Share to:

 

Yunani Utsmaniyah

Bagian dari seri artikel mengenai
Sejarah Yunani
Peta Yunani
Zaman Perunggu Yunani
Peradaban Aegea
Peradaban Helladik
Peradaban Kikladik
Peradaban Minoa
Peradaban Mykenai
Yunani Kuno
Zaman Kegelapan Yunani
Yunani Arkais
Yunani Klasik
Yunani Helenistik
Yunani Romawi
Yunani Abad Pertengahan
Yunani Bizantium
Negara Frank dan Latin
Yunani Utsmaniyah
Yunani modern
Perang Kemerdekaan
Kerajaan Yunani
Republik Yunani Kedua
Rezim 4 Agustus
Pendudukan Axis
Perang Saudara
Junta Militer
Republik Yunani Ketiga
Sejarah menurut topik
Seni · Konstitusi · Ekonomi · Militer · Nama

 v • d • e 

Penjajahan Utsmaniyah di Yunani, disebut juga Tourkokratia (bahasa Yunani: Τουρκοκρατία, "kekuasaan Turk"; bahasa Indonesia: "Turkokrasi"[1]) adalah periode dalam sejarah Yunani ketika sebagian besar wilayah yang kini termasuk dalam perbatasan negara Yunani modern setidaknya pernah menjadi bagian dari Kesultanan Utsmaniyah sejak pertengahan abad ke-15 hingga deklarasi kemerdekaan Yunani pada 1821. Akan tetapi, beberapa tempat seperti Kepulauan Ionia atau Mani di Peloponnesos tidak pernah menjadi bagian dari pemerintahan Utsmaniyah, walaupun Mani berada di bawah pengaruh Utsmaniyah. Kawasan Yunani utara, didominasi oleh Makedonia Yunani dan Thrakia, tidak hanya dicaplok oleh Utsmaniyah pada tahap yang sangat awal, antara 1360-an dan 1430-an, melainkan, bersama dengan Konstantinopel dan Anatolia Barat Laut, membentuk apa yang kemudian menjadi pusat utama dan daerah paling penting di Utsmaniyah secara militer, kebudayaan, dan ekonomi.

Sejarah

Penaklukan Yunani

Kekaisaran Bizantium, penerus Kekaisaran Romawi kuno yang menguasai sebagian besar dunia penutur bahasa Yunani selama lebih dari 1100 tahun, telah amat melemah sejak pengrusakan Konstantinopel oleh pasukan salib Latin pada 1204.

Gerak maju Utsmaniyah ke Yunani didahului oleh kemenangan atas bangsa Serb di sebelah utaranya. Pertama-tama Utsmaniyah memenangkan Pertempuran Maritsa pada 1371. Pasukan Serb ketika itu dipimpin oleh Raja Vukasin Mrnjavcevic, ayah Pangeran Marko dan berkuasa bersama dengan kaisar terakhir dari dinasti Serbia Nemanjic. Ini diikuti oleh kemenangan Utsmaniyah lainnya dalam Pertempuran Kosovo pada 1389.

Dengan tiadanya ancaman lanjutan dari bangsa Serb dan perang saudara Bizantium yang terjadi kemudian, Utsmaniyah merebut Konstantinopel pada 1453 dan maju ke bagian selatan Yunani, merebut Athena pada 1458. Bangsa Yunani bertahan di Peloponnesos hingga 1460, sedangkan orang Venesia dan Genoa bertahan di beberapa pulau, namun pada 1500-an sebagian besar daratan dan pulau di Yunani telah jatuh ke tangan Utsmaniyah. Pegunungan di Yunani banyak yang tidak tersentuh sehingga menjadi tempat pelarian bagi orang-orang Yunani yang berusaha melepaskan diri dari kekuasaan asing serta sebagai basis untuk melancarkan serangan gerilya.[a][2]

Siprus takluk pada 1571, dan Venesia mempertahankan Kreta hingga 1669. Kepulauan Ionia hanya sebentar dikuasai oleh Utsmaniyah (Kefalonia dari 1479 hingga 1481 dan dari 1485 hingga 1500), serta tetap lebih sering berada di bawah kekuasaan Venesia.

