Tato Dayak IbanTato Dayak Iban (Iban: Pantang) adalah seni ukir atau rajah tubuh yang menjadi bagian dari tradisi dan religi serta simbolisasi kehidupan suku Dayak Iban (Dayak Laut) — salah satu sub-suku Dayak yang mendiami Pulau Kalimantan (Borneo) terutama di wilayah Kalimantan Barat (Indonesia), Sabah dan Sarawak (Malaysia), dan Brunei Darussalam. Budaya tato dalam masyarakat Dayak, termasuk Dayak Iban, merupakan tradisi nenek moyang yang telah diwariskan secara turun-temurun kira-kira sejak 1500–500 SM.[1][2][3] Tato Dayak Iban merupakan salah satu tato tradisional di dunia yang masih bertahan hingga kini.[4] Tahun 2010 tato Dayak Iban dari masyarakat Iban di wilayah Kecamatan Embaloh, Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat, Indonesia, telah dicatatkan pada Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia sebagai salah satu Warisan Budaya Takbenda Indonesia dengan nomor registrasi 2010000939.[1] SejarahTato merupakan peradaban kuno yang lahir dari budaya tradisional masyarakat pedalaman.[4] Di antara suku-suku bangsa di dunia yang memiliki budaya tato adalah suku Indian (Amerika), Maori (Selandia Baru), Rapa Nui (Pulau Paskah), dan Chin (Burma).[4][5] Di Indonesia budaya tato dimiliki oleh suku Mentawai di Sumatera Barat, suku Moi di Papua, suku Bali, dan suku Dayak di Kalimantan.[5][6] Budaya tato suku Dayak diduga berasal dari daratan Asia (Cina Selatan), daerah asal nenek moyang Suku Dayak.[2][4] Di Pulau Kalimantan imigran ras Proto Melayu ini melahirkan suku Dayak yang berkembang menjadi ratusan subsuku kecil. Meskipun memiliki akar yang sama setiap subsuku mengembangkan tradisi, adat istiadat, dan seni budaya dengan ciri khas masing-masing. Tidak semua memiliki budaya tato atau seni rajah tubuh.[1][3][6] Iban termasuk salah satu subsuku Dayak yang mengembangkan budaya tato selain Kenyah, Kayan, Bahau, Sa'ban, Ngaju, dan Bakumpai.[2][6] Masyarakat Iban, dalam bahasa ibunya, menyebut tato sebagai "uker" atau "pantang". Dibandingkan tato milik subsuku lain, seperti Dayak Kayan, pantang Iban cenderung "lebih kasar" atau berukuran lebih besar dan tidak terlalu rumit/detail.[1][2][3][4] Motif tatoSebagian besar motif tato Dayak Iban (pantang Iban) bernuansa natural dan mengambil bentuk tumbuhan (daun, bunga, dan buah) maupun hewan yang ada di alam.[1][7] Motif tumbuhan, antara lain bunga terung, bunga jantung, buah andu, dan buah tengkawang/ngkabang. Sementara motif hewan, misalnya ketam, ketam itit, remaung, kala, gerama, naba, dan burung lang. Ada juga motif tradisional khas pantang Iban, seperti uker degok (ukir degug atau ukir/pantang rekong), pantang pah, pala tumpa, dan kelingai.[1][7] Adopsi bentuk-bentuk alami pada pantang Iban memberi gambaran kedekatan suku Dayak Iban dengan alam. Kehidupan masyarakat Dayak Iban tidak dapat dipisahkan dari alam sekitarnya sebagai tempat tinggal sekaligus sumber kehidupan mereka.[7][8] Makna dan fungsiSebagai bagian dari tradisi dan religi, tato dalam masyarakat Dayak, termasuk Dayak Iban, dianggap sakral karena bermakna spiritual.[1][2][7] Orang Iban bahkan meyakini bila pemilik tato meninggal, warna tatonya akan berubah keemasan lalu menjadi penerang/penuntun jiwanya untuk menemukan jalan ke surga.[2] Bagi orang Iban, setiap tato juga mengandung nilai-nilai luhur sekaligus berfungsi sebagai simbol. Tato menunjukkan identitas manusia serta hubungannya dengan Tuhan, sesama, dan alam semesta. Secara intern pantang Iban melambangkan status sosial, prestise, dan/atau bentuk penghargaan atas suatu kemampuan.