Administrasi Bahá'í
Administrasi Bahá'í adalah suatu administrasi atau sistem manajemen yang mengatur dan mengurusi urusan-urusan masyarakat Bahá'í.[1][2] Sistem ini terdiri dari lembaga-lembaga yang telah ditentukan kewenangannya. Administrasi Bahá'í bersumber dari Kitáb-i-Aqdas dan dirancang sebagai sarana untuk mencapai keberhasilan dari visi Bahá’u’lláh.[3] Dalam kitab tersebut dinyatakan bahwa pada setiap tempat yang memiliki sejumlah tertentu orang Bahá'í harus didirikan lembaga yang bernama Balai Keadilan (House of Justice).[4][a] Selain Aqdas, administrasi Bahá’í memiliki tiga dokumen pegangan yang lain, meliputi Loh Rencana Ilahi, Loh Bukit Karmel, dan Kehendak dan Wasiat ʻAbdu'l-Bahá.[5] SejarahSecara singkat adminstrasi Bahá'í bermula dari visi Bahá'u'lláh dan ditemukan dalam tulisan-tulisannya.[2] Melalui tulisan-tulisannya, Bahá'u'lláh mengungkapkan prinsip-prinsip yang memandu operasi lembaga-lembaga Bahá'í masa depan. Ia menunjuk putranya, 'Abdu'l-Bahá sebagai satu-satunya penafsir Firman-Nya. Dalam Kehendak dan Wasiat, ‘Abdu'l-Bahá mengangkat cucunya, Shoghí Effendí, sebagai wali atau penjaga. Effendí selama kepemimpinannya mendedikasikan energi untuk pengembangan administrasi Bahá'í seperti yang dikenal saat ini, dengan meletakkan pondasi dan membuka jalan bagi kehadiran lembaga Balai Keadilan Sedunia.[2] Masa kepemimpinan 'Abdu’l-BaháʻAbdu'l-Bahá adalah tokoh yang sangat penting bagi perkembangan administrasi Bahá'í. Ia adalah orang yang secara spesifik menjabarkan dan mengembangkan konsep administrasi yang ditulis oleh Bahá'u'lláh dalam Aqdas. Ia menulis dalam bukunya yang berjudul Kehendak dan Wasiat mengenai metode dan langkah-langkah untuk mendirikan Balai Keadilan.[1] Dalam buku yang sama, ia menubuhkan Lembaga Perwalian (Institution of Guardianship). Lembaga Perwalian ini dipimpin oleh seorang Wali, dalam hal ini 'Abdu’l-Bahá menunjuk Shoghí Effendí sebagai wali yang pertama.[b][6] Pada masa kepemimpinan 'Abdu'l-Bahá, di Persia dan Amerika Serikat sudah ada beberapa lembaga lokal yang mengurusi administrasi masyarakat.[7] Lembaga-lembaga yang ada masih belum terorganisasi dengan baik dan memiliki struktur yang tidak seragam satu sama lain. Hal ini menunjukkan bahwa komunitas Bahá'í yang terorganisasi dengan baik belum lahir. Alhasil anggota masyarakatnya yang sebagian merupakan orang-orang yang berpindah agama, kemudian masih mengasosiasikan diri dengan komunitas agama lama mereka, terutama secara sosial. 'Abdu’l-Bahá pun disebutkan selama di Akko dan Haifa masih mengunjungi masjid secara rutin.[8] Masa kepemimpinan 'Abdu’l-Bahá adalah bagian penghujung dari apa yang disebut Shoghí Effendí sebagai Era Kepahlawanan.[8] Ketika ‘Abdu’l-Bahá tutup usia pada usia 77 tahun, 28 November 1921 di Haifa, maka Era Kepahlawanan yang sudah berlangsung hampir 80 tahun lamanya sejak pengumuman misi Sang Báb secara resmi berakhir dan digantikan dengan Era Pembentukan. Effendí menyebutkan bahwa Era Kepahlawanan adalah masa ketika administrasi Bahá’í dirintis dan prinsip-prinsip yang berkenaan dengannya diungkapkan. Rintisan ini akan senantiasa berkembang seiring waktu dan berfungsi sebagai embrio bagi Tatanan Dunia Baru Bahá’u’lláh.