Share to:

 

Beksan Trunajaya

Beksan Trunajaya
Ploncon dan jajar dalam pertunjukan Beksan Lawung Ageng
Nama asliꦧꦼꦏ꧀ꦱꦤ꧀ꦠꦿꦸꦤꦗꦪ
GenrePerang
InstrumenGamelan
PenciptaHamengkubuwana I
TahunAbad ke-18
AsalDaerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia

Beksan Trunajaya adalah trilogi tarian klasik gaya Yogyakarta. Ketiga tarian ini diciptakan oleh Hamengkubuwana I yang merupakan sultan pertama dari Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Tiga tarian yang termasuk dalam trilogi Beksan Trunajaya adalah Beksan Lawung Alit, Beksan Lawung Ageng, dan Beksan Sekar Madura. Beksan ini disebut "Trunajaya" karena dahulu ditarikan oleh pasukan Trunajaya dari Madura, yang bergabung dalam bregada Nyutra.[1]

Beksan Lawung Ageng, Lawung Alit, dan Sekar Madura kini telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia dengan nomor registrasi 2010000088, 202101281, dan 202201577 pada tahun 2010 dan 2021–2022, berturut-turut.[2][3][4]

Sejarah

Beksan Trunajaya diciptakan oleh Hamengkubuwana I berdasarkan latihan watangan yang rutin digelar setiap hari Sabtu. Watangan adalah latihan ketangkasan prajurit dalam berkuda dan menggunakan tombak. Tombak yang digunakan adalah tombak berujung tumpul, yang dalam bahasa Jawa disebut lawung. Perlombaan ini rutin dilaksanakan di Alun-alun Utara, dan sering diiringi gendhing penghormatan Monggang.[5]

Saat Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat berdiri, Pemerintah Kolonial mengawasi penyelenggaraan pemerintahan di Keraton, sehingga Hamengkubuwana I memutuskan untuk menyamarkan latihan watangan yang rutin digelar tersebut ke dalam sebuah tarian yang diberi nama Beksan Trunajaya. Pada masa kekuasaannya hingga diteruskan kepada putranya, beksan ini dipertunjukkan untuk melegitimasi kekuasaan Sultan. Beksan ini sempat vakum dipertunjukkan ke publik pada masa Hamengkubuwana III hingga V, karena meletusnya Perang Diponegoro serta krisis ekonomi yang melanda Hindia Belanda pascaperang. Beksan ini kemudian dipertunjukkan lagi pada masa Hamengkubuwana VII sebagai simbol perwakilan diri Sultan dalam sebuah perhelatan publik dan pernikahan keluarga Kesultanan. Beksan ini menjadi semakin populer pada masa Hamengkubuwana IX, karena mulai diajarkan di perkumpulan tari yang dibentuk di luar benteng Keraton.[6]

Deskripsi

Peran penari

Peran penari dalam Beksan Trunajaya terdiri atas:[7]

  • Dua orang botoh yang hendak menguji ketangkasan prajurit-prajurit yang dibinanya.
  • Dua orang salaotho yang suka melawak, tetapi setia pada botoh (Beksan Lawung Ageng).
  • Empat orang lurah, prajurit berpangkat tinggi.
  • Empat orang jajar, prajurit berpangkat rendah.
  • Empat orang ploncon, orang yang menyediakan tombak untuk digunakan adu ketangkasan.

Tata busana yang digunakan untuk masing-masing penari berupa udeng tepen untuk jajar, ploncon, dan lurah, atau songkok untuk botoh, kain batik, celana cinde, sampur, lonthong (setagen), kaweng, bara, kalung, sumping, kelat bahu, dan buntal. Penari botoh dan lurah mengenakan rias kalang kinantang dan kain batik Parang Rusak Barong, sementara jajar mengenakan rias bapang dan kain batik motif batik Kawung. Salaotho menggunakan riasan dan busana yang berbeda; riasan gecul dan baju biru, celana putih, serta kain bangbangan dari Madura. Pemilihan busana ini berkaitan dengan silang budaya yang ada pada beksan ini. Bahasa yang dituturkan adalah campuran bahasa Jawa Bagongan, Madura, Bugis, dan Melayu Klasik.[8] Pada beksan Sekar Madura, dialek Bagelan juga dituturkan.[9]

Gerakan dan jalannya tari

Ragam gerak yang digunakan Beksan Trunajaya antara lain:[5]

  • Ragam gerak bapang, dengan sifat gagah dan ekspresif, digunakan oleh jajar.
  • Ragam gerak kalang kinantang, dengan sifat halus, digunakan oleh lurah.
  • Ragam gerak lawakan (gecul), digunakan oleh salaotho.
  • Ragam gerak impur (kakung alus) yang digunakan pada Beksan Lawung Alit dan Sekar Madura.[10]
  • Ragam gerak untuk empat penari alus dan empat penari gagah yang digunakan pada Beksan Sekar Madura.[9]