Perkembangan nasionalisme Yunani

Setelah pengepungan Wina oleh Utsmaniyah yang gagal pada 1683, Utsmaniyah memasuki masa kemunduran yang panjang baik secara militer melawan negara-negara Kristen dan secara internal, berujung pada meningkatnya korupsi, represi dan efisiensi. Semua ini ini memicu kemarahan yang menyebabkan kekisruhan dan terkadang pemberontakan. Ketika semakin banyak wilayah yang semakin sulit dikendalikan, Utsmaniyah beralih menerapkan pemerintahan militer di Yunani, namun pilihan ini justru memicu perlawanan yang lebih keras. Selain itu, hal ini juga berujung pada dislokasi ekonomi serta semakin berkurangnya populasi.[3]

Sejak akhir 1600-an, orang Yunani mulai mengisi beberapa jabatan tinggi dan penting dalam pemerintahan Utsmaniyah. Phanariotes, kelas orang Yunani kaya yang hidup di distrik Phanar di Konstantinopel, menjadi amat berpengaruh. Perjalanan-perjalanan mereka ke Eropa Barat sebagai pedagang atau diplomat membuat mereka mengetahui gagasan-gagasan maju seperti liberalisme dan nasionalisme, dan memang dari kalangan Phanariotes inilah gerakan nasionalis Yunani lahir. Banyak pedagang dan pelancong Yunani dipengaruhi oleh gagasan Revolusi Prancis dan Zaman Pencerahan Yunani yang baru pun dimulai pada abad ke-17 di banyak kota Yunani yang diduduki oleh Utsmaniyah.

Nasionalisme Yunani juga diperkuat oleh para agen rahasia Yekaterina Agung, penguasa Kekaisaran Rusia yang Ortodoks, yang berharap dapat merebut wilayah dari Utsmaniyah yang melemah, termasuk Konstantinopel sendiri, dengan menghasut pemberontakan Kristen melawan Utsmaniyah. Akan tetapi, selama perang Rusia-Utsmaniyah yang pecah pada 1768, orang Yunani tidak memberontak, membuat pihak Rusia kecewa. Perjanjian Kuchuk-Kainarji pada 1774 memberi hak bagi Rusia untuk mendatangi Sultan demi membela umat Ortodoks, dan Rusia sejak itu mulai secara rutin ikut campur dalam urusan dalam negeri Utsmaniyah. Hal ini, ditambah dengan gagasan baru yang disebarkan oleh Revolusi Prancis pada 1789, mulai menghubungkan kembali bangsa Yunani dengan dunia luar dan berujung pada perkembangan pergerakan nasionalis yang aktif, salah satu yang paling progresif pada masanya.

Yunani secara periferal terlibat dalam Perang Napoleon, namun satu peristiwa memiliki konsekuensi yang penting. Ketika Prancis di bawah Napoleon Bonaparte menaklukan Venesia pada 1797, mereka juga merebut Kepulauan Ionia, dengan demikian mengakhiri empat ratus tahun kekuasaan Venesia atas Kepulauan Ionia.[4][5] Kepulauan ini dinaikkan statusnya menjadi dependensi yang disebut Republik Septinsular, yang memperoleh otonomi lokal. Ini adalah pertama kalinya bangsa Yunani memerintah rakyat mereka sendiri sejak kejatuhan Trebizond pada 1461.

Salah satu yang memegang jabatan di Kepulauan ini adalah Ioannis Kapodistrias, yang kelak menjadi kepala negara pertama di Yunani merdeka. Pada akhir Perang Napoleon pada 1815, Yunani bangkit dari isolasinya. Para penulis dan seniman Britania dan Prancis mulai mengunjungi Yunani, selain itu orang-orang Eropa yang kaya mulai mengumpulkan prasasti Yunani. Para "philhellen" ini berperan penting dalam mengumpulkan dukungan untuk kemerdekaan Yunani.

