Bahasa di Kekaisaran Romawi yang dominan adalah bahasa Latin dan bahasa Yunani, tetapi bahasa-bahasa lain juga dituturkan di tingkat regional. Bahasa orang-orang Romawi Kuno adalah bahasa Latin yang berfungsi sebagai "bahasa kekuasaan".[2] Bahasa Latin sangat tersebar di Kekaisaran Romawi[3] sebagai bahasa pemerintahan dan pengadilan di Kekaisaran Romawi Barat serta bahasa militer di wilayah lain.[4] Setelah semua orang Romawi yang terlahir bebas memperoleh kewarganegaraan Romawi pada tahun 212 M, sejumlah besar warga Romawi belum dapat menuturkan bahasa Latin, walaupun mereka diharapkan bisa menuturkan bahasa itu dan bahasa Latin tetap menjadi penanda "keromawian".[5]
Masyarakat kuno pada umumnya berkomunikasi secara lisan, sehingga sulit untuk menentukan sejauh mana bahasa regional atau lokal masih digunakan pada masa kekuasaan Romawi. Terdapat bukti yang berasal dari prasasti-prasasti, acuan dalam teks Yunani dan Romawi, serta kebutuhan penafsir di kekaisaran. Selain itu, terdapat sejumlah epigrafi atau sastra dalam bahasa Punik, Koptik, Aram atau Suryani yang masih bertahan.[9]Bahasa-bahasa Kelt tersebar luas di Eropa barat. Walaupun tidak banyak tulisan dalam bahasa Kelt yang tersisa,[10] masih ada beberapa epigrafi Kelt yang telah ditemukan.[11] Sementara itu, bahasa-bahasa Jermanik di Kekaisaran tidak meninggalkan karya tertulis (kecuali bahasa Gotik).[12] Secara keseluruhan, multilingualisme membantu memunculkan "triangulasi budaya", yaitu suatu keadaan ketika seseorang yang bukan orang Yunani atau Romawi dapat membangun sebuah identitas dari proses Romanisasi dan Helenisasi.[13]
Setelah proses desentralisasi kekuasaan politik di Romawi pada zaman kuno akhir, bahasa Latin berkembang menjadi beberapa bahasa yang kini dikenal dengan nama rumpun bahasa Roman, seperti bahasa Spanyol, Portugis, Prancis dan Italia. Pada awal abad ke-21, terdapat lebih dari satu miliar orang yang menuturkan bahasa-bahasa Roman sebagai bahasa pertama atau kedua.[14] Istilah-istilah dalam bahasa Latin sendiri masih digunakan di dalam dunia diplomasi, hukum, penelitian dan Gereja Katolik. Bahasa ini juga dikaitkan dengan pergerakan humanisme Renaisans hingga abad ke-17.
Bahasa Latin
Bahasa Latin merupakan bahasa bangsa Romawi sedari awal. Pada masa kekuasaan Kaisar Romawi yang pertama, yaitu Kaisar Augustus, Publius Vergilius Maro menekankan bahwa bahasa Latin merupakan sumber persatuan dan tradisi Romawi. Dalam epos Aeneid karya Vergilius mengenai pendirian kota Roma, Dewa Tertinggi Yupiter memutuskan bahwa para pengungsi Troya yang menetap di Italia akan menuturkan bahasa suku Latini sebagai pemersatu: "mereka akan mempertahankan bahasa (sermo) dan kebiasaan ayah-ayah mereka ... dan aku akan membuat mereka semua menjadi Latin dengan satu cara berbicara" (uno ore, secara harfiah berarti "satu mulut").[15] Kaisar-Kaisar dari Dinasti Yulia-Klaudia (yang mengklaim sebagai keturunan pahlawan Aeneas) mendorong penggunaan standar Latin yang dianggap benar (Latinitas), yang kemudian diidentifikasikan sebagai Bahasa Latin Klasik oleh para ahli modern, dan para kaisar ini juga memilih bahasa Latin untuk urusan resmi.[16]
