Orang Paser telah mendirikan kerajaan Islam yaitu Kesultanan Paser (Kerajaan Sadurangas)[2] semenjak awal abad ke XVI atau tahun 1516 hingga berakhir pada tanggal, 07 April 1906. Suku bangsa Paser memiliki tiga kultur budaya dasar yakni Budaya Pedalaman, Pesisir dan Budaya Keraton/Kesultanan sehingga termasuk ke dalam suku yang berbudaya Melayu (budaya kesultanan/lingkungan hukum adat Melayu). Suku bangsa Paser memiliki peradaban yang sangat tua bahkan dalam cerita Mitologi (Sempuri), Suku bangsa Paser adalah salah satu suku bangsa yang tertua di pulau Kalimantan/Borneo dan mereka menyebutnya sebagai peradaban Bansu Tatau Datai Danum yang artinya manusia yang hidup di pesisir pantai, sungai dan danau dalam peradaban Bansu Tatau Datai Danum.
Selanjutnya, muncul peradaban Benuo Rekan Tatau yang pusatnya terletak di hulu sungai Telake dan sungai Kendilo di Kabupaten Paser, provinsi Kalimantan Timur. Di antara kedua sungai tersebut, terdapat gunung yang disakralkan oleh orang-orang suku bangsa Paser yakni gunung Tunden Jamut yang kini lebih dikenal dengan nama Gunung Lumut dalam ritual suku bangsa Paser yang sering disebut dalam mantra-mantra Besoyong dengan nama "Lumut olo bolum". Sebelum orang-orang luar menamai pulau yang besar ini dengan nama Kalimantan atau Borneo, orang Paser, jauh berabad-abad yang lalu telah menamai pulau Kalimantan/Borneo ini dengan nama pulau Benuo Rekan Tatau yang artinya adalah Negeri yang luas dan kaya raya. Selanjutnya, dari peradaban Benuo Rekan Tatau ini melahirkan Budaya Belian yang biasa membuat anyaman Anjat dan sekarang menjadi lambang dari Kabupaten Paser.
Kemudian dari peradaban Benuo Rekan Tatau inilah melahirkan suku Kerawong atau Merawong, yang konon memiliki tubuh yang besar dan tinggi. Berikutnya, dari suku Kerawong atau Merawong ini, lahirlah suku Paser Lembuyut dan Paser Saing Puak, dan dari kedua suku ini menurunkan Subsuku/anak suku Paser yang hingga kini masih bertahan yakni:
Suku Paser Luangan. Kini, orang Paser Luangan ini sebagian besar tidak mengakui diri mereka sebagai Suku bangsa Paser lagi namun mereka lebih senang di sebut dengan suku bangsa Dayak Lawangan karena mereka memang kini banyak berdomisili di daerah Kalimantan Tengah
Suku Paser Telake. Suku Paser Telake terbagi lagi menjadi dua bagian yakni Suku Paser Nyawo yang dahulu memiliki tanah ulayat di sepanjang kiri ke hulu sungai Telake, dan suku Paser Tikas yang dahulu tanah ulayatnya berada di sepanjang kanan ke hulu Sungai Telake. Letak wilayah nya sekarang meliputi Kecamatan Long Kali, Kabupaten Paser.
Suku Paser Adang. Suku Paser Adang terbagi lagi menjadi Suku Paser Semunte dan Suku Paser Tajur) Wilayah Suku Paser Adang ini kini berada di Wilayah Kecamatan Long Ikis, Paser.
Suku Paser Migi. Wilayahnya kini masuk Kecamatan Kuaro Kabupaten Paser.
Paser Pematang. Wilayahnya kini masuk Kecamatan Paser Belengkong dan Kecamatan Muara Samu Kabuptaen Paser.
Paser Leburan atau Paser Pembesi. Wilayahnya kini masuk Kecamatan Paser Belengkong.
Paser Peteban atau Paser Keteban. Suku ini termasuk sebagai suku Paser yang memikiki karakter sangat Pemberani kini masuk wilayah Kecamatan Paser Belengkong Kabupaten Paser.
Paser Pamukan. Kini wilayahnya masuk Kecamatan Pemukan Utara dan Pamukan Selatan Kabupaten Kotabaru, di provinsi Kalimantan Selatan.
Paser Bukit Bura Mato. Wilayahnya kini masuk Kecamatan Muara Samu serta di pegunungan Meratus, dan orang Paser Bukit ini sebagian besar tidak mengakui diri mereka sebagai Suku bangsa Paser lagi dan mereka banyak mengakui diri mereka sebagai suku bangsa Dayak Meratus.
