Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (disingkat UUD 1945; terkadang juga disingkat UUD '45, UUD RI 1945, atau UUD NRI 1945) adalah konstitusi dan sumber hukum tertinggi yang berlaku di Republik Indonesia. UUD 1945 menjadi perwujudan dari dasar negara (ideologi) Indonesia, yaitu Pancasila, yang disebutkan secara gamblang dalam Pembukaan UUD 1945. Perumusan UUD 1945 dimulai dengan kelahiran dasar negara Pancasila pada tanggal 1 Juni 1945 dalam sidang pertama BPUPK. Perumusan UUD yang rill sendiri mulai dilakukan pada tanggal 10 Juli 1945 dengan dimulainya sidang kedua BPUPK untuk menyusun konstitusi. UUD 1945 diberlakukan secara resmi sebagai konstitusi negara Indonesia oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945. Pemberlakuannya sempat dihentikan selama 9 tahun dengan berlakunya Konstitusi RIS dan UUDS 1950. UUD 1945 kembali berlaku sebagai konstitusi negara melalui Dekret Presiden yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959. Setelah memasuki masa reformasi, UUD 1945 mengalami empat kali perubahan (amendemen) dari tahun 1999–2002. UUD 1945 memiliki otoritas hukum tertinggi dalam sistem pemerintahan negara Indonesia, sehingga seluruh lembaga negara di Indonesia harus tunduk pada UUD 1945 dan penyelenggaraan negara harus mengikuti ketentuan UUD 1945. Selain itu, setiap peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945. Mahkamah Konstitusi berwenang melakukan pengujian atas undang-undang, sementara Mahkamah Agung atas peraturan di bawah undang-undang, yang bertentangan dengan ketentuan UUD 1945.[1] Wewenang untuk melakukan pengubahan terhadap UUD 1945 dimiliki Majelis Permusyawaratan Rakyat, seperti yang telah dilakukan oleh lembaga ini sebanyak empat kali. Ketentuan mengenai perubahan UUD 1945 diatur dalam Pasal 37 UUD 1945. StrukturUUD 1945 telah mengalami perubahan struktur yang signifikan semenjak UUD 1945 diamendemen sebanyak empat kali. Bahkan, diperkirakan hanya 11% dari keseluruhan isi UUD yang tetap sama seperti sebelum adanya perubahan UUD. Sebelum diamendemen, UUD 1945 terdiri atas:[2]
Setelah diamendemen, UUD 1945 saat ini (menurut Pasal II Aturan Tambahan UUD 1945) terdiri atas:[2]
Meskipun bagian "Penjelasan UUD 1945" tidak disebutkan secara formal dari UUD 1945 setelah perubahan keempat, isi-isi dari bagian Penjelasan telah diintegrasikan secara materiel ke dalam Batang Tubuh dan masih menjadi bagian tidak terpisahkan dari UUD 1945.[3] Berikut ini merupakan struktur UUD 1945 dalam satu naskah (setelah amendemen keempat). PembukaanPembukaan UUD 1945 merupakan bagian pendahuluan dari UUD 1945 yang berupa teks empat alinea. Setiap alinea dalam Pembukaan mempunyai makna yang berbeda-beda, yaitu:[4]
Batang TubuhBatang Tubuh UUD 1945 merupakan bagian isi dari UUD 1945 yang berupa pasal-pasal dan ayat-ayat. Batang Tubuh terdiri dari 16 bab, yang terdiri dari 37 pasal atau 194 ayat. Materi muatan Batang Tubuh ini berisi garis-garis besar berupa identitas negara, lembaga tinggi negara, warga negara, sosial ekonomi, hak asasi manusia, demografi, dan aturan perubahan UUD. Bab I: Bentuk dan KedaulatanBab I terdiri dari satu pasal atau 3 ayat. Bab I (yang hanya terdiri dari Pasal 1) menyatakan bentuk negara Indonesia sebagai negara kesatuan republik, kedaulatan negara berada di tangan rakyat, dan sistem negara Indonesia sebagai negara hukum. Bab II: Majelis Permusyawaratan RakyatBab II terdiri dari dua pasal atau 5 ayat. Bab II mengatur hal-hal mengenai lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI atau MPR). Isi Bab II berdasarkan pasal-pasal, yaitu:
Bab III: Kekuasaan Pemerintahan NegaraBab III terdiri dari 17 pasal atau 38 ayat, sehingga menjadi bab dengan jumlah pasal dan ayat terbanyak di dalam UUD ini. Bab III mengatur hal-hal yang menyangkut Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Isi Bab III berdasarkan pasal-pasal, yaitu:
Bab IV: Dewan Pertimbangan AgungSetelah amendemen keempat, isi Bab IV dihapuskan. Dengan kata lain, keberadaan Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dihapuskan dari struktur Pemerintahan Indonesia. Peran DPA digantikan oleh suatu dewan pertimbangan seperti yang disebutkan dalam Bab III Pasal 16 UUD 1945. Bab V: Kementerian NegaraBab V terdiri dari satu pasal atau 4 ayat. Bab V (yang hanya terdiri dari Pasal 17) mengatur hal-hal mengenai lembaga-lembaga Kementerian Negara. Bab VI: Pemerintahan DaerahBab VI terdiri dari tiga pasal atau 4 ayat. Bab VI mengatur hal-hal mengenai pemerintahan daerah di Indonesia, khususnya pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota. Isi Bab VI berdasarkan pasal-pasal, yaitu:
Bab VII: Dewan Perwakilan RakyatBab VII terdiri dari 7 pasal atau 18 ayat. Bab VI mengatur hal-hal utama mengenai lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI atau DPR) dan pembentukan undang-undang (UU). Isi Bab VII berdasarkan pasal-pasal, yaitu:
Bab VIIA: Dewan Perwakilan DaerahBab VIIA terdiri dari dua pasal atau 8 ayat. Bab VIIA mengatur hal-hal mengenai lembaga Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI atau DPD). Isi Bab VIIA berdasarkan pasal-pasal, yaitu:
Bab VIIB: Pemilihan UmumBab VIIB terdiri dari satu pasal atau 6 ayat. Bab VIIB (yang hanya terdiri dari Pasal 22E) mengatur pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia. Bab VIII: Hal KeuanganBab VIII terdiri dari 5 pasal atau 7 ayat. Bab VIII mengatur hal-hal yang berhubungan dengan keuangan negara. Isi Bab VIII berdasarkan pasal-pasal, yaitu:
Bab VIIIA: Badan Pemeriksa KeuanganBab VIIIA terdiri dari tiga pasal atau 7 ayat. Bab VIIIA mengatur hal-hal mengenai lembaga Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK-RI atau BPK). Isi Bab VIIIA berdasarkan pasal-pasal, yaitu:
Bab IX: Kekuasaan KehakimanBab IX terdiri dari 5 pasal atau 19 ayat. Bab IX mengatur segala hal mengenai lembaga dan kekuasaan kehakiman di Indonesia. Isi Bab IX berdasarkan pasal-pasal, yaitu:
Bab IXA: Wilayah NegaraBab IXA terdiri dari satu pasal atau satu ayat. Bab IXA (yang hanya terdiri dari Pasal 25A) mengatur wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bab X: Warga Negara dan PendudukBab X terdiri dari tiga pasal atau 7 ayat. Bab X mengatur pengertian, hak, dan kewajiban dari warga negara dan penduduk Indonesia. Isi Bab X berdasarkan pasal-pasal, yaitu:
Bab XA: Hak Asasi ManusiaBab XA terdiri dari 10 pasal atau 26 ayat. Bab XA memuat segala hak asasi manusia (HAM) yang dijamin oleh UUD ini. Isi Bab XA berdasarkan pasal-pasal, yaitu:
Bab XI: AgamaBab XI terdiri dari satu pasal atau dua ayat. Bab XI (yang hanya terdiri dari Pasal 29) menyatakan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan mengatur jaminan kebebasan beragama dan beribadat sesuai agamanya. Bab XII: Pertahanan dan Keamanan NegaraBab XII terdiri dari satu pasal dan 5 ayat. Bab XII (yang hanya terdiri dari Pasal 30) mengatur sistem pertahanan dan keamanan negara, terutama mengenai satuan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), serta keterlibatan warga negara dalam usaha pertahanan dan keamanan negara. Bab XIII: Pendidikan dan KebudayaanBab XIII terdiri dari dua pasal dan 7 ayat. Bab XIII mengatur pendidikan nasional untuk warga negara dan kemajuan kebudayaan nasional. Isi Bab XIII berdasarkan pasal-pasal, yaitu:
Bab XIV: Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan SosialBab XIV terdiri dari dua pasal dan 9 ayat. Bab XIV mengatur garis-garis besar perekonomian nasional dan program kesejahteraan sosial. Isi Bab XIV berdasarkan pasal-pasal, yaitu:
Bab XV: Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu KebangsaanBab XIV terdiri dari 5 pasal dan 5 ayat. Bab XV memberi penjelasan atas beberapa identitas negara Indonesia. Isi Bab XV berdasarkan pasal-pasal, yaitu:
Bab XVI: Perubahan Undang-Undang DasarBab XVI terdiri dari satu pasal dan 5 ayat. Bab XVI mengatur ketentuan-ketentuan untuk mengubah UUD ini. Aturan PeralihanAturan-aturan peralihan memberikan ketentuan-ketentuan kepada pemerintah agar penyesuaian dengan perubahan-perubahan pada UUD 1945 dapat berjalan dengan mulus. Aturan-aturan tersebut, yaitu:
Aturan TambahanAturan-aturan tambahan memberikan ketentuan-ketentuan tambahan yang tidak perlu disisipkan pada aturan utama dan aturan peralihan. Aturan-aturan tersebut, yakni:
SejarahPerumusanPenyusunan rancangan UUD 1945 dilakukan secara bertahap oleh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), yaitu badan yang dibentuk dengan izin Jepang pada tanggal 29 April 1945.[5] Sidang pertama BPUPK, yang dilaksanakan dari tanggal 28 Mei hingga 1 Juni tersebut, menghasilkan gagasan "dasar negara", dengan mengacu pada rumusan "Pancasila" yang digagas oleh Soekarno. Selain itu, sidang ini juga menghasilkan kesepakatan untuk membentuk Panitia Sembilan yang akan membahas lebih jauh mengenai gagasan tersebut agar menghasilkan rumusan yang matang.[6] Satu setengah bulan kemudian, tepatnya pada tanggal 22 Juni 1945, Panitia Sembilan yang telah mengadakan sidang-sidang akhirnya merampungkan rumusan dasar negara tersebut dan menamakannya Piagam Jakarta. Naskah piagam inilah yang menjadi naskah Pembukaan UUD 1945. Setelah itu, sidang kedua BPUPK yang berlangsung dari tanggal 10–17 Juli membahas perihal piagam tersebut dan komponen-komponen negara, seperti bentuk negara, bentuk dan susunan pemerintahan, kewarganegaraan, bendera dan bahasa nasional, dan sebagainya. Setelah beberapa perdebatan mengenai Piagam Jakarta, akhirnya BPUPK merampungkan naskah rancangan Undang-Undang Dasar (UUD) yang terdiri dari Pembukaan UUD yang mengacu pada Piagam Jakarta dan Batang Tubuh UUD yang berisi komponen-komponen tersebut.[7][8] Pengesahan dan pemberlakuanSetelah Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang merupakan kelanjutan dari BPUPK mengadakan sidang pertamanya pada tanggal 18 Agustus. Sidang tersebut kemudian menghasilkan, salah satunya, penetapan rancangan Pembukaan dan Batang Tubuh UUD yang dihasilkan BPUPK sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang sah. Namun sebelum itu, PPKI melakukan beberapa perubahan pada naskah UUD hasil rancangan BPUPK, terutama pada bagian-bagian yang dianggap lebih menonjolkan agama Islam. Perubahan-perubahan tersebut di antaranya:[9][10]