Pemberontakan

Bangsa Yunani di berbagai tempat di semenanjung Yunani berkalli-kali memberontak terhadap kekuasaan Utsmaniyah, terutama dengan memanfaatkan peluang ketika Utsmaniyah sedang berperang melawan negara lain. Semua perlawanan ini muncul dengan skala dan dampak beragam Selama Perang Utsmaniyah-Venesia, dua bersaudara Kladas orang Maniot, Krokodelos dan Epifani, memimpin sekelompok stratioti atas nama Venesia untuk menentang Utsmaniyah di Peloponnesos Selatan. Mereka menyerahkan Vardounia dan tanah mereka pada Venesia, di mana Epifani kemudian bertindak sebagai gubernur.[6]

Pemberontakan yang bersifat lokal dan cepat diredam seperti pemberontakan petani Epiros pada 1600 dan 1611 terjadi di seluruh semenanjung Yunani.[7]

Pada 1571, armada Kristen dalam Pertempuran Lepanto memiliki selusin kapal dengan kapten dan awak Yunani dari Kreta serta Kepulauan Ionia, salah satu kapalnya didanai oleh El Greco. Keberhasilan pertempuran oleh Liga Suci itu memicu gelombang perlawanan di berbagai tempat di semenanjung Yunani seperti Phokis[8] dan Peloponnesos, dipimpin oleh Melissinoi bersaudara dan orang-orang lainnya. Semua pemberontakan ini berhasil dihentikan oleh Utsmaniyah setahun kemudian.[9] Selama Perang Kreta, orang Maniot membantu Francesco Morosini dan Venesia di Peloponnesos.[10] Pasukan ireguler Yunani juga membantu Venesia melalui Perang Moreia dalam operasi mereka di Laut Ionia dan Peloponnesos.[11]

Perlawanan besar yang pernah terjadi adalah Pemberontakan Orlov yang berlangsung selama Perang Rusia-Utsmaniyah dan memicu kericuhan bersenjata baik di Yunani daratan maupun di kepulauan.[12] Pada 1778, sebuah armada Yunani yang meliputi tujuh puluh kapal dikumpulkan oleh Lambros Katsonis dan mengganggu skuadron Utsmaniyah di Laut Aigeia, merebut pulau Kastelorizo serta terlibat dalam pertempuran laut hingga 1790.[13][14]

Perang Kemerdekaan

Organisasi nasinalis Yunani rahasia yang disebut "Masyarakat Ramah" atau "Kumpulan Kawan" (Filiki Eteria) dibentuk di Odessa pada 1814. Anggota-anggotanya merencanakan pemberontakan dengan dukungan komunitas orang Yunani kaya yang terusir di Britania Raya dan Amerika Serikat. Mereka juga memperoleh dukungan dari para simpatisan di Eropa Barat, serta bantuan rahasia dari Rusia. Organisasi ini menetapkan Kapodistrias, yang menjadi Menteri Luar Negeri Rusia setelah meninggalkan Kepulauan Ionia, sebagai pemimpin pemberontakan tersebut. Pada 25 Maret 1821[b], Uskup Ortodoks Germanos dari Patras mengumumkan perlawanan nasional.[15][16]

Perlawanan simultan direncanakan di seluruh Yunani, termasuk di Makedonia, Kreta dan Siprus. Dengan keuntungan awal berupa efek kejutan, dibantu dengan inefesiensi Utsmaniyah serta perseteruan Utsmaniyah melawan Ali Pasya dari Tepelen, paskan Yunani berhasil menguasai Peloponnesos dan beberapa tempat lainnya. Beberapa tindakan pertama Yunani dilakukan terhadap para permukim Utsmaniyah yang tak bersenjata, dengan 40% penduduk Muslim Turki dan Albania dibunuh langsung sementara sisanya melarikan diri atau diusir.[17]

