Ewuh pakewuhEwuh pakewuh (aksara Jawa: ꦲꦺꦮꦸꦃꦥꦏꦺꦮꦸꦃ) dalam kebudayaan Jawa adalah sikap sungkan dan segan terhadap orang lain. Sikap ewuh pakewuh pada dasarnya adalah sebentuk kerendahan hati yang digunakan agar hubungan antarmanusia dapat terjalin secara selaras tanpa melukai perasaan dan kehormatan satu sama lain. Wujud ewuh pakewuh dapat berupa menjaga dan mempertimbangkan perasaan orang lain, menghormati dan menoleransi pendapat yang bebeda, atau tidak mempertunjukkan kesalahan orang lain di depan umum dengan tujuan mempermalukannya.[1] Namun demikian, ewuh pakewuh kadang dianggap menyulitkan seseorang untuk mengungkapkan keinginan atau pilihan yang sebenarnya karena terlalu mempertimbangkan perasaan orang lain. Dalam pertemanan dan hubungan kerja, sikap ewuh pakewuh juga sering menjadi kendala untuk memperingatkan secara objektif kesalahan dan kesewenang-wenangan orang lain.[2][3] Asal kataEwuh pakewuh atau éwuh pakéwuh terdiri dari dua kata yakni éwuh yang artinya merasa segan, sulit, rumit, dan pakéwuh yang artinya tidak nyaman, tidak enak (bandingkan dengan bahasa Indonesia gaul: gak enakan). Kedua kata tersebut biasanya disebutkan bersamaan untuk menyatakan suatu sikap sungkan dan segan untuk menyatakan sesuatu secara terus terang. BirokrasiDalam birokrasi Indonesia, khususnya di Jawa, budaya ewuh pakewuh dianggap lekat dengan kesungkanan dan keseganan para pegawai kepada orang-orang yang dianggap lebih tinggi jabatannya. Hal ini membuat lemahnya kontrol terhadap orang yang memiliki jabatan tinggi sehingga mereka leluasa menyalahgunakan wewenang. Pegawai yang ewuh pakewuh akan sungkan dan takut untuk menegur atasan yang berbuat kesalahan atau menyalahgunakan wewenangnya.[4][5] Sri Mulyani pernah secara terang-terangan ingin memberantas budaya ewuh pakewuh agar kinerja para pegawai dapat menjadi lebih disiplin.[6] Lihat juga
Catatan kaki
|