Aman Abdurrahman
Aman Abdurrahman (lahir 5 Januari 1972) alias Oman Rochman alias Abu Sulaiman, adalah seorang militan Islam dan mantan pendakwah Indonesia. Ia mendirikan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) setelah sempat bergabung di berbagai organisasi militan lainnya, terutama di Jamaah Ansharut Tauhid (JAT). Aman dianggap sebagai otak dalam rangkaian aksi terorisme dalam beberapa tahun terakhir di Indonesia. TerorismeKeterlibatan awalAman bergabung dengan Tauhid wal Jihad pada tahun 2004, dan dipenjara hingga tahun 2008 karena keterlibatannya dalam kasus peledakan bom rakitan di rumah kontrakannya. Di dalam penjara, ia rajin menerjemahkan buku dan tulisan karya Abu Muhammad al-Maqdisi, dan beredar secara luas di kalangan militan lainnya.[1] Namanya semakin dikenal setelah bebas, dan ia menjadi lebih sering diundang untuk mengisi ceramah dan berdakwah di berbagai tempat. Ia mulai menjadikan Tauhid wal Jihad semakin aktif dalam bidang propaganda, dan menyebarkan karyanya melalui media internet.[1] Pada tahun 2010, Aman berpartisipasi dalam latihan militer yang digelar di Jantho, Aceh. Tindakan ini kembali membuatnya tersandung kasus hukum, dan ia divonis sembilan tahun penjara.[2] Ia bergabung dengan kelompok Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) pimpinan Abu Bakar Ba'asyir pada waktu yang tidak diketahui. Saat bergabung dengan JAT, Aman menjadi semakin dikenal dan berhasil "merebut" sebagian massa Ba'asyir untuk menjadi pengikutnya.[1] Pelopor ISIS di IndonesiaTaufik Andrie, pengamat terorisme dari Institute for International Peace Building menyebut bahwa Aman adalah pelopor berkembangnya gerakan ISIS di Indonesia. Ia mengagumi konsep "daulah" yang menjadi ideologi ISIS, dan menyatakan dukungannya terhadap mereka.[1] Pada bulan Oktober 2014, ia memanggil beberapa rekannya untuk menjenguknya di LP Kembang Kuning Nusakambangan, meminta mereka untuk mendukung gerakan ISIS pimpinan Abu Bakr al-Baghdadi, dan segera membentuk organisasi tersendiri untuk mendukung upaya tersebut.[3] Ia kemudian mendirikan JAD, terpisah dari JAT dan menjadi pemimpinnya. Pengamat terorisme, Al Chaidar, menyebut bahwa tujuan utama JAD adalah mendirikan negara Islam dan sebagai "wadah" pendukung ISIS di Indonesia. JAD melaksanakan latihan militer atau tadrib 'asykari di Gunung Panderman, Malang, Jawa Timur pada awal tahun 2015.[3] Aman kemudian mulai mengumpulkan anggota JAD untuk mengirim mereka dalam rangka "berjihad" di Suriah.[1] Dalang di balik rentetan kasus terorismeAman dituduh sebagai "dalang" di balik peristiwa Bom Thamrin pada awal tahun 2016, yang menewaskan delapan orang. Ia juga dianggap berada di balik peristiwa peledakan bom dan serangan terhadap kepolisian dalam beberapa tahun belakangan. Pada tanggal 15 Februari 2018, ia menjalani sidang tanpa ditemani pengacara.[4] Ia menolak permintaan Majelis Hakim untuk menunjuk kuasa hukum, mengatakan bahwa ia akan menghadapi proses persidangan dengan sendiri. Meski demikian, ia mempersilakan mereka untuk menunjuk penasehat hukum untuknya.[4] Aman menjalani sidang lanjutan berupa pembacaan berkas tuntutan pada tanggal 18 Mei 2018 di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.[5] Jaksa Anita Dewayani membacakan berkas tuntutan dan lima hal yang memberatkan yang pada intinya meminta Majelis Hakim untuk menjatuhkan pidana mati.[6] Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tidak setuju dengan tuntutan hukuman mati kepada Aman. Mereka menilai hukuman mati kepada seorang teroris justru akan merugikan upaya penanganan kasus terorisme. Mereka menganggap kematian justru merupakan tujuan akhir dari setiap pelaku teror, dan mereka yang berhasil melakukannya akan dianggap "pahlawan" oleh pengikutnya. Komnas HAM berpendapat bahwa upaya yang lebih baik adalah deradikalisasi.[7] IdeologiSejak tahun 2008, Aman telah berkeliling ke sejumlah kota di Indonesia untuk berdakwah. Dalam kesempatan tersebut, ia berulang kali menyatakan bahwa demokrasi yang dianut Indonesia "sama saja dengan menyembah berhala", dan menurutnya dapat membatalkan keislaman seseorang.[4] Oleh rekan dan koleganya, Aman dinilai sebagai ideolog yang andal dengan latar belakang agama yang kuat—ia membaca 3 juz Alquran setiap harinya dan mengetahui sedikitnya 110 hadis.[8] Ia dianggap memiliki pengaruh untuk mengarahkan sesuatu di balik jeruji besi, yang kemudian akan dijalankan oleh "murid-muridnya" yang berada di luar tahanan.[8] Di dalam bui, ia kembali melanjutkan penerjemahan tulisan, dan membuatnya dijadikan sebagai tokoh rujukan ideologi—bukan hanya oleh Tauhid wal Jihad—bagi para tokoh dan kelompok ekstremis lainnya.[1] Berkembangnya ISIS di Timur Tengah disebut turut membuat pemikirannya menjadi "liar". Aman diketahui akan memberhentikan "bantuan" kepada rekan dan sahabatnya di penjara apabila mereka menolak untuk sejalan dengan ideologinya—umumnya berkaitan dengan ISIS.[8] Aman juga memimpin proses bai'at sejumlah pengikutnya di lapas Nusakambangan.[4] Eks-militan Kurnia Widodo, menyebut bahwa Aman lebih andal daripada Abu Bakar Ba'asyir dalam "memengaruhi" ideologi seseorang.[5] Referensi
Sumber
|