Utsmaniyah pulih dan memberikan pembalasan dengan amat keras, melakukan pembantaian terhadap penduduk Yunani di Khios dan kota-kota lainnya. Hal ini justru membuaat Utsmaniyah semakin terpojok karena memicu lebih banyak simpati di Britania dan Prancis terhadap perjuangan Yunani, walaupun pemerintah Britania dan Prancis curiga bahwa pemberontakan ini merupakan rencana Rusia untuk merebut Yunani dan mungkin Konstantinopel dari Utsmaniyah. Bangsa Yunani sendiri kemudian tidak mampu mendirikan pemerintahan yang kuat di area yang mereka kuasai, dan malah terjebak dalam perseteruan di antara mereka sendiri. Perang tak menentu antara Yunani dan Utsmaniyah berlanjut hingga 1825 ketika Sultan mengirimkan pasukan dan armada yang kuat dari Mesir untuk menghancurleburkan Kepulauan Aigeia dan Peloponnesos.

Kekejaman yang menyertai ekspedisi tersebut, bersama dengan simpati yang ditimbulkan oleh kematian penyair dan philhellen terkemuka Lord Byron di Messolongi pada 1824, pada akhirnya menyebabkan negara-negara besar ikut campur. Pada Oktober 1827, armada Britania, Prancis dan Rusia, atas inisiatif komandan lokal, namun dengan persetujuan diam-diam dari pemerintahan, meluluhlantakkan armada Utsmaniyah dalam Pertempuran Navarino. Ini adalah momen yang menentukan dalam perang kemerdekaan.

Pada Oktober 1828, pasukan Prancis berlabuh di Peloponnesos untuk menghentikan kekejaman Utsmaniyah. Di bawah perlindungan mereka, bangsa Yunani mampu berkumpul kembali dan membentuk pemerintahan baru. Mereka kemudian bergerak maju untuk merebut sebanyak mungkin wilayah, termasuk Athena dan Thebes, sebelum negara-negara besar menetapkan gencatan senjata.

Suatu konferensi di London pada Maret 1829 mengajukan negara Yunani merdeka dengan perbatasan utara yang membentang dari Arta hingga Volos, dan hanya meliputi Euboia serta Kyklades di antara pulau-pulaunya. Pihak Yunani Yunani kecewa pada pembatasan perbatasan ini namun tidak dalam posisi untuk menolak kemauan Britania, Prancis dan Rusia, yang telah amat membantu dalam perjuangan kemerdekaan mereka. Melalui Konvensi 11 Mei 1832, Yunani pada akhirnya diakui sebagai negara berdaulat.

Setelah Utsmaniyah akhirnya mengakui kemerdekaan Yunani, sebuah kesepakatan multinegara secara resmi ditetapkan pada 1830. Kapodistrias, yang telah menjadi kepala negara Yunani yang tak diakui sejak 1828, dibunuh oleh keluarga Mavromichalis pada Oktober 1831. Untuk mencegah eksperimen lanjutan dalam pemerintahan republik, negara-negara besar, terutama Rusia, mendesak agar Yunani menjadi sebuah monark, dan pangeran Bavaria Otto, dipilih menjadi raja pertamanya.

Ekonomi

Situasi ekonomi sebagian besar Yunani menjadi amat buruk di bawah kekuasaan Utsmaniyah. Kehidupan menjadi beralih ke pedesaan dan termiliterisasi. Kewajiban pajak yang sangat berat dibebankan kepada penduduk Kristen, dan banyak orang Yunani yang hanya mampu bertani untuk memenuhi kebutuhan sendiri padahal pada masa sebelumnya kawasan Yunani telah sangat berkembang dan terurbanisasi. Pengecualian untuk keadaan ini adalah di Konstantinopel dan Kepulauan Ionia yang dikuasai oleh Venesia, di mana banyak orang Yunani yang hidup sejahtera.[18] Bangsa Yunani amat menyesalkan situasi ekonomi yang memburuk di negeri mereka selama penjajahan Utsmaniyah.[19]