[8] Masa kepemimpinan Shoghí EffendíPada 1922-1923, Shoghí Effendí mulai mengembangkan lembaga-lembaga lokal di Persia dan Amerika Serikat yang sudah eksis sejak masa Abdu’l-Bahá menjadi Majelis Rohani. Pada tiap wilayah yang memiliki masyarakat Bahá’í dewasa (berusia di atas 21 tahun) sebanyak minimal sembilan orang, mereka harus membentuk Majelis Rohani. Dikarenakan cakupannya ada pada wilayah yang sempit atau lokalitas tertentu, majelis ini kemudian disebut sebagai Majelis Rohani Setempat.[8] Pengaplikasian upaya untuk membentuk Majelis Rohani ini pertama kali dilakukan terhadap lembaga-lembaga yang dimiliki oleh komunitas Bahá'í Amerika Serikat serta Kanada. Effendí yang berstatus sebagai wali, saat itu tengah membentuk komunitas Bahá'í tingkat dunia yang rapi secara organisasi. Ia menggunakan komunitas Bahá'í di dua negara Amerika Utara tersebut sebagai prototipe, sebelum akhirnya diterapkan ke seluruh wilayah yang didiami orang Bahá'í.[9] Proyek untuk membina lembaga-lembaga Bahá' di Amerika Utara tersebut terangkum dalam Rencana Tujuh Tahun Pertama Komunitas Bahá'í Amerika. Rencana tersebut dimulai pada 1937 dan berakhir pada 1944. Berakhirnya Rencana Tujuh Tahun tersebut menandai selesainya "Fase Pertama" dari Era Pembentukan.[10] Setelah rencana Tujuh Tahun selesai, fokus mulai dialihkan untuk membangun tatanan lembaga-lembaga Bahá'í di tingkat dunia dan Era Pembentukan memasuki "Fase Kedua". Pada fase ini, Shoghí Effendí melibatkan komunitas Bahá'í Amerika Serikat dan Kanada dalam proyek untuk mempromosikan perkembangan agama di luar Amerika Utara menggunakan sistem pengajaran yang terorganisasi.[4] Hasilnya, pada 1953 sudah terdapat 12 Majelis Rohani Nasional (MRN) yang tersebar di lima benua. Majelis-majelis tersebut meliputi: MRN, Kepulauan Inggris (British Isles), Jerman dan Austria, Mesir dan Sudan, Irak, India-Pakistan-Burma; Persia, Australia dan Selandia Baru, Kanada, Majelis Rohani Regional Amerika Tengah, Majelis Rohani Regional Amerika Selatan, dan MRN Italia dan Swiss.[11] Pada 1953 Shoghí Effendí meluncurkan salah satu proyek ambisius terbesar dalam sejarah Bahá'í. Proyek yang diberi nama Rencana Global Sepuluh Tahun (Ten Years World Crusade) tersebut melibatkan semua MRN (dan MRR) kala itu. Tujuan utama rencana ini adalah untuk mempercepat perkembangan dan ekspansi komunitas serta mewujudkan pembangunan Pusat Bahá’í Sedunia di Haifa.[11] Dalam rangka membantu pekerjaannya, Effendi mengangkat para Tangan Agama Tuhan yang merupakan anggota Lembaga Perwalian yang ia pimpin sebagai Kepala Pelayan Agama (Chief Stewards of the Faith) melalui surat kepada masyarakat Bahá'í sedunia, Oktober 1957.[12] Tak lama setelah itu, pada 4 November 1957, Shoghí Effendi meninggal dunia. Ia wafat tanpa meninggalkan keturunan.[13] Ada pun sosok pengganti bagi posisi wali adalah para aghsan (keturunan laki-laki Bahá'u'lláh). Kebingungan mengenai hal ini membuat kepemimpinan agama sementara waktu dipegang oleh para Tangan Agama Tuhan. Mereka memegang kepemimpinan enam tahun lamanya hingga 1963. Pada 1963, Rencana Global Sepuluh Tahun mencapai puncaknya dan selesai. Puncak rencana global tersebut ditandai dengan keberhasilan penyelenggaraan Kongres Bahá’í Sedunia yang pertama di London serta pemilihan anggota Balai Keadilan Sedunia (BKS) yang pertama.