Tari Topeng CirebonTari Topeng Cirebon (Bahasa Cirebon: beksan topeng Cerbon) adalah salah satu tarian di wilayah kesultanan Cirebon. Pada awalnya tari topeng bermula sejak era Jawa Kuno di Jawa Timur. Pada masa-masa selanjutnya berkembang dan menyebar ke Jawa Tengah, Cirebon, bahkan juga Banjar dan Kutai. Tari Topeng Cirebon, berkembang di daerah Cirebon, termasuk Subang, Indramayu, Jatibarang, Majalengka, Losari, dan Brebes. Disebut tari topeng karena penarinya menggunakan topeng di saat menari. Pada pementasan tari Topeng Cirebon, penarinya disebut sebagai dalang, dikarenakan mereka memainkan karakter topeng-topeng tersebut.
Tari topeng ini sendiri banyak sekali ragamnya dan mengalami perkembangan dalam hal gerakan, maupun cerita yang ingin disampaikan. Terkadang tari topeng dimainkan oleh satu penari tarian solo, atau bisa juga dimainkan oleh beberapa orang. Thomas Stamford Raffles dalam bukunya The History of Java mendeskripsikan bahwa kesenian topeng Cirebon merupakan penjabaran dari cerita Panji dari Jawa Timur di mana dalam satu kelompok kesenian topeng terdiri dari dalang (yang menarasikan kisahnya) dan enam orang pemuda yang mementaskannya diiringi oleh empat orang musisi gamelan (bahasa Cirebon: Wiyaga)[1] Tempat pagelaranTari Topeng Cirebon pada zaman dahulu biasanya dipentaskan menggunakan tempat pagelaran yang terbuka berbentuk setengah lingkaran, misalnya di halaman rumah, di blandongan (bahasa Indonesia: tenda pesta) atau di bale (bahasa Indonesia: panggung) dengan obor sebagai penerangannya. tetapi dengan berkembangnya zaman dan teknologi, tari Topeng Cirebon pada masa modern juga dipertunjukan di dalam gedung dengan lampu listrik sebagai tata cahayanya.[2] Tujuan pagelaranTujuan diselenggarakan suatu pagelaran tari Topeng Cirebon secara garis besar dibagi kedalam tiga tujuan utama yaitu;[3]
Struktur pagelaranStruktur pagelaran dalam tari Topeng Cirebon bergantung pada kemampuan rombogan, fasilitas gong yang tersedia, jenis penyajian topeng dan lakon (bahasa Indonesia: cerita) yang dibawakannya. Secara umum, struktur pertunjukan tari Topeng Cirebon dapat dibedakan ke dalam dua jenis, yaitu:
JenisSalah satu jenis lainnya dari tari topeng ini adalah tari topeng kelana kencana wungu merupakan rangkaian tari topeng gaya Parahyangan yang menceritakan ratu Kencana wungu yang dikejar-kejar oleh prabu Minakjingga yang tergila-tergila padanya. Pada dasarnya masing-masing topeng yang mewakili masing-masing karakter menggambarkan perwatakan manusia. Kencana Wungu, dengan topeng warna biru, mewakili karakter yang lincah namun anggun. Minakjingga (disebut juga kelana), dengan topeng warna merah mewakili karakter yang berangasan, tempramental dan tidak sabaran. Tari ini merupakan karya Nugraha Soeradiredja. Gaya tarianPada tari Topeng Cirebon terdapat beberapa gaya tarian yang secara yang telah diakui secara adat,[4][5] gaya-gaya ini berasal dari desa-desa asli tempat di mana tari Topeng Cirebon lahir dan juga dari desa lainnya yang menciptakan gaya baru yang secara adat telah diakui lepas dari gaya lainnya. Endo Suanda seorang peneliti tari Cirebon melihat perbedaan gaya tari Topeng Cirebon antar daerah tersebut dikarenakan adanya penyesuaian selera penonton dengan nilai estetika gerak tarian di atas panggung,[5] berikut beberapa gaya tari Topeng Cirebon: Tari Topeng Cirebon gaya BeberTari Topeng Cirebon gaya Beber adalah salah satu gaya tari Topeng Cirebon yang lahir di desa Beber, kecamatan Ligung, kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Sejak abad ke 17, awalnya tari Topeng yang ada di desa Beber dibawa oleh seorang seniman dari Gegesik, Cirebon yang bernama Setian, tetapi menurut para ahli Dalang Topeng Cirebon gaya Beber seperti mimi Yayah dan Ki Dalang Kardama yang pertama kali membawa tarian Topeng ke desa Beber dan menjadi tari Topeng Cirebon gaya Beber adalah mimi Sonten dan Surawarcita yang masih berasal dari Gegesik sejak itu menurunkan beberapa generasi para seniman. Babak tarianPembagian babak pada tari topeng Cirebon gaya Beber menurut Ki Andet Suanda dilakukan dengan berdasar para interpretasi tentang sifat dan kesadaran manusia.[6]
Babak Rumyang pada tari Topeng Cirebon gaya Beber dipentaskan di akhir pagelaran, menurut Ki Pandi Surono (budayawan Cirebon sekaligus maestro tari Topeng Cirebon gaya Beber) pada masa lalu pagelaran tari Topeng Cirebon terutama gaya Beber dilakukan pada malam hari dan babak Rumyang dipentaskan mendekati terbitnya matahari saat sinar matahari terlihat samar-samar (bahasa Cirebon: ramyang-ramyang) dari kata ramyang inilah kemudian babak ini dinamakan, keterangan lebih lanjut tentang filosofi babak rumyang yang dipentaskan diahkhir setelah babak Topeng Klana yang merupakan proyeksi dari jiwa yang penuh nafsu dan emosi dijelaskan oleh Ki Waryo (budayawan Cirebon sekaligus dalang Wayang Kulit Cirebon gaya Kidulan (Palimanan) dan seorang ahli pembuat Topeng Cirebon) putera dari Ki Empek. Ki Waryo menjelaskan bahwa filosofi dari Rumyang terkait dengan sebuah proyeksi jiwa manusia yang sudah meninggalkan nafsu duniawinya dan menjadi manusia yang utuh (manusia harum) karena sudah tidak terbelenggu lagi dengan nafsu duniawi. Rumyang diartikan kedalam dua buah kata yaitu arum (bahasa Indonesia: harum) dan yang (bahasa Indonesia: manusia / orang) sehingga Rumyang diartikan secara harafiah menjadi manusia yang harum Dalang tari Topeng Cirebon gaya BeberPara dalang tari Topeng Cirebon yang terkenal jamannya di antaranya Andet Suanda, Ening Tasminah, H. Warniti yang kesemuanya telah almarhum, Generasi berikutnya yaitu Rohati (anak tunggal dari Ening Tasminah), Iyat (telah almarhum), Iis, Nengsih, juga para buyut, cucu serta pewarisnya yaitu Yayah, istri dari Ki dalang Suhadi di desa Randegan (sekarang telah mekar menjadi desa Randegan Kulon dan desa Randegan Wetan, kecamatan Jatitujuh, kabupaten Majalengka), Een di Beber dan Ki Pandi Surono (anak dari dalang Rohati dan cucu dari dalang Ening Tasminah) yang membina Sanggar Anggraeni.