Orang Yunani diharuskan membayar pajak tanah dan pajak yang berat untuk perdagangan, pajak perdagangan ini memanfaatkan kaum kaya Yunani untuk mengisi keuangan Kesultanan.[20] Orang Yunani, seperti orang Kristen lainnya, juga diharuskan membayar jizyah, atau pajak Islam yang harus dibayar oleh semua penduduk nonmuslim di Kesultanan, sedangkan penduduk Muslim harus membayar zakat yang merupakan bagian dari rukun Islam. Kegagalan membayar jizyah dapat menyebabkan hilangnya janji perlindungan terhadap kehidupan dan harta benda orang Kristen, akibatnya orang tersebut dihadapkan pada beberapa pilihan, perpindahan agama, perbudakan atua kematian.[21] Seperti di tempat-tempat lainnya di Utsmaniyah, orang Yunani harus selalu membawa surat resmi yang menunjukkan pembayaran jizyah mereka kemanapun, jika tidak, mereka dapat dipenjara.

Ketika Utsmaniyah mengalami kemunduran sekitar 1600-an, posisi tuan tanah Utsmaniyah, yang sebelumnya ditunjuk langsung oleh Sultan, menjadi jabatan turun-temurun (chiflik), yang dapat dijual atau diwariskan kepada ahli waris. Kelas baru tuan tanah Utsmaniyah menurunkan status para petani Yunani yang awalnya bebas menjadi serf ("budak"), menyebabkan kemiskinan dan pengurangan populasi yang semakin parah, dengan orang-orang melarikan diri ke pegunungan agar terbebas dari kemiskinan. Sebagian besar kota Athena menjadi desa yang tidak terurus, penduduk petani Yunaninya amat miskin dan terisolasi, tidak diizinkan mendekati kawasan Akropolis di mana orang-orang Turk yang kaya raya menetap.[3]

Diplomat dan philhellen Prancis François-René de Chateaubriand, setelah kunjungannya ke Sounion pada 1806, menuliskan kesannya, "Di sekitarku terdapat makam, kesunyian, bencana, kematian dan beberapa pelaut Yunani tidur tak terurus di reruntuhan Yunani. Aku mengabaikan tempat dewata itu selamanya, kepalaku terisi oleh keagungannya pada masa lalu dan kejatuhannya pada masa kini." Meskipun demikian, selama abad ke-17, keseluruhan populasi Yunani bertambah dengan kembalinya sejumlah orang Yunani dari pegunungan.

Pada abad ke-17 dan 18, posisi orang Yunani yang terdidik dan berwawasan menjadi amat meningkat karena Utsmaniyah semakin menyadari keterbelakangannya yang semakin jauh dibanding negara-negara Eropa, maka Utsmaniyah pun merekrut semakin banyak orang Yunani yang memiliki keahlian administrasi, teknis, dan keuangan yang tidak dimiliki oleh Utsmaniyah.[22]

Upeti anak

Sebagian besar orang Yunani tidak harus bertugas dalam pasukan Sultan, namun anak-anak lelaki sering diambil dan diislamkan untuk kemudian dimasukkan ke dalam militer Utsmaniyah. Selain itu, para anak gadis juga diambil untuk dijadikan odalisk (pelayan wanita atau selir) di harem Sultan.[23][24]

Praktik ini disebut "upeti anak" (devsyirmeh) (dalam bahasa Yunani disebut παιδομάζωμα (paidomazoma, bermakna "pengumpulan anak"), di mana tiap komunitas Kristen diwajibkan mengirimkan satu dari lima anak lelaki untuk dijadikan Muslim dan dimasukkan ke dalam korps Yanisari, kesatuan elite dalam pasukan Utsmaniyah. Terjadi banyak perlawanan terhadap kewajiban ini, cerita rakyat Yunani mengisahkan tentang para ibu yang membuat putra-putranya cacat agar mereka tidak diambil. Meskipun demikian, dengan menjadi Muslim dan masuk ke dalam Yanisari, seseorang dapat memperoleh kesempatan untuk meraih jabatan tinggi seperti gubernur atau bahkan Wazir Agung. Salah satu contohnya adalah Pargali Ibrahim Pasya, putra seorang petani Yunani dari Parga, yang menjadi salah seorang penasehat paling tepercaya bagi Sultan Suleyman serta menjadi seorang jenderal lapangan dan negerawan dengan istananya sendiri. Beberapa proses perekrutan terkadang berlangsung secara sukarela karena ada orang tua yang ingin anak-anaknya masuk ke dalam Yanisari untuk memastikan mereka memiliki karier yang sukses serta hidup yang sejahtera.[25]

