Unjuk rasa dan kerusuhan Papua 2019
Sejak 19 Agustus 2019, terjadi unjuk rasa di beberapa kabupaten dan kota di provinsi Papua dan Papua Barat, Indonesia, yang sebagian disertai dengan kerusuhan.[10][11] Aksi unjuk rasa tersebut dilakukan untuk menyikapi peristiwa penangkapan sejumlah mahasiswa asal Papua oleh aparat kepolisian dan tentara di beberapa tempat di Jawa Timur pada tanggal 17 Agustus 2019.[12][13] Latar belakangUnjuk rasa dan bentrokan di Malang dan sejumlah kota lainPada tanggal 15 Agustus 2019, bertepatan dengan peringatan penandatanganan Perjanjian New York dan pembahasan tentang Papua pada pertemuan Forum Kepulauan Pasifik di Tuvalu yang juga diikuti oleh pimpinan Persatuan Gerakan Pembebasan Papua Barat (ULMWP) Benny Wenda,[14][15] unjuk rasa terjadi di beberapa kota di Indonesia, termasuk Jayapura, Ternate, Ambon, Bandung, Yogyakarta, Jakarta, dan Malang.[16] Pelaku unjuk rasa tersebut termasuk Komite Aksi ULMWP, Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP), dan Komunitas Mahasiswa Papua (KMP). Di Yogyakarta dan Jakarta, aksi unjuk rasa tersebut berlangsung tanpa gangguan. Di Bandung, unjuk rasa harus pindah lokasi untuk menghindari serangan dari lebih dari seratus orang milisi sipil. Sementara itu, unjuk rasa di Jayapura, Ternate, dan Ambon dibubarkan oleh aparat keamanan dan para pengunjuk rasa ditangkap, walaupun kemudian dilepas kembali setelah beberapa waktu.[17] Di Malang, Jawa Timur, massa pengunjuk rasa berbentrokan dengan warga yang menghadang mereka dan kemudian dengan massa Aremania yang hendak menyaksikan pertandingan sepak bola antara Arema dan Persebaya. Sekitar pukul 9 pagi, ketika hendak menuju ke balaikota Malang, massa pengunjuk rasa dari Aliansi Mahasiswa Papua dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua dihadang oleh sejumlah warga di sekitar perempatan Rajabali. Terjadi cekcok antara pengunjuk rasa dan massa penghadang, yang diikuti dengan kejar-kejaran dan saling lempar batu antarmassa di Jalan Basuki Rahmat. Polisi kemudian melerai dan menyekat kedua massa tersebut. Massa pengunjuk rasa kemudian sempat berorasi mengaspirasikan kemerdekaan Papua. Sekitar pukul 10.15, massa Aremania yang kebetulan hendak menuju pertandingan di Stadion Kanjuruhan mulai berdatangan di lokasi. Selanjutnya, terjadi saling teriak antarmassa dan pembubaran paksa oleh massa Aremania. Bentrokan baru benar-benar bisa dihentikan sekitar pukul 10.30. Massa pengunjuk rasa kemudian diangkut dengan truk polisi dan selanjutnya dipulangkan, sementara pengunjuk rasa yang terluka langsung dibawa ke rumah sakit.[16][18][19] Kepolisian Kota Malang menyatakan kepada pers setelah kejadian bahwa unjuk rasa di Malang tersebut tidak berizin karena pihaknya tidak memberikan tanda terima pengajuan permohonan unjuk rasa.[19][20][21] Selain itu, ketika ditanyai oleh pers mengenai kemungkinan pemulangan mahasiswa Papua ke daerah asalnya setelah kejadian tersebut, Wakil Walikota Malang Sofyan Edi Jarwoko menjawab bahwa hal itu dapat menjadi salah satu pilihan.[22] Sementara itu, pihak Aliansi Mahasiswa Papua selaku pelaku unjuk rasa menyatakan bahwa mereka dihadang dan diserang oleh kelompok organisasi masyarakat. Mereka mendapatkan ujaran kebencian dan kekerasan fisik yang membuat lima orang terluka. Selain itu, menurut mereka, pihak kepolisian membiarkan kekerasan tersebut terjadi pada mereka.