Hamengkubuwana II
Sri Sultan Hamengkubuwana II (bahasa Jawa: ꦲꦩꦼꦁꦏꦸꦨꦸꦮꦤ꧇꧒꧇, 7 Maret 1750 – 3 Januari 1828) adalah raja kedua Kesultanan Yogyakarta yang memerintah selama tiga periode, yaitu 1792 – 1810, 1811 – 1812, dan 1826 – 1828.[2] Pada pemerintahan yang kedua dan ketiga ia dikenal dengan julukan Sultan Sepuh.[3] Masa jabatannya yang kedua adalah yang paling singkat dalam sejarah Kesultanan Yogyakarta. Riwayat Masa MudaNama aslinya adalah Gusti Raden Mas Sundara, putra kelima Sultan Hamengkubuwana I dari permaisuri Gusti Kangjeng Ratu Hageng/GKR Kadipaten.[1] Beliau dilahirkan tanggal 7 Maret 1750 ketika ayahnya Pangeran Mangkubumi melakukan pemberontakan terhadap Mataram dan VOC. Ketika kedaulatan Hamengkubuwana I mendapat pengakuan dalam perjanjian Giyanti tahun 1755, Raden Mas Sundara juga ikut diakui sebagai adipati anom. Pada tahun 1774 (atau tahun Jawa 1700), terjadi kegelisahan di kalangan Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta akibat mitos akhir abad, bahwa akan ada sebuah kerajaan yang runtuh. Dalam kesempatan itu, Raden Mas Sundara menulis kitab Suryaraja yang berisi ramalan bahwa mitos akhir abad akan gugur karena Surakarta dan Yogyakarta akan bersatu di bawah pemerintahannya. Naskah tersebut sampai saat ini dikeramatkan sebagai salah satu pusaka Keraton Yogyakarta, dengan nama Kangjeng Kyai Suryaraja. PemerintahanPada 24 Maret 1792, sang ayah, yaitu Hamengkubuwana I wafat. Raden Mas Sundara diangkat menjadi raja dengan gelar Hamengkubuwana II. Ia dikenal sebagai raja yang keras dan anti terhadap Belanda. Oleh karena itu, masa pemerintahannya menjadi salah satu periode pemerintahan yang penuh pergolakan. Konflik-konflik para putra Mangkubumi dan orang-orang Eropa menghiasi jalannya pemerintahan.[4] Hamengkubuwana II menolak dengan tegas campur tangan pihak asing, baik Belanda maupun Inggris. Ia menganggap Belanda sebagai sebuah kekuatan yang harus diperlakukan dengan hati-hati. Situasi semakin rumit ketika ia mengganti sebagian penasihat raja pada masa Hamengkubuwana I. Salah satu orang yang ditunjuk adalah Patih Danureja II, cucu Patih Danureja I. Sebuah keputusan yang merugikan keraton karena sang patih justru berbalik mendukung Belanda.[4] Pemerintahan Periode PertamaSejak tahun 1808 Herman Wilem Daendels menjadi Gubermur Jenderal Hindia Belanda. Daendels dikenal sebagai gubernur jenderal yang anti feodalisme. Ia menerapkan aturan baru tentang sikap yang seharusnya dilakukan raja-raja Jawa terhadap minister (istilah baru untuk residen ciptaan Daendels) seperti minister berhak memakai simbol-simbol kekuasaan serta kebesaran seperti yang dipakai oleh raja-raja Jawa di dalam keraton. Minister juga tidak perlu melakukan aturan menurut tradisi Jawa yang merendahkan martabatnya seperti melepas topi, bersila dan duduk lebih rendah dari raja atau mempersembahkan sirih dan tuak kepada raja Jawa. Selain itu, Daendels memerintahkan agar segera menggantikan peraturan tata upacara lama dengan yang baru di keraton Jawa.[5] Hamengkubuwana II menolak mentah-mentah peraturan ini karena dianggap merendahkan derajatnya. Sedangkan Pakubuwana IV menerima dengan taktik tersembunyi, yaitu harapan bahwa Belanda akan membantu Surakarta menaklukkan Yogyakarta. Hamengkubuwana II juga bersitegang dengan Patih Danureja II yang dekat dengan Belanda. Ia memecat Danureja II dan menggantinya dengan Pangeran Natadiningrat, putra Pangeran Natakusuma (adik Hamengkubuwana II). Kemudian Hamengkubuwana II juga merestui pemberontakan menantunya, yaitu Raden Rangga Prawiradirjo III (Raden Ronggo), bupati wedana Madiun yang menentang pemanggilan dirinya ke Bogor akibat kasus kerusuhan di Ngebel dan Sekedok, berkaitan dengan pemaksaan penyerahan hak pengelolaan hutan kesultanan oleh Daendels. Belanda akhirnya menumpas pemberontakan Raden Ronggo dengan pasukan gabungan antara Belanda, Surakarta, dan Yogyakarta. Daendels semakin mencurigai peran Hamengkubuwana II di balik gerakan Raden Rangga, apalagi dari surat yang diambil sebagai barang bukti dari jasad Raden Rangga terdapat cap berlogo kesultanan. Hal ini menyebabkan keributan antara kedua pihak. Sultan tmenolak tuduhan itu karena cap kesultanan sehari-hari berada di kantor patih. Pada bulan Desember 1810, Daendels menyerbu Kesultanan Yogyakarta dan menaklukkannya.