Fathul Mu'in Daeng Maggading
Mayor K.H. Fathul Mu'in Daeng Maggading atau lebih dikenal dengan nama Fathul Mu'in atau Fathul Mu'in Daeng Maggading (17 Desember 1919 – 18 September 1985) adalah seorang pemuda pemberani, pelopor sekaligus pemimpin para pejuang dalam merebut kembali dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia rentang waktu tahun 1945–1949 di wilayah Maros melawan kolonial NICA Belanda. Selain sebagai pejuang kemerdekaan RI, Fathul Mu'in Daeng Maggading juga dikenal sebagai tokoh Muhammadiyah yang disegani di Sulawesi Selatan dan kawasan Indonesia Timur melalui pemikiran-pemikiran dan ajaran-ajaran pemurnian agama Islam dalam rentang waktu tahun 1960an–1980an. Sebagian informasi menyebutkan bahwa nama Fathul Mu'in terinspirasi dari nama sebuah buku, yaitu kitab Fathulmuīn, yang merupakan salah satu kitab fiqih maẓhab Syafiiah yang sangat populer. KeluargaFathul Mu'in Daeng Maggading lahir dari keluarga terpandang yang taat beragama, yaitu pasangan H. Ba'Alwy dan Ibu Hj. Husna. Ayahnya, H. Ba'Alwy orang yang sangat terkenal di tengah-tengah masyarakatnya. Ia adalah salah satu pimpinan Muhammadiyah Maros tahun 1929. Terkenal dengan keteguhan memegang prinsip-prinsipnya, karena keteguhannya, seringkali harus bersinggungan dengan pemerintah Hindia Belanda, yang menyebabkannya harus merasakan jeruji besi pemerintah pada masa tersebut. PerjuanganMemimpin para pemuda Maros menurunkan bendera Belanda di depan rumah Controleur kemudian merobek bagian birunya dan mempertontonkan kepada masyarakat di depan kantor Karaeng Turikale, dan peristiwa ini bermakna bahwa masyarakat Maros adalah masyarakat pejuang yang siap berkorban untuk bangsa dan negara. Peristiwa inilah yang menjadikan Fathul Mu'in begitu dihargai dan disegani oleh elit pemerintah ketika memimpin organisasi Muhammadiyah, tidak terkecuali walikota Makassar, yaitu Muhammad Daeng Patompo yang juga merupakan juniornya dalam perjuangan merebut kemerdekaan. Mempelopori gerakan pemuda untuk merebut kembali kemerdekaan RI, khususnya di tanah Maros, Sulawesi Selatan. Perlawanan merebut kemerdekaan Indonesia berkecamuk pasca proklamsi tahun 1945 sampai dengan tahun 1949 merupakan puncak perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajah. Bangsa Indonesia yang bertanah air berkeinginan kuat untuk hidup dalam kedamaian dan kesejahteraan. Tekad mereka hanya satu, merebut kemerdekaan yang ditempuh dengan jalan menolak dan menentang penjajahan. Rentetan peristiwa setelah Proklamasi Kemerdekaan memberikan warna tersendiri dalam sejarah panjang Sulawesi Selatan. Pascaproklamasi, daerah ini masih terlibat dalam perang yang tidak berkesudahan karena upaya NICA Belanda yang ingin kembali berkuasa dilawan secara terbuka oleh para pejuang yang ingin mempertahankan kemerdekaan. Hampir di seluruh daerah terjadi pembentukan organisasi kelaskaran. Para bangsawan dan para pemuda pejuang saling bergandengan tangan menyusun kekuatan untuk membangun perlawanan meski memakan korban yang tidak sedikit jumlahnya. Salah satu daerah di Sulawesi Selatan yang melakukan perlawanan sengit terhadap penjajah NICA Belanda adalah daerah Maros yang memang berbatasan langsung dengan Kota Makassar. Meskipun kemerdekaan telah dikumandangkan dengan resmi pada 17 Agustus 1945, namum tentara NICA Belanda belum sepenuhnya meninggalkan wilayah Indonesia termasuk di Maros. Ketidakinginan penjajah meninggalkan Maros menyulut perlawanan dari pemuda dan masyarakat. Kota Maros memiliki sederet nama