Sungai Brantas
Sungai Brantas adalah sebuah sungai yang mengalir di provinsi Jawa Timur, Indonesia.[6] Sungai ini adalah sungai terpanjang kedua di Pulau Jawa setelah Bengawan Solo. Hingga tahun 2015, terdapat 18,166 juta orang yang tinggal di wilayah sungai ini atau 46,7% dari total penduduk Jawa Timur. Sungai Brantas juga berperan penting dalam menunjang status Jawa Timur sebagai lumbung pangan nasional. Pada 2015, total produksi padi di wilayah sungai ini mencapai 1,69 juta ton atau 2,24% dari total produksi padi Indonesia.[7] Hingga dekade 1960-an, masalah utama Sungai Brantas adalah fluktuasi debit air yang ditandai oleh dua peristiwa, yakni kekeringan di musim kemarau dan banjir di musim hujan. Terjadi kegagalan panen dan kelaparan akibat kekurangan air di musim kemarau, sementara di musim hujan terjadi banjir yang mengakibatkan korban harta bahkan jiwa. Selain itu, aliran air juga terhambat karena endapan sedimen yang dihasilkan oleh letusan Gunung Kelud. Setiap 10 hingga 15 tahun, Gunung Kelud meletus dan melontarkan abu dan batu piroklastik ke Sungai Brantas bagian tengah, sehingga menimbulkan gangguan fluvial pada sungai tersebut. Pemerintah Indonesia kemudian mengembangkan sejumlah infrastruktur sumber daya air untuk mengatasi masalah tersebut. HidrologiSungai Brantas berhulu di kaki Gunung Arjuno, tepatnya Desa Sumber Brantas, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu. Sungai ini lalu mengalir ke Kota Malang dan kemudian bertemu dengan Sungai Lesti di Kabupaten Malang. Sungai ini lalu mengalir ke Blitar dan bertemu dengan Sungai Ngrowo di Tulungagung. Sungai ini kemudian mengalir ke Kediri dan bertemu dengan Sungai Widas di Kertosono. Sungai ini lalu mengalir ke Jombang dan bercabang menjadi dua di Mojokerto, yakni menjadi Kali Surabaya dan Kali Porong.[8] Luas Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas mencapai 11.800 km² atau seperempat dari luas Provinsi Jawa Timur.[9] Sungai sepanjang 320 kilometer ini mengalir melingkari sebuah gunung berapi yang masih aktif, yakni Gunung Kelud.[10] Rerata curah hujan di wilayah sungai ini mencapai 2.000 mm per tahun dan dari jumlah tersebut sekitar 85% di antaranya jatuh pada musim hujan.[7] Rerata potensi air permukaan di wilayah sungai ini sebesar 12 miliar m³ per tahun, dan yang termanfaatkan baru sebesar 2,6-3,0 miliar m³ per tahun. SejarahSejak abad ke-8, di DAS Brantas telah berdiri sebuah kerajaan dengan corak agraris, bernama Kanjuruhan. Kerajaan ini meninggalkan Candi Badut dan prasasti Dinoyo yang berangka tahun 760 M sebagai bukti keberadaannya. Wilayah hulu DAS Brantas di mana kerajaan ini berpusat memang cocok untuk pengembangan sistem pertanian sawah dengan irigasi yang teratur sehingga tidak mengherankan daerah itu menjadi salah satu pusat kekuasaan di Jawa Timur (Tanudirdjo, 1997). Sungai Brantas maupun anak-anak sungainya menjadi sumber air yang memadai. Bukti terkuat tentang adanya budaya pertanian yang ditunjang oleh pengembangan prasarana pengairan (irigasi) yang intensif ditemukan di DAS Brantas, lewat Prasasti Harinjing di Kepung. Ada tiga bagian prasasti yang ditemukan, yang tertua berangka tahun 726 S atau 804 M dan yang termuda bertarikh 849 S atau 927 M. Dalam prasasti ini, disebutkan pembangunan sistem irigasi (yang terdiri atas saluran dan bendung atau tanggul) yang disebut dawuhan pada anak Sungai Konto, yakni Sungai Harinjing (Lombard, 2000). Sungai Brantas memiliki fungsi yang sangat penting bagi Jawa Timur mengingat 60% produksi padi berasal dari areal persawahan di sepanjang aliran sungai ini. Akibat pendangkalan dan debit air yang