Latin menjadi bahasa di wilayah taklukan karena penduduk setempat mulai menuturkannya dan bukan karena mereka digantikan oleh penutur bahasa Latin.[17] Bahasa Latin tidak dipaksakan kepada suku bangsa yang tunduk kepada Romawi.[18]Santo Agustinus mengamati bahwa bangsa Romawi lebih ingin agar bahasa Latin diterapkan per pacem societatis, atau dalam kata lain melalui kesepakatan sosial.[19] Kebijakan ini sangat berlawanan dengan Alexander Agung yang ingin memaksakan bahasa Yunani sebagai bahasa resmi di seluruh wilayah taklukannya.[20] Bahasa Latin bukanlah prasyarat untuk memperoleh kewarganegaraan Romawi, dan tidak ada sekolah yang didukung oleh negara yang mengkhususkannya sebagai bahasa pengantar, tetapi banyak yang ingin menguasai bahasa Latin berkat "nilai budaya, politik, hukum, sosial dan ekonominya yang tinggi".[21]
Bahasa Latin dibutuhkan untuk mengabdi kepada kekaisaran dan memajukan jenjang karier, dan merupakan bahasa yang digunakan dalam pemerintahan.[22] Surat perintah dan komunikasi resmi dari kaisar disusun dalam bahasa Latin, termasuk peraturan mengenai hukum setempat yang mungkin dalam bahasa lain.[22]
Bangsa Romawi sangat mementingkan catatan tertulis, seperti yang terlihat dari kebiasaan mereka menuliskan dokumentasi dan ukiran prasasti. Birokrasi kekaisaran sangat bergantung pada tulisan, sehingga Talmud Babilonia menyatakan "jika semua lautan adalah tinta, semua alang-alang adalah pena, seluruh langit perkamen, dan semua manusia adalah juru tulis, mereka tidak akan mampu mencatat semua kekhawatiran pemerintahan Romawi."[23]Tingkat melek huruf Kekaisaran Romawi diperkirakan berkisar antara 5 hingga 30 persen atau bahkan lebih tinggi, tergantung pada definisi "melek huruf".[24] Kurangnya keterlibatan negara dalam menyediakan pendidikan merupakan penghambat literasi, karena pendidikan resmi hanya tersedia untuk anak-anak dari keluarga yang mampu.[25]
Akta kelahiran dan surat wasiat warga Romawi harus ditulis dalam bahasa Latin hingga masa kekuasaan Severus Alexander (berkuasa 222–235).[27] Orang Romawi yang tidak melek huruf akan meminta juru tulis pemerintahan (scriba) untuk membacakan atau menuliskan dokumen resmi untuk mereka.[28] Undang-undang dan maklumat disampaikan dalam bentuk tulisan dan lisan.[29] Di sisi lain, seni dan upacara keagamaan menjadi cara untuk menyampaikan ideologi kekaisaran tanpa memandang bahasa yang dituturkan atau kemampuan membaca.[30] Sejenis pantomim (pantomimus) dibawa ke Romawi oleh orang Yunani dan menjadi populer di seluruh kekaisaran karena pertunjukan ini bergantung pada isyarat tubuh dan bukan pada tutur kata.[31]
Bahasa Latin merupakan bahasa resmi Angkatan Darat Kekaisaran Romawi hingga pertengahan abad ke-6 dan tetap menjadi bahasa yang paling sering digunakan untuk keperluan militer di Kekaisaran Romawi Timur hingga tahun 630-an.[32] Sementara itu, hanya dua uskup yang diketahui menuturkan bahasa Latin di konsili ekumenis yang diadakan pada masa kekuasaan Kaisar Theodosius II (kematian 450 AD).[33]
Kaisar Klaudius mencoba membatasi penggunaan bahasa Yunani dan kadang mencabut kewarganegaraan mereka yang tidak bisa berbahasa Latin. Namun, saat sedang berpidato di hadapan Senat Romawi, ia menggunakan kemampuan berbahasa Yunaninya untuk berbicara dengan utusan-utusan berbahasa Yunani.[16]Suetonius mengutip ucapan Klaudius yang menyebut "dua bahasa kami,"[39] sementara praktik menggunakan dua sekretaris kekaisaran (satu untuk Yunani dan satu untuk Latin) berasal dari masa kekuasaannya.[40]
