Muktazilah
Muktazilah (bahasa Arab: المعتزلة, translit. al-muʿtazilah; singular: bahasa Arab: معتزلي, translit. muʿtazilī, har. 'memisahkan diri') adalah sebuah aliran teologi Islam rasional yang berkembang di Basrah dan Baghdad. Dalam sejarah, kaum yang disebut sebagai Muktazilah pertama kali muncul pada awal sejarah Islam dalam perselisihan mengenai kepemimpinan Ali bin Abi Thalib dalam komunitas Muslim setelah pembunuhan Utsman bin Affan, khalifah ketiga Kekhalifahan Rasyidin, pada tahun 656 M. Kelompok yang tidak mendukung maupun mengutuk Ali, Aisyah atau Muawiyah dalam Perang Saudara Islam I, tetapi mengambil kedudukan politik netral disebut Mu'tazilah.[1][2] Sementara itu, Muktazilah teologis pertama kali dilembagakan oleh seorang tabi'in bernama Wasil bin Atha' (wafat: 131 H) dan Amr bin Ubaid (wafat: 144 H).[3] Hal ini bermula dari tindakan Wasil bin Atha' berpisah (i'tazala) dari gurunya, yaitu Hasan al-Bashri karena perbedaan pendapat. Oleh karenanya, pengikut Wasil bin Atha' disebut sebagai Mu'tazilah (bentuk jamak dari i'tazala). Selain itu, kelompok ini juga disebut sebagai Ahl al-Tawḥīd wa al-ʿAdl (اهل التوحيد و العدل) "ahli tauhid dan keadilan". Karena penekanannya pada tauhid dan keadilan Allah yang termaktub dalam lima prinsip dasar Muktazilah (al-ushul al-khamsah).[4][5][6][7] Muktazilah dikenal karena mengembangkan bentuk rasionalisme Islam. Mereka dikenal karena mengutamakan peran akal dalam penafsiran terhadap nash-nash keagamaan (Al-Qur'an dan Hadist). Hal ini menyebabkan pemikiran Muktazilah banyak diserang oleh ulama ortodoksi Sunni dari kalangan Asy'ari, Maturidi, dan Atsari (Literalis) karena metode dan pandangan Muktazilah yang cenderung filosofis dan rasional, terutama dalam pembahasan mengenai penciptaan Al-Qur'an, persoalan takdir, dan sifat-sifat Allah. Sebaliknya, Muktazilah menentang bentuk rasionalisme sekuler tetapi percaya bahwa kecerdasan dan akal manusia memungkinkan seseorang dapat memahami dan menganut prinsip moral keagamaan, dan meyakini bahwa baik dan buruk adalah kategori yang dapat ditentukan melalui akal sehat.[8][9] EtimologiKata Mu'tazilah berasal dari bahasa Arab إعتزل (iʿtazala) yang berarti “memisahkan diri”. Kata kerja iʿtazala juga digunakan untuk menunjuk pihak netral dalam suatu perselisihan, seperti dalam "menarik diri" dari perselisihan diantara dua faksi.[10] Menurut Encyclopædia Britannica, "Nama (Mu'tazilah) pertama kali muncul pada awal sejarah Islam dalam perselisihan mengenai kepemimpinan Ali dalam komunitas Muslim setelah pembunuhan Utsman, khalifah ketiga, pada tahun 656. Mereka yang tidak mendukung maupun mengutuk Ali atau Muawiyah tetapi mengambil kedudukan netral disebut Mu'tazilah.” Mu'tazilah teologis yang didirikan oleh Wasil bin Atha dan penerusnya hanyalah kelanjutan dari posisi politik awal Mu'tazilah.[11] SejarahKaum Mu'tazilah/Muktazilah tercatat telah muncul di awal sejarah Islam dalam perselisihan mengenai kepemimpinan Ali bin Abi Thalib dalam komunitas Muslim setelah kematian khalifah ketiga, Utsman bin Affan yang dibunuh pada tahun 656 M. Pada awalnya Mu'tazilah adalah ungkapan untuk menggambarkan kelompok yang tidak mengutuk atau memberikan dukungan terhadap Ali atau lawan-lawannya seperti Mu'awiyah, Aisyah, Thalhah, Zubayr disatu sisi dan Abdullah Ibn Wahb disisi lain, tetapi mengambil posisi netral antara Ali dan lawan-lawannya pada Perang Saudara Islam I. Mu'tazilah juga dianggap sebagai penyebutan kelompok yang netral selama terjadinya [12]perang Shiffin dan perang Jamal.