Share to:

 

P2P Lending

P2P (peer-to-peer) Lending adalah penyelenggaraan layanan jasa keuangan untuk mempertemukan Pemberi Pinjaman dengan Penerima Pinjaman dalam rangka melakukan perjanjian pinjam meminjam melalui sistem elektronik dengan menggunakan jaringan internet. Layanan P2P merupakan penyelenggara badan hukum Indonesia yang menyediakan, mengelola, dan mengoperasikan Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Penerima Pinjaman (borrower) adalah orang dan/atau badan hukum yang mempunyai utang karena perjanjian Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Pemberi Pinjaman (Investor) adalah orang, badan hukum, dan/atau badan usaha yang mempunyai piutang karena perjanjian Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Peraturan soal P2P diatur dalam Peraturan OJK (POJK).

Perkembangan

Menurut OJK, P2P Lending telah menunjukkan tren yang sangat positif. OJK mencatat, hingga bulan September 2017, pertumbuhan penyaluran dana melalui fintech P2P Lending di Indonesia mencapai Rp 1,6 triliun. Sementara itu, nilai pendanaan di luar Pulau Jawa meningkat sebesar 1.074 persen sejak akhir tahun lalu menjadi Rp 276 miliar. Hal tersebut didukung adanya peningkatan jumlah pemberi pinjaman di luar Pulau Jawa sebesar 784 persen, begitu juga dengan jumlah peminjam yang meningkat sebesar 745 persen.[1]

Direktur Pengaturan, Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi menuturkan, setidaknya masih ada 30 perusahaan fintech lending yang sedang dalam proses mendaftar ke OJK. Lalu terdapat 10 perusahaan fintech yang datang dan berniat untuk mengajukan izin.

Bisnis fintech lending dalam negeri terhitung berkembang pesat. Data OJK mencatat, hingga kuartal III 2017, penyaluran pinjaman telah mencapai Rp 1,4 triliun. Jumlah tersebut naik 497% dari realisasi Desember tahun lalu yang hanya tercatat Rp 242,49 miliar. “Dari yang sudah terdaftar 22 fintech kami juga dorong untuk ekspansi wilayah untuk membangun Indonesia dari pinggir,” terang Hendrikus, baru-baru ini.[2]

Salah satu pemicu pertumbuhan P2P Lending di Indonesia adalah masih sangat rendahnya inklusi keuangan di Indonesia. Asosiasi FinTech Indonesia melaporkan masih ada 49 juta UKM yang belum bankable di Indonesia. Umumnya, ini disebabkan karena pinjaman modal usaha mensyaratkan adanya agunan. P2P Lending dapat menjembatani UKM peminjam yang layak/creditworthy menjadi bankable dengan menyediakan pinjaman tanpa agunan.[3]

Laporan lembaga konsultan OliverWyman[4] menyebutkan bahwa Indonesia memiliki lebih dari 57 juta usaha mikro; namun, hanya sekitar 1% di antara mereka yang mampu berkembang menjadi UKM (Usaha Kecil dan Menengah). Salah satu penyebab utamanya adalah keterbatasan akses pendanaan dan kredit bagi pengusaha mikro, yang diproyeksikan mencapai US$ 54 miliar pada tahun 2020, Sementara, di sisi lain, dari sisi supply terdapat banyak dana menganggur dari orang - orang kaya, yang selama ini hanya ditempatkan di deposito dan instrumen investasi lain, sejumlah US$ 210 miliar.

Hasil ini sejalan dengan riset World Bank[5] beberapa tahun lalu yang menemukan bahwa hanya 17% orang Indonesia meminjam dari Bank dan alasan tidak bisa meminjam ke bank adalah keterbatasan persyaratan dokumen, dan tidak memiliki jaminan. Meskipun bank di Indonesia salah satu yang paling untung di dunia, tetapi karena kondisi pasar yang oligopolistik menyebabkan perbankan tidak banyak menyalurkan kredit ke sektor pinjaman mikro.[6]

Dalam kondisi, rendahnya akses sektor mikro terhadap pinjaman, P2P Lending hadir sebagai penghubung pemilik dana dan peminjam.

Di dunia, fenomena Peer-to-Peer Lending sudah berkembang pesat beberapa dekade sebelumnya. Pertama kali hadir di Britania Raya dengan provider P2P Zopa pada tahun 2005. Saat ini, salah satu yang pertumbuhan industri P2P paling cepat adalah di Tiongkok.