Penggunaan kedua bahasa ini secara beriringan dapat dilihat dari prasasti-prasasti bilingual, yang kadang-kadang berisi campuran bahasa Yunani dan Latin. Contohnya, tulisan di makam seorang prajurit yang berbahasa Yunani bisa jadi kebanyakan ditulis dalam bahasa Yunani, sementara pangkat dan satuannya di angkatan darat ditulis dalam bahasa Latin.[41]
Di Kekaisaran Romawi Timur, undang-undang dan dokumen resmi sering kali diterjemahkan dari bahasa Yunani ke Latin.[42] Kedua bahasa ini kerap kali digunakan oleh pejabat pemerintah dan Gereja pada abad ke-5.[43] Semenjak abad ke-6, budaya Yunani dipelajari di Barat hampir sepenuhnya hanya dengan menggunakan terjemahan Latin.[44]Kata serapan Latin sering kali muncul dalam teks Yunani mengenai topik-topik teknis dari zaman kuno akhir hingga periode Bizantium.[45]
Gerakan reformasi bahasa
Attikisme merupakan tren gerakan Sofistik Kedua. Cendekiawan seperti Aelius Aristides mencoba mengembalikan standar bahasa Yunani Klasik seperti dalam dialek Attika yang diwakili oleh Thukidides, Plato, Demosthenes, dan penulis-penulis lain dari periode klasik. Penulis yang berhaluan Attikisme mencoba menghindari vulgarisme bahasa Yunani Koine. Upaya ini tidak praktis, tetapi purisme bahasa semacam ini juga terlihat dari perkembangan tata bahasa dan leksikografi pada abad ke-2.[46] Keahlian dalam bahasa dan sastra Yunani telah membantu melestarikan budaya Yunani di Kekaisaran Romawi.[47]
Kaisar Diokletianus (berkuasa 284–305) pernah mencoba menguatkan otoritas bahasa Latin, dan ungkapan Yunani ἡ κρατοῦσα διάλεκτος (hē kratousa dialektos) menggambarkan keberlanjutan status bahasa Latin sebagai "bahasa kekuasaan."[48] Cendekiawan Libanius (abad ke-4) merasa bahwa bahasa Latin merupakan pemicu kemunduran kualitas retorika dalam bahasa Yunani.[49] Pada awal abad ke-6, Kaisar Yustinianus I melancarkan upaya yang sangat idealis untuk menguatkan kembali status bahasa Latin sebagai bahasa hukum, meskipun pada masanya bahasa Latin tidak lagi menjadi bahasa yang dituturkan oleh rakyat di Kekaisaran Romawi Timur.[50]
Bahasa regional
Dominasi bahasa Latin dan Yunani di kalangan elit yang melek huruf mungkin telah menenggelamkan bahasa-bahasa lisan lainnya, terutama mengingat bahwa mayoritas budaya-budaya di Kekaisaran Romawi merupakan budaya lisan.[51] Di kawasan yang menuturkan bahasa Suryani, Koptik, Ibrani, atau Aram, bahasa-bahasa ini dituturkan bersamaan dengan bahasa Yunani.[52]
Bahasa Aram merupakan bahasa utama Suriah dan Mesopotamia dengan beberapa dialek.[36] Bahasa Suryani dituturkan di sekitar Antiokhia, salah satu dari tiga kota terbesar di Kekaisaran, dan khususnya oleh orang Kristen.[53] Sastra Suryani telah diketahui keberadaannya dari akhir abad ke-2 dan menyebar dari komunitas Kristen di Edessa.[54]Sastra Suryani awal dihasilkan di lingkungan intelektual yang dipengaruhi bahasa Yunani hingga abad ke-4, tetapi sastra ini memiliki ciri khas berupa penggunaan simbolisme yang kaya dan penekanan terhadap bentuk bait dan baris. Sastra ini telah mempengaruhi penulis-penulis Yunani seperti Eusebius, Basil dan Theodoret.[55] Beberapa contoh karya sastra Suryani awal adalah Diatessaron karya Tatian dan terjemahan bagian-bagian dari Alkitab.[54]
