Angkatan Udara Kaktus
Angkatan Udara Kaktus (Cactus Air Force) adalah sebutan untuk kumpulan kesatuan angkatan udara Sekutu yang ditugaskan di Pulau Guadalcanal dari bulan Agustus 1942 hingga Desember 1942 selama tahap awal Pertempuran Guadalkanal, khususnya bagi mereka yang berpangkalan Lapangan Udara Henderson. Setelah Desember 1942, nama resmi untuk kesatuan ini adalah Angkatan Udara Sekutu di Kepulauan Solomon (Allied Air Forces in the Solomons), tetapi nama Angkatan Udara Kaktus masih tetap melekat hingga kini. "Kaktus" adalah kata sandi yang diberikan Sekutu untuk Guadalkanal. Pada bulan April 1943, nama kesatuan ini diubah menjadi AirSols. Latar belakangPada 7 Desember 1941, Jepang menyerang ke armada Pasifik Amerika Serikat di Pearl Harbor, Hawaii. Serangan tersebut melumpuhkan sebagian besar armada kapal tempur Amerika Serikat, dan secara resmi memulai keadaan perang antarkedua negara. Dalam perang ini, pemimpin militer Jepang berusaha untuk menetralisir armada Amerika, merebut negara jajahan Sekutu yang kaya sumber daya alam, dan menjadikannya sebagai pangkalan militer strategis untuk mempertahankan wilayah kekaisaran seberang laut mereka. Tentara Jepang menyerang dan mengambil alih Hong Kong, Filipina, Thailand, Malaya, Singapura, Hindia Belanda, Pulau Wake, Britania Baru, dan Guam.[1] Sekutu menghambat dua upaya Jepang untuk memperluas perimeter pertahanan mereka di Pasifik Selatan dan Pasifik Tengah dalam Pertempuran Laut Karang (Mei 1942) dan Pertempuran Midway (Juni 1942). Kedua kemenangan strategis tersebut memberi kesempatan bagi Sekutu untuk mengambil inisiatif, dan melancarkan ofensif balas terhadap Jepang di suatu tempat di Pasifik. Sekutu memilih Kepulauan Solomon, khususnya Guadalkanal, Tulagi, dan Florida yang berada di selatan Kepulauan Solomon.[2] Para ahli strategi Sekutu mengetahui Angkatan Laut Kekaisaran Jepang telah menduduki Tulagi pada bulan Mei 1942, dan telah membangun pangkalan pesawat terbang laut di dekat Tulagi. Kekhawatiran Sekutu makin bertambah besar setelah pada bulan Juli 1942, Angkatan Laut Jepang mulai membangun lapangan terbang yang cukup besar di Guadalkanal yang berdekatan dengan Tulagi, tepatnya di dekat Tanjung Lunga. Pangkalan-pangkalan Jepang tersebut, bila selesai, dapat dipakai Jepang untuk melindungi pangkalan utama mereka di Rabaul, mengancam jalur komunikasi dan logistik Sekutu di Pasifik Selatan hingga ke Australia dan Selandia Baru, serta dipakai sebagai daerah tumpuan untuk ofensif berikutnya di Hebrida Baru, Fiji, Samoa, dan Kaledonia Baru.[3][4] Rencana Sekutu untuk menyerang selatan Kepulauan Solomon merupakan usulan dari Panglima Tertinggi Armada Amerika Serikat Laksamana Ernest King. King mengusulkan ofensif balas untuk menggagalkan usaha Jepang memakai Kepulauan Solomon selatan sebagai pangkalan militer untuk mengancam rute logistik antara Amerika Serikat dan Australia. Bila dapat direbut, Sekutu akan menggunakannya sebagai titik awal untuk melancarkan kampanye militer yang bertujuan mengisolir pangkalan utama Jepang di Rabaul, dan sekaligus untuk mendukung kampanye Nugini oleh Sekutu. Semua rencana Sekutu bertujuan akhir membuka jalan bagi Amerika Serikat untuk merebut kembali Filipina.