Menurut keterangan resmi OJK, sampai Maret 2018, jumlah penyedia dana fintech peer to peer lending sebanyak 145.965 entitas atau meningkat 44,61 persen. Jumlah peminjam mencapai 1.032.776 orang atau meningkat 297,78 persen. Nilai pinjaman sebesar Rp4,47 triliun atau meningkat 74,45 persen dengan rasio nilai pinjaman macet sebesar 0,55 persen atau menurun dibanding Desember 2017 sebesar 0,99 persen.[7]

Menurut situs OJK,[8] saat ini sudah ada 67 P2P platform yang terdaftar di OJK (data per 4 September 2018) dengan total penyaluran pinjaman mencapai Rp 9 Triliun per Juli 2018 dan NPL (>90 dpd) pada 1.40%. Para platform P2P tergabung dalam Asosiasi FinTech Indonesia.

OJK Menutup 182 P2P Tidak Berijin

Satuan Tugas Penanganan Dugaan Tindakan Melawan Hukum di Bidang Penghimpunan Dana Masyarakat dan Pengelolaan Investasi atau Satgas Waspada Investasi kembali menemukan 182 entitas[9] yang melakukan kegiatan usaha peer to peer lending namun tidak terdaftar atau memiliki izin usaha dari OJK.

Satgas Waspada Investasi meminta entitas Fintech Peer-to-Peer Lending tersebut untuk:

  1. Menghentikan kegiatan Peer-to-Peer Lending.
  2. Menghapus semua aplikasi penawaran pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi.
  3. Menyelesaikan segala kewajiban kepada pengguna.
  4. Segera mengajukan pendaftaran ke OJK.

Satgas Waspada Investasi juga meminta masyarakat untuk tidak melakukan kegiatan dengan entitas yang tidak berizin tersebut karena tidak berada di bawah pengawasan OJK dan berpotensi merugikan masyarakat.

Informasi mengenai daftar entitas fintech peer-to-peer lending yang terdaftar atau memiliki izin dari OJK dapat diakses melalui www.ojk.go.id.

Cara Kerja P2P Lending

Karena terdapat dua pihak yang berperan dalam P2P Lending, yakni Peminjam dan Pendana/Investor, maka cara kerja P2P Lending bagi masing-masing dibedakan dan terpapar sebagai berikut:

Peminjam

Sebagai peminjam, yang perlu peminjam lakukan hanyalah mengunggah semua dokumen yang dibutuhkan untuk mengajukan pinjaman secara online (yang relatif cepat prosesnya), yang di antaranya merupakan dokumen berisi laporan keuangan dalam jangka waktu tertentu dan juga tujuan peminjam dalam pinjaman tersebut. Bagi badan usaha yang mendaftar sebagai peminjam, biasanya diminta menyerahkan juga dokumen identitas, bukti legalitas perusahaan, dan laporan keuangan usaha.[butuh rujukan]

Permohonan peminjaman peminjam bisa diterima ataupun ditolak, tentunya tergantung dari beragam faktor. Jika permohonan peminjam ditolak maka peminjam harus memperbaiki segala hal yang menjadi alasan penolakan permohonan peminjam.

Kemudian, jika diterima, suku bunga pinjaman akan diterapkan dan pengajuan pinjaman peminjam akan dimasukkan ke dalam marketplace yang tersedia agar semua pendana bisa melihat pengajuan pinjaman peminjam.

Pendana

Sebagai investor, nantinya pendana memiliki akses untuk menelusuri data-data pengajuan pinjaman di dashboard yang telah disediakan. pendana juga pastinya bisa melihat semua data mengenai setiap pengajuan pinjaman, terutama data relevan mengenai si peminjam seperti pendapatan, riwayat keuangan, tujuan peminjaman (bisnis, kesehatan, atau pendidikan) beserta alasannya, dan sebagainya.

Jika pendana memutuskan untuk menginvestasikan pinjaman tersebut, pendana bisa langsung menginvestasikan sejumlah dana setelah melakukan deposit sesuai tujuan investasi pendana.