Cendekiawan Suryani Bardesanes dapat menuturkan bahasa Yunani dan mengirim anak laki-lakinya untuk menuntut ilmu di Athena, tetapi ia memutuskan untuk menulis dalam bahasa kelompok etnisnya. Selain menyusun homili dan risalah dalam bahasa Suryani, Bardesanes menulis 150 himne "dengan pengaruh yang sangat besar dan doktrin yang penuh keraguan".[56] Sastra Suryani lainnya pada masa itu adalah risalah, dialog dan apokrifa Kristen.[54] Beberapa sastra Suryani mengandung unsur Gnostik dan juga berperan penting dalam menyebarkan agama Maniisme. Semenjak abad ke-5, sastra ini juga mencakup tulisan-tulisan Monofisit dan Nestorian.[57]
Karya penulis Suryani yang bernama Efrem diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani.[58] Penulis satir dan retorik Lukianos berasal dari Samosata di Suriah; walaupun ia menulis dalam bahasa Yunani, ia menganggap dirinya sebagai orang Suriah, dan menyebut dirinya sebagai seorang "barbar", sehingga menyiratkan bahwa ia dapat menuturkan bahasa Suryani.[59]
Tentara dari Tadmur bahkan menggunakan bahasa Aram dialek Tadmur dalam tulisan prasasti, yang berlawanan dengan aturan umum bahwa bahasa Latin adalah bahasa militer.[60]
"Bahasa Koptik" merupakan istilah modern yang mengacu kepada bahasa Mesir Kuno yang berkembang pada zaman kuno akhir.[61] Penggunaan bahasa Koptik sebagai bahasa sastra tampaknya merupakan upaya dari golongan terdidik di Mesir untuk membangkitkan warisan budaya mereka.[62]
Pada abad ke-4, aksara Koptik yang didasarkan pada alfabet Yunani dengan karakter tambahan dari Bahasa Mesir Demotik untuk melambangkan fonologi Mesir telah ditemukan dalam dokumen-dokumen yang ditulis dalam berbagai dialek, termasuk Bohairik Kuno, Fayyumik, Akhmimik, dan Sahidik.[62] Pada masa ini bahasa Koptik telah menjadi bahasa sastra tersendiri, dan di dalam sastra Koptik juga terdapat terjemahan-terjemahan kitab suci, teks liturgi, dan karya-karya Patristik dari bahasa Yunani.[63] Dari abad ke-4 hingga ke-7, karya-karya asli dalam sastra Koptik termasuk homili, kisah hidup orang kudus, aturan-aturan biara, surat-surat, dan nasihat, terutama dalam dialek yang disebut Sahidik.[64] Sistem penulisan Koptik juga digunakan untuk keperluan sehari-hari seperti untuk inventarisasi dan transaksi barang, serta untuk menulis puisi.[65] Pada tahun 640-an, Mesir diperintah oleh bangsa Arab Muslim, tetapi orang Kristen Koptik masih menjadi kelompok mayoritas.[66] Pada penghujung abad ke-7, teks-teks hukum mungkin masih ditulis dalam bahasa Koptik: contohnya, terdapat sebuah teks bertanggal 13 September 698 yang dibuka dengan kalimat basmalah dan syahadat dalam Bahasa Arab dan Yunani, tetapi lanjutan dari teks itu sepenuhnya ditulis dalam bahasa Koptik dan didahului dengan menyebut nama Tritunggal.[66]
Bahasa Punik
Bahasa Punik yang merupakan bahasa Semit yang dituturkan oleh orang Kartago masih dituturkan di Afrika Utara pada masa Kekaisaran Romawi.[67] Sebelum ditaklukkan oleh Romawi pada tahun 146 SM, hampir semua prasasti Punik merupakan persembahan untuk dewi Tanit dan dewa Ba'al atau untuk peringatan pemakaman, tetapi pada masa Romawi ditemukan teks-teks berbahasa Neo-Punik yang sering kali ditulis secara paralel dengan bahasa Latin atau Yunani.[68] Bahasa Neo-Punik juga telah ditemukan di dalam kuil Romawi untuk Dewi Roma dan Divus Augustus yang dibangun pada tahun 14–19 M di Leptis Magna.[69] Salah satu inskripsi Neo-Punik yang paling terkini berasal dari masa kekuasaan Kaisar Domitianus (81–96 M).[70] Setelah abad ke-2 atau ke-3, tidak ditemukan lagi inskripsi beraksara Punik.[71] Abjad Latin digunakan untuk menulis bahasa Punik pada abad ke-4 dan ke-5.[72]