[11][13][14] Sementara itu, konstruksi teologi Muktazilah selanjutnya muncul pada abad ke-8 M (abad ke-2 Hijirah) di Basra bermula ketika Wasil ibn Atha' menghadiri majelis Hasan al-Bashri sampai dimana terjadi perselisihan teologis mengenai masalah tentang posisi seorang Muslim yang melakukan dosa besar. Sejak saat itu Wasil ibn Atha memisahkan diri (i'tizal) dari majelis Hasan al-Bashri dan kemudian dirinya mulai mengembangkan konsepnya sendiri yang dikenal sebagai al-Manzilah bayna al-Manzilatayn (posisi di antara dua posisi).[15] Abu al-Hudhayl al-'Allaf (wafat tahun 235 H/849 M), yang hidup beberapa generasi setelah Wasil ibn Atha' dan ʿAmr ibn Ubaid, dianggap sebagai teolog yang mensistematisasikan dan memformalkan ajaran Muktazilah di Basra. Pada saat yang bersamaan di Bagdad di bawah arahan seorang teolog Islam bernama Bishr ibn al-Mu'tamir (wafat tahun 210 H/825 M) konsep teologi Muktazilah turut diformalkan di Baghdad dengan dukungan dari khalifah Al-Ma'mun.[16][17] Muktazilah menikmati dukungan luas oleh pemerintah pada masa kepemimpinan khalifah Al-Ma'mun (memimpin 813–833 M). Banyak wazir dan penasihat istana dari kalangan Muktazilah diangkat oleh Al-Ma'mun.[16] Tak berhenti sampai disitu, kala itu Al-Ma'mun bahkan mengangkat Muktazilah sebagai mazhab resmi negara. Hal itu terjadi bersamaan dengan puncak Zaman Kejayaan Islam, dimana Al-Ma'mun mendukung upaya penerjemahan manuskrip-manuskrip Yunani kuno dan pengembangan ilmiah di daulah Abbasiyah.[18] Dukungan penuh dari pemerintah Abbasiyah kala itu menyebabkan beberapa polimat dan filsuf dari kalangan Muktazilah seperti Al Jahiz dan Ibrahim an-Nazzam mulai bermunculan dan semakin aktif menelurkan karya-karyanya. Tak hanya itu, bentuk rasionalisme Muktazilah juga diadopsi dan direduksi kembali kearah jenis filosofi baru seperti yang dilakukan oleh filsuf sekaligus matematikawan, Al-Kindi.[19][20][21] Pada saat yang bersamaan, ulama tradisionalis seperti Ahmad bin Hambal (wafat tahun 241 H/855 M) yang terkenal vokal menentang rasionalisme teistik Muktazilah yang mengukuhkan doktrin penciptaan Al-Qur'an. Dirinya terpaksa diadili dan dipenjara oleh rezim Muktazilah yang saat itu berada di tampuk kekuasaan. Tak hanya Ahmad bin Hambal, banyak ulama tradisionalis dan golongan Hanabilah ditangkap oleh rezim Muktazilah pada saat itu karena mereka terbukti berupaya menggalang pemberontakan untuk membebaskan Ahmad bin Hambal, peristiwa ini dikenal sebagai Mihnah.[16][22][23] Pasca wafatnya Al-Ma'mun pada tahun 833 M. Dua khalifah selanjutnya, yakni khalifah Al-Mu'tasim (memimpin 833–842 M) dan Al-Watsiq (memimpin 842–847 M) masih melanjutkan dukungannya terhadap kaum Muktazilah. Sampai dimulainya kepemimpinan Al-Mutawakkil (memimpin 847–861 M) yang dikenal karena dukungannya terhadap doktrin Hanabilah yang tekstualis, sejak saat itu Muktazilah mengalami persekusi. Hal tersebut menandai awal dari hilangnya pengaruh Muktazilah dari kancah peradaban Islam.