Tiga Sandera Terakhir
Tiga Sandera Terakhir adalah sebuah novel thriller-militer karya Brahmanto Anindito yang diterbitkan pertama pada 2015 oleh Noura Publishing (salah satu penerbit dari Mizan Group), Jakarta. Novel bersubjudul Terinspirasi dari Konflik Berdarah di Timur Indonesia ini menceritakan sebuah drama penyanderaan di pedalaman Papua. Tentara Nasional Indonesia (TNI) merespon penyanderaan tersebut dengan mengirim Satuan Antiteror dari Komando Pasukan Khusus Angkatan Darat (Kopassus). Namun, korban malah berjatuhan. Tiga Sandera Terakhir boleh jadi merupakan novel pertama di Indonesia yang menjadikan dunia militer atau Kopassus sebagai latarnya.[1] Dalam teknik penceritaannya, novel ini menggunakan sudut pandang orang ketiga, yaitu sudut pandang sandera/penyandera dan tim pembebas sandera (baik militer maupun sipil). Terdiri dari 52 bab pendek, cerita Tiga Sandera Terakhir ditulis dengan kalimat-kalimat yang sederhana dan bernas. Setengah bagian pertama Tiga Sandera Terakhir terinspirasi dari kejadian nyata, yakni krisis sandera Mapenduma, tragedi kemanusiaan yang melibatkan para peneliti Lorentz '95 sebagai korban. Namun di bab "Di Balik Halaman: Sebuah Pengantar" novelnya, pengarang menyebut bahwa karyanya ini secara keseluruhan lebih tepat disebut fiksi. SinopsisSebuah penyanderaan brutal terjadi di Papua. Korbannya lima turis berkewarganegaraan Indonesia, Australia dan Prancis. Semua telunjuk langsung menuding Organisasi Papua Merdeka (OPM). Namun, OPM sendiri ternyata menyangkalnya. Kata mereka, pihaknya sudah lama tidak menggunakan cara-cara seperti itu demi perjuangan kemerdekaan Papua Barat. Apapun itu, TNI enggan berteka-teki terlalu lama. Satuan Antiteror Kopassus, Gultor, di bawah komando Kolonel Inf. Larung Nusa segera diturunkan ke bumi cenderawasih. Tetapi, malang tak bisa ditolak. Korban-korban malah bertumbangan, baik di pihak sandera maupun anggota Kopassus. Kolonel Nusa pun mulai menyadari bahwa lawannya bukan sekadar milisi OPM. Melainkan pasukan khusus, seperti dirinya.[2] Masalah kemudian berkembang pelik. Lantaran operasi militer memakan banyak korban, Kolonel Nusa akhirnya diskors selama 10 hari oleh atasannya, Mayjen Abassia. Namun, sanksi ini sejatinya hanyalah pengalihan tugas bagi Nusa untuk memimpin satu unit "pasukan hantu". Untuk misi baru ini, dia ditemani Nona Gwijangge, Tafiaro Wenda, Witir Femmilio, dan Kresna Sonar.[3] Dengan keahlian masing-masing, mereka bahu-membahu dalam misi melacak dan mengeliminasi dalang yang sesungguhnya dari drama penyanderaan ini. Tokoh-tokoh KunciBerikut ini beberapa tokoh kunci dalam novel fiksi Tiga Sandera Terakhir (diurutkan berdasarkan alfabet):[4]
Komentar PembacaBerikut ini komentar dari sebagian pembaca novel Tiga Sandera Terakhir yang dikutip dari bukunya dan situs web resminya:[5]
Penyanderaan Sebenarnya
Novel Tiga Sandera Terakhir berangkat dari peristiwa penyanderaan nyata yang terjadi mulai 8 Januari 1996 di Desa Mapenduma, Jayawijaya, Kecamatan Tiom, Irian Jaya (nama provinsi sebelum Papua). Pada 8 Januari 1996, Mission Aviation Fellowship cabang Wamena mengirimkan laporan kepada Komando Distrik Militer Jayawijaya. Laporan tersebut mengatakan bahwa 26 peneliti dari Tim Ekspedisi Lorentz 95 disandera oleh sayap militer OPM di bawah pimpinan Kelly Kwalik. Tim Lorentz telah berada di sana sejak 18 November 1995. Ekspedisi mereka bermaksud meneliti keanekaragaman hayati di Cagar Alam Lorentz melewati Mapenduma, sekitar 160 km di barat daya Wamena. Mendapat laporan penyanderaan, pihak berwenang, dalam hal ini Kodam Jayapura dan Brimob Jayapura segera menjalankan Operasi Pembebasan Sandera Mapenduma. Pasukan Kopassus yang dipimpin Brigjen. TNI Prabowo Subianto kemudian juga diterjunkan, dan akhirnya mengambil alih jalannya misi pembebasan sandera tersebut. Menurut Koran Tempo, tokoh Larung Nusa dalam novel Tiga Sandera Terakhir mengingatkan pembaca akan sosok Prabowo Subianto ini.[8] Sementara itu, pada 15 April 1996, di tengah Operasi Pembebasan, terjadi insiden terpisah, yakni penembakan oleh anggota Kopassus bernama Letnan Dua Sanurip yang diduga menderita penyakit malaria. Dalam insiden ini, Letkol. Adel Gustimego (Komandan Detasemen 81 Kopassus) tertembak mati. Korban lainnya yang berasal dari jajaran Kopassus adalah Mayor Gunawan, Kapten Djatmiko, Serma Jaswanto, dan Praka Rudi. Sedangkan korban dari Batalyon 752 adalah Serma Joko, Praka Mochtar, Praka Kasiyanto, dan Praka Triyono. Satu lagi korban ABRI berasal dari Koramil di Timika, yaitu Sertu Manase. Awalnya, misi pembebasan sandera mengutamakan jalur damai, dengan negosiator dari pihak Keuskupan Jayapura, dan dilanjutkan oleh Komite Internasional Palang Merah atau International Committee of the Red Cross (ICRC). Akan tetapi, karena jalan damai ini tidak membuahkan hasil,[9] operasi militer besar-besaran pun ditempuh. Sandera akhirnya benar-benar berhasil dibebaskan pada 9 Mei 1996 setelah aparat menyerbu kantong-kantong OPM penyandera di Desa Geselama, Mimika. Sayangnya, dua dari 11 sandera berkebangsaan Indonesia ditemukan meninggal. Mereka adalah Matheis Yosias Lasembu (seorang ornitologis) dan Navy W. Th. Panekenen (ahli biologi dari Universitas Nasional Jakarta Fakultas Biologi). Matheis kemudian dimakamkan di Bandung dan Navy dikebumikan di Jakarta. Trivia
Pranala luarReferensi
|