Perlawanan rakyat Yunani terhadap pajak maupun "upeti anak" berujung denngan akibat yang buruk. Contohnya, pada 1705 seorang pejabat Utsmaniyah dikirim dari Naoussa di Makedonia untuk mencari dan mendaftar Yanisari baru namun ia dibunuh oleh pemberontak Yunani yang menolak kewajiban "upeti anak." Para pemberontak ini kemudian dipenggal dan kepala mereka dipamerkan di kota Thessaloniki.[26] Dalam beberapa kasus, banyak keluarga Yunani yang tidak bersedia melepaskan anak mereka karena takut bahwa anak mereka akan diislamkan dan kelak akan kembali lagi sebagai penindas mereka. Dalam kasus lainnya, keluarga menyuap petugas agar anak mereka dijadikan pejabat pemerintahan alih-alih tentara Yanisari.[27]

Demografi

Konsolidasi kekuasaan Utsmaniyah diikuti oleh dua kecenderungan migrasi Yunani yang berbeda. Yang pertama melibatkan para cendekiawan Yunani, seperti Basilios Bessarion, Georgius Plethon Gemistos dan Marcos Mousouros, bermigrasi ke tempat-tempat lainnya di Eropa Barat dan berkontribusi kedatangan Renaisans (meskipun migrasi orang Yunani berskala besar ke berbagai tempat di Eropa, terutama kota-kota universitas Italia, telah dimulai jauh sebelumnya, menyusul penaklukan Konstantinopel oleh pasukan salib[28]). Kecenderungan ini juga berpengaruh terhadap terciptanya diaspora Yunani modern.

Yang kedua melibatkan orang Yunani yang meninggalkan dataran di semenanjung Yunani dan bermukim di pegununngan, di mana lanskapnya yang berliku menyulitkan Utsmaniyah untuk menciptakan kehadiran militer maupun administratif.[29]

Dalam hal jumlah penduduk, penjajahan Utsmaniyah menyebabkan pengurangan yang signifikan, setidaknya di dataran rendah (sensus Utsmaniyah tidak memasukkan banyak orang di area pegununngan). Orang Turk banyak bermukim di Thrakia dan Makedonia Yunani, sedangkan terdapat penduduk Muslim Yunani yang berpindah dari Kristen Ortodoks terutama di Makedonia barat laut, seperti Vallahades.

Keterangan

  1. ^ Keturunan para pelarian ini kemudian disebut klepht dan terus aktif sebagai bandit hingga abad ke-19.[2]
  2. ^ Kini 25 Maret diperingati sebagai Hari Kemerdekaan Yunani.