Bahasa Punik juga dituturkan di tingkatan masyarakat teratas: Kaisar Septimius Severus (berkuasa 193–211) dilahirkan di Leptis Magna dan dapat menuturkan bahasa Punik dan juga bahasa Latin dan Yunani, sementara saudara perempuannya konon hanya mengetahui sedikit bahasa Latin.[73] Santo Agustinus yang berasal dari Afrika Utara beberapa kali menyebut keberadaan bahasa Punik; ia mengamati bahwa bahasa ini terkait dengan bahasa Ibrani dan Suryani, dan pemahaman bahasa Puniknya telah membantunya untuk memahami istilah-istilah dari rumpun bahasa Semit yang ditransliterasikan dari Alkitab.[74]
Bahasa-bahasa Keltik
Berbagai bahasa dari rumpun Keltik dituturkan pada periode awal kekaisaran Romawi. Diantaranya adalah bahasa Galia yang dituturkan di Galia (kini wilayah Prancis, Belgia, Swiss, dan Italia Utara), Bahasa Keltiberia di sebagian wilayah Hispania, Bahasa Britonik di Britania, dan Bahasa Galatia yang menyebar ke Anatolia setelah invasi Keltik pada abad ke-3 SM. Provinsi Romawi yang bernama Galatia berasal dari kata dalam bahasa Yunani, Galatai, yang berarti "Galia" atau "Kelt". Penyerapan kata dari bahasa Galia ke bahasa Latin sudah tercatat paling tidak dari masa Ennius (sekitar tahun 239–169 SM) akibat keberadaan permukiman Kelt di Semenanjung Italia.[75] Pada zaman kuno akhir, beberapa kata dalam bahasa Galia telah terlatinisasi sehingga tidak lagi dikenali sebagai kata dalam bahasa Galia.[76]
Bahasa Keltiberia terdokumentasi sebagai bahasa tertulis hanya setelah penuturnya berhubungan dengan bangsa Romawi pada abad ke-2 SM.[77] Dari 103 inskripsi Keltiberia, 30 inskripsi yang ditulis dalam aksara Iberia merupakan kepingan-kepingan yang disebut tesserae hospitales ("kepingan keramahtamahan"), dengan 20 di antaranya merupakan kepingan berbentuk hewan.[78] Kepingan-kepingan ini terkait dengan adat Keltiberia untuk menjanjikan dukungan timbal balik antar keluarga atau komunitas, mirip dengan konsep hospitium dalam budaya Romawi. Kepingan-kepingan ini terus dibuat hingga abad ke-2 Masehi, namun pada akhirnya ditulis dalam bahasa Latin.[79] Pada masa kekuasaan Kaisar Agustus, wilayah orang Keltiberia masuk ke dalam Provinsi Tarraconensis.[80] Penulisan dalam bahasa Keltiberia sudah tidak lagi dilakukan pada masa kekuasaan Agustus atau mungkin malah sebelumnya.[81]
Bahasa Galia masih disebut-sebut pada teks zaman kuno akhir, hal ini mungkin berarti bahwa bahasa ini masih dituturkan hingga saat itu. Uskup Lugdunum (kini Lyon) yang bernama Irenaeus dari tahun 177 M mengeluh bahwa ia harus berbicara dengan jemaatnya dalam "bahasa barbar" mereka, yang mungkin maksudnya bahasa Galia.[82] Ahli hukum Ulpianus (170–228) menyatakan bahwa kontrak lisan dalam bahasa Galia sebaiknya diakui secara resmi.[83]Lampridius mengatakan bahwa seorang druid wanita memberi ramalan berbahasa Galia kepada Kaisar Severus Alexander (208–235).[84]Hieronimus (331–420) mengamati bahwa suku Treveri menuturkan bahasa yang "kurang lebih sama" dengan bahasa orang-orang Galatia.[85] Koleksi resep farmakologi Marcellus dari Bordeaux (akhir abad ke-4 atau awal abad ke-5) mengandung beberapa kata dalam bahasa Galia, khususnya nama-nama tumbuhan, dan menunjukkan bahwa bahasa ini mungkin masih digunakan paling tidak untuk keperluan obat-obatan tradisional atau sihir.