Kekristenan di Sumatera UtaraKekristenan di Sumatera Utara merupakan komunitas keagamaan Kekristenan terbesar di pulau Sumatra, Indonesia. Secara jumlah, Kekristenan di provinsi Sumatera Utara adalah kekristenan terbesar kedua di Indonesia setelah provinsi Nusa Tenggara Timur. Dalam Sensus Penduduk Indonesia 2010, jumlah pemeluk agama Kekristenan di Sumatera Utara sebanyak 4.025.737 jiwa atau 31,01% dari 12.982.204 jiwa penduduk Sumatera Utara tahun 2010, dimana Protestan 3.509.700 jiwa (87,18%) dan Katolik 516.037 jiwa (12,82%).[1] Salib Kasih yang terletak di kecamatan Siatas Barita, kabupaten Tapanuli Utara, merupakan bukti sejarah masuknya agama Kristen ke Sumatera Utara.[2] SejarahAbad Ke-7Banyak pendapat tentang awal mula masuknya Injil ke Indonesia, khususnya kawasan Sumatera Utara. Salah satu pendapat yakni dari Jan Bakker SJ, yang menulis di majalah "Basis" pada tahun 1969, bahwa agama Katolik sudah ada pada abad ke-7 Masehi dan berakar di Sumatera Utara yang kemudian menyebar ke daerah lain, termasuk pulau Jawa. Jan Bakker menggunakan berbagai literasi Islam, dan dia meyakini pula bahwa Katolik datang dari India Selatan.[3] Katolik berkembang di India Selatan dan lewat perdagangan mulai menyebar hingga ke Sumatera Utara. Gereja Kristen Katolik mulai ditanam di daerah Tapanuli sebelum tahun 600 oleh saudagar dari India yang menamakan diri Thomas Christians.[3] Jan Baker mendasarkan teorinya pada tulisan ilmuwan Islam bernama Shaykh Abu Salih al-Armini, yang menulis semacam buku ensiklopedi berjudul "Tadhakkur fiha Akhbar min al-Kana’is wa’l-Adyar min Nawahin Misri w’al Iqtha’aihu" berisi daftar gereja dan pertapaan di Mesir dan wilayah Timur lainnya. Dalam bukunya, Abu Salih menyebut di Fansur, tempat asal kamper, terdapat sekelompok Kristen Nestorian dan sebuah gereja yang dipersembahkan kepada Maria. Di antara sumber-sumbernya, Abu Salih menggunakan kitab Nazm al-Jawhar karya Sa’id bin al Batriq yang berasal dari tahun 910 dan mengisahkan sejumlah peristiwa dari abad ke-7.[3] Menurut Bakker, ‘Fansur’ itu sama dengan ‘Pansur’, dekat Baros di Tapanuli. Dia juga menulis penyebutan Kristen Nestorian dari Abu Salih keliru dan “meluruskannya” sebagai Katolik. AJ Butler MA FSA saat memberikan catatan terhadap terjemahan BTA Evetts atas karya Abu Salih ke dalam bahasa Inggris, berjudul The Churches and Monasteries of Egypt Attributed to Abu Sahlih, The Armenian, menjelaskan bahwa kata Fahsur memang tertulis dalam manuskrip aslinya. Namun, kata ini seharusnya ditulis Mansur, sebuah negara di zaman kuno yang terdapat di barat laut India, terletak di sekitar Sungai Indus. Mansur merupakan negara utama yang terkenal di antara orang-orang Arab dalam hal komoditas kamper.[3] Terlepas dari berbagai pendapat awal mula masuknya Injil ke Indonesia atau secara khusus Sumatera Utara, sebelum Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC atau Persatuan Perusahaan Hindia Timur asal Belanda), Kekristenan di Sumatera Utara tidak berkembang, bahkan hingga pada masa kedudukan pemerintahan Inggris di Sumatra dan mengutus para misionaris, Kekristenan cenderung tidak berkembang. Masa Penjajahan InggrisSejak tahun 1679, satu jemaat Kristen Protestan sudah ada di pantai sebelah Barat Padang, yakni para pegawai VOC, namun Injil tidak disebarkan kepada penduduk asli Sumatera Barat. Setelah Inggris memasuki kawasan Sumatra, antara tahun 1811 hingga 1825, Penginjilan mulai dilakukan pertama kalinya.[4] Thomas Stamford Raffles, pada saat itu menjabat sebagai Letnan Gubernur Jawa, memberikan izin untuk pertama kalinya kepada para pekabar Injil di Jakarta, untuk bekerja di Sumatra. Tahun 1820, tiga orang pekabar Injil dari perhimpunan pekabar Injil Baptis di Inggris memasuki daerah-daerah di Sumatra. Mereka adalah Ward yang pergi ke Bengkulu, Evans ke Padang dan Burton ke Sibolga.[4] Burton yang pergi ke Sibolga mulai mempelajari bahasa Batak Toba, bahkan sampai menterjemahkan beberapa bagian dari Alkitab. Burton menyadari bahwa usaha Pekabaran Injil di Sumatra mustahil akan berakar di dalam suku-suku Sumatra, jika usaha tersebut hanya dilaksanakan di daerah-daerah pantai saja. Akhirnya Burton dan Ward memutuskan untuk masuk ke pedalaman. Pada tahun 1824, mereka sampai ke Silindung, kawasan pedalaman yang diduduki oleh suku Batak Toba. Meskipun disambut dengan baik, usaha mereka tidak mendapatkan hasil dalam pemberitaan Injil di antara suku Batak.[4] Tahun 1826, pemerintahan Inggris di Sumatera Barat diambil alih kembali oleh pemerintahan Belanda. Sehubungan dengan peristiwa itu, usaha pekabaran Injil dari Inggris di Sumatra berakhir. Namun, Nederlandsch Zendeling Genootschap (disingkat NZG) atau Serikat Misonaris Negeri Belanda, mulai memperhatikan Sumatra. NZG mengutus seorang pekabar Injil untuk menyebarkan Injil di Sumatra, yaitu Gützlaff. Akan tetapi, terjadi perang Bonjol di Sumatra Tengah, Gützlaff gagal berangkat ke Sumatra. Yang akhirnya dia menetap di Jakarta dan mulai melakukan penginjilan di antara masyarakat Tionghoa. Selanjutnya, dialah yang menjadi perintis utama dalam usaha pekabaran Injil di Tiongkok (Cina daratan).[4] Pemeluk Kristen Menurut Kabupaten/KotaPemeluk agama Kristen di Sumatera Utara umumnya berasal dari suku Batak (Toba, Karo, Simalungun, Pakpak dan sebagian Angkola dan Mandailing), Nias, dan sebagian lagi dari Tionghoa, Jawa, serta pendatang dari Indonesia Timur seperti orang Minahasa, NTT, Maluku dan Papua. Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri tahun 2021, persentasi pemeluk agama Kristen di Sumatera Utara sebanyak 31,21%, di mana mayoritas Protestan yakni 26,90% dan Katolik 4,31%.[5] Berikut adalah data pemeluk agama Kristen di provinsi Sumatera Utara, berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri hingga 30 Juni 2021:[5]
Lihat pulaPranala luarReferensi
|