[5] Panglima Tertinggi Sekutu untuk kawasan Pasifik, Laksamana (AS) Chester Nimitz menetapkan medan perang Pasifik Selatan berada di bawah komando Laksamana Madya Robert L. Ghormley pada 19 Juni 1942, sebagai pemimpin ofensif Sekutu di Kepulauan Solomon.[6] Pada 7 Agustus 1942, Divisi 1 Marinir mendarat di Tulagi dan Tanjung Lunga, Guadalkanal, merebut lapangan terbang Jepang yang sudah sebagian selesai. Penyerbuan tersebut menandai ofensif balas pertama yang dilakukan Sekutu dalam medan perang Samudra Pasifik. Pembangunan lapangan terbang segera dilanjutkan terutama dengan memakai peralatan yang ditinggalkan Jepang. Pada 12 Agustus 1942, lapangan terbang diresmikan sebagai Lapangan Udara Henderson untuk mengenang Mayor Lofton R. Henderson yang tewas dalam Pertempuran Midway. Lofton R. Henderson adalah sekaligus penerbang Korps Marinir Amerika Serikat yang pertama tewas dalam Pertempuran Midway. Lapangan Udara Henderson sudah siap beroperasi pada 18 Agustus 1942.[7] Lapangan Udara HendersonKetika pesawat-pesawat pertama mulai berdatangan, Lapangan Udara Henderson hampir tidak dapat dikatakan sebagai lapangan terbang. Lapangan terbang ini dibangun di bekas perkebunan kelapa. Landas pacu juga terlalu pendek dan hanya ada beberapa tembok pelindung untuk melindungi pesawat dari pecahan peluru.[8] Setelah mendarat di Lapangan Udara Henderson pada 4 September 1942, Kolonel W. Fiske Marshall, Perwira Komando Gugus Pesawat Marinir 25, menggambarkan kondisi lapangan terbang ini "terlihat seperti lukisan neraka karya Doré."[9] Landas pacu melintang dari barat daya ke tenggara sepanjang 730 m. Permukaan landasan dari kerikil dengan tambahan Marsden Matting sepanjang 300 m yang sering bopeng-bopeng dengan lubang akibat tembakan artileri dan meriam kapal laut Jepang. Kondisi landas pacu di Henderson begitu buruk sehingga jumlah pesawat yang menjadi korban sama banyaknya dengan jumlah pesawat yang tertembak lawan. Di tengah hari yang panas, lapangan terbang ini bagaikan kawah debu hitam yang merusakkan mesin-mesin pesawat.[10] Ketika hari hujan, lapangan terbang ini dengan cepat berubah ladang lumpur yang membenamkan roda-roda pesawat. Mayor Marion Carl menggambarkannya sebagai "...satu-satunya tempat di Bumi yang memungkinkan Anda berdiri dengan lumpur hingga ke lutut, sementara debu masih bisa masuk ke mata."[11] Pesawat pengebom tukik SBD menjadi korban paling parah. Roda-roda pendarat mereka yang keras karena dirancang untuk lepas landas dan mendarat di kapal induk menggali lumpur di landas pacu bagaikan mata bajak. Pemakaian roda kayu juga pernah dicoba, tetapi tidak juga lebih baik.[12] Landas pacu kemudian diperpanjang dan diperlebar beberapa kali sepanjang berlangsungnya kampanye Guadalkanal. Pada 4 September 1942, landas pacu di Henderson panjangnya 1200 m dan lebarnya 150 m.[13] Lapangan Udara ini juga sangat dekat letaknya dengan garis pertahanan Divisi Marinir 1 Amerika Serikat, sehingga keamanan selalu mengkhawatirkan. Tidak ada truk-truk bahan bakar, hanggar untuk pesawat, atau gedung untuk perbaikan. Pesawat-pesawat yang rusak dikanibalisasi sebagai sumber suku cadang, dan tidak adanya kerekan bom menjadikan semua amunisi harus diangkat dengan tangan ketika dipasang ke pesawat. Bahan bakar selalu dalam keadaan kritis, dan harus dipompa secara manual dari drum berukuran 55 galon.