Suku Dayak Ngaju (Biaju) adalah suku asli di Kalimantan Tengah. Suku Ngaju merupakan sub etnis Dayak terbesar di Kalimantan Tengah yang persebarannya cukup luas dan utamanya terkonsentrasi di daerah Kota Palangka Raya, Kabupaten Pulang Pisau, Kabupaten Gunung Mas, Kabupaten Kapuas dan di kabupaten lainnya di seluruh wilayah Kalimantan Tengah dapat ditemui suku Ngaju. Suku Ngaju secara administratif merupakan suku baru yang muncul dalam sensus tahun 2000 dan merupakan 27,3% dari penduduk Kalimantan Tengah, namun suku Ngaju digabung ke dalam suku Dayak dalam sensus 2010.[2]
Berdasarkan sensus penduduk yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik RI pada tahun 2000, orang Ngaju (Dayak Ngaju) berjumlah 324.504 jiwa atau 0,16 % dari penduduk Indonesia pada saat itu. Pada sensus tahun 2000 tersebut Dayak Ngaju disensus secara terpisah dengan Suku Dayak Katingan dan Suku Dayak Bakumpai.
Etimologis
Ngaju berarti udik atau hulu.[3] Suku Ngaju kebanyakan mendiami daerah aliran sungai Kapuas, Kahayan, Rungan Manuhing, Barito dan Katingan bahkan ada pula yang mendiami daerah Kalimantan Selatan.
Orang Dayak Ngaju yang kita kenal sekarang, dalam literatur-literatur pada masa-masa awal disebut dengan Biaju. Terminologi Biaju dipakai untuk menyebut nama sekelompok masyarakat, sungai, wilayah dan pola hidup (Ras 1968: 336). Menurut Hikayat Banjar, Sungai Kahayan dan Kapuas sekarang ini disebut dengan nama sungai Biaju yaitu Batang Biaju Basar, dan Batang Biaju Kecil. Orang yang mendiaminya disebut Orang Biaju Besar dan Orang Biaju Kecil. Sedangkan sungai Murong (Kapuas-Murong) sekarang ini disebut dengan nama Batang Petak (lihat Ras 1968: 314). Pulau Petak yang merupakan tempat tinggal orang Ngaju disebut Biaju (Ras 1968: 408, 449).[4]
Terminologi Biaju tidaklah berasal dari orang Dayak Ngaju tetapi berasal dari bahasa orang Bakumpai yang secara ontologis merupakan bentuk kolokial dari bi dan aju yang artinya ”dari hulu” atau ”dari udik”. Karena itu, di wilayah aliran sungai Barito, dimana banyak orang Bakumpai, orang Dayak Ngaju
disebut dengan Biaju (lihat Schärer 1963: 1), yang artinya orang yang berdiam di dan dari bagian hulu sungai (Riwut 1958: 208). Di kemudian hari, istilah ini dipungut begitu saja oleh orang Banjar untuk menyebut semua orang pedalaman hulu sungai yang tidak beragama Islam. Istilah ini kemudian diperkenalkan kepada para pedagang dari Cina, Inggris, Portugis yang berlabuh di pelabuhan Banjarmasin. Karena itu dalam catatan pelayaran para pedagang Cina, Portugis dan Inggris dapat ditemukan kata Biaju yang merujuk pada suku di pedalaman yang bukan orang Banjar dan tidak beragama Islam (Groeneveldt 1880, Beckman 1718).[4]
Menurut Afdeeling Dajaklandeen (Afdeling Tanah-tanah Dayak 1898-1902)[5][6] atau Tanah Biaju (sebelum 1826) adalah bekas sebuah afdeling dalam Karesidenan Selatan dan Timur Borneo yang ditetapkan dalam Staatblad tahun 1898 no.178.
