P2P LendingP2P (peer-to-peer) Lending adalah penyelenggaraan layanan jasa keuangan untuk mempertemukan Pemberi Pinjaman dengan Penerima Pinjaman dalam rangka melakukan perjanjian pinjam meminjam melalui sistem elektronik dengan menggunakan jaringan internet. Layanan P2P merupakan penyelenggara badan hukum Indonesia yang menyediakan, mengelola, dan mengoperasikan Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Penerima Pinjaman (borrower) adalah orang dan/atau badan hukum yang mempunyai utang karena perjanjian Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Pemberi Pinjaman (Investor) adalah orang, badan hukum, dan/atau badan usaha yang mempunyai piutang karena perjanjian Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Peraturan soal P2P diatur dalam Peraturan OJK (POJK). PerkembanganMenurut OJK, P2P Lending telah menunjukkan tren yang sangat positif. OJK mencatat, hingga bulan September 2017, pertumbuhan penyaluran dana melalui fintech P2P Lending di Indonesia mencapai Rp 1,6 triliun. Sementara itu, nilai pendanaan di luar Pulau Jawa meningkat sebesar 1.074 persen sejak akhir tahun lalu menjadi Rp 276 miliar. Hal tersebut didukung adanya peningkatan jumlah pemberi pinjaman di luar Pulau Jawa sebesar 784 persen, begitu juga dengan jumlah peminjam yang meningkat sebesar 745 persen.[1] Direktur Pengaturan, Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi menuturkan, setidaknya masih ada 30 perusahaan fintech lending yang sedang dalam proses mendaftar ke OJK. Lalu terdapat 10 perusahaan fintech yang datang dan berniat untuk mengajukan izin. Bisnis fintech lending dalam negeri terhitung berkembang pesat. Data OJK mencatat, hingga kuartal III 2017, penyaluran pinjaman telah mencapai Rp 1,4 triliun. Jumlah tersebut naik 497% dari realisasi Desember tahun lalu yang hanya tercatat Rp 242,49 miliar. “Dari yang sudah terdaftar 22 fintech kami juga dorong untuk ekspansi wilayah untuk membangun Indonesia dari pinggir,” terang Hendrikus, baru-baru ini.[2] Salah satu pemicu pertumbuhan P2P Lending di Indonesia adalah masih sangat rendahnya inklusi keuangan di Indonesia. Asosiasi FinTech Indonesia melaporkan masih ada 49 juta UKM yang belum bankable di Indonesia. Umumnya, ini disebabkan karena pinjaman modal usaha mensyaratkan adanya agunan. P2P Lending dapat menjembatani UKM peminjam yang layak/creditworthy menjadi bankable dengan menyediakan pinjaman tanpa agunan.[3] Laporan lembaga konsultan OliverWyman[4] menyebutkan bahwa Indonesia memiliki lebih dari 57 juta usaha mikro; namun, hanya sekitar 1% di antara mereka yang mampu berkembang menjadi UKM (Usaha Kecil dan Menengah). Salah satu penyebab utamanya adalah keterbatasan akses pendanaan dan kredit bagi pengusaha mikro, yang diproyeksikan mencapai US$ 54 miliar pada tahun 2020, Sementara, di sisi lain, dari sisi supply terdapat banyak dana menganggur dari orang - orang kaya, yang selama ini hanya ditempatkan di deposito dan instrumen investasi lain, sejumlah US$ 210 miliar. Hasil ini sejalan dengan riset World Bank[5] beberapa tahun lalu yang menemukan bahwa hanya 17% orang Indonesia meminjam dari Bank dan alasan tidak bisa meminjam ke bank adalah keterbatasan persyaratan dokumen, dan tidak memiliki jaminan. Meskipun bank di Indonesia salah satu yang paling untung di dunia, tetapi karena kondisi pasar yang oligopolistik menyebabkan perbankan tidak banyak menyalurkan kredit ke sektor pinjaman mikro.[6] Dalam kondisi, rendahnya akses sektor mikro terhadap pinjaman, P2P Lending hadir sebagai penghubung pemilik dana dan peminjam. Di dunia, fenomena Peer-to-Peer Lending sudah berkembang pesat beberapa dekade sebelumnya. Pertama kali hadir di Britania Raya dengan provider P2P Zopa pada tahun 2005. Saat ini, salah satu yang pertumbuhan industri P2P paling cepat adalah di Tiongkok. Menurut keterangan resmi OJK, sampai Maret 2018, jumlah penyedia dana fintech peer to peer lending sebanyak 145.965 entitas atau meningkat 44,61 persen. Jumlah peminjam mencapai 1.032.776 orang atau meningkat 297,78 persen. Nilai pinjaman sebesar Rp4,47 triliun atau meningkat 74,45 persen dengan rasio nilai pinjaman macet sebesar 0,55 persen atau menurun dibanding Desember 2017 sebesar 0,99 persen.[7] Menurut situs OJK,[8] saat ini sudah ada 67 P2P platform yang terdaftar di OJK (data per 4 September 2018) dengan total penyaluran pinjaman mencapai Rp 9 Triliun per Juli 2018 dan NPL (>90 dpd) pada 1.40%. Para platform P2P tergabung dalam Asosiasi FinTech Indonesia. OJK Menutup 182 P2P Tidak BerijinSatuan Tugas Penanganan Dugaan Tindakan Melawan Hukum di Bidang Penghimpunan Dana Masyarakat dan Pengelolaan Investasi atau Satgas Waspada Investasi kembali menemukan 182 entitas[9] yang melakukan kegiatan usaha peer to peer lending namun tidak terdaftar atau memiliki izin usaha dari OJK. Satgas Waspada Investasi meminta entitas Fintech Peer-to-Peer Lending tersebut untuk:
Satgas Waspada Investasi juga meminta masyarakat untuk tidak melakukan kegiatan dengan entitas yang tidak berizin tersebut karena tidak berada di bawah pengawasan OJK dan berpotensi merugikan masyarakat. Informasi mengenai daftar entitas fintech peer-to-peer lending yang terdaftar atau memiliki izin dari OJK dapat diakses melalui www.ojk.go.id. Cara Kerja P2P LendingKarena terdapat dua pihak yang berperan dalam P2P Lending, yakni Peminjam dan Pendana/Investor, maka cara kerja P2P Lending bagi masing-masing dibedakan dan terpapar sebagai berikut: PeminjamSebagai peminjam, yang perlu peminjam lakukan hanyalah mengunggah semua dokumen yang dibutuhkan untuk mengajukan pinjaman secara online (yang relatif cepat prosesnya), yang di antaranya merupakan dokumen berisi laporan keuangan dalam jangka waktu tertentu dan juga tujuan peminjam dalam pinjaman tersebut. Bagi badan usaha yang mendaftar sebagai peminjam, biasanya diminta menyerahkan juga dokumen identitas, bukti legalitas perusahaan, dan laporan keuangan usaha.[butuh rujukan] Permohonan peminjaman peminjam bisa diterima ataupun ditolak, tentunya tergantung dari beragam faktor. Jika permohonan peminjam ditolak maka peminjam harus memperbaiki segala hal yang menjadi alasan penolakan permohonan peminjam. Kemudian, jika diterima, suku bunga pinjaman akan diterapkan dan pengajuan pinjaman peminjam akan dimasukkan ke dalam marketplace yang tersedia agar semua pendana bisa melihat pengajuan pinjaman peminjam. PendanaSebagai investor, nantinya pendana memiliki akses untuk menelusuri data-data pengajuan pinjaman di dashboard yang telah disediakan. pendana juga pastinya bisa melihat semua data mengenai setiap pengajuan pinjaman, terutama data relevan mengenai si peminjam seperti pendapatan, riwayat keuangan, tujuan peminjaman (bisnis, kesehatan, atau pendidikan) beserta alasannya, dan sebagainya. Jika pendana memutuskan untuk menginvestasikan pinjaman tersebut, pendana bisa langsung menginvestasikan sejumlah dana setelah melakukan deposit sesuai tujuan investasi pendana. Peminjam akan mencicil dana pinjamannya setiap bulan dan pendana akan mendapatkan keuntungan berupa pokok dan bunga. Besaran bunga akan tergantung pada suku bunga pinjaman yang diinvestasikan. Manfaat dan RisikoMenurut kajian terbaru Bank Indonesia,[10] manfaat perkembangan Fintech, yang mana salah satu yang paling banyak adalah P2P, adalah:
Hal lain yang menarik yang disorot Bank Indonesia adalah Penggunaan big data analytic di Fintech, yaitu dengan mengolah big data untuk tujuan non-traditional credit scoring. Data yang digunakan berupa digital footprint, al: social network data, mobile data, browser data, online transaction data untuk proses credit scoring yang diolah menggunakan algoritme machine learning. P2P dan online lending platform dapat bekerja sama dengan fintech ini untuk mitigasi risiko kredit. Namun, Bank Indonesia sebagai regulator juga mencatat sejumlah risiko utama dari fintech terhadap sistem keuangan, yaitu:
Kelebihan Bagi Peminjam
Kekurangan Bagi Peminjam
Kelebihan Bagi Pendana
Kekurangan Bagi Pendana
Namun hal ini sudah diatasi oleh mayoritas platform Peer-to-Peer Lending dengan jaminan yang diberikan kepada pendana sebagai pendana. Risiko gagal bayar juga bisa diminimalisir dengan penerapan diversifikasi portofolio. RegulasiSesuai POJK 77,[12] regulasi soal P2P Lending adalah sebagai berikut: Penyelenggara P2PBadan hukum Penyelenggara berbentuk: a. perseroan terbatas; atau b. koperasi. Penyelenggara bisa didirikan dan dimiliki oleh Warga Negara/Badan Hukum Indonesia dan atau Asing. Penyelenggara wajib mengajukan pendaftaran dan perizinan kepada OJK.