Tari Topeng Cirebon gaya BrebesMenurut Babad Tanah Losari diceritakan bahwa Pangeran Angkawijaya pergi ke Losari dari kesultanan Cirebon menepi dari kehidupan Keraton karena tidak ingin terkungkung dengan sistem kehidupan kesultanan yang serba gemerlap. Selain itu, menepinya Pangeran Angkawijaya dari kesultanan Cirebon karena adanya konflik Internal soal perjodohan antara dirinya dengan kakaknya yakni Panembahan Ratu.[7] Saat itu Panembahan Ratu yang termasuk kakak Angkawijaya hendak menikahi putri dari Raja Pajang yakni Nyai Mas Gamblok, sebenarnya putri Gamblok lebih menyukai Pangeran Angkawijaya, tetapi karena urutan usia, Panembahan Ratu yang lebih tua menyatakan berhak mengawini Nyai Mas gamblok, menghindari hal yang tidak dinginkan terjadi, Pangeran Pangeran Angkawijaya lalu pergi ke arah timur dari tanah Cirebon hingga menetap di daerah pedukuhan pinggir sungai Cisanggarung yang akhirnya dinamakan Losari, dari tempat ini kemudian Pangeran Angkawijaya mengembangkan keterampilannya di bidang seni, beberapa hasil kreasinya diyakini adalah batik Cirebon motif Gringsing dan tari Topeng Cirebon gaya Losari. Pangeran Angkawijaya tercatat meninggal pada tahun 1580 dan dimakamkan di desa Losari lor, kecamatan Losari, kabupaten Brebes. Tari Topeng Cirebon gaya Brebes sebenarnya merupakan tari Topeng Cirebon gaya Losari yang mendapatkan banyak pengaruh lokal, termasuk dari segi alur ceritanya. Babak tarianTari Topeng Cirebon gaya Brebes adalah jenis tari Topeng Cirebon yang berkembang di wilayah kecamatan Losari, kabupaten Brebes yang mendapat pengaruh dari kebudayaan Jawa. Tari Topeng Cirebon gaya Brebes menceritakan legenda Joko Bluwo, seorang pemuda petani desa yang berwajah buruk rupa berkeinginan untuk mempersunting putri raja yang cantik jelita bernama Putri Candra Kirana. Dikisahkan, keinginan Joko Bluwo akhirnya dikabulkan sang raja, setelah Joko Bluwo memenuhi syarat yang diajukan Raja. Namun, di tengah pesta pernikahan, seorang raja dari kaum raksasa yang juga berkeinginan menikahi putri Candra Kirana datang dan membuat kekacauan. Dia mengajak bertarung pada Joko Bluwo untuk memperebutkan sang putri. Joko Bluwo akhirnya berhasil mengalahkan raja raksasa dan hidup bahagia bersama putri Candra Kirana. Tari Topeng Cirebon gaya Celeng' Tari Topeng Cirebon gaya Celeng adalah salah satu gaya tari Topeng Cirebon yang penyebarannya berpusat di blok (bahasa Indonesia: dusun) Celeng, desa Loh Bener, kecamatan Loh Bener, kabupaten Indramayu Musik pengiringLagu atau musik pengiring yang digunakan pada pagelaran tari Topeng Cirebon gaya Celeng ternyata memiliki kesamaan dengan musik pengiring yang dipergunakan pada gaya Gegesik dan Slangit namun dengan beberapa kekhasan tersendiri, misalnya pada tetaluan (bahasa Indonesia: tabuhan gamelan) Kembang Sungsang jika gongnya ada dua maka nada yang dimainkan adalah miring dan susul saja, sedangkan jika terdapat tiga gong, tetaluan kembang sungsang nada yang dimainkan adalah miring, susul dan sanga. Dalang tari Topeng Cirebon gaya CelengAsal usul gaya Celeng dipercaya dibawa oleh Ki Kartam (seorang ahli dalang wayang dan dalang topeng) dari wilayah Majakerta yang merupakan kakak dari Ki Panggah (yang melestarikan tari Topeng Cirebon gaya Cipunegara di kabupaten Subang), sementara kedekatan gerak tarian antara gaya Celeng dengan gaya Pekandangan disebabkan mimi Rasinah yang aslinya berasal dari desa Pamayahan,kecamatan Loh Bener, kabupaten Indramayu belajar seni dalang topeng kepada ibu (bahasa Cirebon dialek Dermayu: emak) Suminta, ibu dari Ki Dalang Haji Rusdi dan nenek (bahasa Cirebon dialek Dermayu: Mak tuwa) dari budayawan Cirebon asal Indramayu Ady Subratha, kemudian mimi Rasinah pindah ke desa Pekandangan, kecamatan Indramayu, kabupaten Indramayu dan mempopulerkan tari Topeng Cirebon gaya Pekandangan, inilah yang menyebabkan ada beberapa gerak tarian yang terkesan mirip antara gaya Celeng dengan gaya Pekandangan Pada masa kejayaan gaya Celeng, ada seorang dalang Topeng lain yang terkenal selain emak Suminta, yaitu emak Sukesah yang masih saudara dengan emak Suminta. Emak Sukesah kemudian menikah dengan Ki dalang Sajim (dalang Wayang Kulit Cirebon) dari kecamatan Pegaden, kabupaten Subang, keluarga Ki Sajim kemudian ada yang meneruskan menjadi dalang Wayang Kulit Cirebon diantaranya adalah Ki Sukardi dan Ki Casta. Tari Topeng Cirebon gaya CiberengTari Topeng Cirebon gaya Cibereng merupakan ragam tari Topeng Cirebon yang ada di desa Cibereng, kecamatan Trisi, kabupaten Indramayu Dalang tari Topeng Cirebon gaya CiberengDalang tari Topeng Cirebon gaya Cibereng yang terkenal salah satunya adalah Ki dalang Carpan. Tari Topeng Cirebon gaya CipunegaraTari Topeng Cirebon gaya Cipunegara adalah salah satu gaya tari Topeng Cirebon yang wilayah penyebarannya berada di sekitar kecamatan Pegaden hingga ke bantaran sungai Cipunegara yang merupakan perbatasan dengan kabupaten Indramayu. Perkembangan kebudayaan di wilayah Cipunegara (termasuk di sebagian besar daerah dataran rendah kabupaten Subang) tidak terlepas dari kontribusi masyarakatnya. Tari Topeng Cirebon gaya Cipunegara ini oleh masyarakatnya disebut sebagai tari Topeng Menor, karena kemerduan suara dan kecantikan para penarinya.