Pada tahun 1855, daerah ini dinamakan De afdeeling groote en kleine Dayak.[7][8]
Sesuai Staatblad tahun 1898 no. 178 bahwa Afdeeling Dajaklandeen, dengan ibu kota Kwala Kapoeas (Kuala Kapuas) terdiri ditrik-distrik:
Menurut Tetek Tatum/kepercayaan leluhur Dayak yaitu agama Kaharingan, leluhur orang Dayak Ngaju merupakan ciptaan langsung Ranying Hatalla Langit, yang ditugaskan untuk menjaga bumi dan isinya agar tidak rusak. Dan Leluhur Dayak Ngaju diturunkan dari langit yang ke tujuh ke dunia ini dengan Palangka Bulau (Palangka artinya suci, bersih, merupakan ancak, sebagai tandu yang suci, gandar yang suci dari emas diturunkan dari langit, sering juga disebutkan Ancak atau Kalangkang) diturunkan dari langit ke dalam dunia ini di empat tempat berturut-turut melalui Palangka Bulau, yaitu:[13]
Tantan Puruk Pamatuan di perhuluan Sungai Kahayan dan sungai Barito, Kalimantan Tengah, maka inilah seorang manusia yang pertama yang menjadi datuknya orang-orang Dayak yang diturunkan di Tantan Puruk Pamatuan, yang diberi nama oleh Ranying Hatalla (Tuhan YME): Antang Bajela Bulau atau Tunggul Garing Janjahunan Laut. Dari Antang Bajela Bulau maka terciptalah dua orang laki-laki yang gagah perkasa yang menteng ureh mamut bernama Lambung atau Maharaja Bunu dan Lanting atau Maharaja Sangen.
Datah Takasiang, perhuluan sungai Rakaui (Sungai Malahui, Kalimantan Barat, oleh Ranying (Tuhan YME) terciptalah 4 orang manusia, satu laki-laki dan tiga perempuan, yang laki-laki bernama Litih atau Tiung Layang Raca Memegang Jalan Tarusan Bulan Raca Jagan Pukung Pahewan, yang seketika itu juga menjelma menjadi Jata dan tinggal di dalam tanah di negeri yang bernama Tumbang Danum Dohong. Ketiga puteri tadi bernama Kamulung Tenek Bulau, Kameloh Buwooy Bulau, Nyai Lentar Katinei Bulau.
Kaharingan adalah agama asli suku Dayak di Pulau Kalimantan. Agama Kaharingan sudah ada sebelum agama lainnya masuk ke Kalimantan. Agama Kaharingan mempunyai simbol tersendiri yakni Batang Garing yang berarti pohon kehidupan. Simbol Batang Garing ini sudah tidak asing bagi masyarakat Dayak karena sering dijumpai pada banyak bangunan di Kalimantan Tengah.[15][16] Kaharingan artinya tumbuh atau hidup, juga dikenal dengan istilah danum kaharingan (air kehidupan),[17] yang artinya agama Kaharingan ini akan terus ada bagai air yang mengalir, tumbuh secara turun temurun dan dihayati oleh masyarakat Dayak di Kalimantan. Tuhan Yang Maha Esa dalam agama Kaharingan disebut Ranying Hatalla. Suku Dayak Ngaju pernah mempunyai peradaban Kaharingan pada zaman dulu, yaitu pada zaman Kerajaan Tanjung Pematang Sawang dengan ratunya Nyai Undang. Banyak monumen atau tempat di Kalimantan Tengah di masa sekarang yang terinspirasi dari sejarah Kerajaan bercorak agama Kaharingan ini, seperti nama "Tambun Bungai" yang diabadikan sebagai julukan provinsi Kalimantan Tengah dan sebagai nama perguruan tinggi, lalu "Sanaman Mantikei" juga diabadikan sebagai nama lapangan, stadion dan nama kecamatan, serta masih ada nama tokoh lainnya di Kerajaan Tanjung Pematang Sawang yang dijadikan nama tugu di Kalimantan Tengah.
