Arya
"Arya"[1] adalah sebutan yang diberikan kepada orang Indo-Iran.[catatan 1] Istilah ini digunakan oleh bangsa Indo-Arya pada periode Weda di India sebagai nama etnisnya sendiri dan kemudian merujuk pada status sosial dan wilayah geografis yang diberi nama Āryāvarta, tempat kebudayaan bangsa Indo-Arya berada (di daerah tersebut).[2][3] Orang bangsa Iran juga menggunakan nama Arya untuk menyebut dirinya sendiri dalam kitab-kitab suci Avesta, dan kata tersebut menjadi sumber etimologis nama Iran.[4][5][6][7] Pada abad ke-19, diyakini bahwa orang "ras Arya" sering digunakan untuk merujuk bangsa Proto-Indo-Eropa, tetapi teori tersebut kini ditinggalkan.[8] Sarjana kelak hanya dapat menunjukkan bahwa "Arya" berkait dengan agama, budaya, dan bahasa, bukan ras.[9][10][11] Pada awalnya, istilah ini bermula dari misinterpretasi Regweda oleh sarjana Barat pada abad ke-19. Kala itu, kata "Arya" diadopsi sebagai ras melalui karya-karya Arthur de Gobineau, yang ideologinya berdasarkan pada orang berambut pirang Eropa Utara disebut sebagai "Arya", yang bermigrasi ke seluruh dunia dan mendirikan peradaban besar, sebelum terjadinya percampuran ras dengan populasi lokal. Melalui karya-karya Houston Stewart Chamberlain, ide-ide Gobineau kemudian mempengaruhi ideologi rasial Nazi yang menganggap "bangsa Arya" sebagai "ras unggul". [12] Sejak saat itu, kekejaman ideologi rasial mendorong para akademisi menghindari istilah "Arya", sehingga diganti dengan "Indo-Iran". EtimologiKata Arya berasal dari kata bahasa Sanskerta ārya, [8] आर्य, pada abad ke-18[5][7] dan mulanya dianggap sebagai sebutan untuk semua orang bangsa Indo-Eropa.[13][14] Asal usulFilolog J.P. Mallory berpendapat bahwa "Sebagai nama sebuah etnis, kata [Arya] paling tepat digunakan untuk menyebut orang Indo-Iran, dan mengilhami namanya sebagai sebuah negara, Iran.[4] Bahasa SanskertaDalam literatur Weda awal, istilah Āryāvarta (bahasa Sanskerta: आर्यावर्त, wilayah Arya) adalah nama yang diberikan kepada India utara, tempat budaya Indo-Arya berada. Manusmeṛti (2.22) menyebut nama Āryāvarta untuk "daerah yang terletak di antara Pegunungan Himalaya dan Pegunungan Vindhya, serta membentang dari Timur (Teluk Benggala) hingga Laut Barat (Laut Arab)".[2][16] Awalnya istilah ini digunakan sebagai nama untuk merujuk ke bangsa yang menyembah dewa-dewa dalam Weda (terutama Indra) dan mengikuti budaya Weda (misalnya upacara korban yadnya).[5][17] Bahasa Proto-Indo-IranKata arya dalam bahasa Sanskerta diturunkan dari bahasa proto-Indo-Iran *arya- [8][catatan 1][18][19] atau *aryo-,[20][catatan 2] nama yang digunakan bangsa Indo-Iran untuk menyebut dirinya sendiri.[21][8][catatan 3][20] Kata Zend airya 'terhormat' dan Persia Kuno ariya juga merupakan turunan dari *aryo-, [20] dan juga merupakan penunjukan diri.[5][22] [catatan 4] Dalam rumpun bahasa Iran, penanda diri tersebut juga ada dalam nama etnis seperti "Alan" dan "Iron".[24] Demikian pula, nama Iran adalah kata dalam bahasa Persia untuk tanah/tempat Arya tinggal.[25] Bahasa Pra-Proto-Indo-IranKata dalam bahasa Proto-Indo-Iran ini dihipotesiskan diturunkan dari bahasa proto-Indo-Eropa,[18][19] sedangkan menurut Szemerényi kata tersebut merupakan serapan Timur Dekat dari bahasa Ugarit ary, "kerabat/saudara". [26] Telah dipostulatkan bahwa akar kata Proto-Indo-Eropa adalah *haerós dengan arti "anggota-anggota suatu suku, teman sebaya, orang bebas" serta arti Indo-Iran dari Arya. Dari kata yang sudah direkonstruksi tersebut, diturunkan kata-kata:[27]
Kata *haerós sendiri diyakini berasal dari akar *haer- yang berarti "disatukan". Makna asli dalam bahasa Proto-Indo-Eropa memiliki penekanan yang jelas pada "status dalam kelompok" yang berbeda dengan orang luar, terutama mereka yang ditangkap dan diperbudak. Sementara di Anatolia, kata dasarnya telah menekankan hubungan pribadi, dalam bahasa Indo-Iran kata tersebut memiliki makna yang lebih etnis.[27] Tinjauan gagasan dan permasalahan lainnya masing-masing dibeberkan oleh Oswald Szemerényi.[19] PenggunaanPenggunaan dalam akademik