Modal MinimumModal minimum adalah Rp 1 Miliar saat pendaftaran dan Rp 2.5 Miliar pada saat mengajukan permohonan perizinan. KepemilikanPenyelenggara oleh warga negara asing dan/atau badan hukum asing, baik secara langsung maupun tidak langsung paling banyak 85% (delapan puluh lima persen). Artinya, minimum kepemilikan Indonesia adalah 15% dalam layanan P2P. Perubahan kepemilikan Penyelenggara harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari OJK. Kegiatan UsahaPenyelenggara menyediakan, mengelola, dan mengoperasikan Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi dari pihak Pemberi Pinjaman kepada pihak Penerima Pinjaman yang sumber dananya berasal dari pihak Pemberi Pinjaman. Penyelenggara wajib menggunakan pusat data dan pusat pemulihan bencana yang wajib ditempatkan di Indonesia. Wajib menyediakan rekam jejak audit (audit trail) terhadap seluruh kegiatannya di dalam sistem elektronik P2P. Penyelenggara P2P dilarang untuk: bertindak sebagai Pemberi Pinjaman atau Penerima Pinjaman; menerbitkan surat utang; melakukan kegiatan usaha selain P2P. Investor dan PeminjamPeminjam di P2P harus berasal dan berdomisili di wilayah hukum Indonesia. Tetapi, investor (pemberi pinjaman) di P2P boleh berasal dari dalam dan luar negeri. Batas maksimum total pemberian pinjaman dana oleh P2P sebesar Rp 2 Miliar. Kualifikasi Sumber Daya ManusiaPenyelenggara wajib memiliki sumber daya manusia yang memiliki keahlian dan/atau latar belakang di bidang teknologi informasi. Penyelenggara wajib memiliki paling sedikit 1 (satu) orang anggota Direksi dan 1 (satu) orang anggota Komisaris yang berpengalaman paling sedikit 1 (satu) tahun di industri jasa keuangan. Mitigasi RisikoDalam proses pinjam meminjam, P2P wajib menggunakan escrow account dan virtual account. Penyelenggara P2P wajib menyediakan virtual account bagi setiap Pemberi Pinjaman. Sementara dalam rangka pelunasan pinjaman, Penerima Pinjaman melakukan pembayaran melalui escrow account Penyelenggara untuk diteruskan ke virtual account Pemberi Pinjaman. Tanda Tangan ElektronikPerjanjian dalam penyelenggaraan P2P dilaksanakan dengan menggunakan tanda tangan elektronik, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tanda tangan elektronik. P2P vs BankPerbedaan utama antara P2P dengan Bank adalah P2P tidak melakukan penghimpunan dana masyarakat. P2P bukan deposit-taking. Pengalaman di China, ketika industri P2P Lending tumbuh pesat sekali, industri perbankan di China ikut tumbuh. P2P tampaknya tidak mengambil segmen perbankan tetapi mengisi segmen yang selama ini belum digarap oleh sektor perbankan. Trend di dunia terjadi kolaborasi antara P2P Lending dan Perbankan. Salah satu yang kerjasama[13] yang paling terkenal adalah antara P2P Lender On Deck Capital dan JP Morgan Chase di US dalam menyediakan pinjaman untuk pengusaha kecil dan menengah. Di Indonesia, kerjasama antara Bank dan P2P adalah sebuah keniscayaan karena keduanya bisa saling melengkapi. Contohnya, baru-baru ini, platform P2P Investree dan Bank melakukan kerjasama dimana Bank berperan sebagai pemberi pinjaman (institutional lender) yang nantinya akan disalurkan melalui platform P2P Investree kepada para peminjam.[14] Modalku dan Bank Sinarmas juga menjalankan kerja sama untuk implementasi perjanjian kustodian dalam rangka meningkatkan keamanan dana para pemberi pinjaman.[pranala nonaktif permanen][15] Referensi
|