Agama Kaharingan diperkenalkan kepada publik oleh Tjilik Riwut pada tahun 1944, saat ia menjabat Residen Sampit yang berkedudukan di Banjarmasin. Tahun 1945, pendudukan Jepang mengajukan Kaharingan sebagai salah satu agama resmi negara Indonesia, namun ditolak oleh pemerintah Indonesia dengan alasan umat Kaharingan belum tersebar di setiap pulau/daerah berdasarkan sensus penduduk di Indonesia. Pemerintah Indonesia menganggap Kaharingan hanya bersumber dari tradisi Suku Dayak saja, sehingga Kaharingan tidak dianggap sebagai agama pada saat itu. Seiring bergantinya jaman, penganut Kaharingan mengalami banyak hambatan saat ingin menempuh pendidikan yang layak, susah menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN), maupun sulit terlibat dalam Politik akibat terkendala oleh syarat yang mengharuskan masyarakat untuk menganut Agama yang resmi diakui oleh Negara Indonesia. Oleh sebab itu para penganut Kaharingan berintegrasi dengan Hindu, menjadi HinduKaharingan pada masa orde baru, tepatnya pada 20 April 1980. Pemilihan integrasi ke Hindu ini bukan hanya karena kesamaan ritualnya, namun juga karena Hindu merupakan salah satu agama tertua di Kalimantan. Integrasi ke dalam Agama Hindu dengan bukti stempel darah dari tokoh adat dan budaya Dayak dalam surat integrasi ke Agama Hindu.
Umat Kaharingan di Kalimantan Tengah mempunyai tempat ibadah yang dinamakan Balai Basarah atau Balai Kaharingan. Kitab suci agama mereka adalah Panaturan dan buku-buku agama lain, seperti Kandayu, Talatah Basarah (Kumpulan Doa), Tawar (petunjuk tatacara meminta pertolongan Tuhan dengan upacara menabur beras), dan sebagainya.
Tetapi di Malaysia Timur (Sarawak dan Sabah), tampaknya kepercayaan Dayak ini tidak diakui sebagai bagian umat beragama Hindu, jadi dianggap sebagai masyarakat yang belum menganut suatu agama apapun saat itu. Kini seluruh penganut Kaharingan di Sabah dan Sarawak sudah berpindah agama ke Kristen dan Katolik. Penganut agama Kaharingan di Kalimantan Barat juga semakin berkurang seiring dengan penyebaran agama Kristen Protestan di Kalimantan yang dimulai pada tahun 1830-an. Diperkuat juga dengan Katolikisasi di Kalimantan Barat yang ditandai dengan kedatangan 3.000 guru sekolah dasar (SD) yang juga merupakan Pegawai Negeri Sipil dari Nusa Tenggara Timur. Kedatangan PNS ini difasilitasi oleh Gubernur Kalimantan Barat yakni Brigjen TNI Kadarusno dan Kodam XII/Tanjungpura yang tujuannya mewajibkan kalangan Suku Ot Danum untuk mengikuti agama resmi yang mereka anut yakni Katolik. Gubernur Kalimantan Barat saat itu beralasan Pemerintah Indonesia tidak mengakui Kaharingan sebagai agama resmi sehingga masyarakat Ot Danum akan sulit mendapat pekerjaan jika masih menganut Kaharingan, dan akhirnya masyarakat Ot Danum berpindah keyakinan ke Katolik. Kegiatan khusus ini terealisasi pada periode 1978 – 1982. Inilah penyebab mayoritas Suku Dayak Ut Danum di Kalimantan Barat beragama Katolik.
Orang Dayak Ngaju terkenal dengan kemampuan spiritualnya yang luar biasa. Salah satu kemampuan spiritual itu mereka sebut Manajah Antang (burung Elang), yaitu memanggil burung Elang agar dapat memberi petunjuk untuk berperang atau ingin mengetahui keadaan seseorang. Mereka meyakini burung yang datang adalah suruhan leluhur mereka, dan mereka meyakini petunjuk apapun yang diberikan oleh burung Elang adalah benar.
Upacara tiwah, yaitu proses mengantarkan arwah (liau) sanak kerabat atau leluhur yang sudah meninggal ke surga atau Lewu Tatau Habaras Bulau Hagusung Intan Dia Rumpang Tulang, yaitu sebuah tempat yang kekal atau abadi. Penganut agama Kaharingan meyakini leluhur akan senang dan bahagia jika arwah mereka sudah diantarkan. Mereka juga meyakini bahwa sebelum dilaksanakan upacara tiwah, roh leluhur dianggap belum masuk surga.