terus menurun sungai ini tidak bisa dilayari lagi. Fungsinya kini beralih sebagai irigasi dan bahan baku air minum bagi sejumlah kota disepanjang alirannya. Adanya beberapa gunung berapi yang aktif di bagian hulu sungai, yaitu Gunung Kelud dan Gunung Semeru menyebabkan banyak material vulkanik yang mengalir ke sungai ini. Hal ini menyebabkan tingkat sedimentasi bendungan-bendungan yang ada di aliran sungai ini sangat tinggi. Dalam sumpahnya, Lembu Sora bahkan menyatakan "Blitar dadi latar, Tulungagung dadi kedung, Kediri dadi kali" (bahasa Jawa: Blitar menjadi lautan pasir, Tulungagung menjadi kubangan air, Kediri menjadi sungai),[11], yang kemungkinan terinspirasi dari kondisi Sungai Brantas pada saat itu. Merujuk khazanah sastra periode klasik, sungai Brantas inilah yang diduga kuat disebut sebagai Ci Ronabaya dalam naskah Perjalanan Bujangga Manik. GeografiSungai ini mengalir di wilayah timur pulau Jawa yang beriklim muson tropis (kode: Am menurut klasifikasi iklim Köppen-Geiger).[12] Suhu rata-rata setahun sekitar 26 °C. Bulan terpanas adalah Oktober, dengan suhu rata-rata 30 °C, and terdingin Juni, sekitar 24 °C.[13] Curah hujan rata-rata tahunan adalah 2982 mm. Bulan dengan curah hujan tertinggi adalah Maret, dengan rata-rata 496 mm, dan yang terendah Agustus, rata-rata 28 mm.[14]
Pengembangan infrastrukturPra kemerdekaanPengembangan infrastruktur di Sungai Brantas telah dimulai pada saat Raja Airlangga memimpin Kerajaan Kahuripan, sebagaimana dijelaskan pada Prasasti Kamalagyan yang berangka tahun 1037. Prasasti tersebut menjelaskan bahwa Raja Airlangga memerintahkan warga untuk membangun bendungan di Waringin Sapta untuk mengatasi banjir yang sering terjadi di Kamalagyan dan sekitarnya.[15] Pada dekade 1840-an, pada masa pendudukan Belanda, pengembangan infrastruktur di Sungai Brantas difokuskan untuk mengendalikan banjir dan memanfaatkan derasnya aliran sungai ini.[16] Pada tahun 1843, pemerintah Hindia Belanda membangun Pintu Air Mlirip untuk mengendalikan air Sungai Brantas yang mengalir ke Kali Surabaya. Pada tahun 1857, pemerintah Hindia Belanda membangun Bendung Lengkong untuk mengairi lahan pertanian seluas 30.000 hektar di delta Sungai Brantas.[8] Pada tahun 1865 dan 1870, pemerintah Hindia Belanda membangun Kali Jagir dan Pintu Air Jagir untuk mengurangi jumlah air Kali Surabaya yang mengalir ke Kali Mas. Pada tahun 1882, pemerintah Hindia Belanda juga membangun Kali Porong untuk mengurangi jumlah air Sungai Brantas yang mengalir ke Kali Surabaya.[17] Pada tahun 1889, pemerintah Hindia Belanda juga membangun Pintu Air Gubeng untuk mengendalikan air Kali Mas yang mengalir ke pusat kota Surabaya.[17] Sekitar tahun 1910, saluran-saluran irigasi pun mulai dikembangkan di bagian hulu dan bagian tengah Sungai Brantas.[15] Pada tahun 1926 dan 1932, mulai dioperasikan PLTA Siman dan PLTA Mendalan di hulu Kali Konto untuk membangkitkan listrik.[8] Infrastruktur lain yang juga dibangun pada masa pendudukan Belanda di Indonesia meliputi Pintu Air Gunungsari dan Bozem Morokrembangan untuk mengendalikan air yang masuk ke pusat kota Surabaya.[16] Pada tahun 1943, di bawah arahan tentara Jepang, masyarakat juga mulai membangun Terowongan Neyama tanpa bantuan mesin,[18] sehingga baru dapat diselesaikan setahun kemudian.[16] Pasca kemerdekaanPada dekade 1950-an, infrastruktur yang telah dibangun di Sungai Brantas mulai menua dan kurang terawat, karena kurangnya dana yang dimiliki oleh pemerintah Indonesia pada saat itu. Banjir besar yang terjadi pada tahun 1954 dan 1955 juga makin memperburuk kondisi infrastruktur yang telah ada.