Vaksin Covid-19 Oxford–AstraZeneca
Vaksin Covid-19 Oxford–AstraZeneca, juga dikenal sebagai AZD1222, adalah sebuah vaksin COVID-19 yang dikembangkan oleh Universitas Oxford dan AstraZeneca yang diberikan lewat suntikan intraotot.[1][2][3][4] Risetnya dilakukan oleh Jenner Institute dan Oxford Vaccine Group dari Universitas Oxford. Timnya dipimpin oleh Sarah Gilbert, Adrian Hill, Andrew Pollard, Teresa Lambe, Sandy Douglas dan Catherine Green.[5][6] Pada Desember 2020, kandidat vaksin tersebut menjalani riset klinis Tahap III. Pada 30 Desember 2020, vaksin tersebut disepakati untuk dipakai[7] dalam program vaksinasi Britania Raya. KontraindikasiVaksin Oxford–AstraZeneca COVID-19 tidak boleh diberikan kepada orang yang memiliki sindrom kebocoran kapiler.[8] Efek sampingEfek samping yang paling umum dalam uji klinis biasanya ringan atau sedang dan membaik dalam beberapa hari setelah vaksinasi.[9] Muntah, diare, demam, bengkak, kemerahan di tempat suntikan dan rendahnya kadar trombosit darah terjadi pada kurang dari 1 dari 10 orang yang divaksin.[9] Pembesaran kelenjar getah bening, nafsu makan menurun, pusing, kantuk, berkeringat, sakit perut, gatal dan ruam terjadi pada kurang dari 1 dari 100 orang.[9] Peningkatan risiko yang jarang dan berpotensi fatal trombosis dengan sindrom trombositopenia (TTS) telah dikaitkan dengan sebagian besar penerima vaksin wanita yang lebih muda.[10][11][12][13] Analisis VigiBase melaporkan peristiwa emboli dan trombotik setelah vaksinasi dengan Oxford–AstraZeneca, Moderna dan Pfizer, menemukan insiden terkait sementara sebesar 0,21 kasus per 1 juta hari vaksinasi.[14] Anafilaksis dan reaksi alergi lainnya adalah efek samping yang diketahui dari ADZ1222 yang harus diberikan di bawah pengawasan ketat.[9][15] European Medicines Agency (EMA) telah menilai 41 kasus anafilaksis dari sekitar 5 juta vaksinasi di Inggris.[15][16] Sindrom kebocoran kapiler adalah kemungkinan efek samping dari vaksin ini.[8] European Medicines Agency (EMA) mencantumkan sindrom Guillain-Barré (GBS) sebagai efek samping yang sangat langka dari Vaxzevria dan menambahkan peringatan di informasi produk.[17] Tentang AZD1222Vaksin sangat diandalkan umat manusia di masa lalu untuk menurunkan jumlah kematian akibat penyakit menular.[18] Melihat kondisi saat ini, wabah COVID-19 yang melanda di berbagai belahan dunia, vaksin merupakan senjata yang dibutuhkan untuk memberantas wabah ini. Berbagai vaksin telah dibuat salah satunya vaksin COVID-19 AstraZeneca, secara ilmiah disebut AZD1222 atau ChAdOx1 nCoV-19.[19] Para peneliti di Afrika Selatan dan Brasil telah memulai uji klinis untuk menilai kandidat vaksin COVID-19, ChAdOx1 nCoV-19 (AZD1222), yang dikembangkan oleh Universitas Oxford dan dilisensikan kepada AstraZeneca.[20] Vaksin ini diadaptasi dari virus flu biasa yang ditemukan pada simpanse.[21] Universitas Oxford bekerja sama dengan University of Witwatersrand di Afrika dengan melibatkan 2.000 partisipan dalam penelitiannya.[22] Peneliti Oxford menyatakan bahwa efektivitas vaksin AZD1222 sebesar 79% dalam pencegahan virus Corona,[23] Uji klinis vaksin AZD1222 pertama kali dilakukan pada kelompok usia 6-17 tahun.