Rancangan Undang-Undang PermusikanRUU Permusikan atau RUU Musik adalah sebuah rancangan undang-undang yang dikeluarkan oleh Pemerintahan Republik Indonesia pada 2019. RUU tersebut menuai kontroversi dimana koalisi penolak RUU Permusikan mempermasalahkan Pasal 4, 5, 7, 10, 11, 12, 13, 15, 18, 19, 20, 21, 31, 32, 33, 42, 49, 50, dan 51.[1] Pasal-pasal tersebut dinilai menimbulkan pasal karet dan menyudutkan industri musik independen.[2] RUU ini telah dicabut dari Prolegnas Prioritas 2019 pada tanggal 17 Juni 2019.[3] Pada awalnya, RUU Permusikan dianggap sebagai solusi yang tepat untuk mengatasi permasalahan di bidang permusikan. Namun demikian, ternyata undang-undang permusikan mengalami banyak penolakan pada kalangan masyarakat luas. Atas penolakan tersebut, maka Anang Hermansyah selaku salah satu anggota Komisi X DPR RI bersama para musisi negeri yakni, Slank, Glenn Fredly, Edi Khemod, Endah Widiastuti, dan Soleh Solihun bersepakat untuk mendesak DPR RI agar melakukan pembatalan terhadap RUU Permusikan tersebut.[4] RUU Permusikan dinilai memberikan masalah yang berpotensi dalam membatasi kebebasan berekspresi atau berkarya dalam permusikan dan menghambat dukungan perkembangan proses penciptaan yang akan mengurangi peranan pekerja musik.[5] Pasal kontroversiPasal 5 menyatakan bahwa seorang musisi dilarang menciptakan lagu yang menista, melecehkan, menodai, dan memprovokasi. Cholil Mahmud, vokalis Efek Rumah Kaca, mengatakan beleid itu memuat kalimat yang multi tafsir dan membuka ruang bagi kelompok penguasa atau siapapun untuk mempersekusi proses kreasi yang tidak mereka sukai.[2] Menurut Cholil Mahmud (dari Efek Rumah Kaca) pasal ini bersifat karet karena membuka ruang bagi kelompok penguasa.[6] Pasal 10 mensyaratkan sertifikasi pekerja musik. Musisi Jason Ranti menyatakan bahwa pasal tersebut malah mendukung industri besar dan tidak memberikan ruang kepada musisi untuk mendistribusikan karya secara mandiri.[2] Para seniman musik memandang bahwa ketentuan tentang uji kompetensi dan sertifikasi berpotensi mendiskriminasi para musisi. Banyak negara menerapkan praktik uji kompetensi bagi pelaku musik, tetapi tidak ada satu pun negara yang mewajibkan semua pelaku musik melakukan uji kompetensi. Dengan demikian, pasal-pasal terkait uji kompetensi ini berpeluang dalam mendiskriminasi musisi autodidak untuk tidak dapat melakukan pertunjukan musik jika tidak mengikuti uji kompetensi.[7] Referensi
|