Dewa-dewi Tionghoa
Agama tradisional Tiongkok merupakan agama politeis, banyak dewa yang disembah dengan sudut pandang panteistik yang berkeyakinan bahwa keilahian melekat di dunia.[1] Para dewa adalah energi atau prinsip yang mengungkapkan, mencontohkan dan menyebarkan jalan Surga (Tian 天), yang merupakan dewa tertinggi yang dimanifestakan dalam bentuk puncak kutub langit dan keteraturannya. Banyak dewa yang merupakan para leluhur atau manusia yang menjadi dewa setelah berhasil melalui tahap pencapaian surgawi, kebanyakan dewa juga diidentikkan dengan bintang dan rasi bintang.[2] Leluhur dianggap setara dengan Surga di dalam kehidupan manusia,[3] oleh karena itu dijadikan sarana untuk menghubungkan kembali ke Surga yang merupakan "ayah leluhur terbaik" (曾祖父 zēngzǔfù).[4] Dewa tidak terhitung banyaknya karena setiap perwujudan merupakan satu atau lebih dewa yang diatur dalam hierarki surgawi yang kompleks.[5] Selain pemujaan tradisional terhadap wujud-wujud tersebut, Konfusianisme, Taoisme dan para pemikir formal pada umumnya memberikan pandangan teologis yang menegaskan esensi monistik keilahian.[6] "Politeisme" dan "monoteisme" adalah kategori-kategori yang berasal dari agama Barat dan tidak sesuai dengan agama tradisional Tiongkok yang tidak pernah menganggap kedua kategori tersebut sebagai sesuatu yang bertentangan.[7] Semua dewa dianggap sebagai perwujudan dari 氣 qì yang bermakna "kekuatan hidup/spiritual" atau "pneuma" dari Surga, beberapa sarjana telah menggunakan istilah "polipneumatisme" atau "(poli) pneumatolatri" yang pertama kali dicetuskan oleh Walter Medhurst (1796–1857) untuk menggambarkan praktik politeisme Tiongkok.[8] Dalam teologi teks klasik Tiongkok dan Konfusianisme, "Surga adalah penguasa dari ratusan dewa".[9] Teologi Konfusianisme modern membandingkannya dengan kecerdasan, suatu bentuk substansial atau tujuan batin seperti yang dijelaskan oleh Leibniz, yang terdapat di dalam semua jenis makhluk sehingga "bahkan gunung dan sungai dipuja sebagai sesuatu yang mampu menikmati pengorbanan persembahan".[10] Tidak seperti dalam Hinduisme, pendewaan orang-orang bersejarah dan leluhur tidak secara tradisional menjadi tugas para penganut Konghucu atau Tao, melainkan tergantung pilihan dari orang-orang biasa di dalam masyarakat. Seorang manusia didewakan ketika telah melakukan perbuatan luar biasa dan telah meninggalkan warisan yang mustajab. Namun, penganut Konghucu atau Tao secara tradisional biasanya akan meminta kepada negara untuk memberikan penghormatan kepada dewa tertentu. Setiap dewa memiliki pusat kultus dan kuil leluhur tempat dia atau orang tuanya yang dulunya pernah menjalani kehidupan fana mereka. Sering terjadi perselisihan mengenai asal dan tempat asli tempat pemujaan dewa.[11] Referensi
|