pejuang yang tidak akan pernah dilupakan dalam sejarah merebut kemerdekaan. Salah satu di antara mereka adalah seorang pemuda pemberani, yaitu Fathul Mu’in Dg. Maggading. Namanya tercatat indah dalam sejarah perjuangan Maros. Di masa mudanya, selain sebagai aktivis Muhammadiyah mengikuti jejak ayahnya H. Ba Alwi, Fathul Mu'in muda adalah seorang yang sangat aktif sebagai pejuang kemerdekaan. Sumbangsih besarnya adalah di bulan Januari 1946 ketika sebuah peristiwa heroik terjadi. Para pemuda yang dipimpin oleh Fathul Mu'in Dg. Maggading menurunkan bendera Belanda di depan rumah Controleur. Bendera Belanda yang berwarna merah, putih, dan biru itu dirobek bagian birunya oleh Dg. Maggading. Bendera yang menyisakan warna merah dan putih itu kemudian dipertontonkan kepada masyarakat di depan kantor Karaeng Turikale. Peristiwa ini memiliki makna yang sangat dalam bahwa masyarakat Maros adalah masyarakat pejuang yang siap berkorban untuk melepaskan bangsa dan negara ini dari segala bentuk penjajahan. Karena peristiwa heroik inilah pemerintah Kota Maros mengabadikan bulan Januari sebagai salah satu momentum penting hari lahirnya Kabupaten Maros, yaitu 4 Januari 1471 (sekarang sudah diubah 4 Juli 1959). Keterlibatannya dalam perjuangan merebut kemerdekan diapresiasi oleh pemerintah dengan penganugrahan pangkat militer mayor kepada Fathul Mu'in Daeng Maggading. Bagi Fathul Mu'in Daeng Maggading, penyematan gelar dan pangkat ini bukanlah hal penting karena perjuangannya tidak didasari ambisi mengejar jabatan dan pangkat. Semuanya didasari oleh motivasi iman dan islam bahwa setiap muslim tidak boleh hidup sebagai seorang budak yang terjajah tapi ia harus bangkit merdeka melaksanakan perintah syariat. Inilah semangat dari semboyan "Al-Islam A'la wa La Yu'la Alaihi" (Islam itu tinggi dan tidak ada yang bisa mengalahkan ketinggiannya). Dengan adanya semangat seperti ini, maka tidak pantas seorang muslim hidup terhina dalam penjajahan. Perjuangannya semata karena tuntunan agama Islam yang ia yakini sebagai bagian dari ibadah. Ibadah tidak membutuhkan pamrih dari manusia. Ini terbukti karena dalam perjalan kehidupan Fathul Mu'in Daeng Maggading pascakemerdekan tidak pernah mengambil gaji veteran sepeserpun. Padahal sebagai veteran pejuang kemerdekaan bergelar mayor penghargaan pemerintah itu sangat layak diterimanya. Perjuangan tanpa pamrih dari Fathul Mu'in Daeng Maggading hanya mengharap kepada ridho Allah SWT membalasnya. Persitiwa heroik inilah yang membuatnya begitu dihormati dan disegani masyarakat secara umum dan elit pemerintah kota Makassar secara khusus. Terlebih ketika ia memimpin organisasi Muhammadiyah Makassar, baik sebagai ketua cabang maupun ketika menjadi pimpinan daerah Muhammadiyah Makassar. Elit pemerintah kota Makassar mengenal baik sosok seorang Fathul Mu'in Daeng Maggading dan jasa-jasanya kepada negara ini. Sehingga dalam berinteraksi dengannya, elit pemerintah juga memiliki keseganan tersendiri. Pendidikan
Perjalanan intelektual Fathul Mu'in Daeng Maggading secara umum dibagi dua fase: Fase pertama: Pendidikan non-formal, yang dimulai sejak kecil dan ketika ia telah menyelesaikan pendidikan formalnya. Ia tumbuh besar dibawah asuhan langsung sang ayah, Haji Ba Alwi, karekter keras, kepribadian tegas, dan kematangan ilmu sang ayah terwariskan kepadanya. Mulai belajar ilmu-ilmu agama dari kedua orang tuanya yang memang terkenal sangat agamis. Fathul Mu'in Daeng Maggading terkenal sangat ulet dalam menuntut ilmu, di antara tempat yang