[8] Pusat tari Topeng Cirebon gaya Cipunegara berada di desa Jati, kecamatan Cipunegara dan desa Gunung Sembung, kecamatan Pegaden, kabupaten Subang. Dikarenakan desa Jati terkenal sebagai salah satu pusat tari Topeng Cirebon gaya Cipunegara, maka tari Topeng Cirebon gaya Cipunegara ini juga dikenal dengan nama tari Topeng Jati. Willy Sani dalam penelitiannya tentang tari Topeng Menor menyatakan bahwa bahasa pengantar yang digunakan dalam pagelaran tari Topeng Cirebon gaya Cipunegara ini adalah bahasa Sunda, bahasa pengantar yang digunakan tersebut berbeda dengan kebanyakan gaya tari Topeng Cirebon dari wilayah Cirebon dan Indramayu yang menggunakan bahasa Cirebon sebagai bahasa pengantaranya. Keunikan yang terjadi semata-mata dikarenakan alkulturasi budaya antara budaya Cirebon dengan budaya Sunda dikarenakan dalam pementasan tari Topeng Cirebon gaya Cipunegara tersebut juga didatangi oleh masyarakat Sunda yang kurang paham dengan bahasa Cirebon sehingga bahasa Sunda digunakan sebagai bahasa pengantar pementasan agar pesan-pesan yang berusaha disampaikan dalam setiap babak tariannya dapat dengan mudah dimengerti oleh masyarakatnya. Namun demikian, Willy Sani juga mengatakan bahwa penggunaan bahasa Sunda tidak berarti jika nayaga (penabuh gamelan) dan para Dalang Topeng tersebut tidak bisa menggunakan bahasa Cirebon, sebaliknya mereka semua fasih menggunakan bahasa Cirebon walau selama pementasan harus menggunakan bahasa Sunda agar penonton memahami setiap isi babak. Musik pengiringBerbeda dengan musik pengiring tari Topeng Cirebon yang terdapat di wilayah kabupaten Cirebon dan kabupaten Indramayu yang menggunakan instrumen musik bernuansa khas Cirebonan seperti Gamelan cirebon dan sejenisnya. Pada tari Topeng Cirebon gaya Cipunegara, musik pengiringnya justru menggunakan musik-musik Bajidoran yang merupakan seni khas kebudayaan Sunda di kabupaten Subang dan kabupaten Karawang.[9] Dalang tari Topeng Cirebon gaya CipunegaraDalang-dalang topeng yang berada diwilayah Pegaden dan Cipunegara bisa dikatakan seluruhnya merupakan keturunan dari Dalang Panggah. Dalang Carni dan Dalang Ratem merupakan dua orang dalang dari wilayah Cipunegara yang hingga kini masih terbilang aktif melestarikan gaya Cipunegara. Tari Topeng Cirebon gaya GegesikTari Topeng Cirebon gaya Gegesik memiliki daerah penyebaran di sekitar kecamatan Gegesik, kabupaten Cirebon. Pada tari Topeng Cirebon gaya Gegesik yang paling terlihat berbeda adalah raut karakteristik topengnya. Topeng Panji pada gaya Gegesik digambarkan dengan karakteristik wajah berwarna putih dengan raut tenang, mata sipit dengan tatapan yang selalu merunduk tajam, hidung mancung dan senyum yang terkulum[10] Di Gegesik yang merupakan salah satu pusat perkembangan kesenian cirebon, termasuk kesenian tari Topeng Cirebon, penari atau dalang tari Topeng Cirebon kini tidak sebanyak dulu ketika masa jayanya, menurut budayawan Cirebon bapak Nurdin Noer yang juga merupakan ketua Lembaga Basa lan Sastra Cirebon
Pada perkembangan sebuah kesenian termasuk tari Topeng Cirebon gaya Gegesik, perubahan adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari. Perubahan yang terjadi pada tari Topeng Cirebon gaya Gegesik kebanyakan dipengaruhi oleh struktur masyarakat urban serta berperannya sekolah kesenian, modernisasi, peristiwa, politik dan perubahan pandangan pewaris topeng, terutama sekitar tahun 1980 hingga tahun 2000. Perubahan tari Topeng Cirebon gaya Gegesik terutama terjadi pada cara dan bentuk penyajiannya, sehingga pada masa itu pertunjukan topeng dicampur dengan dangdut atau yang oleh masyarakat disebut sebagai topeng-dangdut.[11] Musik pengiringLagu atau musik pengiring yang digunakan pada pagelaran tari Topeng Cirebon gaya Gegesik ternyata memiliki kesamaan dengan musik pengiring yang dipergunakan pada gaya Slangit, berikut nama-nama musik pengiringnya ;