Peminjam akan mencicil dana pinjamannya setiap bulan dan pendana akan mendapatkan keuntungan berupa pokok dan bunga. Besaran bunga akan tergantung pada suku bunga pinjaman yang diinvestasikan.

Manfaat dan Risiko

Menurut kajian terbaru Bank Indonesia,[10] manfaat perkembangan Fintech, yang mana salah satu yang paling banyak adalah P2P, adalah:

  • Bagi peminjam, manfaat yang dirasa antara lain mendorong inklusi keuangan, memberikan alternatif pinjaman bagi debitur yang belum layak kredit, prosesnya mudah dan cepat, dan persaingan yang ditimbulkan mendorong penurunan suku bunga pinjaman.
  • Bagi investor fintech merupakan alternatif investasi dengan return yang lebih tinggi dengan risiko default yang tersebar di banyak investor dengan nominal masing-masing cukup rendah dan investor dapat memilih peminjam yang didanai sesuai preferensinya. Pendanaan P2P Lending juga bermanfaat khususnya bagi generasi milenial, karena penggunaan produknya yang didukung oleh teknologi digital.[11]
  • Bagi perbankan, kerjasama dengan fintech dapat mengurangi biaya (misalnya penggunaan nontraditional credit scoring untuk filtering awal aplikasi kredit), menambah DPK, menambah channel penyaluran kredit dan merupakan alternatif investasi bagi perbankan.

Hal lain yang menarik yang disorot Bank Indonesia adalah Penggunaan big data analytic di Fintech, yaitu dengan mengolah big data untuk tujuan non-traditional credit scoring. Data yang digunakan berupa digital footprint, al: social network data, mobile data, browser data, online transaction data untuk proses credit scoring yang diolah menggunakan algoritme machine learning. P2P dan online lending platform dapat bekerja sama dengan fintech ini untuk mitigasi risiko kredit.

Namun, Bank Indonesia sebagai regulator juga mencatat sejumlah risiko utama dari fintech terhadap sistem keuangan, yaitu:

  • Pencatatan dan pelaporan Pencatatan yang dilakukan oleh fintech wajib dilaporkan kepada OJK setiap 3 bulan. Namun demikian, belum ada standardisasi pengkategorian kredit, sehingga antar fintech yang satu dengan fintech yang lain dapat berbeda dalam pengakuan NPL.
  • Credit scoring. Belum ada standardisasi komponen web footprint yang digunakan dapat berbeda antar credit scoring yang satu dengan yang lain, sehingga dapat memperoleh hasil yang berbeda.
  • Fraud Fraud. dapat terjadi dalam berbagai bentuk, antara lain peminjam fiktif, penyaluran pinjaman secara berlebih kepada satu peminjam yang diragukan tanpa sepengetahuan investor.
  • Penurunan profitabilitas bank. Total aset fintech saat ini masih sangat kecil dibandingkan total aset perbankan, namun perkembangannya sangat pesat. Dengan perkembangan tersebut, fintech dapat mempengaruhi stabilitas DPK di bank yang ada saat ini dan bersaing dalam memperoleh pendapatan dari bunga kredit dari bank.
  • Penarikan dana investor secara tiba-tiba. Suatu fintech cenderung menyalurkan pinjaman pada satu wilayah atau satu subsektor tertentu yang dapat menumbuhkan ketergantungan dari sekelompok peminjam pada pendanaan dari fintech. Sentimen negatif dapat menyebabkan hilangnya kepercayaan investor kepada fintech secara tiba-tiba. Hal ini dapat mempengaruhi keberlangsungan usaha kelompok peminjam yang tergantung pada fintech.
  • IT. Terdapat potensi pencurian data nasabah yang dikelola oleh fintech jika tidak diimbangi security yang memadai. Jika bank menggunakan teknologi dari fintech yang digunakan secara plug-in, meningkatkan kerentanan terhadap cyber attack.
  • Penyaluran kredit kepada debitur bermasalah. Selain kepada peminjam layak yang belum bankable, terdapat potensi penyaluran pinjaman dari fintech kepada peminjam yang ditolak oleh bank sehingga lebih berisiko.
  • Proses collection. Skala usaha yang kecil dan pengalaman yang belum lama menyebabkan proses collection yang dilakukan belum tentu sebaik yang dilakukan oleh bank sehingga berpotensi menurunkan recovery rate.
  • Exit policy. Belum ada pengaturan bagaimana perlakuan terhadap fintech yang tutup.