Penggunaan kontemporerNazisme dan supremasi kulit putihSelama abad ke-19 diusulkan bahwa "Arya" merujuk pada bangsa Proto-Indo-Eropa.[8] Berdasarkan spekulasi bahwa tanah air bangsa Proto-Indo-Eropa terletak di wilayah Eropa utara, hipotesis abad ke-19 yang kini ditinggalkan, makna kata tersebut bergeser menjadi rasis. [8] Nazi Jerman menggunakan kata "Arya" untuk menyebut suatu ras manusia. Petinggi Nazi Alfred Rosenberg percaya bahwa ras Nordik merupakan keturunan Proto-Arya, yang ia yakini tinggal di dataran Jerman Utara pada zaman prasejarah dan dianggap berasal dari benua yang hilang, Atlantis.[29] Menurut teori rasial Nazi, kata "Arya" merujuk pada orang suku bangsa Jermanik.[30] Akan tetapi, definisi mengenai "Arya" yang sesungguhnya tetap menjadi perdebatan selama Nazi Jerman berjaya.[31] Nazi menganggap "Arya yang murni dan ideal secara fisik" adalah "ras Nordik", dikenal sebagai "ras unggul" selama pemerintahan Nazi Jerman.[catatan 5] Meskipun ciri-ciri fisik yang diinginkan oleh Nazi adalah orang Nordik yang tinggi, berambut pirang, dan bermata biru, pada kenyataannya ahli teori ras membuktikan bahwa ada banyak variasi warna rambut dan mata dalam kategori ras yang mereka ketahui. Sebagai contoh, Adolf Hitler dan banyak pejabat Nazi berambut hitam dan masih dianggap sebagai anggota ras Arya di bawah doktrin ras Nazi, karena penentuan jenis ras individu bergantung pada dominannya banyak ciri dalam individu daripada hanya pada satu ciri.[33] Pada September 1935, Nazi mengesahkan Undang-undang Nuremberg. Semua warga yang disebut "Arya" wajib membuktikan leluhur "Arya" mereka, caranya adalah mendapatkan Ahnenpass dengan memberikan bukti berupa akta pembaptisan bahwa keempat kakek-neneknya adalah keturunan "Arya".[34] Pada bulan Desember 1935, Nazi mendirikan Lebensborn untuk menangkal penurunan angka kelahiran Arya di Jerman, dan untuk mempromosikan egenetika Nazi.[35] Penggunaan dan adaptasi dalam bahasa lainDalam sastra bahasa SanskertaDalam bahasa Sanskerta dan bahasa berumpun Indo-Arya yang berkaitan, ārya berarti "manusia yang melakukan perbuatan yang mulia; orang yang dimuliakan". Āryāvarta "wilayah ārya" adalah nama umum untuk India Utara dalam literatur Sanskerta. Manusmeṛti (2.22) menyebut Āryāvarta sebagai "daerah antara Pegunungan Himalaya dan Pegunungan Vindhya, dari Laut Timur ke Laut Barat".[36] Gelar ārya digunakan dengan berbagai tujuan dan variasi di seluruh anak benua India. Kharavela, Kaisar Kalinga pada abad ke-2 SM, disebut sebagai ārya di prasasti Hathigumpha dari Gua Udayagiri dan Khandagiri di Bhubaneswar, Odisha. Penguasa Gurjara-Pratihara pada abad ke-10 bergelar "Maharajadhiraja dari Āryāvarta".[37] Agama-agama India lainnya, terutama Hindu, Jainisme, dan Buddha, menggunakan istilah ārya sebagai gelar kehormatan; penggunaan serupa ditemukan dalam nama gerakan agama baru Arya Samaj. Dalam Ramayana dan Mahabharata, ārya digunakan sebagai simbol penghormatan bagi banyak tokoh di dalamnya termasuk Hanoman . Dalam literatur bahasa Avesta dan PersiaTak seperti makna-makna yang berkait dengan ārya- dalam bahasa Indo-Aryan Kuno, istilah bahasa Persia Kuno hanya memiliki makna etnis.[38][39] Hal ini bertentangan dengan penggunaan Indo-Arya, yang pada saat itu mulai muncul makna kedua, makna ar- sebagai penanda diri masih dipertahankan, termasuk kata "Iran". Kata airya berarti "Orang Iran", sedangkan anairya [22][40] berarti "orang bukan Iran". Arya juga merupakan nama suku dalam bahasa-bahasa Iran, misal, Alan dan kata bahasa Persia Iran serta bahasa Ossetian Ir/Iron[40] Nama tersebut ekuivalen dengan Arya, dengan Iran berarti "tanah Arya,"[22][39][40][41][42][43][44] dan sudah digunakan sejak zaman Kerajaan Sasaniyah.