[16] Pengamatan lebih teliti terhadap sifat dan perilaku Sungai Brantas kemudian dilaksanakan oleh White Engineering asal Amerika Serikat mulai tahun 1954, dan empat tahun kemudian, White Engineering pun menghasilkan sebuah rencana induk pengembangan infrastruktur yang diberi judul Brantas Plan. Pengamatan tersebut lalu diperdalam dengan survei yang dilaksanakan oleh Sogreah asal Prancis dan Nippon Koei asal Jepang, yang kemudian menghasilkan Overall Development Plan bagi Sungai Brantas pada tahun 1961.[19][15] Rencana induk tersebut menyimpulkan bahwa pengendalian banjir di Sungai Brantas akan dilakukan dengan cara membangun bendungan di bagian hulu, mengendalikan banjir di anak Sungai Brantas, mengendalikan pasir di lereng Gunung Kelud, meningkatkan daya gelontor pasir di bagian hilir, serta mengelola pemanfaatan air Sungai Brantas secara menyeluruh dan terpadu.[19] Dengan rencana induk tersebut, pengembangan Sungai Brantas pun mulai dilakukan dengan prinsip "satu sungai, satu rencana, dan satu manajemen terpadu" yang dilaksanakan secara bertahap sesuai kebutuhan dan kebijakan pemerintah dari waktu ke waktu.[20] Pengembangan pun menghasilkan sejumlah prasarana pengairan. Manfaat pembangunan antara lain pengendalian banjir 50 tahunan di sungai utama yang mengurangi luas genangan seluas 80.000 hektar; irigasi untuk sawah seluas 345.000 hektar, yang mana 83.000 hektar di antaranya berupa irigasi teknis langsung dari sungai induk (2,5 miliar m³ per tahun); energi listrik sebanyak 1.000 GWh per tahun; serta suplai air baku untuk industri sebanyak 130 juta m³ per tahun dan air baku untuk rumah tangga sebanyak 240 juta m³ per tahun. Pengembangan dilakukan melalui 4 (empat) tahap sebagai berikut: Tahap pertama (1959 - 1972)Tahap pertama bertujuan untuk mengendalikan banjir, karena jika banjir belum dapat dikendalikan, maka pengembangan yang lain tidak dapat dilakukan. Pengendalian banjir dilakukan dengan membangun sejumlah bendungan untuk menampung kelebihan air, perbaikan alur sungai di bagian tengah Sungai Brantas, dan pembuatan jalur pelepas banjir (flood way). Selain itu, disiapkan pula sistem peringatan dini banjir dan jejaring pemantauan hidrologi. Di bagian hulu, dilakukan pembangunan Bendungan Karangkates, Bendungan Selorejo, dan Bendungan Lahor, sementara di bagian tengah, dilakukan pembangunan kembali Terowongan Neyama, sedangkan di bagian hilir, dilakukan pembangunan Bendung Lengkong Baru, perbaikan delta Sungai Brantas, dan perbaikan saluran irigasi di delta Sungai Brantas.[21] Tahap ini bertujuan untuk mengurangi pasir yang mengendap di Sungai Brantas dengan cara "push the top and pull the toe" (mendorong di hulu dan menarik di hilir). Dengan adanya Bendungan Karangkates dan Bendungan Selorejo, tersedia air yang cukup banyak sepanjang tahun untuk menggelontor pasir yang mengendap di sepanjang Sungai Brantas. Selain berfungsi sebagai pengendali banjir di bagian hulu, kedua bendungan tersebut juga dapat difungsikan sebagai sumber air irigasi, pembangkit listrik, dan obyek pariwisata. Untuk menambah jumlah air yang terbendung di Bendungan Karangkates, Bendungan Lahor lalu dibangun beserta sebuah terowongan untuk menghubungkan genangan dari kedua bendungan tersebut.[22] Sementara itu, Bendung Lengkong Baru dibangun di bagian hilir untuk menggantikan Bendung Lengkong yang sudah sangat tua dan menghambat penggelontoran pasir yang mengendap di Sungai Brantas. Sedangkan perbaikan delta Sungai Brantas dan saluran irigasi di delta Sungai Brantas dimaksudkan untuk meningkatkan pemanfaatan air Sungai Brantas, sehingga selain meningkatkan hasil pertanian, diharapkan juga dapat mengurangi banjir di bagian hilir.