[11] Bahkan setelah kedatangan truk-truk bahan bakar, bahan bakar pesawat masih harus dipompa secara manual ke truk-truk.[12] Pada 9 September 1942, Batalion Konstruksi 6 Angkatan Laut (SeaBees) membuka landas pacu kedua sekitar satu mil di timur Lapangan Udara Henderson. Landas pacu yang baru itu disebut "Fighter 1", dibangun dari tanah berumput yang diperkeras, dengan panjang sekitar 1.400 m dan lebar 91 m. Skuadron-skuadron tempur Marinir mulai beroperasi dari Fighter 1, sementara pesawat-pesawat lainnya yang berpangkalan di Henderson tetap menggunakan landas pacu lama yang kemudian dikenal sebagai "Bomber Field No. 1."[13] Fasilitas Lapangan Udara Henderson mulai membaik sekitar 15 November 1942 ketika lapangan udara ini secara resmi dinyatakan sebagai Pangkalan Udara Korps Marinir. Landas pacu mulai diperbaiki dengan kiriman karang yang digiling. Batu karang setempat dianggap tidak cocok untuk digunakan sebagai bahan bangunan.[14] Kondisi tempat tinggalKondisi kehidupan di Guadalkanal termasuk salah satu kondisi paling sulit yang pernah dihadapi penerbangan Marinir Amerika Serikat. Penerbang dan mekanik tinggal di tenda-tenda berlantai lumpur di hutan pohon kelapa yang selalu banjir, hingga tempat ini dijuluki "Kebun Nyamuk". Kondisi tempat tinggal selama bertugas di tempat ini menyebabkan sebagian besar Marinir terjangkit penyakit tropis seperti malaria, disentri, demam berdarah, atau infeksi jamur.[15] Pada malam hari, kapal-kapal perang Jepang secara periodik melakukan bombardemen terhadap lapangan terbang. Pada siang hari, tembakan artileri Jepang juga sering mengganggu. Tanggal 13-14 Oktober 1942 merupakan malam terburuk dari serangkaian bombardemen ke Lapangan Udara Henderson. Dua kapal tempur Jepang menembakkan lebih dari 700 peluru meriam kaliber besar ke tempat ini untuk memberikan perlindungan bagi tentara angkatan laut dan angkatan darat Jepang yang didaratkan jauh di bagian barat Guadalkanal. Selain itu, hampir setiap hari sekitar tengah hari, antara 20 hingga 40 pesawat pengebom Jepang Mitsubishi G4M "Betty" terbang dalam "formasi V" yang sempurna di atas ketinggian 6.100 m (20.000 kaki) dan menjatuhkan bom di Lapangan Udara Henderson. Mereka selalu dikawal oleh pesawat-pesawat tempur Jepang, dan pengeboman tersebut menyebabkan kehidupan di Guadalkanal makin sengsara.[16] KomandanDari saat pertama mendaratnya skuadron Marinir pada tanggal 20 Agustus hingga 25 Agustus 1942, tidak ada perwira komando untuk penerbangan Marinir. Semua laporan langsung disampaikan kepada Jenderal Vandegrift. Marinir waktu itu belum menunjuk komandan operasi udara, sementara angkatan darat sudah mengerahkan satu skuadron pesawatnya. Komandan Marinir yang pertama adalah Kolonel William W. Wallace namun hanya memegang komando sementara.[17] Angkatan Udara Kaktus secara teknis berada di bawah komando Laksamana Muda John S. McCain yang membawahi semua pesawat Sekutu yang berpangkalan di darat di Pasifik Selatan. Meskipun demikian, Vandegrift dan para komandan operasionalnya memegang komando lokal untuk pesawat-pesawat Sekutu yang beroperasi dari Lapangan Udara Henderson.