[42][43] Kitab Avesta jelas menggunakan airya/airyan sebagai nama etnis (Vd. 1; Yt. 13.143-44, dll.). Kata ini muncul dalam beberapa ungkapan seperti airyāfi; daiŋˊhāvō "tanah dan rakyat Iran", airyō.šayanəm "tanah yang dihuni orang Iran", dan airyanəm vaējō vaŋhuyāfi; dāityayāfi; "Hamparan Iran yang membentang dari Dāityā", atau sungai Oxus, sekarang Āmū Daryā.[39] Sumber-sumber Persia kuno juga menggunakan istilah ini untuk menyebut Iran. Bahasa Persia Kuno yang merupakan bukti kuno bahasa Persia dan bahasa terkait dengan sebagian besar bahasa/dialek yang digunakan di Iran modern termasuk Persia modern, bahasa Kurdi, Balochi, dan Gilaki menjelaskan bahwa orang Iran menyebut diri mereka sebagai Arya. Istilah "Airya/Airyan" muncul dalam prasasti kerajaan Persia kuno dalam tiga konteks yang berbeda:
Sebagai contoh dalam Dna dan Dse Darius dan Ahasyweros menggambarkan diri mereka sebagai "Wangsa Akhemeniyah, putra orang Persia dan Arya".[45] Meskipun Darius yang Agung menyebut bahasanya bahasa Arya,[45] sarjana modern menyebutnya sebagai Persia Kuno [45] karena merupakan nenek moyang bahasa Persia modern.[46] Bukti-bukti bahasa Persia Kuno dan bahasa Avesta juga ada dalam berita-berita Yunani Kuno.[39] Herodotos dalam Historia-nya berkomentar tentang Media Iran bahwa: "Bangsa Mede ini disebut kuno oleh semua orang Arian;" (7,62).[22][39][40] Dalam berita-berita Armenia, bangsa Parthia, Mede, dan Persia secara kolektif disebut sebagai Arya.[47] Eudemus dari Rhodes apud Damascius (Dubitationes et solutiones in Platonis Parmenidem 125 bis) merujuk pada "orang Majus dan semua orang dari garis keturunan Iran (áreion)"; Diodorus Siculus (1.94.2) menganggap Zarathustra (Zathraustēs) sebagai salah satu Arianoi.[39] Strabo, dalam Geographika, menyebut bahwa ada satu kesatuan dalam bangsa Mede, Persia, Baktria, dan Sogdia:[41]
Prasasti tribahasa yang ditulis atas prakarsa Shapur memberikan sebuah gambaran yang jelas. Bahasa yang digunakan adalah Parthia, Persia Pertengahan, dan Yunani. Dalam bahasa Yunani, prasasti tersebut menuliskan: "ego ... tou Arianon despotes eimi etnous" yang berarti "Aku adalah raja Arya". Dalam bahasa Persia Pertengahan Shapour tertulis: "Aku adalah raja EranShahr" dan di Parthia tertulis: "Aku adalah raja AryanShahr".[42][48] Prasasti berbahasa Baktria (bahasa Iran Pertengahan) tentang Kanishka Agung, pendiri Kekaisaran Kushan di Rabatak, yang ditemukan pada tahun 1993 di sebuah situs yang tidak digali di provinsi Afghanistan, Baghlan, dengan jelas menyebut bahasa Iran Timur ini sebagai Arya.[49][50] Di era pasca-Islam orang masih dapat melihat penggunaan yang jelas dari istilah Arya (Iran) dalam karya sejarawan abad ke-10 Hamzah al-Isfahani. Dalam bukunya yang terkenal Taʾrīk̲h̲ sinī mulūk al-arḍ wa ’l-anbiyā, al-Isfahani menulis, "Orang Arya yang juga disebut Pars tinggal di tengah-tengah negara-negara ini dan keenam negara mengelilinginya, dengan tenggara adalah Cina (Tiongkok), utara adalah Turki, selatan-tengah adalah India, utara-tengah adalah Roma (Romawi), serta barat daya dan barat laut adalah tanah Sudan dan Berber".[51] Bukti-bukti ini menunjukkan bahwa nama arya "Iran" adalah definisi kolektif, yang menunjukkan nama orang (Geiger, hlm. 167f.; Schmitt, 1978: 31) yang mengakui sebagai satu kelompok etnis, berbicara dalam bahasa yang sama, dan memiliki tradisi keagamaan yang berpusat pada Ahura Mazdā.[39] Dalam rumpun bahasa Iran, penanda diri Arya juga terdapat dalam nama suku bangsa seperti "Suku Alan/Iron".[40] Demikian pula, kata Iran adalah kata Persia untuk tanah/tempat Arya.