Dalam kurun waktu 1945–1950, UUD 1945 tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya karena Indonesia sedang disibukkan dengan perjuangan mempertahankan kemerdekaan pada masa Revolusi Nasional Indonesia. Maklumat Wakil Presiden Nomor X pada tanggal 16 Oktober 1945 memutuskan bahwa kekuasaan legislatif diserahkan kepada KNIP, karena MPR dan DPR masih belum terbentuk. Pada tanggal 14 November setelahnya, Soekarno membentuk kabinet semiparlementer yang pertama (karena adanya jabatan Perdana Menteri di dalamnya), sehingga peristiwa ini merupakan peristiwa perubahan pertama dari sistem pemerintahan Indonesia yang seharusnya seperti yang disebutkan dalam UUD 1945. Setelah Indonesia dan Belanda beberapa kali melakukan pertempuran dan perjanjian gencatan senjata, pada tanggal 23 Agustus hingga 2 November 1949, perwakilan Republik Indonesia, Belanda, dan Majelis Permusyawaratan Federal (BFO) bentukan Belanda melakukan pertemuan di di Den Haag (Belanda) yang disebut Konferensi Meja Bundar (KMB) untuk perjanjian damai terakhir kalinya dengan Belanda. KMB tersebut menghasilkan kesepakatan bahwa kedaulatan negara Indonesia akan diberikan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) dan diakui oleh Belanda. RIS kemudian terbentuk pada tanggal 27 Desember 1949. Oleh karena hal ini, UUD 1945 dibatalkan secara otomatis setelah negara tersebut berdiri. Pengadopsian konstitusi lainnyaSetelah Republik Indonesia Serikat (RIS) dibentuk dan Indonesia menjadi negara federasi, konstitusi yang digunakan adalah Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS),[11] sedangkan UUD 1945 masih digunakan tetapi dalam lingkup negara bagian "Republik Indonesia". Konstitusi RIS ini tidaklah bertahan lama dan akhirnya dicabut pada tanggal 15 Agustus 1950,[12] yang diikuti dengan pembubaran negara RIS dan kembalinya Indonesia menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus. Setelah peralihan tersebut, Indonesia memberlakukan Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia (UUDS 1950). Oleh karena itu, UUDS 1950 mengenal sistem pemerintahan Indonesia sebagai sistem parlementer. Setelah beberapa tahun berlaku, Indonesia pada tahun 1955 melaksanakan pemilihan umum untuk pertama kalinya dalam dua tahap, yaitu pemilihan anggota DPR pada tanggal 29 September dan pemilihan anggota konstituante pada tanggal 15 Desember.[13][14] Konstituante Republik Indonesia yang terdiri atas anggota-anggota terpilih pemilu tahap kedua tersebut bertugas mengadakan sidang-sidang untuk membahas dan merumuskan rancangan UUD yang baru menggantikan UUDS 1950. Namun badan tersebut tidak dapat menghasilkan rancangan UUD baru dan bahkan sebagian besar anggotanya berencana untuk menarik diri dari sidang konstituante. Keadaan genting ini memaksa Soekarno mengeluarkan Dekret Presiden 5 Juli 1959 yang membubarkan badan Konstituante Republik Indonesia, memberlakukan kembali UUD 1945 dan membatalkan UUDS 1950, serta membentuk MPR dan DPA sementara secepatnya.[15][16] Pemberlakuan kembali dan penyimpanganMasa Demokrasi TerpimpinSetelah pemerintah mengeluarkan Dekret Presiden 5 Juli 1959, UUD 1945 yang sempat tidak berlaku selama sembilan tahun akhirnya kembali berlaku sebagai konstitusi negara.[17] Akibat pemberlakuan ini, jabatan Perdana Menteri Indonesia dihapuskan dan sistem pemerintahan Indonesia kembali menganut sistem presidensial sesuai amanat UUD 1945. Pada masa Demokrasi Terpimpin, terdapat berbagai penyimpangan terhadap UUD 1945. Penyimpangan-penyimpangan tersebut di antaranya ialah:[18][19]