[butuh rujukan] Akibat penaklukan Kesultanan Yogyakarta, Hamengkubuwana II diturunkan dari tahtanya oleh Daendels. Kedudukan Hamengkubuwana II kemudian digantikan oleh putranya yang ditetapkan oleh Daendels sebagai Wali Raja. Putra Hamengkubuwana II yang ditetapkan sebagai raja ialah GRM Suraja sebagai Sultan Hamengkubuwana III.[6] Daendels juga menangkap Pangeran Natakusuma dan Natadiningrat, serta mengembalikan kedudukan Patih Danureja II. Pemerintahan Periode KeduaPada tahun 1811 pemerintahan Belanda atas Jawa dan Nusantara direbut oleh Inggris. Hal ini dimanfaatkan Hamengkubuwana II untuk kembali menjadi raja, dan menurunkan Hamengkubuwana III sebagai putra mahkota kembali. Tak hanya itu, Sultan juga berinisiatif menyingkirkan Danureja II yang dianggap sebagai biang keladi masalah yang dihadapi sultan dengan Daendels. Pada September 1811, Danureja II dibunuh di depan Sitihinggil atas perintah sultan ketika hendak menghadiri rapat di keraton. Sikap Hamengkubuwana II terhadap Inggris sama buruknya dengan sikapnya terhadap Belanda. Terutama pada putranya, Mas Suraja, sikap sultan bisa dibilang amat keras, mengingat putranya tersebut dianggap turut berperan dalam menyingkirkan dirinya dari singgasana kesultanan tahun 1810. Pembersihan besar-besaran yang dilakukan sultan setelahnya, bahkan nyaris mengancam keselamatan jiwa sang putra mahkota. Dengan Inggris, tercatat nyaris terjadi pertumpahan darah antara utusan Raffles dengan kerabat keraton di depan Sultan, hanya akibat kursi untuk Raffles diletakkan lebih rendah dari singgasana Sultan, sewaktu wakil gubernur Inggris tersebut hendak mengunjungi Yogyakarta bulan Desember 1811. Pakubuwana IV di Surakarta pura-pura mendukung Hamengkubuwana II agar berani memerangi Inggris. Surat-menyurat antara kedua raja ini terbongkar oleh Inggris. Maka, pada tanggal 19 Juni 1812, pasukan Inggris yang dibantu Mangkunegaran menyerbu Yogyakarta. Terjadi perang besar yang berakhir dengan kekalahan kesultanan. Hamengkubuwana II ditangkap dan dibuang ke pulau Penang, sedangkan Pakubuwana IV dirampas sebagian wilayahnya. Hamengkubuwana III kembali diangkat sebagai raja Yogyakarta. Pangeran Natakusuma, yang mendukung Inggris, diangkat oleh Thomas Raffles sebagai Paku Alam I dan mendapat wilayah berdaulat bernama Pakualaman. Pemerintahan Periode KetigaPada tahun 1825 terjadi perlawanan Pangeran Diponegoro (putra Hamengkubuwana III) terhadap Belanda (yang kembali berkuasa sejak tahun 1816). Saat itu raja yang bertahta di Yogyakarta adalah Hamengkubuwana V, yang bertahta menggantikan ayahnya tahun 1823 saat dirinya masih berumur 3 tahun. Perlawanan Pangeran Diponegoro sangat mendapat dukungan dari rakyat. Pemerintah Hindia Belanda mencoba mengambil simpati rakyat dengan mendatangkan Hamengkubuwana II yang dulu dibuang Inggris. Hamengkubuwana II kembali bertahta pada 18 Agustus 1826, sedangkan Hamengkubuwana V agak disingkirkan oleh Belanda. Kedatangan sultan sebagai penguasa Yogyakarta terbukti sedikit banyak melemahkan kekuatan Diponegoro, mengingat kepopulerannya semasa masih menjabat sebelum dibuang ke Penang tahun 1812. Pada masa itu, sultan berusaha keras menertibkan keadaan dan mengembalikan keamanan di wilayahnya, meskipun dihimpit oleh tuntutan-tuntutan Belanda dalam rangka memadamkan Perang Diponegoro. Beberapa tokoh penting keraton berhasil dibujuk pulang ke Yogyakarta, namun demikian, sultan sendiri tidak pernah berniat serius untuk membujuk Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi, putranya, untuk menghentikan perlawanan. Belanda mencurigai tindakan sultan ini sebagai dukungan terselubung terhadap perlawanan Diponegoro. WafatSultan Hamengkubuwana II yang sudah tua (dan dipanggil sebagai Sultan Sepuh), akhirnya mangkat pada tanggal 3 Januari 1828 setelah menderita sakit radang tenggorokan dan akibat usia tua. Pemerintahan kembali dipegang oleh cicitnya, yaitu Hamengkubuwana V. Berbeda dari penguasa-penguasa Kesultanan Yogyakarta lainnya, jenazah Hamengkubuwana II tidak dimakamkan di Imogiri, melainkan di kompleks pemakaman Kotagede. Hal ini terjadi karena pertimbangan keamanan. Jalur perjalanan ke Imogiri kala itu dikuasai oleh kubu Pangeran Diponegoro. KeluargaHamengkubuwana II memiliki 4 permaisuri (bahasa Jawa: garwa dalem):
Di samping permaisuri, Hamengkubuwana II juga memiliki 27 selir (bahasa Jawa: garwa ampeyan):
Buku bacaan
Referensi
|