[25] Dalam sastra LatinKata Arianus merujuk pada Ariana,[52] suatu kawasan yang terdiri dari India Barat Laut, Afghanistan, Iran, dan Pakistan.[53] Pada tahun 1601, Philemon Holland menggunakan 'Arianes' dalam terjemahan untuk bahasa Latin Arianus untuk menunjuk penduduk Ariana. Kata ini adalah penggunaan pertama dari kata Arian dalam bahasa Inggris.[54][55][56] Pada tahun 1844, James Cowles Prichard pertama kalinya menyebut orang-orang India dan Iran sebagai "Arian" di bawah asumsi yang salah bahwa orang-orang Iran dan orang-orang India menyebut diri mereka sendiri Aria. Orang Iran memang menggunakan bentuk Airya sebagai sebutan untuk Arya, tetapi Prichard telah salah mengira Aria (berasal dari Persia kuno Haravia) sebagai "Arya" dan menghubungkan Aria dengan nama tempat Ariana (Avesta Airyana), tanah air bangsa Arya.[57] Bentuk Aria sebagai sebutan "Arya", bagaimanapun juga, hanya dipertahankan dalam bahasa Indo-Arya. Dalam bahasa EropaKata "Arya" dahulu digunakan sebagai istilah untuk menyebut bahasa-bahasa berumpun Indo-Eropa yang baru ditemukan, serta penutur asli bahasa-bahasa itu. Pada abad ke-19, "bahasa" dianggap sebagai identitas suatu "etnis", dan dengan demikian penutur bahasa Indo-Iran atau Indo-Eropa disebut "ras Arya", sebagaimana halnya "ras Semitik". Pada akhir abad ke-19, di antara beberapa orang, gagasan "ras Arya" sangat berkaitan erat dengan Nordikisme, yang mengunggulkan ras Eropa Utara atas semua bangsa lain. Cita-cita "ras unggul" ini menghasilkan konsep "Aryanisasi" dari Nazi Jerman, dengan pemisahan "Arya" dan "non-Arya" berujung pada pengucilan orang Yahudi.[58][catatan 6] Pada akhir Perang Dunia II, kata 'Arya' telah dikaitkan oleh banyak orang dengan ideologi rasial dan kekejaman yang dilakukan oleh Nazi . Gagasan Barat tentang "ras Arya" menjadi terkenal dalam rasisme pada akhir abad ke-19 dan awal-ke-20, sebagai ide yang dianut Nazisme. Nazi percaya bahwa "bangsa Nordik" (yang juga disebut sebagai "bangsa Jermanik") mewakili "ras unggul, ideal, dan murni" serta merupakan representasi paling murni sebuah ras asli yang kemudian disebut Proto-Arya.[59] Partai Nazi menyatakan bahwa "orang Nordik" adalah Arya yang benar-benar Arya karena mereka mengklaim bahwa mereka lebih "murni" (tidak ada percampuran antarras) daripada pernyataan orang lain berkaitan dengan "orang Arya".[60] SejarahSebelum abad ke-19Meski makna aslinya dalam bahasa Indo-Iran *arya sebagai penanda diri sudah tidak diragukan lagi, asal usul kata (dan makna yang sesungguhnya) masih diragukan.[catatan 7] Kata Indo-Iran ar adalah suku kata yang ambigu asal muasal katanya, apakah dari akar Indo-Eropa, ar- er-, atau or-. [22] Sampai saat ini tidak ditemukan bukti nama etnis bangsa Proto-Indo-Eropa, berbeda dengan Indo-Iran yang nama "Arya"-nya sudah ditemukan. Kata ini digunakan oleh Herodotus, merujuk pada bangsa Mede di Iran yang ia gambarkan sebagai orang-orang yang "pernah dikenal secara umum sebagai Arya". [61] Arti 'Arya' yang dimasukkan ke dalam kosakata Inggris pada akhir abad ke-18 berkaitan dengan istilah teknis yang digunakan dalam filologi komparatif, yang pada gilirannya memiliki arti yang sama seperti yang terbukti dalam penggunaan dalam bahasa Indo-Arya Kuno tertua, yaitu sebagai penanda diri dari "(penutur) bahasa Indo-Arya".[56][catatan 8] Penggunaan ini juga dipengaruhi oleh kata yang muncul dalam sumber-sumber klasik Eropa (Latin dan Yunani kuno Ἀριάνης Arianes, misalnya dalam Plinia 1.133 dan Strabo 15.2.1–8), dan diyakini sama dengan yang muncul dalam bahasa berumpun Iran yang masih hidup, sebagai penanda diri dari "(penutur) bahasa Iran". Oleh karena itu, 'Arya' digunakan untuk merujuk pada bahasa-bahasa berumpun Indo-Iran, sekaligus penutur asli dari bahasa-bahasa itu.