Unjuk rasa Montenegro 2019–2020Pada akhir Desember 2019, serangkaian unjuk rasa dimulai di Montenegro untuk menentang undang-undang kontroversial yang baru diadopsi: "UU Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan dan Status Hukum Komunitas Beragama" yang secara efektif mengalihkan kepemilikan gereja dan griya yang dibangun sebelum 1918 (ketika Kerajaan Montenegro dihapuskan dan disatukan dengan Kerajaan Serbia)[1] dari Gereja Ortodoks Serbia ke pemerintah. Gereja Ortodoks Serbia di Montenegro, yang memiliki 66 situs biara abad pertengahan, puluhan gereja dan real estat lainnya di sana, bersikeras bahwa negara ingin merampas asetnya, sementara presiden Pro-Barat Montenegro Milo Đukanović, menuduh gereja Serbia mempromosikan kebijakan pro-Serbia yang bertujuan untuk mengganggu kedaulatan Montenegro.[2][3] Latar belakangMontenegro mengalami lebih sedikit konflik agama daripada negara-negara bekas Yugoslavia lainnya, dan secara historis memiliki tingkat toleransi dan keberagaman agama yang tinggi. Namun, terdapat perselisihan besar antara Gereja Ortodoks Serbia dengan Gereja Ortodoks Montenegro, di mana kedua gereja tersebut saling mengklaim situs-situs keagamaan Ortodoks di negara itu dan saling memperdebatkan legitimasi. Kedua gereja meperebutkan kendali atas 750 situs keagamaan di negara itu. Kedua kelompok mengklaim sebagai Gereja Ortodoks Montenegro yang "sejati", dan mengadakan upacara keagamaan secara terpisah. Aparat kepolisian selalu memberikan pengamanan untuk acara tersebut. Perselisihan ini berakar dari pendirian Gereja Ortodoks Montenegro sebagai entitas terpisah pada tahun 1993. Sejak 2011, anggota kedua gereja dilarang merayakan transfigurasi Kristus di Gereja Kristus di desa Ivanova Korita dekat ibu kota bersejarah Cetinje.[4] Menurut survei 2017 yang dilakukan oleh Majelis Eropa, bekerja sama dengan kantor ombudsman negara, 45% responden melaporkan pernah mengalami diskriminasi agama dan paling banyak dialami oleh pemeluk Ortodoks Serbia.[5][6] Pada Mei 2019, Komisi Venesia secara positif mengevaluasi rancangan Undang-Undang Kebebasan Beragama yang diusulkan, tetapi mengakui pasal 62 dan 63, yang terkait dengan aset gereja, sebagai masalah substantif dan salah satu poin paling kontroversial.[7][8] Mereka menyatakan bahwa negara dalam kondisi tertentu dapat menggunakan properti, tetapi harus memberikan hak penuh atas properti itu terhadap komunitas agama.[8] Pada Kongres kedelapan partai berkuasa DPS pada Oktober 2019, sebuah program politik baru partai diadopsi, yang menyatakan bahwa salah satu tujuan program utama partai pada periode mendatang adalah "pembaruan" Gereja Ortodoks Montenegro, yang saat ini tidak diakui oleh gereja-gereja Ortodoks Timur lainnya, serta mengumumkan rancangan undang-undang baru tentang status komunitas agama.[9] Pengesahan UU dan perlawananPada 24 Desember, komite legislatif parlemen Montenegro mengesahkan rancangan Undang-Undang tentang Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan dan Status Hukum Komunitas Beragama, yang mana undang-undang tersebut diperdebatkan oleh anggota parlemen karena keberatan dari Gereja Ortodoks Serbia. Ratusan pendeta dan biarawan berunjuk rasa di depan gedung parlemen sebelum sidang komite guna menuntut pencabutan RUU tersebut. Setelah protes, para imam mengadakan liturgi di Katedral Kebangkitan Yesus, Podgorica dan menandatangani pernyataan sumpah untuk membela gereja.[10] Menjelang pemungutan suara RUU Kebebasan Beragama yang direncanakan pada hari Kamis atau Jumat di pekan yang sama, para pemuka dan umat Ortodoks Serbia mengadakan kebaktian di jembatan yang penuh sesak di dekat parlemen, dengan dijaga oleh polisi yang telah menutup jalan-jalan di pusat kota yang mengarah ke gedung pemerintah.