Tradisi bertato/tutang/cacah, orang Dayak terkenal dengan seni tatonya. Baik kaum laki-laki maupun perempuan, menato bagian-bagian tertentu dari tubuhnya, seperti pergelangan tangan, punggung, perut atau leher. Bahkan terdapat orang yang menato seluruh tubuhnya (biasanya seorang pemimpin). Tato selain sebagai simbol status juga merupakan identitas. Mentato didasari oleh kayakinan bahwa kelak setelah meninggal dan sampai ke surga, tato itu akan bersinar kemilau dan berubah menjadi emas, sehingga dapat dikenali oleh leluhur mereka nanti di surga.
Sejak dahulu hingga sekarang orang Dayak terkenal dengan hukum adat mereka, khususnya berkaitan dengan bagaimana cara mereka hidup berdampingan dengan alam (hutan). Hukum adat merupakan aturan yang telah digariskan oleh Ranying Hatalla Langit dan diwariskan oleh leluhur mereka untuk ditaati. Orang Dayak Ngaju meyakini jika tidak melaksanakan hukum adat, maka leluhur mereka akan marah dengan mengirimkan berbagai bencana alam, seperti banjir dan kesulitan mencari makan.
Burung Enggang Gading (tanjaku) adalah burung yang sangat disakralkan dalam kepercayaan orang Dayak Ngaju. Burung ini dianggap sebagai burung indah dan dari gerak geriknya tercipta sebuah tarian, yang diyakini sebagai tarian leluhur mereka pada saat awal penciptaan. Maka dari itu hingga sekarang tarian burung Enggang masih ditampilkan dalam upacara adat Dayak Ngaju, sebagai penghormatan terhadap leluhur mereka.
Pengetahuan dan keyakinan mereka terhadap Pohon Batang Garing (pohon kehidupan) sebagai petunjuk memahami kehidupan. Pohon Batang Garing adalah pohon simbolis yang diciptakan berbarengan dengan diciptakannya leluhur Dayak Ngaju. Pohon ini dianggap menjadi pohon petunjuk untuk mengatur kehidupan yang harus diajarkan pada orang Dayak Ngaju kelak.
Pada masa lampau masyarakat Dayak Ngaju memiliki susunan dan tingkatan strata sosial dalam masyarakatnya yaitu:
Kepala Kampung, yang dimasa kolonial tugasnya hanya melaksanakan perintah pegawai kolonial, dengan tugas utama menarik pajak dan mendayung perahu bagi para pegawai kolonial, apabila mengunjungi kampung lain, mengakibatkan terjadinya perbedaan kelas dalam masyarakat. Ada kaum bangsawan dan ada orang-orang pantan.
Orang-orang Pantan, adalah penduduk asli yang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari diusahakan sendiri. Kewajiban mereka mematuhi perintah pimpinan, serta wajib menyediakan tenaga sukarela apabila dibutuhkan pimpinan. Disini jelas nasib mereka banyak tergantung kepada kepribadian pimpinan mereka.
Orang-orang Merdeka adalah keluarga jauh para Kepala Kampung. Mereka dibebaskan dari kewajiban membayar pajak, namun tetap harus menyediakan tenaga secara sukarela apabila dibutuhkan oleh pimpinan demi kepentingan umum.
Orang-orang Jipen, adalah golongan budak. Para Jipen sama sekali tidak memiliki harta benda, seluruh kebutuhan hidupnya disediakan oleh majikannya. Para Kepala Kampung, orang-orang merdeka, orang-orang pantan diizinkan mempunyai jipen. Jipen berasal dari orang-orang yang kalah perang dan tak sanggup melunasi hutang-hutangnya. Apabila para jipen telah sanggup melunasi utangnya, maka kemerdekaan akan mereka peroleh. Akan tetapi bila hingga akhir hayat utang belum mampu mereka lunasi, maka anak keturunannya akan tetap menjadi jipen, yang biasa disebut "utus jipen", sampai utang yang ada dilunasi.