[62] Bahasa AvestaKata Arya digunakan dalam naskah berbahasa Persia kuno, misalnya dalam prasasti Behistun dari abad ke-5 SM, kala raja-raja Persia Darius Agung dan Ahasyweros digambarkan sebagai "Arya dari Arya" (arya arya chiça). Prasasti itu juga menyebut dewa Ahura Mazda sebagai "dewa Arya", dan bahasa Persia kuno sebagai "bahasa Arya". Dalam pengertian ini, kata itu tampaknya merujuk pada budaya elite Iran kuno, termasuk aspek linguistik, budaya, dan agama.[61][63] Kata ini juga memiliki tempat terpuji dalam agama Majusi dengan "tanah Arya" (Airyana Vaejah) digambarkan sebagai tanah air mitologis rakyat Iran dan sebagai pusat dunia. [64] Bahasa Sanskerta WedaKata Arya disebutkan 36 kali dalam 34 himne Regweda . Menurut Talageri (2000, The Rig Veda: A Historical Analysis): "orang Arya Weda dalam Regweda kemungkinan merupakan bagian dari suku Purus, yang menamakan diri mereka sebagai Bharata." Dengan demikian, mungkin, menurut Talageri, bahwa Arya mengacu pada suku bangsa tertentu. Sementara kata tersebut pada akhirnya mungkin berasal dari nama suku, dalam Regweda muncul sebagai perbedaan sifat-sifat religius, memisahkan mereka yang berupaya menegakkan "kebenaran" dari yang tidak sebagaimana agama Weda menyebutnya, yang kelak penggunaannya dalam agama Hindu menunjukkan kebenaran atau kesalehan agama. Dalam Regweda 9.63.5, ârya "mulia, saleh, benar" digunakan sebagai lawan kata árāvan "tidak liberal, iri, bermusuhan":
Epos bahasa SanskertaArya dan Anarya banyak digunakan sebagai arti moral dalam Epos Hindu. Orang-orang biasanya disebut Arya atau Anarya berdasarkan perilaku mereka. Arya adalah orang yang mengikuti Dharma.[65] Ini secara historis berlaku untuk setiap orang yang tinggal di mana saja di Bharata Varsha atau India raya.[butuh rujukan] Menurut Mahabharata, perilaku dan ketakwaan manusia (bukan kekayaan atau pembelajaran) menentukan apakah ia dapat disebut Arya.[66][67] Penggunaan religiusKata ārya sering ditemukan dalam naskah-naskah suci Hindu, Buddha, dan Jaina. Dalam konteks spiritual India, ungkapan ini digunakan oleh resi atau seseorang yang telah menguasai empat kebenaran dan memasuki jalan spiritual. Menurut Nehru, agama-agama India dapat disebut sebagai ārya dharma, sebuah istilah yang mencakup agama-agama yang berasal dari India (misalnya Hindu, Buddha, Jainisme, dan mungkin Sikh).[68] Hinduisme
Menurut filsuf Swami Vivekananda, “Seorang anak yang lahir secara jasmani bukanlah Arya; sedangkan anak yang lahir secara rohani adalah Arya.” Ia lebih lanjut menjelaskan, merujuk pada Manusmerti: “Menurut pemberi hukum kita yang agung, Manu (leluhur manusia), memberikan pengertian apa itu Arya, 'Dia adalah Arya, yang dilahirkan dengan doa.' Setiap anak yang tidak didoakan setelah dilahirkan dianggap anak haram, menurut pemberi hukum yang agung; anak itu harus didoakan. Anak-anak yang datang dengan kutukan, yang tiba-tiba menyelinap hidup ke dunia, karena tidak dapat dicegah – apa yang bisa kita harapkan dari keturunan semacam itu? ... " (Swami Vivekananda, Complete Works vol. 8) Swami Dayananda mendirikan gerakan agama baru berdasarkan Dharma, Arya Samaj, pada tahun 1875. Sri Aurobindo menerbitkan jurnal yang menggabungkan nasionalisme dan spiritualisme dengan judul Arya dari tahun 1914 hingga 1921. BuddhaKata ārya (bahasa Pāli: ariya ), dalam artian "mulia" atau "ditinggikan", sangat banyak digunakan dalam naskah-naskah Buddhis untuk menyebut seorang pejuang spiritual atau pahlawan, yang penggunaannya lebih banyak daripada naskah-naskah Hindu atau Jaina. Dharma dan Vinaya Buddha disebut sebagai ariyassa dhammavinayo. Empat Kebenaran Mulia disebut catvāry āryasatyāni (Sanskerta) atau cattāri ariyasaccāni (Pali). Jalan Mulia Berunsur Delapan disebut āryamārga (Sanskerta, juga āryāṣṭāṅgikamārga) atau ariyamagga (Pāli). Dalam naskah-naskah Buddhis, ārya pudgala (Pali: ariyapuggala, "orang mulia") adalah mereka yang telah memenuhi śīla Buddhis (Pāli sīla, yang berarti "kebajikan") dan telah mencapai tingkat kemajuan spiritual tertentu di jalan Buddhis, terutama satu dari empat tingkat pencerahan atau dalam Buddhisme Mahayana, tingkat bodhisatwa (bhumi). Yang membenci agama Buddha disebut "anārya". JainismeKata ārya juga muncul dalam Jainisme, dalam kitab suci Jain seperti Pannavanasutta. Abad ke-19Pada abad ke-19, ahli bahasa masih mengira bahwa umur suatu bahasa menentukan "keunggulannya" (karena dianggap memiliki kemurnian genealogi). Kemudian, berdasarkan pada asumsi bahwa bahasa Sanskerta adalah bahasa Indo-Eropa tertua, dan pernyataan (sekarang sudah dicabut)[69] bahwa Éire di Irlandia secara etimologis berkaitan dengan kata "Arya", pada tahun 1837 Adolphe Pictet memperkenalkan gagasan bahwa istilah "Arya" juga dapat diterapkan untuk seluruh rumpun bahasa Indo-Eropa. Peletakan landasan pemikiran semacam ini telah dilakukan oleh Abraham Hyacinthe Anquetil-Duperron.[70] Secara khusus, sarjana Jerman Karl Wilhelm Friedrich Schlegel menerbitkan teori pertama yang mengaitkan rumpun bahasa Indo-Iran dengan bahasa Jermanik sebagai "kelompok Arya" pada tahun 1819.[32][71] Pada tahun 1830 Karl Otfried Müller menggunakan kata "Arier" dalam terbitannya.[72] Teori invasi AryaDengan menerjemahkan naskah Regweda pada tahun 1840-an, ahli bahasa Jerman Friedrich Max Muller menemukan apa yang ia yakini sebagai bukti invasi kuno India oleh sekelompok Brahmana, Ksatriya, dan Waisya (warna Hindu) yang ia gambarkan sebagai "Arya". Muller dengan hati-hati mencatat dalam karyanya kelak bahwa ia akan berpikir Arya adalah kategori linguistik dan bukan ras. Namun, para sarjana justru menggunakan teori invasi Muller untuk mengusulkan dalam pandangannya sendiri adanya penaklukan ras melalui Asia Selatan dan Samudra Hindia. Pada tahun 1885, polimatik Selandia Baru Edward Tregear berpendapat bahwa "gelombang invasi Arya" telah menghantam India dan terus mendorong ke selatan, melalui pulau-pulau di kepulauan India Timur, mencapai pantai yang jauh di Selandia Baru. Para ahli seperti John Batchelor, Armand de Quatrefages, dan Daniel Brinton memperluas teori invasi ini ke Filipina, Hawaii, dan Jepang, mengidentifikasi penduduk setempat yang mereka percayai adalah keturunan penakluk Arya awal.[73] Pada tahun 1850-an Arthur de Gobineau menduga bahwa "Arya" sesuai dengan budaya prasejarah Indo-Eropa yang dirumuskan (1853–1855, Essay on the Inequality of the Human Races). Lebih jauh, de Gobineau percaya bahwa ada tiga ras dasar manusia—kulit putih, kuning, dan hitam—dan bahwa ras yang lainnya muncul disebabkan oleh amalgamasi ras, yang menurut de Gobineau adalah penyebab kekacauan ras. "Ras unggul", menurut de Gobineau, adalah "Arya" Eropa Utara, yang dianggap "ras murni". Orang Eropa Selatan (termasuk orang Spanyol dan Prancis Selatan), orang Eropa Timur, orang Afrika Utara, orang Timur Tengah, orang Iran, orang Asia Tengah, dan orang India, ia anggap sebagai ras campuran, mengalami kemunduran melalui amalgamasi, sehingga dianggap tidak ideal. Pada 1880-an sejumlah ahli bahasa dan antropolog berpendapat bahwa "Arya" sendiri berasal di suatu tempat di Eropa utara. Daerah pastinya sendiri mulai "tampak" ketika ahli bahasa Karl Penka (Die Herkunft der Arier. Neue Beiträge zur historischen Antropologie der europäischen Völker, 1886) mempopulerkan gagasan bahwa "Arya" muncul di Skandinavia dan dapat diidentifikasi dengan karakteristik khas Nordik dengan rambut pirang dan mata biru. Ahli biologi terkemuka Thomas Henry Huxley sepakat dengannya, menciptakan istilah "Xanthochroi" untuk merujuk pada orang Eropa berkulit putih (sebagai lawan dari orang-orang Mediterania yang lebih gelap, yang Huxley menyebutnya "Melanochroi").