Muktamar Internasional Islam Sunni Chechnya 2016
Muktamar Internasional Islam Sunni 2016, juga disebut sebagai Konferensi Chechnya, adalah muktamar yang diselenggarakan di Grozny, ibu kota Republik Chechnya[7] pada 25-27 Agustus 2016 membahas judul "Siapakah Ahlussunnah wal-Jama'ah?",[8] yaitu "orang yang mengikuti Sunnah dan berada dalam golongan Jamaah".[9][Catatan 1] Di samping itu, juga membahas "Penjelasan dan Klasifikasi Metode Ahlussunnah wal-Jama'ah dalam Akidah, Fikih, dan Akhlak, serta Dampak Penyimpangan darinya di Tataran Realitas".[11][12] Muktamar ini didanai Presiden Chechnya, Ramzan Kadyrov,[13][14][15] dan dihadiri sekitar 200 ulama dari 30 negara, khususnya dari Rusia, Mesir, Suriah, Libya, Kuwait, Sudan, Yordania, dll. atas undangan ulama Sufi, Ali al-Jufri.[8][16][17] Para peserta muktamar mengeluarkan fatwa yang secara resmi menegaskan bahwa aliran Wahhabi, Salafiyah, dan kelompok takfiri bukan bagian dari ahlussunnah wal-jama'ah.[18][19] Muktamar ini didedikasikan untuk memperingati ulang tahun ke-65 ayah dari Kadyrov, Akhmad Kadyrov, Presiden pertama Chechnya.[20][21] Di samping mendepak kelompok yang dianggap takfiri tersebut, mereka mendefinisikan Islam Sunni sebagai penganut akidah Asy'ariyah, Maturidiyah, dan Sufi, dan bukan Wahhabi atau Salafi.[8][9] Bahkan mereka menganggap kelompok tersebut sebagai firqah "sesat", bersama dengan kelompok ekstremis seperti ISIS, Hizbut-Tahrir, Ikhwanul-Muslimin, dan masih banyak lagi.[4][22] Intisari muktamar ini berbunyi:
PesertaMuktamar tersebut dihadiri lebih dari 200 ulama seluruh dunia dari berbagai mazhab dan 30 negara, termasuk Mesir, Suriah, Lebanon, Yordania, Yaman, Maroko, Libya, Kuwait, Sudan, Qatar, Irak, India, Indonesia, Britania Raya, Rusia, Afrika Selatan, Uzbekistan, dan Azerbaijan.[4][5][22][24][25][26][27] Para ulama yang hadir dalam muktamar tersebut adalah:[16][26][28]
Maksud dan tujuan
Muktamar Aswaja Internasional Chechnya berupaya meluruskan klaim sepihak Wahabi yang merepresentasikan paling “Ahlussunnah Wal Jamaah” dan "paling sunnah". Akibatnya mazhab Aswaja ini menjadi korban stigma lantaran paham Wahabi teridentifikasi sebagai ideologi kekerasan. Untuk meluruskan stigma dan membedakan yang mana paham Aswaja dan Wahabi, muktamar Aswaja Internasional Chechnya pun menegaskan bahwa Aswaja adalah Asy'ariyah dan Maturidiyah dalam akidah. Empat mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali dalam fikih. Serta ahli tasawuf yang murni –ilmu dan akhlak— sesuai manhaj Imam Junaeid dan para ulama yang meniti jalannya. “Itu adalah manhaj yang menghargai seluruh ilmu yang berkhidmah kepada wahyu (Al-Quran dan Sunnah). Dan telah benar-benar menyingkap tentang ajaran-ajaran agama ini dan tujuan-tujuannya. Dalam menjaga jiwa dan akal. Menjaga agama dari distorsi dan permainan tangan-tangan jahil. Menjaga harta dan kehormatan manusia, serta menjaga akhlak yang mulia,” Kata Guru Besar Al Azhar Mesir Syekh Ali Jum'ah dalam sambutannya di muktamar Aswaja Internasional. Jika pun ada mazhab di luar kategori di atas, Ali Jum'ah mengingatkan dan mengaskan, Aswaja tidak mengkafirkan siapa pun yang mengaku sebagai Muslim. Penegasan ulama Aswaja kelahiran Mesir ini juga menjadi pembeda antara paham Aswaja dengan kelompok radikal atau ekstrimis. “Aswaja tidak pernah mengafirkan orang yang shalat menghadap kiblat. Aswaja tidak pernah menggiring manusia untuk mencari kekuasaan, menumpahkan darah, dan tidak pula mengikuti syahwat birahi (yang haram)”. Katanya.