Kelebihan Bagi Peminjam

  • Bagi si peminjam, salah satu manfaat terbesar dari P2P Lending adalah suku bunga yang rendah dibandingkan dengan suku bunga yang ditetapkan oleh lembaga keuangan resmi, misalnya, bank. Sebaliknya, pinjaman pribadi mungkin memiliki tingkat bunga antara 12-20% dari lembaga keuangan, itu pun masih lebih rendah ketimbang tagihan kartu kredit. Sedangkan pinjaman dari P2P Lending memiliki suku bunga yang lebih rendah.
  • Kelebihan lainnya adalah proses pengajuan pinjamannya tidak seformal ketika mengajukan pinjaman di lembaga keuangan seperti bank. Prosesnya pun jauh lebih cepat dan mudah. Selain itu, peminjam tidak membutuhkan syarat-syarat sulit yang harus dipenuhi agar pinjaman disetujui.
  • Nantinya, jika peminjam memiliki reputasi yang buruk soal pinjaman keuangan, peminjam bisa menjelaskan alasan di baliknya kenapa hal tersebut bisa terjadi. Selain itu, peminjam juga bisa mengajukan pinjaman untuk tujuan ataupun alasan apapun selama ada orang yang akan menginvestasikan uangnya.
  • Terakhir, P2P Lending merupakan pinjaman tanpa agunan yang artinya jaminan apapun sama sekali tidak diperlukan.

Kekurangan Bagi Peminjam

  • Suku bunga pinjaman P2P Lending melonjak naik saat kelayakan kredit peminjam jatuh.
  • Jika peminjam telat membayar, tagihan akan sangat signifikan, di mana jika peminjam gagal membayar pinjaman peminjam, jumlah yang harus dibayar nantinya bisa melejit tinggi.
  • Pinjaman hanya cocok untuk jangka pendek, sebab semakin lama jangka waktu pinjaman, tagihan akan terus naik. Ada kemungkinan bahwa kebutuhan dana pinjaman peminjam bisa terpenuhi secara keseluruhan, namun tidak ada jaminan bahwa seluruh pengajuan pinjaman dana akan terpenuhi.
  • Misalnya peminjam membutuhkan pinjaman dana sebesar Rp 150 juta, dan jika hanya Rp 75 juta saja yang terpenuhi, pengajuan pinjaman peminjam berarti gagal dan dana yang sudah terkumpul akan dikembalikan ke para investor.

Kelebihan Bagi Pendana

  • P2P Lending sudah resmi diatur dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) lewat Peraturan OJK nomor 77/POJK.01/2016.
  • Memberikan pinjaman sangat mudah dan cepat dengan P2P Lending, khususnya jika pendana memiliki dana lebih namun tidak tahu harus mengalokasikannya ke mana.
  • Suku bunga pinjaman yang diterima memiliki nilai yang signifikan, sehingga lebih menguntungkan.
  • Memberikan pinjaman melalui sistem P2P Lending ini juga memudahkan pendana untuk mendiversifikasi investasi pendana, sehingga memperbesar kesempatan untuk meraup keuntungan yang lebih besar.

Kekurangan Bagi Pendana

  • Jika pendana menginvestasikan uang melalui P2P Lending, pendana tidak bisa menarik uang yang pendana investasikan kapan pun pendana mau, tidak seperti menyetor uang ke bank.
  • Ada kemungkinan bahwa si peminjam akan gagal dalam mengembalikan uang pinjamannya, sehingga dana yang pendana pinjamkan bisa lenyap.

Namun hal ini sudah diatasi oleh mayoritas platform Peer-to-Peer Lending dengan jaminan yang diberikan kepada pendana sebagai pendana. Risiko gagal bayar juga bisa diminimalisir dengan penerapan diversifikasi portofolio.

Regulasi

Sesuai POJK 77,[12] regulasi soal P2P Lending adalah sebagai berikut:

Penyelenggara P2P

Badan hukum Penyelenggara berbentuk: a. perseroan terbatas; atau b. koperasi. Penyelenggara bisa didirikan dan dimiliki oleh Warga Negara/Badan Hukum Indonesia dan atau Asing.

Penyelenggara wajib mengajukan pendaftaran dan perizinan kepada OJK.