Suku Paser Balik. Suku ini kini hampir punah, komunitasnya sangat minoritas dibandingkan subsuku Paser lainnya di tanah ulayat. Suku Paser Balik ini dahulu kala wilayahnya meliputi Kabupaten Penajam Paser Utara, Kota Balikpapan, Samboja di Kabupaten Kutai Kartanegara serta di Pringtali, Resak, Bongan di Kabupaten Kutai Barat.
Suku bangsa Paser masih berkerabat dengan suku Dayak Benuaq, Dayak Tunjung, Dayak Bentian, Dayak Deah, Dayak Semihim, Dayak Maanyan, Dayak Teboyan dan Dayak Ot Danum. Suku bangsa Paser juga merupakan bagian dari suku Dayak hanya terdapat perbedaan keyakinan, letak administratifnya serta campur tangan dari Kolonial Hindia Belanda yang memisahkan rumpun ini dengan Suku bangsa Dayak. Populasi dari suku bangsa Paser saat ini diperkirakan sebesar 150.000 jiwa.
Sebagian besar suku bangsa Paser saat ini bermukim di sepanjang Tenggara pulau Kalimantan/Borneo dan terkonsentrasi didaerah pedalaman sepanjang Sungai Kendilo dan Sungai Telake serta di dataran gunung lumut serta pengunungan meratus namun yang berdomisili di pesisir juga banyak namun keberadaan mereka kalah banyak dengan populasi dari para Pendatang yang mayoritas seperti suku Jawa,Bugis dan Banjar
Sebenarnya di Kota Balikpapan Suku Paser masih bisa bertahan dari dahulu hingga kini hanya saja keberadaan mereka tidak terlihat nyata pada pergaulan sehari-hari sebab mereka kebanyakan sudah tidak memakai bahasa Paser sebagai bahasa sehari-hari mereka, namun kini para mudi mudi suku Paser dari berbagai subsuku Paser mulai timbul kesadaran mereka untuk kembali memelihara nilai luhur peninggalan nenek moyang suku bangsa Paser termasuk mulai menggunakan Bahasa Paser jika bertemu sesama suku Paser. Di kota Balikpapan Komunitas Suku Paser terdapat di daerah TPA Manggar yang terletak di Kecamatan Kecamatan Balikpapan Timur, kemudian di daerah Sungai Wayen/Sungai Wain, serta di Kariangau. Lalu di KM 30-35, Selok Api, Amborawag Darat dan Amborawang Laut yang masuk Kecamatan Samboja Kabupaten Kutai Kartanegara terdapat komunitas-komunitas kecil perkampungan suku Paser.
Tetapi kini pro kontra tentang Penyebutan Suku bangsa Paser apakah tetap memakai hanya Suku bangsa Paser saja atau suku Dayak Paser semua memiliki alasan masing-masing. Namun dari sejarahnya bahwa nama Paser sendiri sudah ada dan tercatat pada zaman Kerajaan Majapahit yakni pada kitab Negarakertagama karya Mpu Prapanca pada tahun 1365 M. Pada kitab Negarakertagama tersebut sudah tertulis nama Suku bangsa Paser dengan dialek Jawa disebut sebagai "Pasir". Kemudian pada peta-peta kuno buatan bangsa Eropa, nama Paser selalu dicantumkan sejak tahun 1688 dan seterusnya dengan berbagai jenis tulisan seperti: Passeir, Passer, Pafsir, Passir dan Pasir. Jauh ratusan tahun sebelum muncul nama "Dayak" yang diperkenalkan oleh bangsa Eropa, khususnya oleh kolonial hindia Belanda, nama Paser baru muncul pada abad ke XVIII. Hal ini memperkuat bahwa Paser sebenarnya memiliki identitas tersendiri lepas dari embel-embel "Dayak" meskipun secara kultural, khususnya untuk Rumpun Paser, mereka berasal dari peradaban Bansu Tatai Datai Danum/Benuo Rekan Tatau/Kuta Rekan Tau. Oleh karena itu suku Paser menolak jika dikatakan bahwa mereka adalah suku dayak, suku Paser adalah suku yang berdiri sendiri.
Beberapa kerajaan suku Paser
Menurut sempuri atau tutur lisan, suku bangsa Paser pernah mendirikan beberapa Kerajaan yakni:
Kerajaan Padang Kero, berdiri sekitar abad 1-7 M,dengan nama-nama Raja yang berkuasa yakni: Raja Nuas,Mandan,Tampuk Galung, Selendo Tuo dan Datu Puti Songkong,Gasing Puti, Nalau Raja Tondoi dan Sumping.