[18] Pada 3 September 1942, keberuntungan para penerbang berubah setelah kedatangan Brigadir Jenderal [Roy Geiger]] dengan pesawat R4D Skytrain yang sekaligus merupakan pesawat SCAT pertama yang mendarat di Guadalkanal.[19] Sebagai "Komandan, Pesawat, Guadalkanal" (ComAirCACTUS) dan Wing Udara Marinir 1, Geiger mendirikan markasnya di sebuah pagoda kayu yang didirikan Jepang di atas sebuah bukit, sekitar 180 dari lapangan terbang. Semangat dan kepribadian dirinya yang patut dijadikan panutan berhasil mengangkat jiwa kebersamaan di antara para anggota skuadron yang selamat. Ia digambarkan sebagai "...kasar, dingin, dan beberapa orang menyebutnya kejam....dia bertekad untuk memeras kinerja mesin dan manusia hingga habis".[20] Selama memegang komando, di kalangan anak buahnya selalu ada "perasaan putus asa, tapi bukan perasaan kalah,"[21] Ketegangan menjabat perwira komando dan kondisi tempat tinggal yang buruk pada akhirnya betul-betul menyebabkan kelelahan fisik dan mental terhadap Geiger yang waktu itu berusia 57 tahun. Geiger menyerahkan tongkat komando pada 7 November 1942 kepada kepala stafnya, Brigadir Jenderal Louis E. Woods.[22][23] Brigadir Woods adalah seorang penerbang veteran yang berpengalaman selama 21 tahun. Woods memegang komando Angkatan Udara Kaktus ketika kesatuan ini sedang berada pada titik terendah. Namun Woods ternyata adalah orang yang tepat untuk pekerjaan ini. Dengan cepat ia berubah dari "kolonel yang ramah menjadi seorang brigadir jenderal yang haus darah".[24] Woods memegang komando hingga Hari Natal 1942, sebelum menyerahkan komando Angkatan Udara Kaktus, sehari setelah Natal kepada Brigadir Jenderal Francis P. Mulcahy yang waktu itu menjabat jenderal penanggung jawab Wing Udara 2 Marinir.[25] Penerbang lawanSebagian besar pesawat Jepang yang berhadapan dengan Angkatan Udara Kaktus berasal dari kesatuan udara Angkatan Laut Kekaisaran Jepang. Saat dimulainya kampanye Guadalkanal pada 7 Agustus 1942, Armada Udara 5 Angkatan Laut Kekaisaran Jepang berada di bawah pimpinan Laksamana Muda Sadayoshi Yamada yang berpangkalan di Rabaul, Britania Baru dan Lae, Papua Nugini. Yamada bertanggung jawab atas operasi udara angkatan laut di timur Nugini dan Kepulauan Solomon. Armada Udara 5 sebagian besar terdiri dari kesatuan-kesatuan asal Flotila Udara 25 dan melapor kepada Armada Udara 11 (juga disebut "Angkatan Udara Induk"), di bawah pimpinan Nishizo Tsukahara. Pada pagi 7 Agustus 1942, Armada Udara 5 berkekuatan 39 pesawat tempur, 32 pesawat pengebom sedang, 16 pengebom tukik, dan 17 pesawat terbang laut, termasuk 15 pesawat terbang laut di Tulagi yang dihancurkan dalam serangan udara awal Sekutu dalam pendaratan di Tulagi dan Guadalkanal.