[23][24] Asrama mahasiswa Papua di SurabayaAsrama mahasiswa Papua Kamasan III adalah asrama bagi mahasiswa rantau Papua yang diresmikan pada tahun 2007 dan terletak di Jalan Kalasan, Surabaya, Jawa Timur, beberapa ratus meter dari kantor Forum Koordinasi Pimpinan Kecamatan (kantor Kecamatan, Kepolisian Sektor Kota, dan Komando Rayon Militer) Tambaksari.[25][26] Pada 6 Juli 2018, petugas gabungan dari TNI, Polri, dan Satpol PP beserta camat setempat mendatangi asrama tersebut, membubarkan acara diskusi dan pemutaran film mengenai pembantaian terhadap 200-an warga Papua oleh aparat keamanan di Biak tahun 1998.[27][28] Pada bulan Agustus 2018, terjadi insiden yang diawali dengan usaha pemasangan bendera Merah Putih di asrama ini oleh sejumlah organisasi masyarakat menjelang peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Pada 15 Agustus 2018, sehari setelah camat setempat menyosialisasikan permintaan wali kota Surabaya untuk memasang bendera tanggal 14-18 Agustus,[29] organisasi masyarakat, seperti Patriot Muda, Benteng NKRI, dan Pemuda Pancasila,[30] mendatangi asrama tersebut untuk memasang bendera. Penghuni asrama menyatakan bahwa massa yang datang merusak pagar dan melempari asrama serta melontarkan ujaran kebencian.[31][32] Terjadi bentrokan dan salah satu anggota organisasi masyarakat terluka, lalu mengadu ke polisi. Polisi kemudian datang berusaha melakukan penggeledahan, lalu semua penghuni asrama diangkut ke Mapolrestabes Surabaya.[33] Di antara massa yang diangkut polisi, ada yang meneriakkan aspirasi kemerdekaan Papua.[34] Kejadian serupa terjadi pada tahun 2019. Pada 15 Agustus 2019, camat setempat bersama aparat Satpol PP, Koramil, dan Polsekta mendatangi asrama ini dan memasang bendera Merah Putih di depan gerbang asrama setelah berdialog dengan penghuni asrama. Menurut seorang pejabat kecamatan, tiang bendera yang mereka tancapkan tersebut telah berpindah tempat keesokan harinya, tanggal 16 Agustus.[26] Menurut penghuni asrama, rombongan kecamatan, Koramil, dan Polsekta lalu memasang tiang bendera baru di tempat yang sama. KronologiPada 19 Agustus 2019, ribuan orang berunjuk rasa di Manokwari, ibu kota Provinsi Papua Barat.[35] Unjuk rasa ini berubah menjadi kerusuhan yang mengakibatkan terbakarnya gedung DPRD setempat. Menurut laporan pemerintah, tiga petugas polisi terluka akibat lemparan batu dari para pengunjuk rasa.[9] Selain fasilitas umum, beberapa properti pribadi juga dibakar.[36] Beberapa dari para pengunjuk rasa membawa bendera Bintang Kejora - bendera lama Nugini Belanda yang digunakan oleh Organisasi Papua Merdeka - sambil meneriakkan slogan-slogan pro kemerdekaan.[26] Di Indonesia, tindakan tersebut dapat dihukum hingga 15 tahun penjara.[37] Wakil gubernur Papua Barat Mohamad Lakotani mengatakan bahwa ekonomi kota sepenuhnya lumpuh akibat protes yang dilakukan.[38] Menurut juru bicara Komite Nasional Papua Barat, seorang pemrotes wanita ditembak di pergelangan kaki saat mengikuti aksi unjuk rasa di Manokwari. Angkatan Bersenjata Indonesia mengatakan kepada media bahwa 300 tentara dikerahkan ke Manokwari pada 21 Agustus.