[2] Pada akhir Desember 2019, undang-undang kontroversial itu disahkan, memicu serangkaian protes besar-besaran dan pemblokiran jalan[11][12] yang berlanjut hingga Februari 2020.[13] Delapan belas anggota parlemen (anggota fraksi oposisi Front Demokrat) ditangkap sebelum pemungutan suara dan didakwa atas kekerasan menjelang pemungutan suara.[14] Beberapa ulama Ortodoks Serbia diserang oleh polisi[15] dan sejumlah wartawan, sementara pegiat oposisi dan warga yang berunjuk rasa ditangkap.[16][17] Pada tanggal 29 Desember 2019 Dewan Episkopal Gereja Ortodoks Serbia di Montenegro mengucilkan Presiden Montenegro Đukanović dan anggota parlemen koalisi Pemerintah serta pejabat yang mengesahkan UU agama.[18] Unjuk rasa 2020Demonstrasi berlanjut hingga Januari, Februari, dan Maret 2020, sebagian besar diselenggarakan oleh Metropolitanat Montenegro dan Pesisir dari Gereja Ortodoks Serbia di sebagian besar kotamadya di Montenegro. Seiring berjalannya waktu, penduduk Montenegro dalam jumlah besar terus turun ke jalan menentang UU. Selama Februari, aksi bela gereja dihadiri oleh 70.000 peserta di ibu kota Podgorica dan digambarkan sebagai pertemuan publik terbesar dalam sejarah Montenegro. Selama aksi damai di awal tahun 2020, makin banyak kasus penyalahgunaan jabatan oleh polisi dan kekerasan terhadap demonstran dan aktivis politik yang dilaporkan, di mana beberapa aktivis oposisi dan jurnalis juga ditangkap.[19] European External Action Service (EEAS) menyebutkan adanya pemberitaan yang adil, tetapi terdapat pula propaganda, disinformasi dan berita palsu dalam laporan media terkait kerusuhan dan krisis politik di Montenegro, yang mencapai puncaknya pada minggu pertama Januari 2020. EEAS melaporkan bahwa sumber hoaks meliputi media-media yang berbasis di Serbia (beberapa di antaranya milik negara), media berbahasa Serbia milik Rusia Sputnik dan beberapa portal berita yang berbasis di Montenegro.[20][21] Pada Maret 2020 semua protes telah dihentikan oleh Gereja Ortodoks karena pandemi koronavirus di Montenegro.[22] Di tengah protes 12 Mei di Nikšić, seorang jurnalis dari Vecernje Novosti yang berbasis di Serbia ditahan dan matanya disemprot merica ketika dia sedang meliput protes tersebut, sang wartawan dibebaskan setelah tiga jam, tetapi hasil rekamannya telah dihapus oleh polisi, yang oleh banyak media, LSM, dan OSCE disebut sebagai serangan terhadap kebebasan media di Montenegro. Asosiasi Jurnalis Montenegro dan Serbia mengutuk penangkapan tersebut.[23] Pada 13 Mei, Uskup Budimlja dan Nikšić Joanikije Mićović serta beberapa imam lainnya ditangkap atas tuduhan mengorganisir unjuk rasa di Nikšić, meski kerumunan massa tengah dilarang di negara itu karena pandemi koronavirus.[24] Polisi merespons aksi damai dengan kekerasan, di mana beberapa tindakan keras oleh polisi terjadi, berupa pemukulan dan penahanan[25] yang dikritik oleh pemerintah negara lain di Eropa. Pihak berwenang Serbia telah berulang kali menuntut pembebasan uskup Joanikije, beserta pendeta Ortodoks Serbia lainnya yang ditangkap. Selama beberapa hari berikutnya, demonstrasi berlanjut di seluruh negeri, beberapa ribu warga menuntut pembebasan para imam eparki dari tahanan, sementara kasus kebrutalan polisi terus bermunculan.[26] Pada tanggal 16 Mei, Uskup Budimlja dan Niksić, Joanikije, bersama dengan rahib lainnya dibebaskan setelah 72 jam, sesuai dengan UU, dan tuntutan yang telah dibuat terhadap Joanikije dan para ulama lainnya ditangguhkan.