[20] Tahap kedua (1973 - 1984)Tahap kedua bertujuan untuk menyediakan air irigasi, seiring dengan kebijakan pemerintah untuk mencukupi kebutuhan beras nasional dengan memperluas lahan pertanian beririgasi teknis. Sejumlah bendung dan bangunan pengambilan air pun dibangun pada tahap ini. Di bagian hulu, dilakukan pembangunan Bendungan Wlingi, Bendung Gerak Lodoyo, Saluran Irigasi Lodagung, dan Bendungan Sengguruh, sementara di bagian tengah, dilakukan pembangunan Bendungan Widas, Bendung Gerak Waruturi, Saluran Irigasi Mrican, Terowongan Neyama 2, dan perbaikan alur Sungai Brantas di dekat Kota Kediri (tahap 1), sedangkan di bagian hilir, dilakukan perbaikan alur Kali Surabaya dan rekonstruksi Pintu Air Gunungsari.[21][8] Bendungan Wlingi awalnya dirancang sebagai bagian dari upaya untuk "central load relieving" (mengurangi beban di tengah), yakni membuang pasir yang mengendap di Sungai Brantas ke Samudra Hindia. Namun pada perkembangannya, pembangunan saluran pembuang endapan ke Samudera Hindia akhirnya ditunda, dan digantikan dengan pembangunan Terowongan Neyama 2 di Tulungagung untuk difungsikan sebagai pengendali banjir.[23] Sementara Saluran Irigasi Lodagung dibangun untuk memanfaatkan air yang terbendung oleh Bendungan Wlingi guna mengairi lahan pertanian baru seluas sekitar 7.400 hektar. Perbaikan alur Sungai Brantas di dekat Kota Kediri dilakukan dengan cara membangun dinding penahan dengan total panjang sekitar 10 kilometer.[22] Tahap ketiga (1985 - 1997)Tahap ini bertujuan untuk menyediakan air baku, terutama bagi masyarakat dan industri yang ada di bagian tengah dan hilir Sungai Brantas. Sejumlah bendung, sistem suplesi (penambah debit), dan infrastruktur lain yang dapat dipakai untuk menyediakan air baku pun dibangun pada tahap ini. Di bagian tengah, dilakukan pembangunan Bendungan Wonorejo, PLTA Tulungagung, Bendung Karet Menturus, dan Bendung Karet Jatimlerek,[22] serta perbaikan alur Sungai Brantas di dekat Kota Kediri (tahap 2). Sementara di bagian hilir, dilakukan rekonstruksi Bendung Gubeng, perbaikan Pintu Air Wonokromo, perbaikan Kali Kedurus, dan rehabilitasi Kali Porong.[8] Pada tahap ini pula, dilakukan pengembangan jaringan irigasi air tanah di Kediri dan Nganjuk.[21] Tahap keempat (1998 - 2006)Tahap ini ditekankan pada konservasi dan pengelolaan sumber daya air. Pengelolaan air tidak saja mencakup aspek kuantitas, tetapi juga ke arah pengendalian kualitas, walaupun masih bersifat terbatas. Di bagian tengah, dilakukan perbaikan terhadap Kali Widas. Sementara di bagian hilir, dilakukan perbaikan terhadap Kali Perbatasan, Kali Pelayaran, Kali Kebonagung, dan Bozem Morokrembangan.[8] Pada tahap ini pula, dikembangkan sistem pengelolaan informasi hidrologi. Pengelolaan infrastrukturInfrastruktur sumber daya air yang telah selesai dibangun di Sungai Brantas saat ini dioperasikan dan dipelihara oleh Jasa Tirta I. Sementara infrastruktur sumber daya air yang sedang dan akan dibangun di Sungai Brantas saat ini dikelola oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat melalui BBWS Brantas. Infrastruktur sumber daya air di Sungai Brantas yang saat ini dikelola oleh Jasa Tirta I antara lain:
Lumpur LapindoTerkait dengan luapan lumpur hidrokarbon dari Desa Siring Kecamatan Porong Kabupaten Sidoarjo yang dikenal dengan Lumpur Lapindo, aliran sungai ini digunakan untuk menggelontor sebagian semburan lumpur ke Selat Madura. Untuk itu, sebagian lumpur tersebut pun rutin dipompa ke salah satu anak Sungai Brantas di bagian hilir, yakni Kali Porong. Lihat pulaReferensi
|