Masa Orde BaruPada masa Orde Baru, pemerintah menyatakan akan menjalankan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen.[20] UUD 1945 juga menjadi konstitusi yang sangat "sakral", di antara melalui sejumlah peraturan, yaitu:
Meskipun penyimpangan UUD 1945 secara eksplisit tidak tampak pada zaman Orde Baru, terdapat beberapa penyimpangan Pancasila sebagai dasar dari UUD 1945 yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru. Penyimpangan-penyimpangan tersebut, yakni:[21][22]
Proses perubahanSetelah pemerintahan Orde Baru jatuh dan masa reformasi dimulai, terdapat banyak tuntutan untuk melakukan pengubahan pada naskah UUD 1945. Alasan adanya tuntutan perubahan UUD 1945 tersebut antara lain karena kenyataan bahwa kekuasaan tertinggi bukan di tangan rakyat tetapi di tangan MPR yang dikuasai pemerintah, kekuasaan yang terlalu besar pada presiden, banyaknya pasal-pasal yang menimbulkan multitafsir, serta kenyataan bahwa isi rumusan UUD 1945 yang mengatur penyelenggaraan negara yang belum cukup. Latar belakang dari tuntutan tersebut dapat dilihat dari bukti bahwa banyaknya penyimpangan-penyimpangan UUD 1945 yang dapat terjadi di masa-masa sebelumnya. Oleh sebab itu, MPR mengadakan sidang-sidang umum yang menghasilkan perubahan (amendemen) UUD 1945 sebanyak empat kali.[23][24][25]
Setelah amendemen, dampak yang paling terasa adalah pembagian kekuasaan yang lebih setara dan seimbang, tidak ada lagi lembaga pemerintahan tertinggi, sehingga lembaga pemerintahan yang diatur di dalam UUD 1945 menjadi lembaga tinggi negara yang masing-masing dapat saling mengawasi dan bekerja sama tetapi tidak boleh mengontrol satu sama lain. Lembaga-lembaga tersebut juga memiliki wewenang, batasan, dan cara pengangkatan yang lebih jelas setelah amendemen, sehingga lembaga-lembaga tersebut dapat menjalankan peran yang semestinya. Selain itu, adanya hak-hak asasi manusia (HAM) yang diatur dalam UUD 1945 menjadikan HAM sebagai salah satu tujuan konstitusi.[26] PerubahanPerubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan proses untuk mengubah salah satu atau beberapa pasal yang terdapat dalam Batang Tubuh UUD 1945. Perubahan UUD ini merupakan salah satu wewenang dari MPR-RI yang diatur dalam UUD 1945. Sepanjang sejarah, MPR telah melakukan empat kali pengubahan pada UUD 1945. Latar belakangMeskipun Soekarno sendiri sebagai Presiden Indonesia pertama mengeluarkan dekret presiden untuk memberlakukan kembali UUD 1945, beliau selalu menganggap bahwa UUD 1945 merupakan konstitusi yang tidak lengkap. Namun semenjak Soeharto menjabat sebagai presiden pada tahun 1967, pemerintahan rezim Orde Baru selalu menolak menyetujui bentuk perubahan (amendemen) apa pun itu terhadap UUD 1945. Mereka menganggap bahwa UUD 1945 merupakan konstitusi yang bersifat final dan "kemurniannya" harus tetap dilindungi.[27] Pada tahun 1983, MPR, melalui Ketetapan MPR Nomor I/MPR/1983, menetapkan posisi untuk tidak melakukan pengubahan pada UUD 1945. Meskipun begitu, MPR juga mengatur ketentuan untuk mengubah UUD 1945 pada ketetapan MPR yang sama. Namun, ketentuan tersebut menyebutkan syarat keharusan untuk mengadakan referendum yang telah disetujui oleh Presiden atas rancangan amendemen UUD yang telah diloloskan oleh MPR.[28] Terlebih lagi, UU No. 5 Tahun 1985 yang mengatur tentang referendum atas perubahan UUD 1945 menyatakan bahwa referendum tersebut harus mencapai partisipasi pemilih minimum sebesar 90% dan hasil suara dukungan minimum sebesar 90% agar proses amendemen dapat dilanjutkan dan perubahan UUD dapat disahkan.