[14] Pemilihan dilakukan melalui Konvensi Sedunia yang pertama, April 1963, dengan melibatkan 56 MRN yang ada. Jumlah MRN yang terlibat dalam pemilihan anggota BKS yang pertama menunjukkan peningkatan dari 12 MRN saja pada 1953.[4] Masa kepemimpinan Balai Keadilan SeduniaSejak pemilihannya pada 1963 Balai Keadilan Sedunia (BKS) menjadi kepala agama sekaligus pemimpin (otoritas) tertinggi dalam sistem administrasi Bahá'í. Tahun 1963 pula, "Fase Kedua" Era Pembentukan berakhir dan digantikan oleh "Fase Ketiga". Di bawah bimbingan BKS, sistem adminisrasi Bahá'í menjadi lebih luas dan kompleks dikarenakan keberhasilan rencana ekspansi sebelumnya.[10] Perkembangan administrasi yang pesat ini dengan cepat menggantikan kepemimpinan tradisional perseorangan seperti sebelumnya.[1] Setelah anggotanya terpilih, BKS mengadakan konsultasi mengenai sosok pengganti Shoghí Effendí. Mereka mengadakan penyelidikan terhadap tulisan-tulisan suci Bahá’í, hingga akhirnya menyimpulkan bahwa tidak ada cara untuk menunjuk wali yang kedua.[15] Para Tangan Agama Tuhan yang merupakan anggota Lembaga Perwalian pun Kehendak dan Wasiat ʻAbdu'l-Bahá harus ditunjuk oleh Wali. Kekosongan posisi Wali menyebabkan tidak akan ada lagi Tangan Agama Tuhan yang ditunjuk sehingga seiring waktu, jumlah mereka akan terus menurun. Untuk mengatasi hal ini, pada tahun 1968, BKS meresmikan Lembaga Dewan Penasihat Benua (Continental Boards of Counsellors).[16][17] Tiap benua akan memiliki satu dewan. Dewan bertanggung jawab untuk melindungi agama serta menstimulasi perluasan penyebaran agama, bekerja atau berkoordinasi dengan MRN serta mengawasi Dewan Pembantu. Pada saat yang sama dengan peresmian Dewan Penasihat Benua, BKS membebastugaskan para Tangan Agama Tuhan. Mereka diperbolehkan secara bebas untuk pergi ke mana saja di seluruh dunia untuk melanjutkan medan pengabdian masing-masing.[18] Setelah mendirikan Dewan Penasihat Benua, BKS serta jaringan koordinasi lembaga Majelis Rohani Nasional (MRN) dan Majelis Rohani Setempat (MRS) di seluruh dunia terus aktif melakukan penyebaran agama. Saat 'Abdu'l-Bahá wafat (1921), agama Bahá'í saat itu ada di 35 negara.[c] Pada akhir fase pertama Era Pembentukan (1944), Bahá’í sudah dikenal di 78 negara. Pada 1989 mukmin Bahá’í terdapat di lebih dari 200 negara dan teritori di seluruh dunia, 148 di antaranya memiliki MRN. Masyarakat Bahá’í memandang bahwa administrasi Bahá’í yang ada saat ini merupakan permulaan (forerunner) dari visi Bahá’u’lláh mengenai tatanan dunia baru. Tatanan tersebut, tengah memasuki masa awal perancangan. Mereka percaya bahwa tatanan tersebut akan mencapai perkembangan primanya pada saat manusia secara tulus mencoba untuk menerapkan semua ajaran Baha’u’llah, terutama bagaimana membangun dunia yang menjunjung tinggi prinsip persatuan (unity) dan keadilan (justice).[19] StrukturAdministrasi Baháʼí memiliki dua pilar utama yang menopangnya: Lembaga Terpilih (Elected Body) dan Lembaga Tertunjuk (Appointed Body) memiliki dua elemen berbeda: yang terpilih dan yang ditunjuk. Lembaga Terpilih tertinggi adalah Balai Keadilan dan Lembaga Tertunjuk tertinggi adalah Lembaga Perwalian.[16][20] Kewenangan Balai Keadilan adalah untuk mengatur permasalahan yang tidak diungkapkan secara langsung dalam tulisan suci.