Gerakan tariGerakan tari pada gaya Gegesik dapat dilihat pada pemaknaan gerak di masing-masing alur ceritanya, di antaranya adalah gerakan tangan temple bahu dan cantel pada alur cerita topeng Panji. Gerakan tangan temple bahu diartikan sebagai tiruan dari gerak jalan Dewi Anggraeni sementara gerakan cantel dapat diartikan bahwa Raden Panji akan berhasil menikahi Dewi Anggraeni. Babak tarian'Pada gaya Gegesik, babak (alur cerita) tariannya hampir sama dengan babak tarian yang ada di gaya-gaya tari Topeng Cirebon wilayah barat, penamaan babak pada pementasan tari Topeng Cirebon pada wilayah barat hanyalah mengambil namanya saja untuk menggambarkan kesamaan watak, para dalang topeng Cirebon pada umumnya tidak mengaitkan tariannya dengan tokoh Panji seperti dalam cerita Panji. Artinya, nama tari tersebut bukan sebagai gambaran tokoh Panji. Kata Panji hanya dipinjam untuk menyatakan salah satu karakter tari yang halus, yang secara kebetulan karakternya sama dengan tokoh Panji. Berbeda dengan di Losari, Topeng Panji justru ditarikan dalam sebuah lakonan dan penarinya benar-benar memerankan tokoh Panji seperti yang ada di cerita Panji.[12] Perbedaan babak antara tari Topeng Cirebon gaya Gegesik dengan Slangit yang sama-sama berasal dari kabupaten Cirebon wilayah barat terletak pada susunan babaknya, jika pada gaya Gegesik babak rumyang ditampilkan pada urutan keempat atau kelima, maka pada gaya Slangit babak tersebut ditampilkan pada urutan ketiga. Berikut babak pada tari Topeng Cirebon gaya Gegesik ;
Sebagian budayawan Cirebon yang menyimak keterangan Ki Rawita (maestro tari Topeng Cirebon gaya Randegan) bahwa babak rumyang seharusnya ditarikan pada bagian akhir kemudian menyatakan hal yang sama jika pada zaman dahulu babak rumyang pada tari Topeng Cirebon gaya Gegesik juga ditarikan pada akhir pagelaran sama dengan yang terjadi pada gaya Randegan, hanya saja para budayawan Cirebon kurang mengingat kapan terjadinya peralihan babak rumyang yang sebelumnya ditarikan di akhir babak menjadi di tengah babak pada pagelaran tari Topeng Cirebon gaya Gegesik. Ki Waryo (maestro kesenian Cirebon sekaligus dalang tari Topeng Cirebon gaya Palimanan) berpendapat bahwa peralihan babak rumyang dari akhir pagelaran menjadi babak di tengah pagelaran diperkirakan terjadi pada periode tahun 1970-an di mana pada periode tersebut para dalang tari Topeng di Cirebon banyak didatangi oleh para peneliti dan kemungkinan para peneliti ini memberikan persfektif baru bagi para dalang Topeng terutama dalang tari Topeng Cirebon gaya Gegesik sekaligus mengubah persfektif tariannya dari semula berfokus pada perkembangan jiwa yang merupakan ciri dari pementasan tari Topeng Cirebon dengan babak rumyang di akhir menjadi berfokus pada pertumbuhan manusia secara fisik yang merupakan ciri dari pementasan tari Topeng Cirebon dengan babak rumyang di tengah. Dalang tari Topeng Cirebon gaya GegesikDi wilayah kecamatan Gegesik juga terdapat banyak dalang topeng, para dalang tersebut kebanyakan berasal dari keturunan para maestro tari Topeng Cirebon gaya Gegesik yaitu Mutinah, Lesek dan Jublag. Keturunan dalang Mutinah yang bisa ditelusuri adalah dalang Juniah, sementara keturunan dalang Lesek adalah dalang Sumarni dan yang terakhir keturunan dalang Jublag adalah dalang Baerni dan Baedah yang keduanya masih dapat dikatakan aktif walau sudah sangat jarang diundang tampil di masyarakat. Dalang Baerni kini pindah ke wilayah kecamatan Pegaden, kabupaten Subang untuk mengikuti suaminya yang bekerja sebagai guru Sekolah Menengah Pertama (SMP), sedangkan dalang Baedah juga mengikuti suaminya pindah ke wilayah kota Cirebon Tari Topeng Cirebon gaya GujegTari Topeng Cirebon gaya Gujeg tersebar disekitar desa Gujeg, kecamatan Panguragan, kabupaten Cirebon. Dalang tari Topeng Cirebon gaya GujegGaya Gujeg sangat memprihantinkan, dikarenakan sepeninggal dalang Noglo, di wilayah desa Gujeg sudah tidak terdengar lagi adanya dalang topeng penerusnya lahir.[4] Tari Topeng Cirebon gaya KalianyarTari Topeng Cirebon gaya Kalianyar sama seperti gaya Gujeg yang berada di dalam wilayah kecamatan Panguragan, gaya Kalianyar terpusat disekitar desa Kalianyar, wilayah pusat penyebaran gaya Kalianyar ini hanya dipisahkan oleh kali Winong disebelah timur dengan desa Gujeg dan hanya beberapa kilometer ke selatan dari wilayah ini sudah dapat ditemui gaya Slangit di desa Slangit dan gaya Kreyo di desa Kreyo Dalang tari Topeng Cirebon gaya KalianyarDi wilayah Kalianyar terdapat beberapa dalang tari Topeng, di antaranya dalang Sutini yang sudah pensiun karena faktor usia dan dalang Kasniri yang masih aktif. Tari Topeng Cirebon gaya KreyoTari Topeng Cirebon gaya Kreyo terpusat di desa Kreyo, kecamatan Klangenan, kabupaten