  • Pendaftaran. Penyelenggara yang akan melakukan kegiatan P2P wajib mengajukan permohonan pendaftaran ke OJK. Sementara, penyelenggara yang sudah melakukan kegiatan P2P sebelum POJK 77 ini diberi waktu paling lama 6 bulan untuk mendaftar.
  • Perizinan. Penyelenggara yang telah terdaftar di OJK, wajib mengajukan permohonan izin sebagai Penyelenggara dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal terdaftar di OJK. Jika dalam jangka waktu 1 tahun, Penyelenggara tidak mengajukan perizinan atau tidak memenuhi persyaratan perizinan, maka status terdaftarnya di OJK dinyatakan batal. Jika sudah batal status terdaftarnya, OJK menetapkan bahwa Penyelenggara tidak dapat lagi menyampaikan permohonan pendaftaran kepada OJK.

Modal minimum adalah Rp 1 Miliar saat pendaftaran dan Rp 2.5 Miliar pada saat mengajukan permohonan perizinan.

Kepemilikan

Penyelenggara oleh warga negara asing dan/atau badan hukum asing, baik secara langsung maupun tidak langsung paling banyak 85% (delapan puluh lima persen). Artinya, minimum kepemilikan Indonesia adalah 15% dalam layanan P2P. Perubahan kepemilikan Penyelenggara harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari OJK.

Kegiatan Usaha

Penyelenggara menyediakan, mengelola, dan mengoperasikan Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi dari pihak Pemberi Pinjaman kepada pihak Penerima Pinjaman yang sumber dananya berasal dari pihak Pemberi Pinjaman.

Penyelenggara wajib menggunakan pusat data dan pusat pemulihan bencana yang wajib ditempatkan di Indonesia. Wajib menyediakan rekam jejak audit (audit trail) terhadap seluruh kegiatannya di dalam sistem elektronik P2P.

Penyelenggara P2P dilarang untuk: bertindak sebagai Pemberi Pinjaman atau Penerima Pinjaman; menerbitkan surat utang; melakukan kegiatan usaha selain P2P.

Investor dan Peminjam

Peminjam di P2P harus berasal dan berdomisili di wilayah hukum Indonesia. Tetapi, investor (pemberi pinjaman) di P2P boleh berasal dari dalam dan luar negeri. Batas maksimum total pemberian pinjaman dana oleh P2P sebesar Rp 2 Miliar.

Kualifikasi Sumber Daya Manusia

Penyelenggara wajib memiliki sumber daya manusia yang memiliki keahlian dan/atau latar belakang di bidang teknologi informasi. Penyelenggara wajib memiliki paling sedikit 1 (satu) orang anggota Direksi dan 1 (satu) orang anggota Komisaris yang berpengalaman paling sedikit 1 (satu) tahun di industri jasa keuangan.

Mitigasi Risiko

Dalam proses pinjam meminjam, P2P wajib menggunakan escrow account dan virtual account. Penyelenggara P2P wajib menyediakan virtual account bagi setiap Pemberi Pinjaman. Sementara dalam rangka pelunasan pinjaman, Penerima Pinjaman melakukan pembayaran melalui escrow account Penyelenggara untuk diteruskan ke virtual account Pemberi Pinjaman.

Tanda Tangan Elektronik

Perjanjian dalam penyelenggaraan P2P dilaksanakan dengan menggunakan tanda tangan elektronik, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tanda tangan elektronik.

P2P vs Bank

Perbedaan utama antara P2P dengan Bank adalah P2P tidak melakukan penghimpunan dana masyarakat. P2P bukan deposit-taking. Pengalaman di China, ketika industri P2P Lending tumbuh pesat sekali, industri perbankan di China ikut tumbuh. P2P tampaknya tidak mengambil segmen perbankan tetapi mengisi segmen yang selama ini belum digarap oleh sektor perbankan.

Trend di dunia terjadi kolaborasi antara P2P Lending dan Perbankan. Salah satu yang kerjasama[13] yang paling terkenal adalah antara P2P Lender On Deck Capital dan JP Morgan Chase di US dalam menyediakan pinjaman untuk pengusaha kecil dan menengah.

