Semburan dustaSemburan dusta (bahasa Inggris: Firehose of falsehood) adalah teknik propaganda yang menyiarkan pesan dalam jumlah besar secara cepat, berulang-ulang, dan tanpa henti di berbagai media (seperti berita dan media sosial) tanpa mempedulikan kebenaran atau kepastiannya. Pada tahun 2014, teknik ini berhasil diterapkan oleh pemerintah Rusia dalam rangka aneksasi Krimea. Sejak saat itu, teknik ini mulai digunakan oleh pemerintahan negara dan kelompok politik di seluruh dunia.[1] Ciri-ciriHal yang membedakan semburan dusta dengan teknik propaganda Soviet era Perang Dingin adalah besarnya jumlah pesan dan media serta "keberanian" menyebarkan kebohongan dan pesan-pesan kontradiktif. Tujuan utamanya adalah memuaskan, membingungkan, dan mengejutkan pembaca. "Semburan" ini memanfaatkan teknologi modern, misalnya Internet dan media sosial, serta perilaku masyarakat dalam memproduksi dan menikmati berita pada masa kini.[1] Derasnya arus informasi di berbagai media justru efektif karena orang-orang cenderung memercayai sebuah berita apabila berita itu diliput oleh berbagai sumber.[1] Selain melalui kantor berita seperti RT, Rusia juga menyebarkan propaganda lewat puluhan situs web kecil yang ada kaitannya dengan RT, tetapi kaitan tersebut "ditutup-tutupi atau dibantah".[2] Seseorang cenderung percaya sebuah cerita yang juga dipercayai oleh orang lain, apalagi jika orang tersebut sepemahaman atau segolongan dengannya. Karena itu, sekelompok orang jahil (troll) bisa mengubah pandangan seseorang dengan mengelabui dirinya bahwa hampir semua tetangganya mendukung ideologi tertentu.[1] Menurut RAND Corporation, dengan "menyembur" informasi, pemerintah Rusia mampu mendorong masyarakat untuk memercayai dan menyebarkan berita bohong sekaligus mengabaikan berita yang sesungguhnya. Keberhasilan pendekatan ini bertentangan dengan anggapan umum bahwa komunikasi itu lebih persuasif apabila sifatnya jujur, tepercaya, dan konsisten (tidak kontradiktif).[1] Menurut kritikus sastra Michiko Kakutani, meski memanfaatkan teknologi modern, teknik ini didasari oleh pemikiran revolusioner asal Rusia, Vladimir Lenin. Lenin pernah mengatakan bahwa pidatonya yang berapi-api "bukan bertujuan untuk meyakinkan musuh, melainkan memecah belah mereka, bukan untuk memperbaiki kesalahan musuh, melainkan menghancurkan mereka, melenyapkan organisasi mereka dari muka bumi." Dalam biografi yang ditulis oleh sejarawan Victor Sebestyen, Lenin dijuluki sebagai "bapak politik pascakebenaran". Steve Bannon, mantan kepala Breitbart News, pernah mencap dirinya pengikut Lenin.[3] Kakutani juga mengambil contoh Vladislav Surkov, seorang pebisnis dan propagandis Rusia. Surkov membantu Vladimir Putin berkuasa dengan memantik kekacauan dan kebingungan. Surkov juga mengatakan bahwa Amerika Serikat membutuhkan "tangan yang kuat" untuk menariknya dari kekacauan yang semakin menjadi-jadi.[3] KampanyeRusia kabarnya menerapkan teknik propaganda ini dalam menghadapi persoalan Ukraina dan Suriah, melawan sekutu-sekutu NATO, mencampuri pemilu Amerika Serikat tahun 2016, dan memanipulasi pemilu di negara-negara lain.[1][3][4] Menurut William J. Broad dari New York Times, pada tahun 2019, Rusia memulai kampanye "semburan dusta" untuk meyakinkan masyarakat AS bahwa telepon 5G membahayakan kesehatan, padahal Putin sendiri menyetujui peluncuran jaringan 5G di Rusia.[5] Menjelang pemilu presiden Indonesia 2019, calon petahana Joko Widodo menuduh tim kampanye Prabowo Subianto menyebarkan propaganda kebencian dengan bantuan konsultan asing. Ia memakai istilah "propaganda Rusia" dan menyinggung "semburan dusta".[6] Menurut redaktur Mother Jones, Monika Bauerlein, teknik ini semakin sering digunakan oleh politikus Amerika Serikat terhadap kalangan pers. Ia memperingatkan bahwa taktik-taktik serupa akan semakin gencar, khususnya ancaman gugatan hukum, tuduhan "berita palsu" (fake news), dan serangan ad hominem.[7] PencegahanUpaya-upaya kontrapropaganda pada umumnya tidak berhasil melawan teknik ini. Peneliti RAND Corporation menulis, "Semburan dusta tidak akan bisa dilawan dengan sepercik kebenaran." (bahasa Inggris: Don't expect to counter the firehose of falsehood with the squirt gun of truth.) Mereka menyarankan:
Peneliti dari German Marshall Fund menyarankan pembaca berhati-hati agar tidak mengulangi atau menyebarkan klaim palsu yang dijumpai. Menyebarkan informasi palsu dengan niat membantahnya sekalipun justru membuat orang semakin percaya.[8] Salah satu metode pencegahan yang disarankan oleh pakar keamanan Bruce Schneier adalah pendidikan literasi digital.[9] Lihat pulaReferensi
|