Pada beksan Sekar Madura, terdapat satu properti yang digunakan saat penari duduk di hadapan meja, yaitu botol dan gelas sloki. Properti tersebut menunjukkan bahwa pada masa itu, jika para prajurit menang berperang, mereka bergembira dan saling menghibur dengan minum minuman keras.[9]

Waktu tarian dapat bervariasi. Apabila waktu yang tersedia terbatas, maka gerakan-gerakan tertentu dapat dilakukan setengah ragam, kemudian dapat bergeser ke gerakan lainnya. Misalnya, jika beksan ini ditampilkan di hadapan wisatawan yang sedang berkunjung ke Keraton. Terdapat beberapa variasi jalannya tari yang sedang atau pernah dilakukan pada Beksan Trunajaya:[11]

  • Pemangkasan gerak kalang kinantang sebanyak dua kali menjadi satu kali.
  • Dialog yang dapat dilakukan bergantian antara pihak kanan dan kiri, menjadi bersamaan dan dipangkas dari semula tiga kali menjadi dua atau bahkan satu kali.
  • Penari ploncon terkadang diganti dengan abdi dalem yang memberi tombak lawung; atau rak tombak yang akan diambil penari jajar atau lurah, terutama untuk pertunjukan versi singkat.
  • Terkadang yang diambil untuk dipentaskan hanya kelompok tertentu, misalnya empat jajar saja, atau empat lurah saja. Botoh dan salaotho masing-masing berjumlah dua orang untuk pementasan ini.
  • Di luar Keraton, beksan ini dapat ditarikan hanya dengan satu botoh dan empat jajar, yang tombaknya dibawa langsung oleh jajar sejak dari awal pementasan hingga selesai.

Iringan gendhing

Terdapat beberapa iringan gendhing yang digunakan dalam Beksan Trunajaya, antara lain:

  • Pada Beksan Lawung Ageng, Gangsaran Roning Tawang, laras pelog pathet 6 dibunyikan saat botoh menguji ketangkasan jajar, sedangkan Gangsaran Bima Kurda, laras pelog pathet barang dibunyikan saat botoh menguji ketangkasan lurah.[12]
  • Pada Beksan Lawung Alit, Ladrang Harjuna Mangsah, laras pelog pathet barang dibunyikan saat botoh menguji ketangkasan jajar, sedangkan Ladrang Harjuna Asmara, laras pelog pathet barang dibunyikan saat botoh menguji ketangkasan lurah.[10]
  • Pada Beksan Sekar Madura, gendhing yang digunakan adalah Ceng Barong, laras slendro pathet 9.[9]

Gamelan yang digunakan dalam beksan Lawung Ageng dan Alit adalah Kanjeng Kyai Guntur Sari. Gamelan ini dikenal karena jumlah saron yang lebih banyak daripada gamelan konvensional. Total dalam gamelan ini terdapat empat saron demung, delapan saron ricik, dan satu saron peking, serta ditambah alat musik khusus seperti beduk, bonang panembung, rojeh, dan bende campur. Untuk memberi suatu tanda tertentu dalam beksan ini, digunakan keprak.[13]

Alat-alat musik Barat yang ada di Keraton juga digunakan sebagai iringan gendhing, yaitu tambur, trompet, trombon, tuba, biola, selo, dan kontrabas.[14]

Referensi

  1. ^ Tinarsidartha & Pramutomo 2016, hlm. 193.
  2. ^ "Warisan Budaya Takbenda | Beranda". warisanbudaya.kemdikbud.go.id. Diakses tanggal 2024-05-08. 
  3. ^ "Warisan Budaya Takbenda | Beranda". warisanbudaya.kemdikbud.go.id. Diakses tanggal 2024-05-08. 
  4. ^ "Warisan Budaya Takbenda | Beranda". warisanbudaya.kemdikbud.go.id. Diakses tanggal 2024-06-05. 
  5. ^ a b Era.id. "Mengenal Beksan Lawung Ageng, Salah Satu Tarian Pusaka Keraton Yogyakarta". ERA.ID. Diakses tanggal 2024-05-06. 
  6. ^ Tinarsidharta & Pramutomo 2016, hlm. 191-192.
  7. ^ Media, Kompas Cyber (2021-03-16). "Beksan Lawung Ageng, Tarian Pusaka Keraton Yogyakarta". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2024-05-06. 
  8. ^ Tinarsidharta & Pramutomo 2016, hlm. 194-195.
  9. ^ a b c d "Beksan Sekar Medura". budaya.jogjaprov.go.id. Diakses tanggal 2024-05-06. 
  10. ^ a b crew, kraton. "Beksan Lawung Alit". kratonjogja.id (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-05-06. 
  11. ^ Tinarsidharta & Pramutomo 2016, hlm. 198.
  12. ^ Tinarsidharta & Pramutomo 2016, hlm. 194.
  13. ^ Rintoko 2022, hlm. 97-98.
  14. ^ Rintoko 2022, hlm. 96.

Daftar pustaka

Kembali kehalaman sebelumnya