[21] Ada pun Lembaga Perwalian bertindak sebagai penafsir resmi tulisan suci. Di bawah pimpinan Sang Wali Lembaga Perwalian diisi oleh sejumlah individu yang dikenal sebagai Tangan Agama Tuhan (Hand of the Cause of God).[7] Lembaga terpilihDisebut Lembaga Terpilih karena masyarakat mengadakan pemilihan anggota majelis yang memiliki otoritas terhadap komunitas Bahá'í. Lembaga Terpilih kadang disebut juga oleh Bahá'u'lláh sebagai "Yang Berkuasa" (The Rulers), karena di tangan lembaga-lembaga inilah kekuasaan eksekutif berada.[1] Anggota Lembaga Terpilih tidak memiliki otoritas individu. Namun, ketika mereka sedang menjalankan tugas, khususnya saat memutuskan sesuatu, lembaga bertindak sebagai kepala komunitas dan agama.[22] Dalam Aqdas Bahá'u'lláh memvisikan suatu lembaga berkuasa penuh bernama Balai Keadilan, ditambah dengan Balai Keadilan Setempat di setiap lokalitas dengan populasi sebanyak sembilan atau lebih mukmin Bahá'í. 'Abdu'l-Bahá melalui Kehendak dan Wasiatnya menegakkan Balai Keadilan di tingkat nasional. Balai Keadilan Nasional ini dipandang sebagai institusi embrio dan belum berkembang, maka bersama dengan Balai Keadilan tingkat lokal untuk sementara waktu disebut sebagai "Majelis Rohani". Diekspektasikan bahwa seiring waktu, majelis-majelis ini akan berkembang dan bertransformasi sesutuhnya menjadi Balai Keadilan yang berfungsi secara penuh.[22] Majelis RohaniPada setiap tempat yang memiliki sekurang-kurang sembilan orang Bahá'í dewasa berusia 21 tahun ke atas, maka Majelis Rohani Setempat (MRS) akan didirikan. Pendirian MRS dilakukan dengan mengadakan deklarasi bersama, apabila hanya ada sembilan mukmin dewasa. Namun, apabila mukmin dewasa berjumlah lebih dari sembilan orang, maka harus diadakan pemilihan.[18] Majelis Rohani pada tingkat lokal ini diumpamakan sebagai batu fondasi dari bangunan administrasi Bahá’í. Sesuai dengan namanya, Majelis Rohani Setempat adalah lembaga representasi administrasi Bahá’í di tingkat lokal. MRS terdiri dari sembilan anggota yang dipilih setiap tahun oleh mukmin Bahá’í dewasa pada suatu lokalitas. Disebabkan tidak ada golongan ulama atau kependetaan dalam agama Bahá’í, maka tiap mukmin dewasa di suatu tempat berhak untuk memilih dan dipilih sebagai anggota MRS.[23] Apabila ada cukup banyak MRS di suatu negara dan komunitas Bahá'í di negara tersebut telah dianggap siap, maka Majelis Rohani Nasional (MRN) akan didirikan. MRN beranggotakan sembilan orang terpilih yang bertanggung jawab untuk membimbing, mengoordinasikan, dan merangsang kegiatan MRS serta masyarakat Bahá'í di negara tertentu.[18] Dewan Regional Bahá'íDi beberapa negara tertentu, termasuk Indonesia, terdapat lembaga yang mewadahi komunitas Bahá'í tingkat regional yakni Dewan Regional Bahá'í atau DRB (Regional Bahá'í Council).[24] Apabila terdapat DRB di suatu negara, MRN negara tersebut dapat membagikan beberapa fungsi tertentu kepada DRB yang melayani area geografis yang telah ditentukan. Tanggung jawab DRB dapat mencakup pelaksanaan kebijakan yang sudah di ambil oleh MRN, mengawasi kemajuan rencana dan proyek tertentu, dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk merangsang pertumbuhan komunitas Bahá'í di region tersebut.