Share to:

 

Nafsul Ammarah

A. Hakikat al Nafs al Ammarah bi al-Suu'

Nafsul Ammarah adalah jiwa manusia yang ingin memenuhi kehendak hawa nafsu dalam segala bidang kehidupan, sehingga tidak menghiraukan kaidah-kaidah agama.[1] Misalnya saja bersifat takabur, loba, tamak, kikir, senang menyakiti orang lain, dan lain-lain.

Nafsu ini sering mengajak dan mendorong seseorang melakukan suatu kejahatan. Nafs al 'ammarah bi al suu' dimiliki oleh setiap orang, baik orang mukmin yang awam maupun orang non mukmin (kafir). Nafsu ini dapat menguasai seluruh jiwa dan raga karena adanya dorongan dari setan sebagaimana yang telah difirmankan Tuhan dalam surat Yusuf ayatlimapuluh tiga, berbunyi: Karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh pada kejahatan kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.[2] Hal tersebut sesuai dengan apa yang dikatan oleh Nabi Yusuf.[3] Kadang bisa dikatakan bahwa yang dimaksud dengan nafs al-ammarah bi al-su’ adalah nafs dalam arti secara umum.[4] Penggunaan istilah nafs sebenarnya dapat disamakan dengan istilah jiwa, meskipun ada pula yang menyamakan istilah jiwa pada ruh, akan tetapi penggunaan istilahnya pada jiwa lebih populer menggunakan nafs.[5] Sedangkan ammarah secara harfiyah artinya adalah banyak memberi perintah.[6] Adapun lafadz nafs juga mengandung makna kehendak (thaawiyah) dan sanubari (dhamiir),[7] sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT.:

[8]... إِنَّ اللَّهَ لَايُغَيِّرُمَابِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَابِأَنْفُسِهِمْ ...

Artinya:”... sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri ...”

Adapun istilah nafs al-ammah bi al- suu’ ditemukan pada pemahaman Lafadz nafs dalam makna bahan (maahiyah) manusia, bersamaan dengan nafs lawwamah, dan nafs muthmainnah.[9]

Nafsu ammarah oleh Serat Sasangka Jati dianggap berasal dari api dan bertempat di darah, serta tersebar di seluruh tubuh manusia. Ammarah memiliki sifat: merindukan dengan sangat, lekas marah, garang, juga jahat. Dr. Sumantri menerangkan bahwa nafsu ammarah ini adalah watak yag disertai dengan gairah, kekuatan, kemauan, dan bertahan.[10] Para ulama pada dasarnya sepakat, bahwa manusia itu pada dasarnya dilahirkan dalam keadaan suci atau fithrah. Fithrah yang dimaksud adalah, manusia ketika dilahirkan adalah dalam kondisi tidak memiliki dosa sama sekali, bahkan manusia memiliki potensi dasar, yakni ketaatan pada Allah, atau dengan kata lain manusia memiliki kecenderungan pada kebenaran.[11]

Hal ini telah mengindikasikan bahwa manusia memilki kemampuan untuk dapat membedakan antara kebenaran dan kejahatan. Hanya saja kondisi lingkungan yang melingkupinya suatu saat dapat membelokkan manusia pada jalan kesesatan yang mengarahkan manusia pada tindak kejahatan, sehingga keluar dari wujud aslinya, yaitu taat kepada Allah.[11]

Dalam buku psikologi agama, karya Wiwik Setiyani, dijelaskan bahwa nafs ammarah adalah jiwa yang menyerah dan patuh kepada kemauan syahwat dan mempertaruhkan ajakan setan, tidak mampu membentengi diri untuk menolak pada perbuatan-perbuatan jahat, karena sesungguhnya pada jiwa manusia itu memiliki jiwa kebinatangan pusatnya perbuatan.[12]

Jadi, meskipun pada dasarnya manusia itu terlahir dalam keadaan yang suci atau fithrah, namun ia juga memiliki potensi untuk salah. Untuk itu, agar dapat mengaktualisasikan fithrah-nya, manusia perlu memahami dan menguasai potensi salah atau kekurangan yang ada pada dirinya. Potensi keunggulan yang dimiliki manusia memberikannya kemampuan pada dirinya untuk dapat membedakan antara kebaikan dan kesalahan atau kekurangan.[13]

Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk mengaktualisasikan diri. Struktur watak yang baik itu dapat menguasai kecenderungan-kecenderungan atau dorongan-dorongan emosional dan biologisnya (nafs).[13]

Marah yang terkendali adalah salah satu contoh dari nafsul ammarah

Saat seseorang didominasi oleh nafs ammmarah, maka ia akan cenderung pada kebutuhan-kebutuhan atau keinginan-keinginan rendah. Jika dorongan-dorongan atau kecenderungan-kecenderungan tingkat rendah ini tidak terpenuhi atau tidak dikendalikan maka akan menimbulkan penyakit-penyakit mental dan menjauhkan diri dari proses menuju aktualisasi diri (fitrah).[13]