[86]Sulpicius Severus (363–425) yang juga berasal dari Gallia Aquitania turut melaporkan adanya bilingualisme Galia-Latin dengan bahasa Galia sebagai bahasa pertama. Pengamat-pengamat lainnya menyebut keberadaan orang-orang yang bertutur kata "dengan cara Galia" (gallice) dan mungkin mengacu kepada mereka yang menuturkan bahasa Latin dengan aksen Galia.[84] Para ahli sejarah bahasa menduga bahwa bahasa Galia masih dituturkan paling tidak hingga pertengahan atau akhir abad ke-6 di Prancis.[87] Meskipun budaya setempat sudah diromanisasi, bahasa Galia masih mampu bertahan dan dituturkan bersamaan dengan bahasa Latin pada masa kekuasaan Romawi di Galia.[87]
Bahasa-bahasa Jermanik
Hampir tidak ada catatan mengenai bahasa-bahasa dari rumpun Jermanik yang dituturkan di Kekaisaran Romawi kecuali bahasa Gotik. Frase dalam bahasa Gotik tercatat dalam sejenis puisi yang disebut kuplet elegi ditulis di koleksi Antologi Latin.[88] Selain itu, banyak bagian dari Injil yang diterjemahkan ke dalam bahasa Gotik dan diabadikan dalam Codex Argenteus dari abad ke-6.[12] Walaupun Latin pada akhirnya menyerap kata-kata dari bahasa-bahasa Jermanik, pengaruh Latin terhadap bahasa-bahasa Jermanik jauh lebih besar.[89]
Untuk perwira-perwira yang memimpin satuan yang direkrut dari wilayah berbahasa Jermanik, sangat penting untuk memiliki kemampuan bilingual berbahasa Jermanik dan Latin. Tacitus mengamati bahwa Arminius, perwira Cherusca yang kelak akan memimpin pemberontakan yang berhasil meluluhlantahkan legiun-legiun Romawi, dapat menuturkan bahasa Jermanik dan Latin.[90] Kaisar Yulianus mempekerjakan seorang tribunus militum Jermanik yang bilingual sebagai mata-mata.[91] Perwira dan sekretaris yang menyimpan catatan yang tersimpan di dalam lauh Vindolanda berasal dari suku Jermanik yang disebut Batavia, tetapi bahasa Latin mereka tidak tercampur pengaruh Jermanik; meskipun begitu, tentara di satuan-satuan mereka mungkin masih mempertahankan bahasa Jermanik mereka.[92] Walaupun jarang terjadi, perwira berbahasa Latin ada juga yang mempelajari bahasa Jermanik saat sedang bertugas dan lalu menjadi penerjemah.[93] Penguasaan bahasa Jermanik mungkin dianggap sebagai pencapaian yang aneh yang memicu kekhawatiran mengenai "barbarisme": di Galia pada abad ke-5, Sidonius menganggap lucu temannya Syagrius yang telah menjadi fasih dalam bahasa Jermanik.[94]
Multilingualisme
Trilingualisme mungkin bukanlah hal yang jarang di kalangan terdidik yang berasal dari kawasan yang menuturkan bahasa selain Latin atau Yunani. Novelis Latin Apuleius juga menulis dalam bahasa Yunani dan telah mempelajari bahasa Punik dari ibunya.[95]Arsip Babatha merupakan contoh multilingualisme secara praktis. Papirus-papirus ini dinamai dari seorang perempuan Yahudi di Provinsi Arabia dan berasal dari tahun 93 hingga 132 M, dan kebanyakan menggunakan bahasa Aram, ditulis dengan menggunakan karakter Yunani dengan pengaruh Semit dan Latin; namun, petisi di dalam arsip tersebut yang dialamatkan untuk Gubernur Romawi ditulis dalam bahasa Yunani.[96]