[24] Keberadaan DRB merupakan konsekuensi dari perkembangan pesat yang dialami oleh administrasi Bahá’í itu sendiri. DRB hanya dapat didirikan dengan izin dari BKS dan hanya ada di negara-negara tertentu yang kondisi atau dinamikanya mengharuskan mereka memiliki DRB.[24] Balai Keadilan SeduniaBalai Keadilan Sedunia (BKS) adalah otoritas tertinggi Bahá'í.[25] Di bawah bimbingannya, segala wewenang eksekutif, legislatif dan yudikatif dalam urusan masyarakat Bahá'í dilaksanakan oleh MRS dan MRN. BKS terdiri dari sembilan anggota yang dipilih melalui Konvensi Sedunia yang diadakan setiap lima tahun sekali, mempertemukan para pemilih yang merupakan anggota MRN yang sedang dalam masa tugas. Keanggotaan BKS secara ketat hanya ditujukan bagi laki-laki, sehingga tidak ada perempuan yang akan dipilih dan atau pernah menjadi anggota lembaga ini.[1] Sesuai dengan prinsip bahwa tidak ada ulama dalam ajaran Bahá'í, anggota BKS bukanlah pendeta. Mereka tak dapat memutuskan sesuatu secara pribadi, melainkan melalui musyawarah. Lembaga tertunjukLembaga Tertunjuk berakar dari kelompok yang disebut "Yang Dipelajari" (The Learned).[1] Pada masa awal pengajaran Sang Báb serta Bahá'u'lláh, tokoh-tokoh utama Bábí dan Bahá'í kebanyakan merupakan orang-orang dari kalangan ulama dan terpelajar. Mereka memiliki kapasitas sebagai pemimpin dan sekaligus orang yang memahami serta mendalami (belajar) tentang agama. Seiring waktu, kepemimpinan individu semacam itu mulai berubah dan pelan-pelan ditransfer kepada lembaga-lembaga terpilih. Hal ini menyebabkan "Yang Dipelajari" terbatas fungsinya sebagai yang bertanggung jawab atas program pengajaran dan penyampaian. Kemudian, ketika administrasi Bahá'í semakin berkembang, "Yang Dipelajari" menjadi identik dengan Lembaga Tertunjuk.[1] Lembaga Tertunjuk mulanya terdiri dari para Tangan Agama Tuhan, yang secara suksesif ditunjuk oleh Bahá'u'lláh, 'Abdu'l-Bahá, and Shoghí Effendí.[1] Ketika Effendí wafat dan tidak ada cara yang dapat dilakukan untuk menunjuk Tangan Agama Tuhan yang baru, BKS akhirnya mendirikan Dewan Penasihat sebagai penggantinya. Orang-orang yang ditunjuk sebagai anggota Lembaga Tertunjuk tidak memiliki otoritas untuk memutuskan hal-hal yang berkenaan dengan hukum agama. Mereka bekerja sebagai individu dan pendapat mereka harus dipertimbangkan oleh komunitas Bahá'í serta majelis-majelis.[1] KarakteristikSistem administrasi Bahá’í diklaim sebagai sistem yang unik, karena kehadirannya berhasil meredam kemunculan clergy dari kalangan yang terlibat pada masa awal kegiatan penyebaran agama ini.[26] Sistem ini diklaim mengandung elemen-elemen terbaik dari sistem demokrasi, autokrasi, dan aristokrasi serta menghindari fitur-fitur yang tidak menguntungkan dari ketiganya.[27] Bila dibandingkan dengan Kekhalifahan Islam dan Gereja Katolik Roma, terdapat beberapa perbedaan yang signifikan antara administrasi Bahá'í dengan keduanya. Urusan masyarakat Bahá’í di level dunia diurusi oleh BKS yang bertindak sebagai kepala agama. Dalam hal ini, administrasi Bahá'í tidak mengenal kepemimpinan individu seperti halnya khalifah dan Paus (Gereja Katolik). Khalifah pada masa yang lalu memimpin sebuah negara berlandaskan Islam, sedangkan paus hingga kini masih mengepalai negara Vatikan dengan kekuatan penuh pada legislatif, yudikatif, dan eksekutif.