[39] Di Jayapura, ibu kota Provinsi Papua, ratusan pengunjuk rasa menurunkan bendera Merah Putih di depan kantor gubernur.[37] Para pengunjuk rasa juga memblokir jalan ke Bandar Udara Sentani.[40] Unjuk rasa juga terjadi di Sorong, dan di sana dilaporkan terdengar suara tembakan.[41] Menanggapi cercaan "monyet" di Surabaya, beberapa pengunjuk rasa berpakaian monyet.[42] Massa menyerbu Bandar Udara Domine Eduard Osok dan melemparkan batu ke jendela kaca bandara, mengakibatkan kerusakan pada gedung terminal.[43] Serangan itu juga sempat mengganggu operasi bandara untuk sementara waktu.[44] Selain dari bandara, penjara kota juga dibakar, mengakibatkan 258 orang narapidana serta tahanan melarikan diri dan melukai beberapa penjaga penjara.[45] Meskipun demikian, pada 23 Agustus, seorang petugas penjara mencatat bahwa sebagian besar tahanan yang melarikan diri hanya berusaha untuk melarikan diri dari api dan memeriksa keluarga mereka, dan kebanyakan pelarian telah kembali ke penjara tersebut.[46] Sekitar 4.000–5.000 pemrotes berunjuk rasa di kota penambangan Timika, menyebabkan kerusakan pada sebuah hotel di dekat gedung DPRD Kabupaten Mimika. Bentrokan lebih lanjut antara pengunjuk rasa dan polisi terjadi di depan gedung DPRD Mimika, ketika polisi membubarkan kerumunan orang menunggu bupati Mimika, Eltinus Omaleng. Lusinan orang akhirnya ditangkap, didakwa merusak hotel atau memaksa toko reparasi mobil lokal untuk menyediakan ban bagi para pengunjuk rasa untuk dibakar. 3 polisi juga dilaporkan terluka akibat bentrokan tersebut.[47][48][49] Ribuan pengunjuk rasa juga berunjuk rasa di kota Fakfak pada 21 Agustus. Massa membakar pasar lokal dan gedung kantor. Selain itu, para pengunjuk rasa memblokir jalan ke Bandar Udara Torea Fakfak. Akibatnya, polisi terpaksa menembakkan gas air mata pada para demonstran untuk membubarkan massa. Menurut juru bicara kepolisian Indonesia, situasinya "terkendali" dan hanya sekitar 50 orang yang terlibat dalam pembakaran gedung pasar. Beberapa orang terluka dalam protes dan bentrokan itu.[50][51] Sejumlah unjuk rasa juga digelar di Merauke, Nabire, Yahukimo dan Biak.[39][41][52] Beberapa mahasiswa Papua di Jakarta juga menggelar unjuk rasa di depan gedung Kemendagri RI pada 22 Agustus.[53] Protes yang lebih damai berlanjut, dengan "mars panjang" yang damai di Kabupaten Sarmi pada 23 Agustus[54] dan unjuk rasa pro-kemerdekaan di Semarang pada hari berikutnya.[55] Demonstrasi lain yang memprotes rasisme terhadap mahasiswa Papua juga diadakan di Yogyakarta,[56] Bandung[57] dan Denpasar,[58] serta kota lainnya. Beberapa aktivis mencatat bahwa unjuk rasa ini merupakan salah satu yang terbesar serta belum pernah terjadi di wilayah ini selama bertahun-tahun.[59] Unjuk rasa berlanjut pada tanggal 26 Agustus, dengan bendera Papua Barat dikibarkan oleh pengunjuk rasa damai di Kabupaten Deiyai berjumlah 5.000 menurut para penyelenggara, bersamaan dengan demonstrasi serentak di kota-kota Papua lainnya, seperti Wamena, Paniai, Yahukimo, dan Dogiyai di samping kota-kota di luar Papua seperti Makassar.