[24] European Medicines Agendy (EMA) menganggap AZD1222 aman.[25] Adapun Strategic Advisory Group of Experts on Immunization (SAGE) WHO telah merekomendasikan untuk sementara waktu penggunaan vaksin Oxford/ AstraZeneca COVID-19 (ADZ1222), vaksin yang disediakan memang terbatas, namun vaksin ini perlu direkomendasikan untuk petugas kesehatan yang selalu berinteraksi dengan pengidap COVID-19 sehingga risiko untuk tertular besar, dan orang lanjut usia (65 tahun keatas). Vaksin juga direkomendasikan untuk kelompok yang memiliki penyakit sehingga risiko tertular lebih tinggi seperti pengidap obesitas, penyakit kardiovaskular, penyakit pernapasan dan diabetes. Apabila wanita menyusui masuk pada prioritas vaksin, WHO tidak merekomendasikan untuk penghentian menyusui setelah vaksinasi. Vaksin ini memang direkomendasikan untuk orang yang berusia 18 tahun sambil menunggu hasil penelitian lanjut. Dosis yang dianjurkan adalah dua dosis yang diberikan secara intramuskular (masing-masing 0.5 ml) dengan selang waktu 8 - 12 minggu.[26] Vaksin yang telah disuntikkan akan mengajarkan sistem imun tubuh untuk melawan virus yang sebenarnya jika diperlukan. Penyimpanan vaksin ini lebih mudah, cukup di lemari es biasa sehingga distribusi lebih mudah.[27] Perkembangan AZD1222Kemuculan COVID-19 sejak Desember 2019 yang tak kunjung berakhir telah membuat ilmuan di seluruh dunia bekerja lebih cepat untuk mengembangkan vaksin.[28] Pada 22 Maret, perusahaan AstraZeneca mengatakan melalui siaran pers bahwa analisis awal menghasilkan dua dosis yang efektif sebesar 79% dalam pencegahan COVID-19,[29] uji coba dilakukan pada 32.449 orang dewasa di Amerika Serikat, Peru dan Chili. Hasilnya, tidak ada peserta uji coba yang meninggal ataupun dirawat di rumah sakit.[25] Vaksin AZD1222 mencegah 76% kasus penyakit, 85% efektif dalam melawan gejala COVID-19 pada sukarelawan percobaan berusia diatas 65 tahun.[30] Vaksin COVID-19 AstraZeneca adalah vaksin yang direkomendasikan pada orang yang berusia 18 tahun ke atas.[31] Namun Azra Ghani, ketua epidemiologi penyakit menular di Imperial College London, mendesak kehati-hatian atas hasil tersebut, hal ini menunjukkan bahwa penelitian tersebut tidak dirancang untuk melihat perbedaan dosis yang berbeda atau pada satu versus dua dosis vaksin.[32] Kemanjuran vaksin Oxford-AstraZeneca di atas 65 tahun masih di pertanyakan sebab data dianggap masih minim.[33] Perkembangan yang cukup pesat. Studi Tahap III vaksin dilakukan di AS, Chili dan Peru memberikan hasil terbaik, sangat aman, dan efektif.[29] MHRA memulai tinjauan bergulir terhadap vaksin AZ / Oxford COVID-19 pada bulan September dan persetujuan darurat didasarkan pada program Fase III yang dipimpin oleh Universitas Oxford.[34] Sebelumnya pengambilan data dilakukan di Inggris, Brasil, dan Afrika Selatan serta Inggris Raya. Uji coba melibatkan 32.000 sukarelawan dalam semua kelompok umur, sukarelawan menerima dua dosis standar vaksin Oxford-AstraZeneca dengan interval empat minggu. Hasil ini sangat diharapkan dalam upaya menangani pandemi COVID-19. Kemanjuran vaksin yang luar biasa pada populasi baru dan konsisten dari uji coba yang dipimpin oleh Oxford. Profesor Vaksinologi dan salah satu perancang vaksin virus corona ChAdOx1 nCov-19 menyatakan bahwa pada uji coba Tahap III besar di AS, Chili dan peru memberikan konfirmasi dan efektivitas ChAdOx1 nCoV-19 atau Oxford-AstraZeneca.