[32][33] Penasehat Presiden Mesir dan utusan Komisi Keagamaan Parlemen Mesir Usamah al-Azhari menjelaskan terkait muktamar. “Muktamar Cechnya bermaksud memberikan pencerahan mengenai problematika yang mengitari dunia Islam. Dalam berbagai persoalan akidah dan pemikiran yang dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok teroris radikal dalam mencetak manhaj-manhajnya yang menghancur-leburkan.” Menurut dia, kaum takfiri (hobi mengkafirkan) dan kaum tafjiri (hobi melaksanakan peledakan) berjalan di satu jalan yang sama. Sementara lembaga-lembaga keagamaan beberapa yang enggak memahami keadaan kritis. Sehingga membukakan kesempatan bagi takfirisme untuk melawan penyebaran agama yang moderat dan akidah yang benar.[34] Mengenai gerakan Salafi / Wahabi, Imam Besar Al-Azhar Syeikh Ahmad al-Tayeb dalam muktamar Grozny mengingatkan. Bahwa konsep Aswaja yang telah berlaku sekian abad di tengah ummat Islam belakangan ini digugat oleh klaim-klaim tertentu dan hawa nafsu orang-orang yang secara fisik mengenakan jubah agama. Namun batinnya keluar dari pokok (ushul/akidah), kaidah (fikih) dan toleransi agama. Menurut dia, fenomena ini nyatanya sudah membikin konsep yang telah berabad-abad goyang di kalangan awam ummat Islam. Dan bahkan sebagian kalangan yang terlibat dalam aktivitas dakwah Islam. Dan para pengklaim itu pun tampil dengan label Aswaja (Sunni) dan berlagak selaku satu-satunya juru bicara Aswaja. Akibatnya, barisan ummat Islam terpecah. Dan pemahaman yang salah soal Aswaja itu bercokol dalam pikiran kalangan awam dan bahkan kalangan pendakwah. Mereka yang sesungguhnya bukan Aswaja memercayai bahwa dirinya Aswaja (Sunni). Sehingga maraklah paham radikalisme, ekstrimisme, terorisme, dan aksi tindakan mematikan seakan-akan ditunaikan kaum Sunni (Aswaja). Dia meneruskan bahwa keguncangan konsep Aswaja (Sunni) sudah sukses memecah Ummat Islam. Membangkitkan nyali para pengintainya membidikkan anak panahnya kepada golongan ini. Mencemarkan perjalanan sejarahnya. Dan melaksanakan distorsi-distorsi yang membikin golongan Aswaja seakan bertanggung-jawab. Atas aksi-aksi teror yang ditunaikan oleh kelompok-kelompok takfiri bersenjata. Dia menerangkan bahwa kelompok-kelompok ini sudah mencemarkan nama baik Aswaja dengan menyebut diri mereka selaku Sunni (sebutan Arab untuk Aswaja). Dan potensi mereka sengaja menyerbu konsep Aswaja untuk melicinkan obsesi politik, juga tendensi sektarianisme. Dan ambisi ekspansif untuk memintarkan para penebar perpecahan. Syeikh Ahmad al-Tayeb lantas menerangkan soal Aswaja. Bahwa dalam metode pendidikan Al-Azhar, Aswaja ialah sebutan untuk kalangan pengikut Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari. Dan Imam Abu Mansur al-Maturidi dalam beraqidah. Mereka meliputi para ulama mazhab fikih Hanafi, Maliki, Syafi'i dan para ulama moderat dari mazhab fikih Hanbali. Pengertian yang sedemikian luas sehingga juga meliputi para ahli hadis dan penganut tasawwuf. Pengertian inilah yang dipahami oleh umat Islam selama berabad-abad sejak munculnya istilah ini sepeninggal Imam Abu Hasan al-Asy'ari.