Cirebon yang hanya terpisahkan dengan desa Slangit disebelah timur oleh ruas jalan antar kecamatan yang menghubungkan kecamatan Klangenan dengan kecamatan Panguragan Dalang tari Topeng Cirebon gaya KreyoPada masa jayanya, gaya Kreyo memiliki seorang dalang tari Topeng yang terkenal, dia bernama Tarmi atau biasa dikenal dengan nama dalang Tarmi, sekarang yang ada hanyalah dalang Tumus, tetapi dia lebih sering menjadi nayaga (penabuh gamelan) kelompok tari Topeng Cirebon milik dalang Keni Arja (seorang maestro Topeng Cirebon gaya Slangit)[13] sebagai penabuh saron penimbal. Tari Topeng Cirebon gaya LosarangTari Topeng Cirebon gaya Losarang memiliki daerah penyebaran inti di kecamatan Losarang,Kabupaten Indramayu Tari Topeng Cirebon gaya LosariTari Topeng Cirebon gaya Losari memiliki daerah penyebaran di sekitar kecamatan Losari, kabupaten Cirebon dan kecamatan Losari, kabupaten Brebes, menurut maestro tari Topeng Cirebon Irawati Ardjo, lokasi Losari yang berbatasan dengan wilayah Jawa Tengah membuat tari Topeng Cirebon gaya Losari banyak dipengaruhi elemen-elemen budaya jawa, keterangan serupa juga diberikan oleh Dr. Een Herdiani dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung, menurut dia perbedaan yang menjadi ciri khas tari Topeng Cirebon gaya Losari ada pada musik pengiringnya, gerakan tari dan pakaian penarinya.[14] Pakaian penariPada kebanyakan penari Topeng Cirebon terutama yang mendalami gaya-gaya tari Topeng Cirebon dari wilayah barat seperti gaya Slangit, maka akan ditemukan pakaian penarinya menggunakan kain batik khas cirebon motif mega mendung, hal ini berbeda dengan pakaian para penari Topeng Cirebon gaya Losari yang menggunakan kain batik motif parang yang merupakan motif khas batik dari budaya jawa. Musik pengiringMusik pengiring pada gaya Losari menggunakan gamelan yang dipengaruhi oleh budaya jawa. Pada saat tampil menari, penari Topeng Cirebon gaya Losari menjadikan kotak topeng dan para nayaga (penabuh gamelan) sebagai sebuah pusat pertunjukan, oleh karenanya banyak kelompok tari Topeng Cirebon gaya Losari yang menjaga harga diri dan kesucian ritual tariannya, beberapa kelompok tari Topeng Cirebon gaya Losari juga menolak jika pertunjukannya harus diselingi dengan pertunjukan musik dangdut atau organ tunggal sesuai dengan permintaan penonton. Berikut merupakan musik pengiring dari pagelaran tari Topeng Cirebon gaya Losari ;
Gerakan tariPada gaya Losari, gerakan tidak hanya berpaku pada pola geometris seperti yang biasa dilakukan pada kebanyakan gaya tari Topeng Cirebon, tetapi juga menggunakan pola gerakan yang luwes.[14] Gerakan yang menjadi khas gaya Losari di antaranya adalah ;[15]
Babak tarianBerbeda dengan kebanyakan tingkatan babak (alur cerita) tari Topeng Cirebon dari wilayah barat yang memiliki lima tingkatan yaitu ;
Pada gaya Losari, alur cerita atau urutan tari tidak mengutamakan pada pembabakan cerita secara watak, tetapi lebih kepada teknik dan penjiwaan karakternya. Ada delapan tingkatan alur cerita pada tari Topeng Cirebon gaya Losari, yaitu ;
Berbeda dengan gaya tari Topeng Cirebon dari wilayah barat di mana kelima babaknya bisa dibawakan seluruhnya oleh seorang penari, pada gaya Losari, setiap alur cerita atau babak dapat dibawakan oleh penari yang berbeda-beda. Dalang tari Topeng Cirebon gaya LosariDi dalam gaya Losari, dalang yang terkenal di antaranya adalah almarhumah Sawitri dan Dewi dari sanggar tari Topeng Cirebon Purwa Kecana, perjuangan melestarikan gaya Losari kemudian diteruskan kepada keturunannya, di antaranya Taningsih, Nur Anani, Kartini, Srinarti, Warsono dan Susana.[4] Tari Topeng Cirebon gaya PalimananTari Topeng Cirebon gaya Palimanan tersebar disekitar kecamatan Palimanan dan sekitarnya. Musik pengiringMusik pengiring yang digunakan pada pagelaran tari Topeng Cirebon gaya Palimanan diantaranya adalah ;
Tetaluan yang dibawakan untuk mengiringi pagelaran tari Topeng Cirebon gaya Palimanan kurang lebih memiliki kesamaan dengan yang ada pada gaya Gegesik yaitu dengan dimainkannya tetaluan Kembang Sungsang, Kembang Kapas dan Gonjing, kesamaan pada gaya Losari bisa dilihat dari dimainkannya tetaluan Bendrong pada babak Jingga Anom, kedekatan ini kemungkinan terjadi karena menurut penuturan para budayawan dahulu, sesepuh tari Topeng Cirebon gaya Palimanan berasal dari wilayah timur kabupaten Cirebon tepatnya di wilayah kecamatan Astana Japura, kabupaten Cirebon. Babak tarianBabak tarian yang dibawakan pada gaya Palimanan hampir serupa dengan yang ada pada gaya Beber dan Randegan namun dengan penambahan babak Klana Udeng sebagai akhir dari pagelarannya.