Nafs al ammarah selalu mendorong diri manusia untuk melahirkan perbuatan, sikap, dan tindakan kejahatan atau syahwat hewani dan kesenangan kepada kejahatan. Paling tidak dorongan kejahatan itu mengarah kepada tiga hal besar, yaitu:[14]

  1. Syahwat dan kesenangan terhadap harta benda; sehingga melahirkan kerakusan, perampokan, pencurian, manipulasi, korupsi, bahkan kekerasan fisik, seperti pembunuhan dan penganiyaan.
  2. Syahwat dari kesenangan terhadap sex; sehingga melahirkan kejahatan dan kekejian berupa perzinaan, pemerkosaan dan penyimpangan seksualitas lainnya, bahkan hanya karena soal sex terjadi pembunuhan dan penganiayaan fisik.
  3. Syahwat dan kesenangan terhadap jabatan dan kedudukan; sehingga melahirkan para pejabat dan pemimpin yang dzalim, tirani, otoriter, bahkan diktator. Akhirnya menindas siapa saja yang akan menghalang-halangi kekuasaannya dengan menghalalkan berbagai macam cara.

Mengikuti hawa nafs akan membawa manusia kepada kerusakan. Akibat dari pemuasan nafs jauh lebih mahal ketimbang kenikmatan yang didapat darinya. Hawa nafs yang tidak dapat dikendalikan juga dapat merusak potensi diri seseorang. Dalam al Qur’an telah dijelaskan:

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لا تَعْلَمُونَ[15]

Artinya:“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi’. Mereka berkata: ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?’ Tuhan berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.’”

Sebenarnya setiap orang diciptakan dengan potensi diri yang luar biasa, tetapi hawa nafs dapat menghambat potensi itu muncul kepermukaan. Potensi yang dimaksud di sini adalah potensi untuk menciptakan keadilan, ketentraman, keamanan, kesejahteraan, persatuan dan hal-hal baik lainnya. Namun karena hambatan nafs yang ada pada diri seseorang potensi-potensi tadi tidak dapat muncul kepermukan (dalam realita kehidupan).

Maka dari itu mensucikan diri atau mengendalikan hawa nafs adalah keharusan bagi siapa saja yang menghendaki keseimbangan, kebahagian dalam hidupnya karena hanya dengan berjalan di jalur-jalur yang benar sajalah manusia dapat mencapai hal-hal tersebut. Antara nafs di suatu pihak dan hati, akal, serta bashiirah akan saling tarik menarik dalam mempengaruhi, mewarnai dan menguasai jiwa seseoarang. Nafs ammarah dibantu oleh setan mendorong orang untuk berbuat fujur (kejahatan) dan sebaliknya, hati, akal dan bashiirah mengajak untuk bertaqwa. Manusia diberi kebebasan untuk menentukan pilihan, apakah akan mengikuti hawa nafs-nya atau malah akan mengikuti dorongan hatinya, dalam kehidupan keseharian manusia itu.[16]

Fuad Effendy memberikan secara umum karakteristik atau ciri-ciri nafs ammarah bi al-suu’, yaitu:[16]

1. Tidak akan pernah mau berhenti pada suatu titik keadaan, tidak pernah merasa puas, dan selalu merasa kurang.

2. Tidak pernah mau mengalah dan tidak mau bersabar.

3. Tidak pernah serasi dengan rasio (akal), hati, dan bashiirah.

4. Selalu menolak kebenaran Illahiyah (bersifat ketuhanan) maupun insaniyah (bersifat kemanusiaan).

5. Menghendaki sesuatu yang diinginkan harus tercapai atau diperoleh dengan segera (al ‘ajalah).

6. Mendorong ke arah pemikiran, sikap, perilaku yang menyesatkan.

7. Mendorong pengejaran kenikmatan duniawi.

Di antara para Ulama, ada yang merinci lebih spesifik, bahwa nafs ammarah bi al-suu’ itu juga meliputi hal-hal berikut:[16]

1. Nafs Rubuubiyyah, yaitu nafs yang ingin menyamai sifat-sifat yang hanya dimiliki Tuhan, seperti sombong.

2. Nafs Bahiimiyyah, yaitu nafs yang ingin menyamai sifat-sifat yang hanya dimiliki oleh binatang, seperti malas, memuaskan kebutuhan biologis atau sex.

3. Nafs Sabuu’iyyah, yaitu nafs yang ingin menyamai sifat-sifat yang hanya dimiliki binatang buas, seperti suka “memakan” orang lain.