[28] Ada pun administrasi Bahá'í bukan negara dan atau kepala negara mana pun. Administrasi Bahá'í ini diyakini sebagai sesuatu yang tidak bersifat politis. Alasannya adalah Bahá'í percaya pada pemisahan agama dan politik.[29] Mengenai hal ini ‘Abdu’l-Bahá dan Sang Wali menyebutkan bahwa mukmin harus taat kepada pemerintahan yang sah dan administrasi Bahá'í tidak seharusnya menggantikan atau melampaui pemerintahan negara masing-masing.[4] Selain itu, Kekhalifahan Islam dan Gereja Katolik Roma tetap miliki kelompok elite agama atau clergy, yang absen dari kehidupan masyarakat Bahá’í. Paroki atau unit terkecil Gereja Katolik Roma pada tingkat akar rumput tidak memiliki otonomi tersendiri dan diatur oleh unit di atasnya (keuskupan) yang lebih tinggi.[30][31] Sementara itu, Majelis Rohani Setempat (MRS) yang merupakan unit administrasi pada tingkat akar rumput pada administrasi Bahá’í memiliki kewenangan penuh dan bertindak sebagai kepala agama di tingkat lokal.[32] Dalam negara Islam, masyarakat non-Muslim berstatus sebagai dzimmi dan diharuskan membayar pajak.[33] Pajak ini kemudian masuk ke dalam kas negara. Ada pun dalam administrasi Bahá’í, pendanaan sepenuhnya bergantung pada kontribusi individu dan masyarakat. Pendanaan semacam ini bersifat ekslusif dan kontribusi atau dana dari non-Bahá’í tidak diterima.[34] Prinsip konsultasiSalah satu ajaran Bahá'u'lláh yang penting adalah prinsip konsultasi atau rujukan untuk mencapai mufakat. Konsultasi dapat disejajarkan dengan konsep musyawarah. Konsultai menjadi fitur penting berfungsinya komunitas Bahá'í.[35] Semua pengambilan keputusan oleh Lembaga Terpilih dan komite-komite mereka dilakukan berdasarkan prinsip konsultasi ini. 'Abdu'l-Bahá juga mendorong penerapan prinsip konsultasi bukan hanya pada lembaga-lembaga Bahá'í, melainkan dalam semua situasi untuk menentukan keputusan pribadi atau keluarga, di tempat kerja, serta saat mempelajari tulisan suci Bahá'í bersama-sama dalam kelompok. Mengenai pentingnya konsultasi ini, 'Abdu'l-Bahá berkata:
Dari pernyataan di atas, pendapat semua orang yang hadir harus didengar dan dihormati. Seseorang tidak boleh dihakimi berdasarkan pendapatnya karena hal mendasar dari konsultasi adalah keterbukaan.[38] McMullen mengemukakan bahwa dalam kenyataannya, konsultasi Bahá'í acap tidak seterbuka apa yang seharusnya.[39] Hal ini dikarenakan adanya persepsi bahwa seorang Bahá’í seharusnya bersikap manis, bukannya agresif dan mencari masalah. Perasaan atau keinginan untuk mempertahankan kesatuan juga menyebabkan sebagian orang yang berkonsultasi merasa tidak harus menyatakan ketidaksetujuan atau bantahan. Padahal penyampaian pernyataan secara jujur dan terbuka saat mengadakan konsultasi adalah sebuah langkah menuju penyelidikan kebenaran secara mandiri.[36] Meskipun tidak seterbuka apa yang seharusnya, proses konsutasi Bahá'i menurut Momen merupakan proses yang mendorong semua pihak untuk ikut berpartisipasi.