telah dijelajahiya adalah Makkah al-Mukarramah. Ulama-ulama Makkahlah yang sangat banyak mempengarui cara berfikirnya sekembali ke tanah air. Selain itu, beberapa wilayah di Indonesia pun dikunjunginya seperti Bukittinggi, Pandangpanjang, Sumatera Barat. Terkenal sebagai pelajar otodidak yang sangat rajin, sebagian besar waktu-waktunya dihabiskan untuk membaca, berdiskusi, dan berdakwah. Selain perjalanan ilmiah ini, diantara hal yang sangat mempengaruhi kemampuan intelektualnya adalah banyaknya melakukan diskusi-diskusi bersama ulama yang sezaman dengannya, diantaranya: Buya Abdul Malik Ahmad16, Dr. S. Madjidi, KH. Marzuki Hasan, KH. Djabbar Asyiri, dan ulama yang lainnya. Fase kedua: Pendidikan formal, Fathul Mu'in mulai menempuh studi sekolah dasar Belanda Inlandsch School (Sekolah Bumi Putera) di Maros. Kemudian melanjutkan pendidikannya di MULO. Sekolah lanjutan tingkat pertama singkatan dari Meer Uitgebreid Lager Onderwijs dengan tingkatan yang sama dengan Sekolah Menengah Pertama (SMP. Ia juga pernah mengenyam pendidikan Muallimin Padang Panjang Bukit Tinggi Sumatera Barat. Fathul Mu'in Daeng Maggading sempat merasakan bangku kuliah di UNSULA (Universitas Sulawesi) di Jl. Kajaolalido Makassar (Universitas ini sudah tidak ada sekarang), akan tetapi ia tidak sempat menyelesaikan pendidikannya, diakibatkan oleh seringnya berselisih pendapat dengan dosen-dosennya. Keilmuan Fathul Mu'in Daeng Maggading, bukan hanya didapatkan dari bangku sekolah yang pernah ia lalui dalam kehidupannya, akan tetapi juga dihasilkan dari kesungguhannya menekuni berbagai jenis keahlian, kemampuan dan skil bahasa asingnya juga sangat baik, ia menguasai tiga bahasa asing: bahasa Arab, bahasa Inggris, dan bahasa Belanda. Ia terkenal juga sebagai seorang penghafal Al-Quran (Hafidz) yang memiliki lantunan bacaan al-Quran yang khas, pada saat membaca al-Quran setiap orang yang shalat bersamanya sebagai makmum akan terbawa dengan suara khas tersebut. Sering kali membaca ayat yang cukup panjang ketika menjadi imam shalat, akan tetapi menurut para muridnya, walaupun demikian tidak ada yang mengeluh bahkan mereka menikmati irama bacaannya. Salah satu keunikannya yang lain adalah kemampuannya menyesuaikan bacaan shalat dengan tema khutbah Jumat yang disampaikan oleh para penceramah. Karier
Pertempuran dan Perang)
Taktik & Bentuk Perlawanan
kepada masyarakat di depan kantor Karaeng Turikale Kehidupan sosial keagamaanFathul Mu'in Daeng Maggading semasa hidup adalah salah satu tokoh Muhammadiyah pernah menjabat sebagai ketua Muhammadiyah cabang Makassar, pimpinan daerah Muhammadiayah Makassar, dan sekaligus sebagai imam tetap dan pembina Ta'mirul Masājid. Fathul Mu'in Daeng Maggading dikenal dengan paham pemurnian ajaran Islam pascakemerdekaan RI. Fathul Mu'in Daeng Maggading mendefenisikan kata tajdīd sebagai pemurnian, banyak hal yang mendorongnya untuk melakukan pemurnian, diantaranya masalah pudarnya pemahaman ummat Islam akan fungsi utama dari Al-Qur'an dan Al-Sunnah. Selain itu, kondisi sosial seperti kondisi ummat Islam yang dalam masa transisi atau peralihan kebudayaan, dimana ilmu-ilmu Barat sudah menjadi penentu ukuran kebenaran dalam kehidupan, demikian juga dengan politik, dimana Masyumi dibubarkan dan para pemimpin revolusioner disudutkan. Menurutnya hanya ada satu jalan untuk merealisasikan pemurnian ini, yaitu kembali kepada Al-Qur'an dan Al-Sunnah. Ia membagi pemurnian kedalam tiga bagian, yaitu pemurnian dalam bidang aqidah yaitu menjadikan Al-Qur'an