[29] Peraturan-peraturan ini membuat pengubahan UUD 1945 semakin sulit dilakukan, dan selain itu juga dianggap bertentangan dengan Pasal 37 UUD 1945 yang tidak pernah menyebutkan tentang referendum. Setelah kejatuhan rezim Soeharto pada tahun 1998, ketetapan MPR dan UU tersebut dihapuskan, sehingga membuka jalan yang lebih lebar untuk dilakukannya amendemen UUD 1945. Akhirnya pada tahun 1999–2002, UUD 1945 mengalami perubahan (amendemen) sebanyak empat kali yang seluruhnya diputuskan dalam sidang-sidang umum MPR. Asal dan tujuanBerkaca dari penyimpangan-penyimpangan UUD 1945 yang terjadi pada masa Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru, salah satu tuntutan demonstrasi penuntut reformasi adalah dilakukannya perubahan (amendemen) terhadap UUD 1945. Alasan-alasan terbesar UUD 1945 diamendemen, yaitu karena pasal-pasal dalam UUD 1945 asli yang jumlahnya terlalu sedikit dan mudah menimbulkan multitafsir. Sementara itu, tujuan dari perubahan-perubahan UUD 1945 tersebut sebagian besar berupa penyempurnaan atas aturan-aturan dasar seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, hak asasi manusia, pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa. Perubahan UUD 1945 dilakukan dengan beberapa syarat, di antaranya adalah Pembukaan UUD 1945 tidak boleh berubah, bentuk negara tetap dalam bentuk negara kesatuan, serta sistem pemerintahan tetap dalam bentuk sistem presidensial. Kata "Allah" dalam Pembukaan UUD 45 masih dimungkinkan untuk diamandemen menjadi "Tuhan", sesuai perjanjian usulan yang diterima oleh Sukarno dan kelompok kebangsaan dari perwakilan Bali, I Gusti Ketut Pudja, namun hal ini belum dilakukan pada masa amandemen Konstitusi tahun 1999-2002.[30][31] Ketentuan perubahanSebelum amendemen, ketentuan perubahan di dalam UUD 1945 hanya memberikan syarat bahwa anggota MPR yang hadir dalam sidang pengubahan UUD harus berjumlah dua pertiga (2/3) dari keseluruhan anggota dan putusan perubahan UUD hanya bisa dilakukan bila mendapat persetujuan dari 2/3 anggota MPR. Setelah perubahan keempat, ketentuan perubahan UUD tersebut menjadi lebih mendetail. Suatu usulan perubahan dapat diagendakan dalam sidang MPR bila diajukan oleh sepertiga (1/3) dari keseluruhan anggota dan usulan tersebut harus dituliskan secara mendetail. Dan sama seperti sebelum amendemen, anggota MPR yang hadir dalam sidang pengubahan UUD harus setidaknya 2/3 dari jumlah anggota. Namun tidak seperti sebelumnya, putusan perubahan UUD hanya bisa dilakukan bila mendapat persetujuan dari 50% ditambah satu anggota dari keseluruhan jumlah anggota MPR. Selain itu, terdapat ayat pembatasan perubahan UUD (entrenchment clause) yang menyatakan bahwa khusus bentuk "Negara Kesatuan Republik Indonesia" tidak dapat diubah. DaftarBerikut ini merupakan daftar perubahan UUD yang telah disahkan sebagai bagian dari UUD 1945 yang utuh dan tidak terpisahkan. Perubahan pertamaWikisumber memiliki naskah asli yang berkaitan dengan artikel ini:
Perubahan Pertama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disahkan dalam Rapat Paripurna MPR ke-12 pada tanggal 19 Oktober 1999, yang merupakan rangkaian dari Sidang Umum (Tahunan) MPR Tahun 1999 yang berlangsung pada tanggal 14–21 Oktober 1999. Perubahan ini secara garis besar bertujuan untuk membuat kekuasaan legislatif dan eksekutif lebih seimbang dan sejajar, serta membatasi masa jabatan Presiden.[32][33] Dalam perubahan pertama ini, MPR mengubah beberapa pasal, yaitu Pasal 5 Ayat (1), Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13 Ayat (2), Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17 Ayat (2) dan (3), Pasal 20, dan Pasal 21. Perubahan keduaWikisumber memiliki naskah asli yang berkaitan dengan artikel ini:
Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disahkan dalam Rapat Paripurna MPR ke-9 pada tanggal 18 Agustus 2000, yang merupakan rangkaian dari Sidang Umum (Tahunan) MPR Tahun 2000 yang berlangsung pada tanggal 7–18 Agustus 2000. Perubahan tersebut utamanya bertujuan melakukan penguatan otonomi daerah, penguatan peran legislatif, jaminan HAM dalam konstitusi, penguatan peran TNI dan Polri, dan penambahan identitas nasional.[32][33] Dalam perubahan kedua tersebut, MPR mengubah dan/atau menambahkan beberapa pasal dan bab, yaitu Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 19, Pasal 20 Ayat (5), Pasal 20A, Pasal 22A, Pasal 22B, Bab IXA, Pasal 25E,[b] Bab X, Pasal 26 Ayat (2) dan Ayat (3), Pasal 27 Ayat (3), Bab XA, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28C, Pasal 28D, Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J, Bab XII, Pasal 30, Bab XV, Pasal 36A, Pasal 36B, dan Pasal 36C. Perubahan ketigaWikisumber memiliki naskah asli yang berkaitan dengan artikel ini:
Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disahkan dalam Rapat Paripurna MPR ke-7 pada tanggal 9 November 2001, yang merupakan rangkaian dari Sidang Umum (Tahunan) MPR Tahun 2001 yang berlangsung pada tanggal 1–9 November 2001. Perubahan ini terutama memberi penguatan pada kekuasaan kehakiman (yudikatif) agar sejajar dengan kekuasaan legislatif dan eksekutif, menambah DPD ke dalam susunan lembaga legislatif, memperbarui kelembagaan BPK, dan memperjelas mekanisme demokrasi dalam tata negara.[32][33] Dalam perubahan ketiga ini, MPR mengubah dan/atau menambahkan beberapa pasal dan bab, yaitu Pasal 1 Ayat (2) dan (3); Pasal 3 Ayat (1), (3),[b] dan (4);[b] Pasal 6 Ayat (1), dan (2); Pasal 6A Ayat (1), (2), (3), dan (5); Pasal 7A; Pasal 7B Ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6), dan (7); Pasal 7C; Pasal 8 Ayat (1) dan (2); Pasal 11 Ayat (2) dan (3); Pasal 17 Ayat (4); Bab VIIA, Pasal 22C Ayat (1), (2), (3), dan (4); Pasal 22D Ayat (1), (2), (3), dan (4); Bab VIIB, Pasal 22E Ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan (6); Pasal 23 Ayat (1), (2), dan (3); Pasal 23A; Pasal 23C; Bab VIIIA, Pasal 23E Ayat (1), (2), dan (3); Pasal 23F Ayat (1) dan (2); Pasal 23G Ayat (1) dan (2); Pasal 24 Ayat (1) dan (2); Pasal 24A Ayat (1), (2), (3), (4), dan (5); Pasal 24B Ayat (1), (2), (3), dan (4); serta Pasal 24C Ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan (6). Perubahan keempatWikisumber memiliki naskah asli yang berkaitan dengan artikel ini:
Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disahkan dalam Rapat Paripurna MPR ke-6 pada tanggal 10 Agustus 2002, yang merupakan rangkaian dari Sidang Umum (Tahunan) MPR Tahun 2002 yang berlangsung pada tanggal 1–11 Agustus 2002. Perubahan tersebut menitiberatkan pada penyempurnaan ayat-ayat atau pasal-pasal tunggal yang hilang serta penyempurnaan pasal-pasal di bidang pendidikan, kebudayaan, perekonomian, keuangan, dan kesejahteraan sosial.[32][33] Dalam perubahan keempat ini, MPR menetapkan beberapa hal, antara lain sebagai berikut.
CatatanReferensi
Daftar pustaka
Pranala luar
|