[38] Keterbukaan dalam berkonsultasi mampu menarik perempuan, orang-orang dari kelompok minoritas dan ras serta kelas sosial yang dianggap lebih rendah yang tidak merasa percaya diri untuk berbicara mengenai kemaslahatan kelompok. Konsultasi memberikan lingkungan yang aman dan mendorong bagi orang-orang seperti itu untuk mengekspresikan pandangan mereka. Proses konsultasi memecah dominasi proses sosial oleh elemen dominan dalam masyarakat, yang, di Eropa dan sebagian besar Amerika, cenderung berkulit putih, kelas menengah dan kelas atas.[38] Prinsip konsultasi mewajibkan bahwa segala aktivitas Bahá’í tidak boleh dilakukan tanpa melibatkan majelis atau komite khusus yang dibentuk oleh majelis. Konsultasi antara MRS dengan mukmin diadakan setiap satu bulan sekali menurut Penanggalan Bahá'í, pada pertemuan yang disebut Sembilan Belas Harian atau SSH (Nineteen Days Feast).[40][41] Pemilihan Bahá'íPemilihan Bahá'í hanya dihanya dilakukan apabila mukmin dewasa yang ada lebih dari sembilan orang. Anggota MRS dipilih setiap tahun pada Hari Pertama Ridván yang jatuh pada 21 April atau sehari sesudahnya, dan apabila memungkinkan, hasil pemilihan segara diumumkan pada hari yang sama. Pemilihan Bahá’í dilakukan melalui pemungutan suara yang bersifat rahasia. Mempromosikan diri sendiri, diskusi terbuka mengenai anggota yang mungkin terpilih, mempengarui individu agar memilih orang tertentu, nominasi, serta kampanye dalam bentuk apa pun dilarang keras.[42] Para pemilih berkumpul untuk mengadakan pemilihan dengan terlebih dahulu mengadakan doa agar kegiatan yang dilangsung berjalan lancar serta anggota majelis yang dianggap tepat dapat terpilih. Sembilan mukmin yang mendapat suara tertinggi dianggap terpilih sebagai anggota majelis. Prosedur yang sama juga digunakan dalam pemilihan delegasi untuk mengikuti Konvensi Nasional. Delegasi untuk Konvensi Nasional inilah yang nantinya akan memilih anggota MRN. Prinsip yang sama pun digunakan saat pemilihan anggota BKS, yang dipilih oleh anggota seluruh MRN yang ada. MRN dipilih pada Konvensi Nasional yang sama halnya dengan pemilihan Bahá'í dilaksanakan setiap tahun pada hari raya Ridván. Delegasi Konvensi Nasional adalah seorang elektorat. Mereka dipilih pada tingkat regional di negara yang memiliki komunitas nasional yang sudah maju seperti Amerika Serikat.[43] Sedangkan pada negara dengan komunitas nasional yang masih berkembang serta belum memiliki Konvensi Regional, pemilihan dilakukan oleh komunitas lokal pada Konvensi Distrik atau Konvensi Unit.[44] Konvensi Nasional selain sebagai sarana untuk memilih anggota MRN, juga berfungsi sebagai wadah konsultasi antara para elektorat atau delegasi dengan anggota MRN sebelumnya serta anggota MRN yang baru terpilih.[44] Selama konvensi berlangsung, hanya delegasi, anggota MRN sebelumnya, dan anggota MRN yang baru terpilih saja yang memiliki hak bicara. Masyarakat Bahá'í tetap diperbolehkan hadir sebagai pengunjung. Namun, mereka tak memiliki hak bicara. Keanggotaan pada majelis ini dianggap sebagai bentuk pengabdian. Para anggota majelis selama satu tahun masa tugasnya berada dalam posisi sebagai pelayan.[42] Setiap lima tahun sekali sejak 1963, anggota MRN seluruh dunia berkumpul di Pusat Bahá’í di Haifa, untuk memilih anggota BKS. Tidak seperti MRS dan MRN yang memperbolehkan mukmin perempuan dewasa untuk dipilih menjadi anggota, BKS dibatasi hanya untuk laki-laki saja. Bahá'u'lláh menyebut bahwa lembaga ini adalah lembaga yang diilhami cahaya Ilahi sehingga tak dapat salah (infallible). Ada pun MRS dan MRN juga diberkahi oleh Tuhan, tetapi dapat berbuat kekeliruan dan tidak terbebas dari kesalahan.