Papua (wilayah Indonesia)4°00′S 136°00′E / 4.000°S 136.000°E
Papua (Kode ISO: ID-PP, sebelumnya Irian Barat atau Irian Jaya), atau kadang Papua Barat atau Nugini Barat untuk membedakan dengan Papua Nugini, merupakan wilayah Republik Indonesia yang terletak pada bagian barat dari Pulau Papua. Wilayah ini dibagi menjadi enam provinsi, yakni provinsi Papua , Papua Barat, Papua Pegunungan, Papua Tengah, Papua Selatan dan Papua Barat Daya. SejarahPapua sudah terkenal sejak lama. Pedagang asal Tiongkok, Ghau Yu Kuan, datang ke Papua sekitar paruh akhir 500 M dan menamakannya sebagai Tungki, yaitu daerah di mana mereka mendapatkan rempah-rempah. Sedangkan di paruh akhir 600 M, Kerajaan Sriwijaya menyebutnya sebagai Janggi. Baru pada awal tahun 700 M, para pedagang dari Persia dan Gujarat mulai berdatangan ke Papua dan menyebutnya sebagai Dwi Panta ataupun Samudrananta, yaitu sebutan mereka untuk ujung samudra atau ujung lautan. Kerajaan Majapahit, di akhir tahun 1300 M menyebutnya sebagai Wanin dan Sran. Nama Wanin adalah Semenanjung Onin di daerah Fak-Fak, sedangkan Sran adalah nama lain kerajaan Kaimana.[2] Hal ini dikarenakan budak yang dibawa untuk dipersembahkan kepada Kerajaan Majapahit berasal dari Onin, yang dibawa oleh orang Seram, Maluku. Pada masa itu, Papua dinyatakan sebagai wilayah ke delapan dari Kerajaan Majapahit.[3] Pengaruh Bacan, Ternate, dan TidoreMenurut Kakawin Nagarakretagama yang ditulis antara bulan September-Oktober tahun 1365, daerah Wwanin/Onin (Kabupaten Fakfak) merupakan daerah pengaruh mandala Kerajaan Majapahit, kawasan ini mungkin bagian dari koloni kerajaan Hindu di Kepulauan Maluku yang diakui ditaklukan Majapahit. Dari keterangan yang diperoleh dalam kitab klasik Negarakertagama, misalnya, di sana dijelaskan sebagai berikut:
Menurut sejumlah ahli bahasa yang dimaksud Ewanin adalah nama lain untuk daerah semenanjung Onin dan Sran adalah nama lain untuk wilayah selatan semenanjung Bomberai yang juga disebut Kowiai. Kerajaan Sran merupakan kerajaan lokal yang pengaruh mandalanya hingga sampai Kepulauan Kei, di tenggara Maluku.[4] Dalam bukunya "Nieuw Guinea", WC. Klein juga menjelaskan fakta awal mula pengaruh kerajaan Bacan di tanah Papua. Di sana dia menulis: In 1569 Papoese hoof den bezoeken Batjan. Ee aanterijken worden vermeld. (Pada tahun 1569 pemimpin-pemimpin Papua mengunjungi kerajaan Bacan di mana dari kunjungan terebut terbentuklah kerajaan-kerajaan).[5] Menurut sejarah lisan orang Biak Beser, dulu ada hubungan dan pernikahan antara para kepala suku mereka dan para sultan Tidore. Karena pengaruh Tidore dimulai dari Gurabesi yang merupakan Mambri atau Kapita Waigeo asal Biak, yang kemudian hari menikah dengan putri Sultan Tidore dan memperanak para pemimpin di Raja Ampat. Suku Biak merupakan suku Melanesia terbanyak yang menyebar di pantai utara Papua, karena itu bahasa Biak juga terbanyak digunakan dan dianggap sebagai bahasa persatuan Papua.[butuh rujukan] Akibat hubungan daerah-daerah pesisir Papua dengan Sultan-Sultan Maluku maka terdapat beberapa kerajaan lokal (pertuanan) di pulau ini, yang menunjukkan masuknya sistem feodalisme yang merupakan bukan budaya asli etnik Papua. Kerajaan-kerajaan atau petuanan yang dipimpin oleh pemimpin yang mendapat gelar raja tersebut diantaranya: Di Kepulauan Raja Ampat (Korano Ngaruha)[6][7]