[29] Penelitian terkait COVID-19 telah dimulai sejak Januari 2020 yang dipimpin oleh Prof. Sarah Gilbert, Prof Andrew Pollard, Prof Teresa Lambe, Dr Sandy Douglas, Prof Catherine Green dan Prof Adrian Hill.[35] Vaksin ChAdOx1-S / nCoV-19 [rekombinan] adalah vaksin vektor adenoviral yang kekurangan replikasi untuk melawan penyakit corona virus 2019 (COVID-19). Vaksin mengekspresikan gen protein lonjakan SARS-CoV-2, yang menginstruksikan sel inang untuk menghasilkan protein antigen S yang unik untuk SARS-CoV-2, memungkinkan tubuh untuk menghasilkan respons imun dan menyimpan informasi itu dalam memori.[36] Vaksin ChAdOx1 nCoV-19 diberikan otorisasi penggunaan darurat pada orang dewasa oleh Badan Pengatur Produk Kesehatan dan Obat-obatan Inggris[37] dosis vaksin Oxford-AstraZeneca yaitu dosis 100m yang telah disetujui MHRA.[38] Per 24 Maret 2021, AstraZeneca menambah 16 juta dosis untuk ditujukan ke negara-negara di Eropa.[39] Analisis juga menunjukkan potensi vaksin untuk mengurangi penularan virus tanpa gejala, berdasarkan usapan mingguan yang diperoleh dari sukarelawan dalam uji coba di Inggris.[40] Komite Penasihat CDC tentang Praktik Imunisasi (ACIP) telah membuat rekomendasi tentang bagaimana memprioritaskan pasokan vaksin. Petugas kesehatan dan orang yang tinggal di fasilitas perawatan jangka panjang adalah kelompok prioritas pertama yang menerima vaksin COVID-19 resmi.[41] Studi klinis ChAdOx1 juga akan dilakukan di Inggris Raya, Amerika Serikat, dan Afrika Selatan, yang bertujuan untuk merekrut hingga 50.000 sukarelawan.[42] Cara kerja vaksinVaksin Oxford-Astra-Zeneca atau ChAdOx1 nCoV-19 menggunakan versi virus umum yang tidak berbahaya dan dilemahkan,[43] yang menyebabkan pilek pada simpanse, ini telah dimodifikasi agar lebih mirip virus corona - meski tidak bisa menyebabkan penyakit.[44] Para peneliti telah menggunakan teknologi ini untuk menghasilkan vaksin melawan sejumlah patogen termasuk Flu, Zika dan Middle East Respiratory Syndrome (MERS). Virus ini merupakan hasil rekayasa genetika sehingga tidak mungkin berkembang pada manusia. Para ilmuwan telah mentransfer instruksi genetik untuk "protein lonjakan" spesifik virus corona - yang dibutuhkan untuk menyerang sel - ke vaksin. Saat vaksin memasuki sel di dalam tubuh, vaksin menggunakan kode genetik ini untuk menghasilkan protein lonjakan permukaan dari virus corona. Ini menginduksi respons imun, memprioritaskan sistem kekebalan untuk menyerang virus corona jika menginfeksi tubuh.[45] Tim peneliti telah menggunakan teknologi vaksin ChAdOx1 untuk menghasilkan kandidat vaksin melawan sejumlah patogen termasuk flu, Zika dan MERS, virus korona lain.[46] Efek samping yang umum, seperti demam, atau kedinginan, menunjukkan bahwa vaksin tersebut efektif dalam merangsang respons imun adaptif. Kebanyakan orang mengalami nyeri dan kemerahan di sekitar tempat suntikan.