[74] Teori "ras Nordik" ini mendapatkan daya tarik setelah penerbitan karya Charles Morris, The Aryan Race (1888) karya Charles Morris, dengan pendekatan ideologi rasis. Alasan yang serupa diikuti oleh Georges Vacher de Lapouge dalam bukunya L'Aryen et son rôle social (1899, "Orang Arya dan Peranan Sosialnya"). Terkait ide mengenai "ras", Vacher de Lapouge menganut paham seleksionisme, dengan tujuan: pertama, pemusnahan serikat pekerja, yang dianggap "merendahkan"; kedua, pencegahan ketidakpuasan tenaga kerja melalui penciptaan "tipe manusia yang dirancang untuk satu tugas tertentu" (Lihat novel Brave New World untuk ilustrasi perlakuan fiksi menurut ide ini). Sementara itu di India, penjajahan Inggris telah mengikuti argumen de Gobineau, dan telah menumbuhkan gagasan tentang "ras Arya" yang unggul yang menggunakan sistem kasta India demi kepentingan imperium.[75][76] Dalam bentuknya yang sepenuhnya berkembang, interpretasi yang dimediasi oleh Inggris memperkirakan bahwa pemisahan Arya dan non-Arya mengikuti batas kasta, dengan kasta teratas adalah "Arya" dan yang terendah adalah "non-Arya" . Pembangunan di Eropa tidak hanya memungkinkan Inggris untuk mengidentifikasi diri mereka sebagai kasta tertinggi, tetapi juga memungkinkan para Brahmana agar setara kastanya dengan orang Inggris. Lebih jauh, Inggris terus memprovokasi agar menginterpretasi ulang sejarah India dalam konteks rasial. Dalam pihak oposisi, istilah Nasionalis India[75][76]—dan dalam mengikuti interpretasi dari identifikasi khusus Max Müller tentang "Arya" sebagai nama bangsa—ini muncul di kalangan nasionalis Hindu ("Brigade Saffron") sebagai "penduduk asli Arya" atau yang disebut teori "Out of India", yang diperdebatkan oleh banyak sarjana di bidang akademis, yang mencari asal usul orang "Arya" Indo-Eropa. Dalam The Secret Doctrine (1888), Helena Petrovna Blavatsky menggambarkan "akar ras Arya" sebagai yang kelima dari tujuh "akar ras", yang jiwa mereka menjelma kembali sekitar satu juta tahun yang lalu di Atlantis. Orang Semit adalah subdivisi dari akar ras Arya. "Doktrin ilmu gaib mengakui tidak ada perpecahan seperti Arya dan Semit, ... Orang Semit, terutama orang Arab, kemudian Arya—merosot dalam spiritualitas dan berganti dengan materialitas. Ini dianggap milik semua orang Yahudi dan Arab." Orang-orang Yahudi, menurut Blavatsky, adalah "suku yang diturunkan dari Tchandalas India," karena mereka dilahirkan dari Abraham, yang ia yakini sebagai lawan dari kata yang berarti "Tanpa Brahmana".[77] Sumber lain menyebut kata tersebut berasal dari kata Avram atau Aavram. Nama untuk Kekaisaran Sasaniyah dalam bahasa Persia pertengahan adalah Eran Shahr yang berarti Kekaisaran Arya.[78] Sebagai akibat dari penaklukan Islam di Iran, retorika rasial menjadi ungkapan sastra selama abad ke-7, yaitu, ketika orang-orang Arab menjadi "liyan" yang utama—anarya—dan dianggap sebagai antitesis dari segala sesuatu yang bersifat Iran (yaitu Arya) dan Zoroastrian (Majusi). Tetapi "anteseden ultra-nasionalisme Iran [sekarang] dapat ditelusuri kembali ke tulisan-tulisan para tokoh akhir abad ke-19 seperti Mirza Fatali Akhundov dan Mirza Aqa Khan Kermani. Dengan menunjukkan kedekatan pandangan Orientalis tentang supremasi bangsa Arya dan masyarakat Semit yang biasa, wacana nasionalisme Iran mengidealkan bentuk kekaisaran pra-Islam [Akhemeniyah dan Sasaniyah], serta meniadakan 'Islamisasi' Persia oleh pasukan Muslim."[79] Pada abad ke-20, aspek-aspek berbeda dari idealisasi masa lalu yang jauh ini diinstrumentasi oleh baik dinasti Pahlavi (Pada 1967, dinasti Pahlavi Iran [digulingkan dalam Revolusi Iran 1979] menambahkan gelar Āryāmehr "cahaya Arya" ke dalam penguasa Iran, Shah Iran yang sudah dikenal pada waktu itu sebagai Shahanshah "Raja Para Raja"), serta republik Islam Iran sesudahnya; orang Pahlavi menggunakannya sebagai landasan monarki antiklerikal, dan para ulama menggunakannya untuk meninggikan nilai-nilai Iran dalam menghadapi westernisasi.