerumus ke dalam situasi yang tidak menentu manakala kota Roma dianeksasi pasukan pimpinan Piemonte yang sudah berhasil menyatukan semua daerah lain di Italia, meskipun pasukan kepausan sudah berusaha menunjukkan perlawanan. Antara tahun 1861 sampai 1929, status Sri Paus disebut sebagai "Permasalahan Roma". Para paus silih berganti naik takhta di istana kepausan tanpa diganggu-gugat, dan beberapa hak prerogatif Sri Paus diakui di dalam Undang-Undang Jaminan, termasuk hak untuk mengutus dan menerima duta-duta besar. Meskipun demikian, para paus tidak mengakui hak pemerintahan Raja Italia atas Roma, dan menolak meninggalkan lingkungan Vatikan sampai sengketa itu diselesaikan pada tahun 1929. Negara-negara lain terus mempertahankan pengakuan internasional akan status Takhta Suci sebagai sebuah negara berdaulat. Sesudah masuknya pasukan Amerika, pemerintah Amerika Serikat menentang pengeboman-pengeboman semacam itu lantaran tidak ingin menyinggung perasaan serdadu-serdadu Amerika yang beragama Katolik, sementara pemerintah Inggris justru mendukungnya.[45] Paus Pius XII juga menganjurkan pendeklarasian kota Roma sebagai "kota terbuka", tetapi baru terlaksana pada tanggal 14 Agustus 1943, sesudah Roma dua kali dibombardir.[46] Meskipun pemerintah Italia meminta sumbang saran Vatikan dalam penyusunan kalimat pendeklarasian Roma menjadi kota terbuka, dorongan ke arah perubahan tersebut hampir-hampir tidak melibatkan Vatikan.[47] Ibu kota Republik ItaliaSeusai perang, Roma tumbuh pesat sebagai salah satu faktor penggerak utama di balik "mukjizat ekonomi Italia" dari rekonstruksi dan modernisasi pascaperang. Roma menjadi kota yang mengikuti perkembangan mode pada dasawarsa 1950-an dan awal dasawarsa 1960s-an, yakni tahun-tahun "la dolce vita" (hidup nikmat), manakala film-film klasik populer semisal Ben Hur, Quo Vadis, Roman Holiday, dan La Dolce Vita[48] diproduksi di Studio Cinecittà yang tersohor dan terletak di kota itu. Suatu tren peningkatan baru pada populasi berlanjut sampai pertengahan dasawarsa 1980-an, manakala jumlah warga kota Roma mencapai lebih 2,8 juta jiwa; sesudah itu, populasi perlahan-lahan menyusut manakala semakin banyak warga Roma pindah ke upakota-upakota di sekitarnya. Area metropolitan Roma dihuni kira-kira 4,4 juta jiwa per tahun 2015. Sebagai ibu kota negara Italia, Roma menjadi kota tempat semua lembaga utama negara berpusat, termasuk lembaga kepresidenan, pusat pemerintahan dengan kementerian tunggalnya, parlemen, mahkamah agung, dan perwakilan-perwakilan diplomatik untuk negara Italia maupun negara Kota Vatikan. Sejumlah lembaga kebudayaan, keilmuan, dan kemanusiaan internasional yang terkemuka berlokasi di Roma, termasuk Institut Arkeologi Jerman dan FAO. Roma menjadi tuan rumah Olimpiade Musim Panas 1960. Banyak situs kuno seperti Vila Borghese dan Thermae Caracalla dijadikan ajang perhelatan.[49] Untuk pertandingan Olimpiade didirikan bangunan-bangunan baru, yaitu Stadion Olimpico yang kemudian hari diperbesar dan direnovasi untuk dijadikan tempat digelarnya pertandingan-pertandingan kualifikasi dan pertandingan final sepak bola Piala Dunia FIFA tahun 1990, dan Villaggio Olimpico (Desa Olimpiade) yang dibangun untuk menampung para atlet dan kemudian hari dikembangkan ulang menjadi sebuah distrik perumahan. Bandara Leonardo da Vinci–Fiumicino di Roma dibuka pada tahun 1961. Pariwisata mendatangkan 7–10 juta pengunjung dalam setahun. Roma adalah kota ke-3 yang paling banyak dikunjungi orang di Uni Eropa, sesudah London dan Paris. Menurut penelitian yang dilakukan pada tahun 2009, Koloseum (4 juta wisatawan) dan Museum Vatikan (4,2 juta wisatawam) masing-masing merupakan tempat ke-39 dan ke-37 yang paling banyak dikunjungi orang di dunia.[50] Banyak monumen kuno di Roma dipugar oleh pemerintah Italia dan oleh Vatikan dalam rangka perayaan Yubileum Agung tahun 2000. Kawasan bersejarahMeskipun dewasa ini Roma merupakan sebuah metropolis modern, berbagai tahap dalam penjalanan panjang sejarahnya masih membekas. Kawasan bersejarah, yang diidentifikasi sebagai bagian dari lingkungan bertembok pada zaman Kekaisaran Roma, penuh dengan petilasan Romawi Kuno. Petilasan-petilasan tersebut terus-menerus diekskavasi dan terbuka untuk umum, misalnya Koloseum, Forum Romawi, dan katakombe-katakombe. Ada pula petilasan-petilasan dari Abad Pertengahan, istana-istana dan karya-karya seni dari Abad Renaisans, maupun sekian banyak pancuran, gereja, dan istana peninggalan zaman Barok. Ada karya seni dan arsitektur periode Art Nouveau, periode Neoklasik, periode Modernis, dan periode Rasionalis, maupun museum-museum seperti Musei Capitolini, Museum Vatikan, dan Galleria Borghese. Petilasan-petilasan di kawasan bersejarah ditata kembali selepas Penyatuan Italia (tahun 1880–1910 – Roma Umbertina) pada abad ke-19. Lonjakan populasi akibat sentralisasi negara Italia melahirkan kebutuhan akan prasarana dan akomodasi yang baru. Ada pula alterasi dan adaptasi substansial yang dilakukan pada zaman Fasis, misalnya pembangunan Via dei Fori Imperiali, dan Via della Conciliazione di depan Vatikan. Proyek-proyek pembangunan tersebut dapat dijalankan sesudah menghancurkan sebagian besar lingkungan Borgo lama. Quartieri baru pun dibangun, misalnya EUR (Esposizione Universale Roma), San Basilio, Garbatella, Cinecittà, Trullo, dan Quarticciolo. Akibat derasnya arus pendatang ke pesisir, Ostia pun direstrukturisasi, dan kawasan kota diperluas sehingga melingkupi desa-desa di sekitar Roma, seperti Labaro, Osteria del Curato, Quarto Miglio, Capannelle, Pisana, Torrevecchia, Ottavia, dan Casalotti. Lihat pulaRujukanKeterangan
Kepustakaan
Atribusi
Bacaan lanjutan
Zaman Kekaisaran
Abad Pertengahan, Renaisans, Awal Zaman Kiwari
|