[27] Protes massal berlanjut pada Juni, tetapi setelah beberapa minggu, pemerintah Montenegro memberlakukan kembali larangan pertemuan publik dan keagamaan karena gelombang baru penyebaran COVID-19, sehingga demonstrasi dihentikan lagi. Banyak yang menyebut langkah pemerintah tersebut sebagai tindakan politis, untuk membendung protes terhadap pemberlakuan undang-undang agama, selama kampanye pemilihan parlemen Agustus 2020 di negara itu.[28] Bahkan meski pertemuan publik dilarang, beberapa warga mengadakan protes anti-pemerintah dan pro-gereja di jalan-jalan selama bulan Juli dan Agustus, memprotes undang-undang tentang komunitas agama beserta rezim DPS.[29] Reaksi pemerintahPemerintah Montenegro dan pejabat Partai Demokrat Sosialis yang berkuasa, termasuk presiden Milo Đukanović dan anggota Kabinet Montenegro saat itu menyalahkan media yang berbasis di Beograd beserta Pemerintah Serbia atas krisis politik yang terjadi, destabilisasi dan kerusuhan di seluruh negeri, sembari mengklaim bahwa unjuk rasa yang sedang berlangsung sebenarnya tidak menentang undang-undang yang dipermasalahkan tapi merongrong kedaulatan dan kemerdekaan Montenegro. Gereja Ortodoks Serbia di Montenegro dengan tegas menolak tuduhan itu.[30] Presiden Đukanović juga menyebut warga yang memprotes sebagai "gerakan gila".[31] Reaksi internasionalReaksi SerbiaMenteri Luar Negeri Serbia Ivica Dačić mengatakan pemerintah Montenegro harus membahas UU Agama yang kontroversial bersama warganya dan meminta warga Serbia keturunan Montenegro untuk secara terbuka menyatakan pandangan mereka terkait perkembangan terakhir di Montenegro. Ia juga mengatakan bahwa orang-orang yang mendukung Pemerintah Montenegro perlu ditinjau status kewarganegaraan Serbianya.[32] Menyusul protes massal oleh Gereja Ortodoks Serbia dan orang Serbia di Montenegro, protes terhadap UU juga menyebar ke negara tetangga Serbia. Pada 2 Januari 2020, beberapa ribu penggemar Red Star Belgrade berdemo di kedubes Montenegro di Beograd untuk mendukung protes di Montenegro, dengan menyalakan kembang api yang membakar sebagian bendera Montenegro di luar gedung kedutaan. Beberapa organisasi sayap kanan Serbia juga bergabung dalam unjuk rasa tersebut. Meski acara tersebut telah diberitahukan kepada aparat, kedutaan itu disebut sengaja tak dijaga oleh polisi Serbia, dan hanya ada unit keamanan yang menyamar, yang memicu kritik dari Montenegro.[33][34] Presiden Serbia Aleksandar Vučić membantah klaim ini dan menyatakan bahwa kedutaan telah dijaga dengan baik[35] dan Kementerian Luar Negeri Serbia mengutuk aksi vandalisme sambil menyatakan bahwa pemerintah Montenegro berusaha mengkambinghitamkan Serbia atas krisis yang sedang berlangsung di negaranya.[36] Aksi menolak UU agama juga berlangsung di Novi Sad, Kragujevac, dan sejumlah kota di Serbia lainnya.[37][38] Grup hip-hop Beogradski sindikat merilis lagu tentang protes yang sedang berlangsung. Ketika mencoba memasuki Montenegro, mereka tidak diizinkan masuk, dan anggota lainnya dideportasi dari Bandar Udara Podgorica tanpa penjelasan resmi.[39][40] Pemain tenis Novak Djokovic mendukung protes yang sedang berlangsung, begitu pula atlet basket Nikola Mirotić.[41] Bosnia dan HerzegovinaWarga Bijeljina, Trebinje, Pale, Gacko dan Banja Luka menyelenggarakan sejumlah aksi damai menentang undang-undang baru.[42][43] Anggota Kepresidenan Bosnia dan Herzegovina dari etnis Serbia Milorad Dodik juga turun ke jalan dalam aksi protes di Banja Luka, menyebut undang-undang itu diskriminatif terhadap gereja Serbia dan propertinya serta menuntut pencabutan undang-undang.