[35] Masih menurut beliau, Mazhab Asy'ari bukanlah aliran baru. Namun ia merupakan mazhab yang menjelaskan dengan penuh amanah tentang akidah salaf saleh dengan manhaj/metodologi baru yang menggabungkan antara teks dan akal. Hal inilah yang tidak mampu dilakukan oleh kalangan tekstualis yang sulit untuk melakukan kajian analitik, juga kalangan Muktazilah dan kelompok-kelompok lainnya. Demikian juga, Mazhab Asya'ri adalah satu-satunya mazhab yang tidak mengafirkan seorang pun dari kalangan ahli kiblat (muslim). Bukti autentik dari sikap ini adalah Imam Abu Hasan al-Asy'ari mengarang kitab yang berjudul “Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Mushallin” dimana judulnya menunjukkan bahwa kelompok-kelompok Islam yang dibahas di dalam kitab tersebut masih berstatus muslim.[36] Dia menyimpulkan bahwa inilah realitas yang telah berjalan di tengah ummat Islam selama lebih 1000 tahun. Dan dengan realitas inilah mereka menjalani kehidupan yang satu tetapi meliputi keragaman dan perbedaan pandangan yang terpuji. Serta mencampakkan ghirah perpecahan dan ikhtilaf yang tercela.[34] RekomendasiPara peserta muktamar mendukung Islam “tradisionalis” sebagaimana kriteria Rusia.[37] Beberapa saran dilontarkan dalam konferensi tersebut, termasuk rekomendasi:[24]
KritikanMuktamar tersebut membuat kecaman dan kritik yang dilontarkan oleh Dewan Ulama Senior Saudi — serta dari para ulama gerakan Salafi, Wahhabi, dan Ikhwani — atas anggapan campur tangan Rusia dalam politik regional melalui agama, serta kutukan yang dijatuhkan kepada Salafi sebagai Khawarij, Karramiyyah, atau menyimpang.[1][38][39] Sebanyak 21 lembaga keagamaan Sunni di seluruh dunia menandatangani petisi dukungan agar Salafi masuk dalam kategori tersebut, mengungkapkan solidaritas serta menyerukan persatuan, menekankan bahwa peserta muktamar hanya mewakili diri mereka sendiri..[40] Ulama Sufi Suriah Hasan al-Dugim mengutuk putusan muktamar tersebut dan membela "saudara-saudara Salafi"; dengan alasan bahwa mereka lebih dekat dengan Sufi daripada "kaki tangan Putin". Muktamar ini juga ditandai dengan absennya delegasi dari Turki.[22] Asosiasi Ulama Internasional, yang dipimpin oleh tokoh Ikhwanul-Muslimin Yusuf al-Qaradawi, dilaporkan mengkritik muktamar tersebut sebagai "upaya memalukan untuk menyebarkan perbedaan pendapat dalam komunitas Muslim."[20] Muktamar tersebut juga telah banyak dikritik karena dikendalikan oleh pemerintah Rusia. Pemimpin agama terkemuka Rusia menghindari muktamar sebagai protes.[37] Ketua Majelis Muslim Moskwa, Ildar Alyautdinov, mengungkapkan kekecewaannya atas resolusi muktamar tersebut..[37] Menanggapi kritik luas yang diterima di Dunia Muslim, Al-Azhar secara terbuka menarik diri dari muktamar dan pada pertengahan Oktober mengutus delegasi tingkat tinggi yang dipimpin oleh ulama senior Al-Azhar, Syaikh Abbas Shouman ke Arab Saudi dan berdamai dengan kelompok Salafi, termasuk dengan Mufti Agung Abdul Aziz Alu Syaikh.[41] Lihat pulaReferensiCatatan kakiKutipan
Daftar pustaka
Pranala luar
|