[23] BKS selaku lembaga tertinggi tak dapat membatalkan hukum-hukum dan ajaran Bahá'u'lláh. Namun, lembaga ini berwenang untuk memutuskan hal-hal yang tidak terdapat dalam tulisan-tulisan suci.[45] Administrasi dan status sebagai agama duniaKeberhasilan masyarakat Bahá'í dalam mengembangkan sistem administrasi telah memungkinkan mereka tampil sebagai komunitas dan agama dunia. Beriringan dengan berkembangnya sistem administrasi, pengajaran dan ekspansi (penyebarluasan) agama pun turut berkembang. Menurut Encyclopaedia Britannica Book of the Year tahun 1992, Agama Bahá’í telah mendirikan komunitas dan lembaga secara signifikan di lebih banyak negara dan teritori dibandingkan agama mana pun, kecuali Kristen.[46] The World Christian Encyclopaedia oleh Barrett, 1982, menunjukkan bahwa dalam jangka waktu 12 tahun (1970-1982), Bahá’í berkembang dengan tingkat perkembangan rata-rata 3,63 %. Angka ini jauh lebih tinggi dibanding agama-agama lain, seperti Islam (2,74 %), Hindu (2,3 %), Buddha (1,67 %), Kristen (1,64 %), atau Yahudi (1,09 %).[47] McMullen berpendapat bahwa empat faktor yang berkontribusi terhadap perkembangan Bahá’í menjadi agama dunia. Pertama, terdapat rencana yang disusun secara rasional oleh Shoghí Effendí, dan sejak 1963 oleh BKS. Rencana rasional ini memiliki tujuan untuk mencapai jumlah MRN, MRS, penerbitan, dan wilayah geografis tertentu.[48][49] Kedua, konsep penyebaran Bahá’í yang dilakukan oleh para pelopor (pioneer). Pelopor adalah sebutan bagi seorang Bahá’í yang bepergian ke suatu tempat di seluruh dunia yang jauh dari tempat asalnya untuk memperkenalkan ajaran dan membangun MRS-MRS yang baru. Ketika MRS sudah terbentuk, pelopor akan berusaha agar lembaga ini dapat bertahan.[49] Ketiga, administrasi Bahá’í dibangun dari level akar rumput sehingga koordinasi menjadi lebih mudah. Lembaga penyusun administrasi keanggotaannya dipilih setahun sekali (MRS dan MRN) atau lima tahun sekali (BKS). Pemilihan Bahá’í ini dan keterlibatan mukmin secara tak langsung meneguhkan Bahá’í sebagai satu komunitas.[49] Keempat, prinsip dan ajaran Bahá’í itu sendiri yang menjadi faktor penarik mukmin baru sehingga perkembangan agama menjadi sangat pesat.[d] Di India –negara dengan konsentrasi mukmin Bahá’í terbesar di dunia– prinsip ke kesetaraan dan persatuan dalam agama ini menarik banyak mukmin baru, terutama di pedesaan, dengan beberapa di antaranya kini merupakan desa mayoritas Bahá’í.[e] PendanaanPendanaan beroperasinya sistem administrasi Bahá'í disokong sepenuhnya oleh sumbangan sukarela masyarakat Bahá'í.[50] Tiap majelis, mulai dari tingkat lokal, nasional, benua, hingga internasional mempunyai apa yang disebut sebagai "Dana Bahá'í" (Bahá’í Fund).[51] Uang yang mengalir dalam sistem dana yang mendanai lembaga-lembaga Bahá'í diumpamakan sebagai darah yang memastikan sistem administrasi terus berjalan.[52] Betapa pun pentingnya dana, kontribusi individu tak dapat dipaksakan dan harus dilakukan secara sukarela. Kontribusi dalam keadaan apa pun tidak diterima dari pihak non-Bahá'í.[52] Referensi
Keterangan
|