[26] Kesatuan pengebom utama milik Armada Udara 5 berasal dari Grup Udara 4 yang menerbangkan Mitsubishi G4M Tipe 1 "Betty". Dua puluh empat pesawat tempur Armada Udara 5 adalah milik Grup Udara Tainan di bawah Kapten Masahisa Saito. Grup Udara Tainan merupakan tempat berkumpulnya penerbang ulung Jepang yang menerbangkan pesawat tempur A6M2 Zero. Seluruhnya ada 55 orang pilot dan 24 pesawat dalam Grup Udara Tainan, dan hanya pilot paling berpengalaman dan mahir yang diizinkan ikut dalam operasi tempur. Pengebom tukik (Aichi D3A1 "Vals") dan pesawat tempur (A6M3 Zero) lainnya berasal dari Grup Udara 2. Sebagian besar dari pesawat-pesawat pengebom tukik hilang dalam serangan tanggal 7-8 Agustus terhadap pasukan pendarat Sekutu. Pada 7-8 Agustus, Grup Udara Misawa dari Armada Udara 6 (juga disebut Flotila Udara 26) di bawah Laksamana Madya Seigo Yamagata dari Tinian beserta 27 pesawat pengebom Tipe 1 juga bergabung dengan Armada Udara 5 di Rabaul. Sekitar waktu yang sama, Laksamana Tsukahara pindah dari Tinian ke Rabaul untuk secara langsung mengawasi operasi udara terhadap pasukan Sekutu di sekitar Guadalkanal.[27] Grup Udara 4 dan Grup Udara Misawa menderita kerugian besar dalam serangan terhadap armada pendarat Sekutu dekat Guadalkanal pada 7 Agustus dan 8 Agustus. Total 24 pesawat pengebom jatuh dan menewaskan 153 awaknya, sementara Grup Udara Tainan hanya kehilangan empat pesawat Zero beserta empat penerbangnya. Hingga bala bantuan tiba, Armada Udara 5 sudah tidak mampu melanjutkan serangan terhadap posisi-posisi Marinir di Guadalkanal, sehingga Amerika Serikat memiliki waktu untuk menyelesaikan lapangan terbang Jepang yang telah direbut di Tanjung Lunga diganggu oleh serangan udara. Pada 20 Agustus 1942, 19 pesawat pengebom Tipe 1 yang tergabung dalam Grup Udara Kisarazu dari Armada Udara 6 tiba di Kavieng. Pada 2 September 1942, sejumlah 10 pesawat pengebom Tipe 1 yang tergabung dalam Grup Udara Chitose dari Flotila Udara 24 ikut bergabung di Kavieng. Kedua grup udara tersebut ikut serta dalam serangan pengeboman yang berikutnya di Guadalkanal. Tiga belas pesawat Zero berikut penerbangnya dari Grup Udara 6 bergabung dengan Grup Udara 2 di Rabaul pada 31 Agustus, dan memulai misi penyerangan di atas Guadalkanal pada tanggal 11 September.[28] Dari 1 Oktober hingga perang berakhir, Armada Udara 11 dipimpin oleh Jinichi Kusaka yang juga berkedudukan di Rabaul. Hiroyoshi Nishizawa dan Junichi Sasai termasuk di antara pilot-pilot terkenal yang tergabung dalam Armada Udara 11. Kekuatan pesawat terbang laut Jepang yang disebut Angkatan Udara Daerah-R dibentuk pada 28 Agustus di bawah komando Laksamana Muda Takatsugu Jojima, dan berpangkalan di Rabaul serta pangkalan operasi garis depan di Buin, Kepulauan Shortland, dan Teluk Rekata, Santa Isabel. Pesawat-pesawat Angkatan Udara Daerah-R berasal dari empat skuadron yang ditugaskan bersama kapal induk pesawat terbang laut Jepang Kamikawa Maru, Chitose, Sanyo Maru, dan Sanuki Maru. Angkatan Udara Daerah-R terutama bertugas memberikan perlindungan bagi konvoi Jepang yang mengirimkan pasukan dan perbekalan ke Guadalkanal, melakukan misi pengintaian sekitar Kepulauan Solomon, dan kadang-kadang menyerang Lapangan Udara Henderson. Sepanjang kampanye Guadalkanal, pesawat-pesawat Angkatan Udara Kaktus juga berulang kali harus berhadapan dengan satuan-satuan udara dari Armada Gabungan Jepang yang terdiri dari kapal induk Shōkaku, Jun'yō, Zuikaku, dan Ryūjō. Selama kampanye Guadalkanal, pesawat-pesawat Jepang tersebut diberangkatkan dari pangkalan darat bersama Armada Udara 11, atau beroperasi dari kapal-kapal induk.[29] Catatan kaki
ReferensiBuku
Situs web
Bacaan selanjutnya
|