Rumbai lilin
Rumbai lilin atau selingsing (Mapania sumatrana) adalah sejenis rumput yang termasuk ke dalam suku teki-tekian. Rumput yang serupa pandan ini menyebar mulai dari Tiongkok Selatan, melalui Nusantara hingga ke Australia dan Pasifik. Nama-nama lainnya, di antaranya, rumbai lilin, r. ijo (Palemb.); umbai, rumput pandan biru (Mly.); selingsing (Lamp.); tigesangi (Papua).[4] PengenalanRumput yang mirip pandan. Batang kokoh, halus sekalipun di ujungnya, (25-)60-150 cm × (2-)5-10 mm. Daun-daun hijau atau hijau pucat, dengan pola serupa jala ketika mengering, panjang hingga 2 m, lebar (l-)2-3½ cm; tepinya kasar, setidaknya pada setengah bagian ke ujung; pelepah yang terbawah tanpa bilah, cokelat kelabu hingga kehitaman.[4] Perbungaan berupa malai di ujung batang, bulat atau bulat telur, sering kali padat; garis tengahnya (3-)10–20 cm, berisi 10 hingga ratusan spikelet; daun pelindung (braktea) terbawah panjang, hingga 1 m, pada pangkalnya pucat; cabang-cabangnya halus atau kasar. Spikelet bulat telur atau bulat telur lonjong, 5–10 × 3–5 mm, sering nyaris bulat, hingga 7 mm lebarnya tatkala menjadi buah; berwarna jerami, dengan banyak bunga. Gluma (daun pelindung bunga) bundar telur, tumpul, pucat, bertepi tipis menerawang, 3-3¾ × 2-2¾ mm. Panjang bunga 3-3½ mm. Buliran (nut) bulat telur terbalik lebar, berusuk 3-5 tumpul, menyempit ke arah pangkal, tiba-tiba meluncip di ujungnya, cokelat hingga warna berangan, lk 3 × 2 mm (termasuk 1 mm paruh di ujungnya).[4] Ekologi dan agihanRumbai lilin menyebar luas mulai dari Semenanjung Malaya (Melaka, Johor), Sumatra (Palembang, Lampung), Jawa Barat (Rawa Danau), Kalimantan, Sulawesi Tenggara, Papua, Australia (Queensland), serta Kepulauan Palau di Pasifik.[4] Dan juga di Tiongkok selatan (Hunan, Yunnan selatan).[5] Rumput ini sering didapati di rawa-rawa, hutan paya, kolam, tepian sungai, pulau-pulau terapung; di wilayah dataran rendah. Kerap melimpah secara lokal.[4] ManfaatDi Sumatra (Palembang) dan Tanah Semenanjung, daun-daunnya dipakai untuk membuat anyaman.[4] Untuk keperluan itulah tumbuhan ini, di sekitar Palembang dahulu, ditanam orang di rawa-rawa dan tepi saluran air. Setelah dipanen, lembar-lembar daun itu dijemur dan diembunkan selama 2-3 hari; setelah itu dibelah memanjang menurut lebar tertentu dan dijemur kembali, sebelum kemudian digunakan untuk membuat tikar anyaman. Hasilnya adalah tikar yang bagus dan lembut, namun kurang awet jika dibandingkan dengan tikar pandan.[6] Rujukan
Pranala luar
|