dan Al-Sunnah sebagai satu-satunya landasan dalam kehidupan, ibadah yaitu tunduk dan patuh terhadap peraturan-peraturan yang telah disyariatkan dan muamalah yaitu menjadikan Islam sebagai jalan hidup dimana ketiga bentuk pemurnian ini terinspirasi dari surah Al-Fatihah. Pokok ajaran ini pulahlah yang menjadi patokan dasar menjalankan roda organisasi dan dakwah Muhammadiyah. Tidak terkecuali apa yang dilakukan pimpinan cabang Muhammadiyah Makassar tahun 1960, yaitu Fathul Mu'in Daeng Maggading. Ia merupakan salah satu ulama kharismatik pada era tahun 1960an sampai 1980an yang dikenal dengan aktivitas dakwah dan ceramahnya di sebuah masjid yang bernama Ta'mirul Masājid yang berlokasi di Jl. Banda, Kota Makassar. Hidup pada dua periode, orde lama dan orde baru. Masa orde baru di mana aktivis Islam tidak bisa bergerak leluasa karena kungkungan aturan pemerintah, Fathul Mu'in Daeng Maggading dikenal begitu getol menyuarakan pemurnian ajaran Islam walaupun kadang kala harus berselisih pendapat dengan kebijakan-kebijakan pemerintah. Pemuda Muhammadiyah ketika itu sangat membanggakan sosok yang satu ini, karena dianggap sebagai representasi semangat jiwa pemuda Islam yang tidak bisa tersampaikan secara langsung. Pengajian yang diasuhnya di masjid Ta'mirul Masājid sesak dipenuhi pemuda-pemuda Muslim yang semangat menerapkan Islam sebagai jalan hidup. Selain dakwah secara langsung, ia dan pemuda Muhammadiyah juga mendirikan sebuah stasion radio yang dinamakan radio amatir (Radam) atau dikenal dengan radio al-Ikhwan sebagai salah satu corong dakwah. Hal-hal yang mempengaruhi pemikiran Fathul Mu'in Daeng Maggading adalah tradisi intelektual, komunitas, dan kondisi sosial. Pemikiran Fathul Mu'in Daeng Maggading dilatarbelakangi dengan kondisi keberagamaan masyarakat, kebijakan politik pemerintah, dan konflik horizontal antar organisasi. Gerakan pemurnian ajaran Islam oleh Fathul Mu'in Daeg Maggading merupakan salah satu gerakan yang sangat terkenal pada era tahun 1980an di sekitar Makassar. Ia terkenal merupakan ulama yang sangat keras menyuarakan tentang pemurnian Islam. Gerakan pemurnian Islam merupakan fenomena penting dalam perkembangan pemikiran dan gerakan Islam. Ia seringkali muncul, tampaknya secara periodik, dalam situasi mana banyak terjadi penyimpangan baik dalam moral, pemahaman maupun pengalaman agama. Penyimpangan itu dipandang oleh para penganjur purifikasi (pemurnian) sebagai kemerosotan agama dan masyarakat Islam, dan mereka menyatakan bahwa agar agama itu mencapai kejayaan, agama itu sendiri harus dibersihkan dari segala penyimpangan, pengaburan, dan pengotoran yang berjangkit di kalangan umat Islam. Di Indonesia, pemurnian ajaran Islam silih berganti disuarakan dari generasi ke generasi, tidak terkecuali Makassar. Dari beberapa ulama yang melakukan purifikasi (pemurnian) di Sulawesi Selatan yang sangat terkenal adalah Fathul Mu'in Daeg Maggading, akan tetapi sangat disayangkan kematiannya seakan menguburkan segala sumbangsinya dalam bidang ini. Ia merupakan sosok cikal bakal munculnya gerakan-gerakan Islam puritan di kawasan Indonesia Timur yang dimulai dari Makassar. Ini juga memberikan gambaran bahwa perjalanan Islam di Sulawesi Selatan tidak pernah kering dari peran para ulama dan da'i. Pada masa kepemimpinan Fathul Mu'in Daeng Maggading, Muhammadiyah Sulawesi Selatan mencapai kemajuan yang signifikan di berbagai bidang. Pemikiran Fathul Mu'in Daeng Maggading memiliki pengaruh yang cukup luas di wilayah Sulawesi sampai ke