[44] Sekelompok warga dari Gacko berjalan beberapa kilometer untuk mendukung aksi bela gereja yang sedang berlangsung, tetapi tak diizinkan masuk ke Montenegro karena dianggap sebagai "ancaman terhadap keamanan nasional Montenegro". DiasporaSekitar 2.000 orang dari wilayah metropolitan Chicago berunjuk rasa menolak undang-undang tersebut.[45] Pada 8 Maret 2020, Eparki Ortodoks Serbia Austria dan Swiss mengadakan aksi bela gereja di Wina.[46] Reaksi RusiaMetropolitan Hilarion (Alfeyev) menyatakan bahwa Gereja Ortodoks Rusia berdiri bersama Gereja Ortodoks Serbia. Dia juga menyatakan bahwa undang-undang yang baru diadopsi merupakan campur tangan langsung dari pemerintah Montenegro ke dalam urusan gereja.[47] Pada 29 Februari 2020, seorang uskup senior yang didukung Rusia di Ukraina Onufriy (Berezovsky) berpartisipasi dan memimpin jalan doa dan demonstrasi di Podgorica, yang memicu ketegangan antara pemerintah Montenegro dan Rusia.[48] Kementerian Luar Negeri Rusia secara terbuka membantah semua tuduhan pemerintah Montenegro atas keterlibatan Federasi Rusia dalam peristiwa dan krisis yang tengah terjadi di Montenegro.[49] Reaksi Amerika SerikatDalam Laporan Kebebasan Beragama Internasional tahunan, Departemen Luar Negeri menulis bahwa Gereja Ortodoks Serbia mengecam keras undang-undang tersebut, yang menetapkan bahwa properti keagamaan tidak memiliki kepemilikan yang jelas dan bahwa, setelah disahkannya undang-undang agama, mereka mengorganisir protes damai reguler di mana ratusan ribu orang terlibat.[50] Laporan itu mengatakan bahwa pemerintah Montenegro melanjutkan kebijakannya untuk tidak merestitusi properti keagamaan yang disita oleh pemerintah komunis di era Yugoslavia, serta bertentangan dengan pengumuman, UU ini tidak menyinggung masalah restitusi.[50] Lebih lanjut, Departemen Luar Negeri menggambarkan unjuk rasa tersebut secara umum berlangsung damai kecuali sejumlah insiden kekerasan terhadap polisi, yang disertai dengan hasutan daring untuk melakukan kekerasan.[50] Laporan tersebut menyebutkan bahwa pemerintah dan analis mengatakan adanya kampanye hoaks, propaganda, dan provokasi yang tampaknya terkoordinasi, "berusaha untuk mengobarkan perpecahan etnonasionalistik dan memprovokasi konflik melalui demo."[50] Pada bulan Juni 2020, Komisi Amerika Serikat untuk Kebebasan Beragama Internasional menyatakan bahwa hak-hak umat Kristiani telah diserang di Montenegro oleh undang-undang kontroversial, dan protes berlanjut setelah penerapan Undang-Undang Agama, yang diyakini banyak orang akan memungkinkan pemerintah untuk menyita aset keagamaan. Larangan pertemuan keagamaan selama pandemi COVID-19 semakin memanaskan situasi. Komisaris Johnnie Moore Jr. memberi perhatian khusus pada penangkapan Metropolitan Amfilohije. Lembaga itu juga mengkritisi sikap pejabat Eropa yang diam saja terhadap penganiayaan umat Kristen. Keputusan untuk tidak melibatkan Utusan Khusus Uni Eropa, yang mandatnya mencakup pemajuan kebebasan beragama dan berkeyakinan dinilai sangat tidak bisa dibenarkan.[51] Organisasi non-pemerintahKomite Helsinki untuk Hak Asasi Manusia di Serbia, sebuah organisasi HAM non-pemerintah di Serbia, menuduh pemerintah Serbia sebagai dalang kerusuhan dan berusaha untuk mengacaukan Montenegro dan memengaruhi urusan dalam negeri.[52][53] Freedom House, organisasi non-pemerintah yang berbasis di AS yang mengukur tingkat kebebasan sipil dan hak-hak politik di dunia, menggambarkan bahwa UU agama secara luas tampak menargetkan Gereja Ortodoks Serbia dan penerapannya merupakan salah satu "keputusan yang dipertanyakan".[54] Mereka menjelaskan bahwa persyaratan hukum membebani Gereja Ortodoks Serbia sehingga memicu aksi bela gereja di seluruh negeri.[54] Catatan kaki
|