Di Semenanjung Onin, sekarang Kabupaten Fakfak:[7]
Di selatan Semenanjung Bomberai yang dahulu disebut Kowiai, sekarang Kabupaten Kaimana.[6][7]
Daftar penguasa di beberapa kerajaan: Penguasa Kerajaan Lilinta (klan Umkabu), (Misool Selatan & Misool Barat, sejak abad ke-16 bawahan kesultanan Bacan):
Penguasa Kerajaan Waigama (klan Tafalas), (Misool Utara & Misool Timur, sejak abad ke-16 bawahan kesultanan Bacan): Penguasa Kerajaan Salawati, pulau Salawati (sejak abad ke-16 bawahan Kesultanan Ternate):
Penguasa Kerajaan Waigeo, pulau Waigeo (sejak abad ke-16 bawahan Kesultanan Ternate): Penguasa Kerajaan Rumbati Penguasa Kerajaan Sekar
Penguasa Kerajaan Patipi
Penguasa Kerajaan Ati-ati
Penguasa Kerajaan Fatagar Penguasa Kerajaan Kowiai (Namatotte)
Penguasa Kerajaan Kaimana
Penguasa Kerajaan Mapia di Pulau Pegun, Kabupaten Supiori Tahun 1660, VOC memang sempat menandatangani perjanjian dengan sultan Tidore di mana Tidore mengakui protektorat Belanda atas penduduk Irian barat. Perjanjian ini jelas meliputi penduduk kepulauan antara Maluku dan Irian. Tidore menganggap dirinya atasan Biak.[20] Pada masa itu, pedagang Melayu mulai mengunjungi pulau Irian. Justru pandangan Tidore ini yang menjadi alasan Belanda menganggap bagian barat pulau ini adalah bagian dari Hindia Belanda. Sejak abad ke-16, selain di Kepulauan Raja Ampat yang termasuk wilayah kekuasaan Sultan Bacan dan Sultan Ternate, kawasan lain di Papua yaitu daerah pesisir Papua dari pulau Biak (serta daerah sebaran orang Biak) sampai Mimika Barat (Kipia) merupakan bagian dari wilayah mandala Kesultanan Tidore, sebuah kerajaan yang berdekatan dengan wilayah Papua. Tidore menganut adat Uli-Siwa (Persekutuan Sembilan), sehingga provinsi-provinsi Tidore seperti Biak, Fakfak dan sebagainya juga dibagi dalam sembilan distrik (pertuanan). Pembagian kekuasaan di Papua ini oleh Tidore dibagi menjadi Papo-ua Gam Sio, Negeri Sembilan Papo Ua berikut Sangaji Umka, Gimalaha Usba, Sangaji Barei, Sangaji Boser, Gimalaha Kafdarun, Sangaji Wakeri, Gimalaha Warijo, Sangaji Mar, dan Gimalaha Warasay. Selanjutnya Mafor Soa Raha, Mafor Empat Soa yang berikut Sangaji Rumberpon, Sangaji Rumansar, Sangaji Angaradifa, and Sangaji Waropen, lalu Korano Ngaruha yang berupa kepulauan Raja Ampat.[6] BahasaHindia BelandaPada tahun 1826, Pieter Merkus, gubernur Belanda untuk Maluku, mendengar kabar angin bahwa Inggris mulai masuk pantai Irian di sebelah timur Kepulauan Aru. Dia mengutus rombongan untuk mengawasi dari pantai tersebut sampai Pulau Dolak.[21] Dua tahun kemudian, Belanda membangun Fort Du Bus, yang sekarang menjadi kota Lobo, dengan tujuan utama menghadang kekuatan Eropa lain untuk mendarat di Irian Barat. Pada perayaan pembentukan Belanda mengangkat beberapa raja bawahan Tidore untuk mengatur wilayah tersebut seperti, Sendawan (Raja Namatota), Kassa (Raja Lahakia) dan Lutu ("Orang Kaya" dari Lobo and Mawara).