Pulau Kalimantan, diantara pengaruhnya yang paling besar adalah terbentuknya beberapa organisasi masyarakat, diantaranya Wahdah Islamiyah di Makassar dan Hidayatullah di Kalimantan Timur. Pendiri Hidayatullah adalah Muhsin Kahar yang kemudian hari mengubah namanya menjadi Abdullah Said, ia adalah salah satu binaan Fathul Mu'in Daeng Maggading di pengkaderan ulama tarjih Muhammadiyah, adapun Wahdah Islamiyah adalah organisasi yang didirikan oleh murid-murid Fathul Mu'in Daeng Maggading di Makassar. Fathul Mu'in Daeng Maggading, kembali fokus membina pengajiannya di Ta'mirul Masajid. Pengajiannya berlangsung hingga ia meninggal dunia pada 18 September 1985. Murid-murid angkatan terakhir yang dibinanya sebelum wafat, itulah yang menjadi cikal bakal pendiri Wahdah Islamiyah. Menjelang Muktamar Muhammadiyah ke-38 di Solo, Fathul Mu'in Daeng Maggading mempermaklumkan kepada murid-murid dan masyarakat secara umum bahwa jika dalam muktamarnya, Muhammadiyah menerima asas tunggal yang diharuskan oleh pemerintah Orde Baru, maka dirinya akan keluar dari Persyarikatan Muhammadiyah. Beberapa hari sebelum pemberangkatan ke Muktamar, Fathul Mu'in Daeng Maggading wafat. Muktamar Muhammadiyah pun memutuskan menerima Pancasila sebagai asas organisasinya. Setelah Fathul Mu'in Daeng Maggading wafat, dan Muhammadiyah berubah asas, murid-murid Fathul Mu'in Daeng Maggading mendirikan Yayasan Fathul Muin. Yayasan tersebut kegiatannya sama dengan Muhammadiyah, melakukan dakwah amar ma'ruf nahi mungkar, dan membina amal usaha. Yayasan inilah yang dikonversi menjadi organisasi sosial keagamaan Wahdah Islamiyah pada tahun 1998. KematianFathul Mu'in Daeng Maggading meninggal dunia pada hari rabu, 18 September 1985 sekitar pukul 14.00 WITA dalam usia 65 tahun dalam perjalanan di Kuri, Kabupaten Maros akibat lelah jasmani. Dalam kisah perjalanannya ke Kuri dimana ia menjemput ajalnya, terjadi sebuah peristiwa yang menakjubkan. Pada pagi hari dengan mengendarai mobil jeep-nya, berangkat untuk mengecek empang (tambak) milik perjuangan. Dalam perjalannya seorang diri dari Ujungpandang ke Maros, ia menyempatkan mampir di rumah besannya di sekitar wilayah Maros, meminta untuk berangkat bersama ke Kuri. Sesampai di Kuri, sejenak mereka berdua istirahat dan menikmati makan siang. Disinilah terjadi peristiwa menakjubkan tersebut. Pada saat menikmati makan siang, pada suapan pertama ia merasakan sesuatu terjadi dalam dirinya dan seketika itu juga menyampaikan perasaannya kepada besannya, dan berkata: “Aku meresakan bahwa Malaikat Maut sudah menjemput”. Dengan perasaan heran sang besan pun menjawab “Jangan berkata demikian ustad”, panggilan akrab kiyai. Tidak lama setelah itu, pada suapan yang kedua, kiyai rebah dan ternyata telah meninggal dunia. Kepada pihak keluarga agar jenazahnya dikuburkan di Taman Makam Pahlawan, karena almarhum pernah aktif dalam perjuangan kemerdekaan dan sampai ia meninggal tercatat sebagai anggota Veteran Kemerdekaan dengan pangkat Mayor. Tawaran pemerintah ini ditolak oleh keluarga, dengan alasan amanah. Sebelum meninggal kiyai meninggalkan wasiat untuk dimakamkan di pemakaman umum. Jenazah Fathul Mu'in Daeng Maggading dimakamkan pada keesokan harinya pada pukul 09.00 WITA di Tempat Pemakaman Umum Maros, Sulawesi Selatan. Karya dan Peninggalan
Penghormatan dan Tanda JasaKeterlibatan Fathul Mu'in Daeng Maggading dalam perjuangan merebut kembali kemerdekan diapresiasi oleh pemerintah dengan penganugrahan pangkat militer Mayor kepadanya. Referensi
|