Salah satu contoh multilingualisme dan multikulturalisme yang paling mencolok di Kekaisaran Romawi adalah makam seorang wanita bernama Regina, yang berasal dari abad ke-2 yang ditemukan pada tahun 1878 di dekat benteng Romawi di South Shields, Inggris timur laut. Tulisan pada makam tersebut ditulis dalam bahasa Latin dan Aram Tadmur, bahasa suami Regina yang bernama Barates, seorang vexillarius (pembawa panji legiun). Barates kemungkinan ditugaskan di sepanjang Tembok Hadrianus. Tata bahasa Latin yang digunakan mirip dengan gaya tulisan puji-pujian Yunani yang khas dari Tadmur, sehingga kemungkinan Barates bisa berbahasa Aram, Yunani, dan Latin. Bagian Latinnya lebih panjang dan menyajikan paling banyak informasi. Sementara itu, bahasa Aram Tadmur ditulis dengan menggunakan aksara kursif dan hanya menyampaikan nama Regina dan ungkapan duka. Hanya sedikit orang di Britania yang dapat membaca aksara Tadmur, sehingga hal ini mungkin merupakan pernyataan pribadi identitas dan emosi Barates. Unsur linguistik keempat di sini adalah nama Regina, yang dapat menjadi nama Latin atau Keltik. Nama ini kemungkinan dipilih secara sengaja untuk menunjukkan dualitasnya. Regina sendiri telah diidentifikasikan berlatar belakang suku Catuvellauni, suku dengan ibu kota civitas di Verulamium, tetapi ejaan Galia-Britonik Catuallauna (bentuk feminin) digunakan dalam inskripsi Latin di epitaf tersebut.[97]
Persebaran geografis
Semenanjung Italia dan Sisilia
Di Italia, bahasa Latin tertulis telah menggantikan bahasa Oska dan Etruska pada akhir abad ke-1 M.[98]Grafiti Oska dilestarikan oleh letusan Vesuvius pada tahun 79 M Pompeii, yang terletak di kawasan Oska, dan beberapa mungkin berasal dari letusan yang terjadi lebih awal pada tahun 63.[99] Pada pertengahan abad ke-1, Kaisar Klaudius yang gemar mempelajari hal-hal kuno dapat memahami bahasa Etruska dan menulis buku-buku mengenai sejarah Etruska, tetapi karya-karyanya hilang ditelan sejarah.[100]
Multilingualisme telah menjadi ciri khas Sisilia selama berabad-abad karena pulau tersebut pernah diduduki oleh Kartago, Yunani dan Romawi. Walaupun perdagangan budak pada masa Republik Romawi telah membawa penutur bahasa Yunani dan bahasa-bahasa lainnya dari timur ke Sisilia, bahasa Yunani merupakan bahasa yang dituturkan oleh kalangan atas seperti pejabat pemerintahan dan wirausahawan pada zaman Kekaisaran.[101] Imigrasi ke Sisilia pada masa awal Kekaisaran sering kali berasal dari tempat yang berbahasa Latin daripada Yunani. Penutur Latin dari Afrika berjumlah cukup besar di Sisilia.[102] Namun, inskripsi-inskripsi Kristen kerap kali ditemukan dalam bahasa Yunani.[103] Pada zaman kuno akhir, bilingualisme Yunani-Latin merupakan hal yang biasa di Sisilia.[104] Komunitas Yahudi di Sirakusa kemungkinan dapat menuturkan bahasa Yunani dan Ibrani.[105] Di Sisilia juga telah ditemukan bukti persebaran bahasa Suryani.[105]
Provinsi-provinsi Barat
Di Kekaisaran Barat, bahasa Latin secara perlahan menggantikan bahasa-bahasa Keltik yang memiliki hubungan kekerabatan dengan Latin karena sama-sama merupakan bagian dari rumpun bahasa Indo-Eropa. Kemiripan dalam sintaks dan kosakata memudahkan penutur bahasa-bahasa Keltik dalam menggunakan bahasa Latin.[106]Galia Mediterania (Prancis Selatan) telah menjadi kawasan trilingual (Yunani, Latin, dan Galia) pada pertengahan abad ke-1 SM.[107] Namun, kepunahan aksara-aksara yang sebelumnya digunakan untuk menulis bahasa lokal di Semenanjung Iberia(Hispania) dan di Galia semakin dipercepat oleh pentingnya bahasa Latin untuk memasuki struktur kekuasaan Romawi. Sementara itu, aspek-aspek budaya Galia-Romawi yang unik adalah penyusunan teks Galia-Latin.[108] Dalam inskripsi peringatan Latin, individu-individu dengan nama Keltik jarang menganggap diri mereka sebagai orang "Kelt" atau "Galia"; mereka lebih mungkin menyebut nama civitas mereka (seperti Aedui, Remi, Pictones)[109] atau tribus mereka sebagai warga Romawi. Beberapa penulis besar dalam bahasa Latin berasal dari Semenanjung Iberia pada masa Kekaisaran, termasuk Seneca, Lucanus, Quintilianus,[110]Martialis, dan Prudentius. Walaupun sudah menuturkan bahasa Latin, bahasa Galia masih bertahan untuk waktu yang cukup lama, paling tidak hingga pertengahan abad ke-6 M di tengah derasnya arus Romanisasi di wilayah Galia.[87]