[22] Fort Du Bus sendiri ditinggalkan Belanda pada tahun 1835, akibat penyakit dan serangan penduduk lokal. Pemerintah Belanda mendelegasikan wilayah ini sebagai wilayah swapraja Kerajaan Tidore.[23] Tidore sendiri terkadang mempercayakan raja bawahannya untuk memungut pajak di wilayah ini, seperti Raja Misool yang mengatasi kerajaan di wilayah Onin atau Raja Salawati di wilayah Utara Kepala Burung.[24] Pemerintah kolonial Belanda mulai memerintah langsung wilayah Papua sejak paruh akhir abad ke 19. Pada tahun 1850 ekspedisi Hongi dan perdagangan budak dihilangkan. Pada perjanjian tahun 1872, Tidore mengakui kekuasaan Kerajaan Belanda atasnya. Raja Tidore hanya berhak mengatur tentang masalah feodal kerajaan. Pada tahun Belanda baru kembali ke Irian pada tahun 1898, dimana dibentuk pemerintahan di Fakfak dan Manokwari, sebelum akhirnya di Merauke pada tahun 1902. Pada tahun 1905 terjadi kekosongan Sultan Tidore sehingga independensi kerajaan semakin berkurang. Pada tahun 1909 Kerajaan Tidore sudah tidak merdeka secara de jure, dan pada tahun 1910 Kerajaan Bacan dan Tidore menandatangani perjanjian yang membatalkan seluruh perjanjian lama mereka dengan Pemerintah Hindia Belanda. Walau Kerajaan Tidore masih memiliki beberapa hak di wilayah Irian sampai 1911 dimana kekuasaan tersebut juga akhirnya dibatasi.[25] Pulau Papua sendiri dibagi antara Belanda, Jerman (bagian utara Irian Timur), dan Inggris (bagian selatan Irian Timur). Garis busur 141 derajat diakui sebagai batas timur Irian Barat. Pada tahun 1898–1949, Papua bagian barat dikenal sebagai Nugini Belanda (Nederlands Nieuw-Guinea atau Dutch New Guinea) yang merupakan bagian dari Hindia Belanda. Perebutan antara Indonesia dan BelandaPada tanggal 17 Agustus 1945, negara Indonesia di proklamirkan. Indonesia pun menuntut semua wilayah bekas Hindia Belanda sebagai wilayahnya. Di dalam Konferensi Malino, perwakilan pengganti dari Papua Frans Kaisiepo juga menuntuk wilayah yang disebutnya Irian tersebut menjadi bagian dari negara Indonesia. Tadinya Belanda ingin mengirim Silas Papare,[26][27] tetapi ia terlibat pemberontakan Soegoro pada akhir Desember 1945 yang mengakibatkan 250 eks-Heiho ditangkap dan ia sendiri diasingkan ke Serui.[28][29] Selama Konferensi Malino, pada 17 Juli 1946 terjadi pula pemberontakan melawan Belanda yang dipimpin Panggoncang Alam untuk membebaskan Soegoro Atmoprasodjo,[30] dengan sebelas orang Ambon yang bekerja sebagai tukang reparasi, tentara KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda), anggota batalion Papua milik van Eechoed, dan 30 pemuda Papua yang berasal dari sekitar Danau Sentani.[31][32] Kemudian, Belanda dalam Konferensi Denpasar yang tidak memiliki perwakilan Papua, ingin menjadikan Irian Barat sebagai negara terpisah dari Negara Indonesia Timur karena adanya masalah keuangan, perbedaan etnis, tempat pengungsian populasi Indo dan dorongan partai Katolik Belanda. Kebijakan ini ditentang Nicolaas Jouwe, Marthen Indey, dan Corinus Krey yang mengirim surat kepada van Mook di Denpasar pada tanggal 12 December 1946, walau tidak diindahkan.