Selain lima babak yang ada biasa ditampilkan, menurut Ki Waryo (maestro tari Topeng Cirebon gaya Palimanan) pada masa lalu di dalam gaya Palimanan juga dipentaskan tarian Ratu Kencana Wungu yang dibuktikan dengan keberadaan topeng ini yang tersimpan pada dalang tari Topeng Cirebon gaya Palimanan Gerakan tariTari Topeng Cirebon gaya Palimanan memiliki ciri khas pada berbagai macam posisi berdiri yang diciptakan oleh dalang Wentar, posisi-posisi tersebut disesuaikan dengan postur tubuh dan kepantasan penarinya, ditambah dengan penafsiran yang berbeda dalam meresapi watak dalam cerita topeng, membuat gerakan tarian Topeng gaya Palimanan ini berbeda. Dalang tari Topeng Cirebon gaya PalimananPara dalang tari Topeng Cirebon gaya Palimanan sebagian besar merupakan keturunan dari dalang Wentar, Ki Dalang Wentar mempunya beberapa orang anak diantaranya Mimi Mini, Mimi Ami, Ki Dalang Saca, Mimi Nesih dan Mimi Soedji, di antara keturunan dari Wentar yang terkenal adalah Tursini anak dari dalang Soedji seorang maestro tari Topeng Cirebon gaya Palimanan. Beberapa keturunan dalang Wentar tidak hanya berdiam di kecamatan Palimanan saja. namun menyebar ke wilayah lainnya terutama kabupaten Majalengka. Dalang Sukarta yang kini tinggal di desa Bongas, kecamatan Sumber Jaya, kabupaten Majalengka, merupakan salah satunya, dalang Sukarta merupakan keturunan Ki Wentar dari jalur Mimi Mini, anak Mimi Mini yaitu Mimi Ina yang kemudian menikah dengan Ki dalang Entang dari desa Balad, kecamatan Dukupuntang, kabupaten Cirebon adalah ibu dan ayahnya, sehingga Ki Dalang Sukarta sekaligus menjadi cucu bagi Ki dalang Saca (anak dalang Wentar) dan dalang Soedji yang merupakan saudara neneknya yaitu dalang Mini. dalang lain yang terkenal dari gaya Palimanan adalah Ki dalang Ade Irfan.
Galeri gerak Tari Topeng Cirebon gaya Palimanan
Tari Topeng Cirebon gaya PekandanganTari Topeng Cirebon gaya Pekandangan adalah sebuah gaya tari Topeng Cirebon yang berkembang di wilayah desa Pekandangan, kecamatan Indramayu, kabupaten Indramayu, gaya Pekandangan merupakan salah satu dari sedikit gaya tari Topeng Cirebon yang ada di Indramayu selain gaya Tambi yang lestarikan oleh mimi Wangi Indriya. Babak tarianPembagian babak pada tari topeng Cirebon gaya Pekandangan menurut Riyani didasarkan pada interpretasi dari gambaran nafsu manusia.[6]
Riyani menjelaskan bahwa babak topeng Panji, Samba dan Patih merupakan sebuah interpretasi dari kesempurnaan manusia jika ditelaah dalam sudut pandang jiwa manusia sedangkan babak topeng Klana merupakan sebuah proyeksi dari gambaran jasmani seorang manusia yang masih mempunyai berbagai nafsu duniawi. Dalang tari Topeng Cirebon gaya PekandanganDalang topeng gaya Pekandangan yang terkenal adalah mimi (bahasa Indonesia: ibu) Rasinah anak dari Ki Dalang Lastra dan ibunya seorang dalang ronggeng,[16] menurut Ki Waryo budayawan Cirebon, mimi Rasinah merupakan salah satu maestro tari Topeng Cirebon yang banyak menimba ilmu dari para seniornya terdahulu seperti dari mimi' Soedji (maestro tari Topeng Cirebon gaya Palimanan), kini setelah meninggalnya mimi Rasinah, pelestarian tari Topeng Cirebon gaya Pekandangan dilanjutkan oleh para muridnya, salah satunya adalah Aerli yang juga keturunannya. Pada awalnya keluarga besar Ki dalang Lastra mengalami kesulitan besar ketika hendak mengembangkan tari topeng Cirebon gaya Pekandangan, kesulitan itu muncul dari penjajah yang berfikir bahwa aktivitas pagelaran tari Topeng Cirebon gaya Pekandangan yang dilakukan oleh Ki Lastra merupakan sebuah aktivitas mata-mata oleh pejuang Republik Indonesia. Pada zaman penjajahan Jepang, kelompok tari yang dipimpin oleh Ki Lastra dibekukan hingga selanjutnya pada masa agresi militer Belanda, Ki Lastra tewas ditembak tentara Belanda dengan tuduhan yang sama dengan sebelumnya yaitu melakukan aktivitas mata-mata untuk Republik Indonesia.[17] Usaha melestarikan gaya Pekandangan oleh keluarga besar Mimi Rasinah membuahkan hasil dengan dipentaskannya pagelaran tari Topeng yang berjudul Napak Tilas Sang Maestro Tari Topeng Pekandangan: Mimi Rasinah di teater terbuka balai pengelolaan taman budaya Jawa Barat pada maret 2014 yang diperagakan oleh ratusan dalang topeng gaya Pekandangan dari berbagai usia dan dihadiri oleh para peminat seni termasuk para murid mimi Rasinah dari berbagai negara.[18] Tari Topeng Cirebon gaya Randegan'Tari Topeng Cirebon gaya Randegan adalah sebuah gaya tari Topeng Cirebon yang berkembang di wilayah desa-desa Randegan kecamatan Jatitujuh, kabupaten Majalengka, menurut Ki Waryo (budayawan Cirebon) tari Topeng Cirebon gaya Randegan leluhurnya berasal dari wilayah Cirebon sama seperti tetangganya yaitu tari Topeng Cirebon gaya Beber yang leluhurnya juga berasal dari wilayah Cirebon. Babak tarian