[47] LainnyaAstraZeneca telah berkomitmen untuk tidak mengambil untung dari vaksin COVID-19 apa pun 'selama masa pandemi' dan dan sepakat dengan Universitas Oxford untuk menjual vaksin tersebut dengan harga tertentu. Namun, kesepakatan lain untuk mengembangkan vaksin COVID-19 dengan badan penelitian publik Brasil Fundação Oswaldo Cruz (Fiocruz), baru-baru ini mengungkapkan bahwa setelah Juli 2021AstraZeneca dapat membebankan harga tinggi kepada pemerintah dan pembeli lain untuk vaksin yang sepenuhnya didanai oleh uang publik.[48] Karena Oxford Biomedica bertujuan untuk meningkatkan manufakturnya sendiri, AstraZeneca baru-baru ini mendapatkan kerjasama besar-besaran untuk membawa miliaran dosis AZD1222 di pasaran untuk tahun-tahun mendatang. Farmasi Inggris telah menandatangani kesepakatan sebesar $ 750 juta dengan Koalisi untuk Inovasi Kesiapsiagaan Epidemi dan Gavi, Aliansi Vaksin untuk memproduksi dan mendistribusikan 300 juta dosis vaksin Oxford pada akhir tahun 2020, AZ juga menyetujui kesepakatan lisensi dengan Serum Institute of India untuk menyediakan 1 miliar dosis vaksin ke negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, dengan target 400 juta diproduksi pada akhir tahun. Secara total, kesepakatan tersebut membawa kapasitas pasokan AstraZeneca secara keseluruhan untuk vaksin Oxford menjadi lebih dari 2 miliar dosis per tahun.[49] Di China, Vaksin CanSino Biologics dibuat mirip dengan Oxford namun suntikan China dibuat dengan virus flu manusia, dan penelitian menunjukkan orang-orang yang tubuhnya mengenalinya tidak terserang COVID-19.[50] Vaksin eksperimental Universitas Oxford dan AstraZeneca Plc. adalah yang pertama memasuki tahap akhir uji klinis untuk menilai seberapa baik kerjanya dalam melindungi orang agar tidak terinfeksi virus.[51] Penelitian ini memungkinkan para peneliti untuk menilai apakah orang dapat dilindungi dari COVID-19 dengan vaksin baru yang disebut ChAdOx1 nCoV-19. Ini juga akan memberi mereka informasi berharga tentang aspek keamanan vaksin dan kemampuannya untuk menghasilkan tanggapan kekebalan yang baik terhadap virus pada orang dewasa muda dan lebih tua.[52] Uji coba vaksin AstraZeneca Oxford dilakukan di seluruh dunia, termasuk di Inggris, AS, Jepang, Rusia, Afrika Selatan, Kenya, dan beberapa negara Amerika Latin.[53] Tim Oxford yang awalnya merancang vaksin tersebut mengatakan telah mulai mengerjakan kandidat generasi kedua yang menargetkan protein lonjakan bermutasi dari varian B.1.351, varian virus yang ditemukan di Afrika.[54] Regulator UE menyetujui jab Oxford / AstraZeneca pada akhir Januari, menyatakan aman dan cukup efektif untuk digunakan pada orang dewasa di atas usia 18 tahun. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memberikan persetujuannya pada pertengahan Februari.[55] Populasi yang dilibatkan dalam penelitian juga mempengaruhi hasil. Misalnya, dalam analisis sementara yang dilakukan dalam uji coba AS, sekitar 79 persen adalah kaukasia, 22 persen adalah Hispanik, delapan persen adalah Afrika-Amerika, empat persen Pribumi Amerika dan empat persen adalah Asia.[56] Referensi
Pranala luar
|