[24] Meski begitu, masih terdapat beberapa penganut Muktazilah di Al-Andalus Spanyol terutama pada masa kepemimpinan khalifah Al-Hakam II (memimpin 961–976 M) yang terkenal karena upaya pelestarian buku dan literaturnya. Di bawah kepemimpinannya banyak dari kaum elit Muktazilah bertugas sebagai penerjemah dan penulis istana.[25] Mazhab teologi Muktazilah pada akhirnya mulai tergantikan oleh teologi yang lebih tradisionalis seperti Hanabilah dan Atsariyah (tekstualis) karena dukungan dari banyak penguasa besar pada saat itu. Hal ini bukan tanpa sebab, mazhab Atsariyah dikenal akan doktrinnya yang mendorong kepatuhan absolut terhadap penguasa walaupun sang penguasa tersebut bodoh, lalim ataupun keji, yang terpenting penguasa tersebut tetap menganut jenis Islam yang mereka yakini benar.[26] Hal ini menyebabkan mazhab tradisional tersebut banyak disukai oleh kalangan istana yang despotik.[27][26] Hal ini berbeda dengan doktrin Muktazilah yang selalu berdialektika soal keadilan, peradaban dan ilmu pengetahuan yang membuat penguasa harus bersusah-susah memahami filosofi bernegara dan berperadaban, yang tentunya secara praktis tidak banyak disukai oleh raja dan pangeran di kekaisaran Muslim pada abad pertengahan.[1][28][29][30] Ditambah dengan munculnya mazhab Asy'ari dan Maturidi yang mendapat dukungan dari penguasa Seljuk, Ayyubiyah, Mamluk dan Abbasiyah belakangan, memperparah persekusi terhadap Muktazilah.[31][32] Titik terparahnya terjadi saat kepemimpinan khalifah Al-Qadir (memimpin 991–1031 M), yang mengelurakan dekrit untuk membunuh siapa saja yang terbuka menganut mazhab Muktazilah.[33] Sampai terjadinya Invasi Mongol yang memporakporandakan wilayah kekuasaan Seljuk, Buwaihi, Abbasiyah dan sebagian Mamluk menjadi titik jelas penyebab hilangnya kaum Muktazilah di kancah peradaban Islam untuk waktu yang sangat lama.[34] Ajaran utamaMu'tazilah atau Muktazilah memiliki lima dasar ajaran utama yang disebut ushul al-khamsah, yakni:
Disamping lima prinsip tersebut, aliran Muktazilah berpendapat dalam masalah qada dan qadar, bahwa manusia sendirilah yang menciptakan perbuatannya, jadi tindakan dan gerak-gerik manusia bukan merupakan takdir yang semata-mata digerakan sepenuhnya oleh Allah (lihat pemikiran Jabariyyah). Bagi Muktazilah, karena manusia dihisab (dihitung amalannya) berdasarkan perbuatannya dan perilakunya, maka manusia itu sendirilah yang menciptakan perbuatan dan perilakunya secara sadar lewat kehendak bebas yang diformulasikan dan dijalankan oleh otak dan sistem syaraf.[45][2] Sehingga dalam hal ini Muktazilah menentang bentuk-bentuk fatalisme dan kepasrahan yang seringkali dicampur adukan dengan unsur-unsur agama Islam oleh mazhab teologi Islam yang lain. Beberapa unsur-unsur konsep pemikiran fatalisme dan kepasrahan inilah yang diadopsi oleh banyak mazhab teologi Islam yang menjadi penentang Muktazilah. Faktor inilah yang dianggap oleh banyak sejarahwan sebagai salah satu penyebab kemunduran parah peradaban Islam, pasca hilangnya pengaruh Muktazilah.[1][2] Referensi
Pranala luar
|