[60] KelanjutanMenindaklanjuti aksi protes, Kementerian Komunikasi dan Informatika Indonesia Rudiantara melakukan perlambatan akses internet di sekitar Sorong dalam suatu langkah yang dinyatakan sebagai langkah untuk memerangi disinformasi.[42] Kementerian juga dilaporkan telah menutup akun media sosial yang "berbagi konten provokatif".[47] Penutupan internet tersebut menyebabkan unjuk rasa lain terhadap kementerian di Jakarta oleh organisasi hak asasi manusia setempat.[61] Pada malam 19 Agustus, presiden Indonesia, Jokowi merilis pernyataan yang mendesak ketenangan dan mengatakan kepada orang Papua bahwa "Emosi itu boleh, tapi memaafkan lebih baik. Sabar juga lebih baik."[62] Jokowi juga menyiapkan kunjungan ke wilayah tersebut.[42] Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Indonesia Wiranto juga merilis pernyataan yang menjanjikan penyelidikan "lengkap dan adil" atas insiden di Surabaya dan menambahkan bahwa situasi di Papua terkendali. Kepala Kepolisian Nasional Tito Karnavian mengklaim bahwa kerusuhan itu disebabkan oleh, selain dari insiden di Surabaya dan perlakuan terhadap siswa yang terlibat, juga karena sebuah berita tipuan tentang salah satu siswa yang terbunuh saat penahanan mereka.[63] Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Fadli Zon menyerukan penyelidikan terhadap pihak-pihak yang bertanggung jawab atas insiden rasisme di Surabaya.[64] Sebagai respons, Polisi daerah Jawa Timur membentuk tim untuk menyelidiki tuduhan tersebut.[65] Uskup Ambon Petrus Canisius Mandagi juga menyerukan protes damai dan mengatakan bahwa orang Papua "tidak boleh biadab seperti mereka yang menyemburkan rasisme".[66] Anggota DPRP Yorrys Raweyai menyerukan pembubaran Banser Nahdlatul Ulama, mengklaim bahwa pembubaran milisi tersebut adalah permintaan dari pengunjuk rasa di Sorong.[67] Tri Susanti, seorang anggota partai Gerindra dan pemimpin unjuk rasa di Surabaya terhadap pelajar Papua, secara terbuka meminta maaf setelah protes di Papua dan membantah tuduhan kekerasan fisik terhadap para mahasiswa.[68] Tokoh kemerdekaan Papua Barat Benny Wenda berkomentar bahwa insiden di Surabaya telah "menyalakan api unggun rasisme, diskriminasi, dan penyiksaan orang Papua Barat selama hampir 60 tahun oleh Indonesia".[59] Pada tanggal 27 Agustus, Gubernur Papua Lukas Enembe mengunjungi gedung para mahasiswa Papua di Surabaya. Akan tetapi, ia langsung ditolak oleh mereka, yang sebelumnya telah menolak semua pengunjung dengan memasang spanduk bertuliskan 'Siapapun yang datang kami tolak'.[69] Rabu, 3 Juni 2020, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta memutuskan bahwa Presiden Republik Indonesia dan Menteri Komunikasi dan Informatika bersalah atas pemblokiran internet di Papua dan Papua Barat yang dilakukan dalam kurun Agustus hingga September 2019.[70] Penggugat merupakan koalisi masyarakat sipil yang terdiri, antara lain, dari Aliansi Jurnalis Independen, KontraS, YLBHI, dan Elsam, menyatakan keputusan pemerintah saat itu merupakan perbuatan melanggar hukum dan memperkarakan ke PTUN. Hakim PTUN Jakarta memutuskan bahwa tindakan pemerintah yang dilakukan Menteri Komunikasi dan Informatika selaku Tergugat I serta Presiden Joko Widodo selaku Tergugat II, adalah perbuatan melanggar hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan.[71] Lihat pulaCatatan
Rujukan
|