Babak Rumyang pada tari Topeng Cirebon gaya Randegan dipentaskan di akhir pagelaran, menurut Ki Pandi Surono (budayawan Cirebon sekaligus maestro tari Topeng Cirebon gaya Beber) yang seacara adat bersebelahan dengan gaya Randegan, pada masa lalu pagelaran tari Topeng Cirebon terutama gaya Beber dilakukan pada malam hari dan babak Rumyang dipentaskan mendekati terbitnya matahari saat sinar matahari terlihat samar-samar (bahasa Cirebon: ramyang-ramyang) dari kata ramyang inilah kemudian babak ini dinamakan. Penjelasan lebih lanjut tentang filosofi babak rumyang yang dipentaskan diahkhir setelah babak Topeng Klana yang merupakan proyeksi dari jiwa yang penuh nafsu dan emosi dijelaskan oleh Ki Waryo (budayawan Cirebon sekaligus dalang Wayang Kulit Cirebon gaya Kidulan (Palimanan) dan seorang ahli pembuat Topeng Cirebon) putera dari Ki Empek. Ki Waryo menjelaskan bahwa filosofi dari Rumyang terkait dengan sebuah proyeksi jiwa manusia yang sudah meninggalkan nafsu duniawinya dan menjadi manusia yang utuh (manusia harum) karena sudah tidak terbelenggu lagi dengan nafsu duniawi. Rumyang diartikan kedalam dua buah kata yaitu arum (bahasa Indonesia: harum) dan yang (bahasa Indonesia: manusia / orang) sehingga Rumyang diartikan secara harafiah menjadi manusia yang harum Ki Rawita (maestro tari Topeng Cirebon gaya Randegan) menjelaskan bahwa sesungguhnya babak Rumyang pada gaya Randegan dipentaskan dengan tidak mengenakan sobra namun mengenakan Udeng khas gaya Randegan yang kemudian dia tunjukan pada pagelaran tari Topeng Cirebon gaya Randegan di acara Festival Topeng Nusantara pada tahun 2006 yang bertempat di keraton Kasepuhan, kesultanan Kasepuhan, kota Cirebon. Dalang tari Topeng Cirebon gaya RandeganKi Rawita merupakan seorang maestro tari Topeng Cirebon gaya Randegan yang terkenal terutama pada pementasan babak Rumyang Udeng di acara Festival Topeng Nusantara pada tahun 2006 yang bertempat di keraton Kasepuhan, kesultanan Kasepuhan, kota Cirebon. Tari Topeng Cirebon gaya SlangitTari Topeng Cirebon gaya Slangit utamanya terpusat disekitar desa Slangit, kecamatan Klangenan, kabupaten Cirebon, gaya inilah yang kemudian digunakan dan dikembangkan menjadi gaya tari Topeng Cirebon pada sanggar kesenian Sekar Pandan milik kesultanan Kacirebonan. Pada era tahun 80-an, sekitar tahun 1986 seorang peneliti asing bernama Pamela Rogers-Aguiniga telah mendokumentasikan secara mendetail berbagai dinamika dari tari Topeng Cirebon gaya Slangit melalui bimbingan Ki Sujana Arja (maestro tari Topeng Cirebon gaya Slangit). Musik pengiringMusik pengiring yang digunakan dalam tari Topeng Cirebon gaya Slangit merupakan musik-musik khas gamelan Cirebon, berikut urutannya;[19]
Babak tarianPagelaran tari Topeng Cirebon gaya Slangit terdiri dari lima babak yaitu ;
Ki dalang Sudjana Arja menafsirkan pagelaran topeng Cirebon gaya Slangit kedalam tiga fase yaitu pertumbuhan jasmani manusia (dari mulai bayi hingga dewasa, suasana kebatinan manusia di mana manusia mempergunakan fungsi indranya dalam komunitas sosialnya dan makna keagamaan yang ditunjukan secara simbolis mengenai sifat dan perilaku manusia.[6] Gerakan tariGerakan tari yang menjadi ciri khas dari gaya Slangit adalah gerakan bahu dan pinggang yang kuat serta gesit dan mendetail dalam setiap perpindahan geraknya, dikarenakan urutan gerakannyayang sangat mendetail maka gaya Slangit dijadikan sebuah acuan dalam pengajaran tari Topeng Cirebon dalam lingkup akademis. Dalang tari Topeng Cirebon gaya SlangitDalang tari pada gaya Slangit yang terkenal di masyarakat hampir seluruhnya merupakan keturunan dari keluarga Arja, salah satu yang masih aktif melestarikan dan juga sebagai pengajar formal adalah Keni Arja (saudara almarhum Ki Sujana Arja), perjuangan keluarga Arja pada masa lalu dalam mempertahankan gaya Slangit agar tetap lestari bukanlah sebuah hal yang mudah, setelah kematian enam saudaranya hanya tinggal Ki Sujana Arja dan Keni Arja yang berjuang mempertahankan gaya Slangit agar tetap lestari, karena dari sembilan orang anak keturunan Ki Dalang Arja hanya delapan orang yang kemudian menjadi seniman tari Topeng Cirebon, baik sebagai nayaga (penabuh gamelan) atau sebagai dalang topeng, di antara sembilan orang anak Ki Dalang Arja hanya Durman yang tidak menjadi seorang seniman Topeng Cirebonan. Perjuangan almarhum Ki Sujana Arja dan adiknya Keni dalam upaya melestarikan gaya Slangit dimulai dari Bebarangan yakni mengamen topeng dari kampung ke kampung dan memenuhi panggilan pentas, ditengah terjepit dalam sulitnya mempertahankan tari Topeng Cirebon gaya Slangit yang sepi dari panggilan pentas, kelompok tari Topeng Cirebon juga pada masa itu (sekitar tahun 1960-an) dihadapkan dengan tuduhan bahwa mereka terkait dengan Gerakan Tiga Puluh September (G-30-S) sehingga menyebabkan ada beberapa kelompok tari Topeng Cirebon yang memilih untuk membubarkan diri karena takut dikait-kaitkan dengan gerakan tersebut, tetapi karena berniat untuk melestarikan gaya Slangit maka Ki Sujana Arja beserta saudaranya Keni Arja tetap melakukan pagelaran untuk membuktikan bahwa tari Topeng Cirebon gaya Slangit mampu bertahan dalam segala perubahan.