4. Nafs Syaithaniiyyah, yaitu nafs yang ingin menyamai sifat-sifat yang hanya dimiliki setan, seperti: iri, dengki, menghasut.

Menurut Abraham Maslow, hampir semua orang memiliki kebutuhan dan kecenderungan untuk mengaktualisasikan diri. Meski demikian, kebanyakan orang tidak mengetahui potensi yang dimilikinya, buta terhadap kemampuannya sendiri. Mereka tidak menyadari seberapa besar prestasi yang dapat mereka raih dan seberapa banyak ganjaran bagi mereka yang mengaktualisasikan diri.[17] Maka pada saat manusia yang telah dijajah oleh nafs ammarah ini, ia tidak sadar bahwa segala perbuatan, sikap dan tindakan yang dilakukan itu akan membahayakan dirinya maupun orang lain. Ia sangat menikmati kejahatan dan kekejian yang dilakukannya itu. Batas-batas antara yang haq (benar) dan yang bathil (salah), halal dan haram, baik dan buruk, terpuji dan tercela, manfaat dan madlarat, dosa dan pahala sudah kabur dalam kehidupannya. Orang-orang seperti ini dikatakan oleh al Qur’an sebagai makhluk yang lebih hina dari binatang melata. Sebagaimana firman Allah:

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ[18]

Artinya:”Dan sungguh, akan Kami isi neraka Jahanam banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak diperg[19] unakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tidak digunakan untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah.”

Sehingga ketika manusia dapat mengekang dan menahan syahwat, maka derajat manusia itu akan naik ke derajat yang paling luhur dan berkumpul bersama para malaikat.[20]

Nafs adalah sebagai entitas dinamis yang ada pada diri manusia. Jika entitas ini dilatih secara benar, maka akan tumbuh dan berkembang pada jenjang tertinggi dari kesadaran spiritual. Namun, jika nafs tidak dikendalikan, maka yang mendominasi adalah dorongan-dorongan kejahatan. Untuk itulah, maka diperlukan struktur nilai yang berupa wahyu, ajaran-ajaran atau norma-norma yang dapat menjadi alat pengontrol bagi hawa nafs.[21] Al Razi juga berpendapat bahwa nafs harus berada di bawah kendali akal dan agama.


Referensi

  1. ^ Shadily, Hassan (1980).Ensiklopedia Indonesia.Jakarta:Ichtiar Baru van Hoeve. Hal 2325
  2. ^ Mujieb, Abdul (2009).Enseklopedi Tasawuf Imam al-Ghazali.Jakarta:Mizan.Hal 326
  3. ^ Khalid, Amri (2005).Jernihkan Hati.Jakarta:Republika. Hal 71
  4. ^ Imam al-Ghazali, Membangkitkan Energi Qalbu, suntingan: Muhammad Nuh, tk., Mitrapress, 2008, hlm. 17
  5. ^ Rosleni Marliany dan Asiyah, Psikologi Islam, Bandung, Pustaka Setia, 2015, hlm. 1
  6. ^ Shohibun Niam ibn Maulan Al-Tarobani, Zadah, tk., Al-Aziziyyah Press., 2014, hlm. 176
  7. ^ Rosleni Marliany dan Asiyah, Psikologi Islam, ibid., hlm. 11
  8. ^ (Q.S. al-Ra’d: 11)
  9. ^ Rosleni Marliany dan Asiyah, Psikologi Islam, ibid., hlm. 12
  10. ^ Hadiwjono, Harun (2006).Kebatinan dan Injil.Jakarta:Gunung Mulia.Hal 81
  11. ^ a b Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi, Yogyakarta, Walisongo Press. dan Pustaka Pelajar, 2002, hlm. 113
  12. ^ Wiwik Setiyani, Psikologi Agama, Surabaya, IAIN SA Press., 2011, hlm. 53
  13. ^ a b c Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi, ibid., hlm. 114
  14. ^ Hamdani Bakran al Dzakiey, Psikologi Kenabian, ibid., hlm. 110
  15. ^ (Q.S. al Baqarah: 30)
  16. ^ a b c A. Manan Idris, A. Fuad Effendy, dkk., Penyejuk Hati Penjernih Pikiran, 30 Topik Ceramah Keagamaan, Malang, Misykat, 2004, hlm. 102
  17. ^ Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi, ibid., hlm. 116
  18. ^ (Q.S. al A’raf: 179)
  19. ^ Netty Hartati, Zahratun Nihayah, dkk., Islam dan Psikologi, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 111
  20. ^ Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad Al Ghazali, Kitab Asror Al Shaum; Kutipan dari Ihya’ Ulum Al Diin, Terj.: Muhammad Musyafa’ ibn Mudzakir Ibn Said, Surabaya, Al Wava Publising, 2010
  21. ^ Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi, ibid., hlm. 116
Kembali kehalaman sebelumnya