Catatan kaki

  1. ^ Merry, Encyclopedia of Modern Greek Literature, hlm. 442
  2. ^ a b World and Its Peoples. Marshall Cavendish. 2009. hlm. 1478. ISBN 0-7614-7902-3. 
  3. ^ a b Waterfield, Athens, hlm. 281-293
  4. ^ Davy, Notes and observations on the Ionian Islands and Malta, 27-28
  5. ^ American Baptist Foreign Mission Society (1848). The Missionary magazine. American Baptist Missionary Union. hlm. 25. 
  6. ^ Longnon, J. 1949. Chronique de Morée: Livre de la conqueste de la princée de l’Amorée, 1204-1305. Paris.
  7. ^ Joseph von Hammer-Purgstall: Geschichte des osmanischen Reiches: Bd. 1574-1623, p. 442; note a. "Prete scorticato, la pelle sua piena di paglia portata in Constantinopoli con molte teste dei figli d'Albanesi, che avevano intelligenza colli Spagnoli"[1]
  8. ^ Kronik Galaxidi
  9. ^ Απόστολου Βακαλόπουλου, Ιστορία του Νέου Ελληνισμού, Γ’ τομ., Θεσσαλονίκη 1968
  10. ^ Setton, Venice, Austria, and the Turks in the Seventeenth Century, hlm. 189
  11. ^ Finlay, The History of Greece under Othoman and Venetian Domination, hlm. 210-213
  12. ^ George Childs Kohn (Editor) Dictionary of Wars Diarsipkan 2013-11-09 di Wayback Machine. 650 pages ISBN 1-57958-204-4 ISBN 978-1579582043 Page 155
  13. ^ Finlay, The History of Greece under Othoman and Venetian Domination, hlm. 330-334
  14. ^ Dakin, Douglas The Greek Struggle for Independence, 1821–1833, University of California Press, (1973) pp. 26–27
  15. ^ "Greek Independence Day". www.britannica.com. Diakses tanggal 2009-09-09. The Greek revolt was precipitated on March 25, 1821, when Bishop Germanos of Patras raised the flag of revolution over the Monastery of Agia Lavra in the Peloponnese. The cry “Freedom or Death” became the motto of the revolution. The Greeks experienced early successes on the battlefield, including the capture of Athens in June 1822, but infighting ensued. 
  16. ^ McManners, John (2001). The Oxford illustrated history of Christianity. Oxford University Press. hlm. 521–524. ISBN 0-19-285439-9. The Greek uprising and the church. Bishop Germanos of old Patras blesses the Greek banner at the outset of the national revolt against the Ottomans on 25 March 1821. The solemnity of the scene was enhanced two decades later in this painting by T. Vryzakis….The fact that one of the Greek bishops, Germanos of Old Patras, had enthusiastically blessed the Greek uprising at the onset (25 March 1821) and had thereby helped to unleash a holy war, was not to gain the church a satisfactory, let alone a dominant, role in the new order of things. 
  17. ^ Jelavich, History of the Balkans hlm. 217.
  18. ^ Michał Bzinkowski, Eleuthería ē Thánatos!: The idea of freedom in modern Greek poetry during the war of independence in 19th century. Dionysios Solomos’ “Hymn to Liberty”
  19. ^ Paroulakis, pp. 10-11.
  20. ^ Douglas Dakin,the Greek struggle for independence, 1972
  21. ^ James E. Lindsay Daily life in the medieval Islamic world, (Greenwood Publishing Group, 2005) p.121
  22. ^ Hobsbawm, The Age of Revolution, hlm. 140–142.
  23. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Waterfield, Robert 2005 p. 284
  24. ^ Madeline C. Zilfi Women and slavery in the late Ottoman Empire Cambridge University Press, 2010
  25. ^ The preaching of Islam: a history of the propagation of the Muslim faith By Sir Thomas Walker Arnold, pg. 130
  26. ^ Vasdravellis, I. Οι Μακεδόνες κατά την Επανάστασιν του 1821 (The Macedonians during the Revolution of 1821), 3rd improved edition, Thessaloniki: Society of Macedonian Studies, 1967. [halaman dibutuhkan]
  27. ^ Shaw, p. 114.
  28. ^ Treadgold, Warren. History of Byzantine State and Society. Stanford University Press, 1997. [halaman dibutuhkan]
  29. ^ Vacalopoulos, p. 45. "The Greeks never lost their desire to escape from the heavy hand of the Turks, bad government, the impressment of their children, the increasingly heavy taxation, and the sundry caprices of the conqueror. Indeed, anyone studying the last two centuries of Byzantine rule cannot help being struck by the propensity of the Greeks to flee misfortune. The routes they chiefly took were: first, to the predominantly Greek territories, which were either still free or Frankish-controlled (that is to say, the Venetian fortresses in the Despotate of Morea, as well as in the Aegean and Ionian Islands) or else to Italy and the West generally; second, to remote mountain districts in the interior where the conqueror's yoke was not yet felt."

Rujukan

Kembali kehalaman sebelumnya