Di Indonesia, kerjasama antara Bank dan P2P adalah sebuah keniscayaan karena keduanya bisa saling melengkapi. Contohnya, baru-baru ini, platform P2P Investree dan Bank melakukan kerjasama dimana Bank berperan sebagai pemberi pinjaman (institutional lender) yang nantinya akan disalurkan melalui platform P2P Investree kepada para peminjam.[14] Modalku dan Bank Sinarmas juga menjalankan kerja sama untuk implementasi perjanjian kustodian dalam rangka meningkatkan keamanan dana para pemberi pinjaman.[pranala nonaktif permanen][15]

Referensi

  1. ^ Fauzi, Achmad. Djumena, Erlangga, ed. "OJK: "Fintech P2P Lending" di Indonesia Capai Rp 1,6 Triliun". Kompas.com. Harian Kompas. Diakses tanggal 2017-11-19. 
  2. ^ Kulsum, Umi. Caturini, Rizki, ed. "OJK kembali beri izin dua fintech p2p lending". Kontan.co.id. Diakses tanggal 2017-11-19. 
  3. ^ "P2P Lending: Wujud Baru Inklusi Keuangan" (PDF). Asosiasi FinTech Indonesia. Asosiasi FinTech Indonesia. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2017-05-01. Diakses tanggal 2017-11-26. 
  4. ^ "Time for Marketplace Lending Addressing Indonesia's Missing Middle" (PDF). oliverwyman. oliverwyman. Diakses tanggal 2017-12-1. 
  5. ^ "Improving Access to Financial Services in Indonesia" (PDF). World Bank. Diakses tanggal 2017-12-1. 
  6. ^ Rosengard, Jay K (2011-12-6). "If The Banks Are Doing So Well, Why Can't I Get A Loan? Regulatory Constraints to Financial Inclusion in Indonesia" (PDF). Asian Economic Policy Review. 6 (2). doi:10.1111/j.1748-3131.2011.01205.x. Diakses tanggal 2017-12-1.  line feed character di |title= pada posisi 50 (bantuan);
  7. ^ "Siaran Pers: OJK Dorong Industri Keuangan Syariah dengan Manfaatkan Teknologi". Otoritas Jasa Keuangan. Otoritas Jasa Keuangan. 2018-05-03. Diakses tanggal 2018-05-15. 
  8. ^ "Perkembangan Fintech Lending (Pendanaan Gotong Royong on-Line)" (PDF). Otoritas Jasa Keuangan. Otoritas Jasa Keuangan. 7 - 9 - 2018. Diakses tanggal 23 Sept 2018. 
  9. ^ "DAFTAR PLATFORM FINTECH LENDING YANG BELUM TERDAFTAR ATAU BERIZIN" (PDF). Otoritas Jasa Keuangan. Otoritas Jasa Keuangan. 07-09-2018. Diakses tanggal 23-09-2018. 
  10. ^ "Kajian Stabilitas Keuangan, No 28, Maret 2017" (PDF). http://www.bi.go.id. Bank Indonesia. 2017-03-30. Diakses tanggal 2017-12-05.  Hapus pranala luar di parameter |website= (bantuan)[pranala nonaktif permanen]
  11. ^ "Di Era Digital, Alternatif Investasi Modalku Menjadi Pilihan Generasi Muda Indonesia". Modalku (blog). 2018-06-04. Diakses tanggal 2019-01-22. 
  12. ^ - POJK Fintech.pdf "POJK 77" Periksa nilai |url= (bantuan) (PDF). http://www.ojk.go.id. Diakses tanggal 2017-11-19.  Hapus pranala luar di parameter |website= (bantuan)[pranala nonaktif permanen]
  13. ^ "Why JPMorgan Chase And On Deck Capital Are Teaming Up To Offer Small Business Loans". www.Forbes.com. Diakses tanggal 2017-12-03. 
  14. ^ Kulsum, Umi (2018-05-08). Winarto, Yudho, ed. "Dukung pertumbuhan UMKM lewat Tekfin, Amar Bank gandeng Investree". Kontan.co.id. Kontan. Diakses tanggal 2018-05-29. 
  15. ^ Setiawan, Sakina Rakhma Diah (2016-09-21). Ika, Aprillia, ed. ""Fintech" Modalku Kerja Sama Kustodian dengan Bank Sinarmas". Kompas.com. Diakses tanggal 2019-01-22. 
Kembali kehalaman sebelumnya