[33][34][35][36] Status Irian Barat tidak terselesaikan dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag dan diputuskan untuk ditunda pembahasannya selama setahun. Penyelesaian status Irian Barat menjadi berlarut-larut dan tidak selesai juga hingga tahun 1961, sampai terjadilah pertikaian bersenjata antara Indonesia dan Belanda pada Desember 1961 dan awal 1962 untuk memperebutkan wilayah ini. Melalui Perjanjian New York, akhirnya disetujui bahwa Belanda menyerahkan sementara Irian Barat kepada PBB melalui United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) sebelum diberikan sepenuhnya kepada Indonesia pada 1 Mei 1963. Kedudukan Irian Barat menjadi lebih pasti setelah diadakan sebuah referendum act of free choice pada tahun 1969 dengan hasil rakyat Irian Barat memilih untuk tetap menjadi bagian dari Indonesia. Provinsi IndonesiaZainal Abidin Syah, Sultan Tidore, diangkat pemerintah RI menjadi gubernur pertama Papua tahun 1956–1961 yang saat itu beribu kota di Soasiu, Pulau Tidore. Cikal bakal pemerintahan Provinsi Papua adalah Biro Irian lembaga yang didirikan pemerintah dengan keterlibatan Papare, Wesplat, dan Rumagesan.[37] Beberapa orang Papua mantan administrasi, tentara Nugini Belanda, dengan dasar kargoisme yang tidak setuju dengan hasil Perjanjian New York dan Penentuan Pendapat Rakyat membentuk gerakan teroris-separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM) untuk memisahkan wilayah Papua dari Indonesia.[38][39] Nama provinsi Irian Barat digunakan sejak tahun 1969 hingga 1973. Namanya kemudian diganti menjadi Irian Jaya oleh Soeharto pada saat meresmikan tambang tembaga dan emas Freeport dan nama itu tetap digunakan secara resmi hingga tahun 2002. Nama provinsi ini diganti menjadi Papua sesuai UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Pada tahun 2004, dengan disertai oleh berbagai protes, Papua dibagi menjadi dua provinsi oleh pemerintah Indonesia; bagian timur tetap memakai nama Papua sedangkan bagian baratnya menjadi Provinsi Irian Jaya Barat (sejak tahun 2007 disebut Papua Barat). Pada tahun 2022, dibentuk lagi provinsi baru berupa, Papua Barat Daya, Papua Pegunungan, Papua Selatan, dan Papua Tengah. AgamaBerdasarkan data Kementerian Agama Republik Indonesia tahun 2018, mayoritas penduduk di wilayah Papua menganut agama Kristen yakni sebanyak 79,68% dengan rincian Protestan sebanyak 65,91% dan Katolik sebanyak 13,77%. Kemudian penduduk yang beragama Islam sebanyak 20,05%, kemudian Kepercayaan sebanyak 0,09%, Hindu sebanyak 0,08%, Buddha sebanyak 0,06%, dan Konghucu sebanyak 0,04%.[40] Dan data Kementerian Dalam Negeri per 31 Desember 2023 mencatat, penduduk Papua yang menganut Kristen sebanyak 80,22% dengan rincian Protestan sebanyak 66,14% dan Katolik sebanyak 14,08%. Diikuti penganut agama Islam sebanyak 19,60%, kemudian Hindu sebanyak 0,08%, Buddha sebanyak 0,06% dan penganut kepercayaan sebanyak 0,04%.[1] Agama Protestan mayoritas di 5 provinsi yakni Papua, Papua Barat, Papua Barat Daya, Papua Pegunungan, dan Papua Tengah. Sementara agama Katolik mayoritas di provinsi Papua Selatan. Agama Islam mayoritas di Kabupaten Fakfak, provinsi Papua Barat.[1] Lihat pulaReferensi
Daftar pustaka
Pranala luar |