Kerajaan Padang Bertinti, berdiri sekitar abad ke 7-13 M dengan nama-nama Raja yang berkuasa yakni; Raja Nurang,Anjang,Talin dan Andir Palai,
Kerajaan Padang Layar berdiri sekitar Tahun 1305-1382 M dengan nama Raja yang memimpin adalah perempuan yang bernama Aji Mubar Mayang yang terkenal dengan gelar "Ratu Bura Daya" atau Ratu berdarah putih,
Sistem Kepenggawaan, berdiri sekitar Tahun 1390-1516 M, pada saat ini Negeri Paser dipimpin oleh sistem persekutuan adat yang mana pemimpinnya disebut dengan "Sie Penggawa/Sembilan Penggawa" adapun nama para Penggawa saat itu yakni:
Kerajaan Sadurengas, berdiri di sekitar tahun 1516-1703 M. dengan para Raja/Ratu yang pernah berkuasa yakni;
Aji Rentik Manik Jala Ngembang bergelar Ratu Aji Petri Botung/Aji Putri Petong 1516-1567 M,
Aji Mas Pati Indra tahun 1567-1607 M,
Aji Mas Anom Indra tahun 1607-1644 M,
Aji Mas Anom Singa Maulana tahun 1644-1667 M,
Aji Perdana bergelar Penembahan Suleman tahun 1667-1680 M,
Aji Duo bergelar Penembahan Adam/Penembahan Sia' tahun 1680-1703 M.
Kesultanan Paser merupakan kelanjutan dari Kerajaan Sadurengas yakni pada tahun 1703 hingga berakhirnya Kekuasaan Kesultanan Paser yang diserahkan kepada pemerintah Kolonial Hindia Belanda pada tanggal 07 April 1906 M. Adapun nama para Sultan yang pernah berkuasa di Kesultanan Paser itu yakni:
Aji Ngara bergelar Sultan Sepoh I Alamsyah, tahun 1738-1768 M,
Aji Dipati bergelar Sultan Aji Dipati Anom Alamsyah, tahun 1768-1799 M,
Aji Panji bergelar Sultan Aji Suleman I Alamsyah, tahun 1799-1811 M,
Aji Sembilan bergelar Sultan Aji Ibrahim Alamsyah, tahun 1811-1815 M,
Aji Karang bergelar Sultan Aji Mahmud Han Alamsyah, tahun 1815-1843 M,
Aji Adil bergelar Sultan Aji Adam Alamsyah, tahun 1843-1847 M,
Aji Tenggara bergelar Sultan Aji Seooh II Alamsyah, tahun 1847-1875 M,
Aji Timur Balam bergelar Sultan Aji Abdurrahman Alamsyah, tahun 1875-1890 M,
Aji Tiga bergelar Sultan Aji Muhammad Ali Alamsyah, tahun 1885-1897 M,
Aji Kendai bergelar Sultan Aji Suleman II Alamsyah,bulan Oktober-Desember 1897 M,
Aji Kuntul bergelar Sultan Aji Raja Besar Alamsyah berkuasa sejak tanggal, 20 Januari 1898 hingga tanggal, 10 April 1900 M,
Anden Meja bergelar Sultan Ibrahim Chaliluddin (Sultan Paser yang diangkat oleh kolonial Hindia Belanda, berkuasa sejak tanggal, 08 Juli 1900 hingga tanggal, 07 April 1906 M,)
Aji Nyese bergelar Sultan Muda Jaya Kesuma Ningrat yang juga di angkat oleh pemerintah Kolonial Hindia Belanda untuk menggantikan Sultan Ibrahim Chalilluddin jika sudah mangkat.
Pada saat itu kaum bangsawan Paser protes dan marah besar terhadap tindakan pemerintah kolonial Hindia Belanda yang mengangkat Anden Meja menjadi Sultan Paser karena pengangkatan beliau menyalahi aturan kitab Boyan Bungo Nyaro yang dianut oleh Kesultanan Paser, di mana yang berhak menjadi sultan Paser haruslah yang bergelar Kebangsawanan " Aji" bukan "Anden". Untuk meredam kemarahan para bangsawan tinggi Paser pada saat itu, pemerintah kolonial Hindia Belanda mengangkat salah satu putra dari bangsawan tinggi dan terkemuka dari Kesultanan Paser, yakni "Aji Nyese" dengan gelar Pangeran Kesuma Ningrat.[3] (Penulis,PR/2020).