[80] Abad ke-20Di Amerika Serikat, buku laris tahun 1907 Race Life of the Aryan Peoples karya Joseph Pomeroy Widney menjelaskan gagasan populer bahwa kata "Arya" adalah penanda yang tepat untuk "semua orang Indo-Eropa", dan bahwa "Arya Amerika" sebagai bagian dari "ras Arya" ditakdirkan untuk memenuhi takdir nyata Amerika untuk membentuk Imperium Amerika.[81] Gordon Childe kelak menyesalinya, tetapi penggambaran Arya sebagai pemilik "bahasa unggul" menjadi masalah kebanggaan di kalangan terpelajar Jerman (digambarkan dengan latar belakang bahwa Perang Dunia I terhenti karena Jerman telah dikhianati dari dalam oleh amalgamasi dan "korupsi" dari serikat buruh sosialis dan "kaum degeneratif" lainnya). Alfred Rosenberg—salah satu arsitek idelogi Nazisme—mengusulkan keyakinan baru "Blut und Boden", berdasarkan pada dorongan jiwa Nordik untuk mempertahankan karakter "mulianya" dalam melawan degenerasi rasial dan budaya. Di bawah Rosenberg, teori-teori Arthur de Gobineau, Georges Vacher de Lapouge, Blavatsky, Houston Stewart Chamberlain, Madison Grant, dan teori-teori Hitler,[82] terus memuncak dalam kebijakan ras Nazi Jerman dan dekret "Aryanisasi" tahun 1920-an, 1930-an, dan awal 1940-an. Dalam "model medisnya yang mengerikan", penghancuran Untermenschen yang "secara rasial merendahkan bangsa non-'Arya'" disucikan ibarat penghilangan organ yang sakit dalam tubuh yang sehat,[83] sehingga diadakanlah Holocaust. Pada akhir Perang Dunia II, kata "Arya" di antara sejumlah orang telah kehilangan konotasi romantis atau idealisnya dan sejak saat itu dikaitkan oleh banyak orang dengan rasisme Nazi . Pada saat itu, istilah "Indo-Iran" dan "Indo-Eropa" telah menggantikan istilah "Arya" di mata sejumlah sarjana, dan "Arya" sekarang bertahan dalam sebagian besar penggunaan ilmiah sebagai bahasa "Indo-Arya" untuk menunjukkan (penutur) bahasa India Utara. Telah ditegaskan oleh seorang pakar bahwa Indo-Arya dan Arya mungkin tidak disamakan dan bahwa persamaan semacam itu tidak didukung oleh bukti historis,[84] meskipun sudut pandang ekstrem ini tidak tersebar luas. Penggunaan istilah untuk menunjuk penutur dari semua bahasa Indo-Eropa dalam penggunaan ilmiah kini dianggap oleh beberapa sarjana sebagai "penyimpangan yang harus dihindari." [85] Namun, beberapa penulis yang menulis untuk konsumsi pustaka populer tetap menggunakan kata "Arya" untuk "semua orang Indo-Eropa" dalam tradisi H.G. Wells,[86][87] seperti penulis fiksi ilmiah Poul Anderson,[88] dan sejumlah ilmuwan juga menulis untuk media populer, seperti Colin Renfrew.[89] Gagasan tentang "ras Arya" sebagai kelompok elit yang dianggap lebih unggul dari ras lain bertahan di beberapa kelompok Eropa sayap kanan, seperti partai Neo-Nazi, ultra-nasionalis Rusia, serta kelompok nasionalis tertentu di Iran. Gaung "prasangka abad ke-19 tentang Arya dari 'utara' yang menginvasi tanah India melawan kaum barbar hitam [...] masih dapat didengar dalam beberapa studi modern." [84] Dalam konteks sosiopolitik, klaim ras "Arya kulit putih Eropa" yang hanya mencakup orang-orang Barat dan bukan cabang Timur orang-orang Indo-Eropa mendapat perhatian oleh kalangan tertentu, biasanya mewakili kaum nasionalis kulit putih yang menyerukan penghentian imigrasi non-kulit putih ke Eropa dan membatasi imigrasi ke Amerika Serikat. Mereka berpendapat bahwa gelombang besar imigran dapat menyebabkan konflik etnis seperti kerusuhan Cronulla 2005 di Australia dan kerusuhan sipil 2005 di Perancis. Teori invasi, bagaimanapun telah dipertanyakan oleh beberapa sarjana.[90] Lihat pula
Catatan kaki
Referensi
Daftar pustaka
|