[20] Setelah meninggalnya Ki Dalang Sujana Arja, pelestarian tari Topeng Cirebon gaya Slangit diteruskan oleh kedua puteranya, yaitu Inu Kertapati dan Astori, serta dalang-dalang topeng Cirebon gaya Slangit lainnya seperti Miah, Maskeni, Karmina, Wiyono (putera dari Keni Arja), Nunung Nurasih, Oliah, Iin, dan Turini. Tari Topeng Cirebon gaya Sinar RancangTari Topeng Cirebon gaya Sinar Rancang merupakan salah satu gaya tari Topeng Cirebon yang masih dipentaskan di wilayah timur kabupaten Cirebon, penyebaran gaya Sinar Rancang terbatas disekitar desa Sinar Rancang, kecamatan Mundu, kabupaten Cirebon Tari Topeng Cirebon gaya Tambi'Tari Topeng Cirebon gaya Tambi adalah tari Topeng Cirebon yang penyebarannya berpusat di desa Tambi,kecamatan Sliyeg, kabupaten Indramayu, tari Topeng Cirebon gaya Tambi dan lainnya yang berada di wilayah kabupaten Indramayu secara umum memiliki kesamaan dengan tari Topeng Cirebon yang ada di wilayah kabupaten Cirebon, kabupaten Majalengka serta kabupaten Subang yakni dengan adanya lima babak tarian, perbedaannya hanyalah terdapatnya sub-babak Klana Udeng yang merupakan kepanjangan dari babak Klana. Pakaian PenariPakaian penari (bahasa Cirebon: dalang topeng) pada gaya Tambi hampir mirip dengan gaya-gaya tari Topeng Cirebon lainnya, perbedaannya adalah pada pakaian ketika mementaskan sub-babak Klana Udeng, pada saat mementaskan Klana Udeng, dalang topeng tidak mengenakan penutup kepala (bahasa Cirebon: sobra) melainkan hanya mengenakan ikat kepala dari kain (bahasa Cirebon: udeng)[21] Musik pengiringMusik pengiring pada gaya Tambi hampir serupa dengan gaya Slangit, perbedaannya adalah pada babak Klana selain diiringi oleh lagu Gonjring juga diiringi oleh lagu Sarung Ilang kemudian pada sub-babak Klana Udeng lagu pengiringnya adalah lag-lagu khas dari Indramayu atau dikenal dengan lagu dermayonan Gerakan tariGerakan tari yang khas pada gaya Tambi adalah ketika mementaskan sub-babak Klana Udeng, pada saat itu tarian dipentaskan dengan mempertunjukan keahlian atraksi Dalang Topengnya, seperti atraksi menari di atas tambang sambil mengambil koin. Babak tarianBabak tarian yang ada pada gaya Tambi sama dengan gaya-gaya yang ada di wilayah kabupaten Cirebon, kabupaten Majalengka dan kabupaten Subang, yakni Panji, Pamindo, Rumyang, Tumenggung dan Klana. Perbedaannya adalah dengan adanya sub-babak Klana Udeng yakni kepanjangan dari babak Klana. Dalang tari Topeng Cirebon gaya TambiDalang Topeng yang terkenal dari gaya Tambi salah satunya adalah Nyai Wangi Indria, anak dari Ki Dalang Taham (dalang wayang Kulit Cirebon dan cucu dari Ki Wisad (seniman tradisional). Topeng pelengkapPada era sebelum tahun 70-an, menurut Ki Waryo (maestro tari Topeng Cirebon gaya Palimanan) terdapat juga topeng-topeng lainnya yang menjadi pelengkap babak dalam pagelaran tari Topeng Cirebon, mereka adalah
Pada era sekitar tahun 60-70-an topeng-topeng pelengkap seperti Sentingpraya masih dipentaskan pada pagelaran dinaan (bahasa Indonesia: pagelaran siang) tari Topeng Cirebon, pada periode tersebut menurut Ki Waryo, babak tumenggung Mangangdiraja melawan Jinggananom akan diteruskan adegannya dengan mementaskan adegan Aki-aki perangan di mana tokohnya adalah Sentingpraya, ayah dari Jinggananom, dikarenakan Sentingpraya diwujudkan sebagai seorang tokoh berdarah Tionghoa, maka pada pagelaran tari Topeng Cirebon Sentingpraya disebut juga dengan nama Babah Sentingpraya. Pewarisan keahlianPada tari Topeng Cirebon, yang dimaksud proses pewarisan keahlian adalah mewariskan kemampuan dari generasi yang lebih tua kepada yang lebih muda, proses pewarisan atau pengalihan pengetahuan ini erat hubungannya dengan praktik adat istiadat dalam konteks sebuah desa dan sesuai dengan lingkungan, adat, serta kepercayaan setempat.[22] Secara garis besar proses pewarisan keahlian dalam tari Topeng Cirebon dibagi kedalam dua metode, yakni proses pewarisan secara tradisional dan proses pewarisan secara modern.
Proses pewarisan secara tradisional biasanya dilakukan dengan cara penyampaian lisan, sang murid dalam proses tradisional ini biasanya selalu mengikuti pagelaran tari topeng yang dilakukan oleh gurunya, sehingga ia dituntut untuk mendengarkan dan melihat apa yang dilakukan gurunya diatas panggung pagelaran, pada proses ini, murid belajar dengan cara mendengarkan, melihat dan kemudian mengembangkan sendiri pola-pola gerakan tari Topengnya miliknya, dikarenakan pada proses tradisional ini murid belajar langsunhg dari gurunya dipanggung, maka dalam istilah adat Cirebon proses pembelajaran model seperti ini dikenal dengan istilahguru panggung[23] Proses pewarisan keahlian dalang Tari Topeng Cirebon kepada murid atau keturunannya tidak selalu mengajarkan gerak tarian yang sama percis, menurut Ki Sujana Arja (maestro tari Topeng Cirebon gaya Slangit) pengajaran gerakan tarian Topeng ada yang sengaja dibedakan gerakannya dari guru kepada muridnya, hal ini terbukti dari adanya gaya Celeng dan gaya Cipunegara yang berasal dari keluarga yang sama yaitu Ki Kartam (maestro tari Topeng Cirebon gaya Celeng) dan Ki Panggah (maestro tari Topeng Cirebon gaya Cipunegara) yang merupakan kakak–adik.
PerkembanganGerakan tangan dan tubuh yang gemulai, serta iringan musik yang didominasi oleh kendang dan rebab, merupakan ciri khas lain dari tari topeng. Kesenian Tari Topeng ini masih eksis dipelajari di sanggar-sanggar tari yang ada, dan masih sering dipentaskan pada acara-acara resmi daerah, ataupun pada momen tradisional daerah lainnya. Salah satu maestro tari topeng adalah Mimi Rasinah, yang aktif menari dan mengajarkan kesenian Tari Topeng di sanggar Tari Topeng Mimi Rasinah yang terletak di desa Pekandangan, Indramayu, Indramayu.[24] Sejak tahun 2006 Mimi Rasinah menderita lumpuh, tetapi ia masih tetap bersemangat untuk berpentas, menari dan mengajarkan tari topeng hingga akhir hayatnya, Mimi Rasinah wafat pada bulan Agustus 2010 pada usia 80 tahun.[24] GaleriLihat pula
Referensi
|