[2][6] Tato juga menjadi pengingat atas pengalaman atau perjalanan yang pernah dilakukan. Secara luas pantang Iban menjadi salah satu identitas kesukuan yang memungkinkan sesama orang Iban saling mengenal sekaligus membedakannya dengan subsuku Dayak lain atau suku-suku bertato di luar Dayak.[6][7] Oleh karena itu, pemilihan motif tato dan penempatannya pada tubuh tidak dapat dilakukan secara asal-asalan, sebaliknya harus mengikuti aturan. Penerapan tato untuk laki-laki berbeda dengan perempuan karena makna dan arti setiap motif pantang Iban juga berbeda untuk keduanya. Sebagai contoh, dahulu pada masa maraknya perang antarsuku, laki-laki Iban yang turut mengayau (ritual memenggal kepala musuh) berhak mengukir motif tegulun pada buku-buku jarinya. Sementara, tato pada jemari perempuan Iban menunjukkan penguasaannya atas suatu keterampilan, seperti menenun, menari, dan menyanyi.[2][7][9][10] Motif bunga terung yang dirajah pada bahu/pundak kaum laki-laki Iban merupakan simbol kedewasaan, keberanian, dan kekuatan atau kejantanan. Sementara motif uker degok yang berbentuk bulat memanjang dirajah dari pangkal leher bagan depan hingga bagian bawah dagu merupakan identitas orang Iban. Tato juga dapat menunjukkan bahwa si empunya sudah merantau ke luar daerah atau ke luar negeri; motif pala tumpa yang dirajah pada lengan kaum perempuan menunjukkan statusnya. Berbagai bentuk alami dan motif tradisional lain juga dipercaya menjadi pralambang suatu kekuatan. Misalnya, buah tengkawang melambangkan kekuatan magis.[2][7][10] Proses pembuatanAlat yang digunakan untuk menusuk kulit ari dalam proses merajah tubuh orang Iban menggunakan jarum atau duri semak atau pohon tertentu, misalnya duri pohon jeruk. Satu atau beberapa jarum/duri dijepit dengan "pelaik", yaitu semacam kayu kecil yang dibelah ujungnya. Sementara pemukulnya dibuat dari sebatang rotan atau kayu.[1][2][7] "Tinta" atau pewarna rajah dibuat dari jelaga asap lampu/pelita atau arang damar yang berwarna hitam. Tato Dayak Iban memang didominasi warna hitam.[4] Untuk mendapatkan warna hitam yang pekat, jelaga atau arang damar dicampur air tebu[2][7] atau lemak babi.[2][4] Campuran tersebut dikeringkan hingga mengkristal dan dapat dicairkan lagi bila hendak digunakan.[7] Pembuatan pantang Iban secara tradisional menggunakan metode ketukan/pukulan tangan (hand tapping).[10] Sejumlah jarum atau duri yang dijepit dengan pelaik dicelupkan ke dalam "pewarna" lalu secara perlahan dipukul-pukulkan ke permukaan kulit sesuai motif yang tergambar. Luka karena jarum/duri akan menjadi koreng; dan setelah kering akan tampaklah motif tato berwarna hitam.[2][7][10] Pembuatan pantang Iban secara tradisional memerlukan waktu relatif lebih lama dibandingkan penatoan dengan mesin. Waktu pembuatan juga dipengaruhi ukuran dan tingkat kerumitan motif. Misalnya, satu motif sederhana dapat selesai dalam waktu sekitar dua jam.[4][10] Rasa sakit akibat proses penatoan berbeda untuk setiap orang; dan tidak ada ramuan apa pun yang diberikan untuk mengatasi rasa sakit. Orang yang baru pertama kali ditato basanya mengalami demam akibat luka tato. Orang Iban harus memiliki cukup keberanian untuk merajah tubuhnya.[2][4] SenimanHerpianto Hendra adalah seorang seniman tato keturunan Dayak Iban yang tinggal dan berkarya di Yogyakarta.[10] Lihat jugaReferensi
Pranala luar |