Kebanyakan dari 136 inskripsi Yunani dari Galia Mediterania (Narbonensis), termasuk yang berasal dari koloni-koloni Yunani, dibuat pada masa setelah rezim Kaisar Augustus.[111] Isinya menunjukkan bahwa bahasa Yunani semakin sering digunakan untuk keperluan-keperluan khusus, seperti "pendidikan, kedokteran, akting, aktivitas agonistik, seni, sihir, [dan] agama, termasuk Kristen".[112] Inskripsi dari Massilia (Marseilles kuno), yang didirikan sebagai koloni Yunani sekitar tahun 600 SM, menunjukkan bahwa bahasa Yunani masih terus digunakan, khususnya dalam bidang pendidikan dan kedokteran, hingga abad ke-2 dan ke-3.[113] Pada abad ke-4, penyair dan cendekiawan Latin Ausonius yang berasal dari Gallia Aquitania (kini Bordeaux) mencirikan ayahnya yang berprofesi sebagai dokter sebagai penutur bahasa Yunani Attika yang lebih lancar daripada Latin.[114]
Bahasa Basque yang bukan merupakan bahasa Indo-Eropa berhasil bertahan di kawasan Pegunungan Pirenia.[115] Penduduk di Galia barat daya dan Hispania timur laut (wilayah Aquitaine dan Navarre modern) dianggap oleh Julius Caesar sebagai kelompok etnis yang berbeda dari orang Kelt, dan bahasa Aquitania yang mereka tuturkan merupakan bahasa Vaskonik yang mirip dengan bahasa Basque. Namun, suku Aquitani kelak mengadopsi bahasa Latin pada masa kekuasaan Romawi.[116]
Bahasa Galia mungkin dituturkan di wilayah tengah dan utara Galia hingga abad ke-4 dan mungkin hingga abad ke-5, serta di Aremorika (sekarang Semenanjung Bretagne) hingga abad ke-6.[110] Bahasa Latin tidak mengakar kuat di Britania Romawi dan mungkin mengalami kemunduran secara drastis setelah bangsa Romawi hengkang dari wilayah tersebut pada tahun 410 M, tetapi kelompok-kelompok Briton yang menuturkan bahasa Latin masih bertahan di Britania barat hingga kitaran tahun 700 M.[110][117] Bukti keberadaan kata serapan dari bahasa Latin ke dalam bahasa Britonik menunjukkan bahwa bahasa Latin di Britania Romawi merupakan bahasa akademik, sementara bahasa Latin yang dituturkan di daratan Eropa merupakan bahasa Latin sehari-hari (bahasa Latin "Vulgar").[118]
Provinsi-provinsi Afrika
Di provinsi-provinsi Afrika yang terletak di sebelah barat Cyrenaica (kawasan yang diduduki oleh orang Yunani semenjak abad ke-7 SM), warga di Kartago dan koloni-koloni Fenisia lainnya menuturkan dan menulis bahasa Punik, sementara bahasa Latin merupakan bahasa yang umum dituturkan di pusat-pusat kota. Orang-orang Afrika Romawi lainnya menuturkan bahasa-bahasa dari rumpun Afro-Asia (bahasa Libya, bahasa Numidia) yang mungkin merupakan versi awal bahasa Berber, walaupun klaim ini dapat diperdebatkan.[119]
Bahasa Punik digunakan sebagai legenda di koin pada masa Tiberius (abad ke-1 M), dan inskripsi Punik dapat ditemui di bangunan-bangunan publik hingga abad ke-2, beberapa ditulis beriringan dengan bahasa Latin.[108] Inskripsi-inskripsinya juga dapat ditulis dalam tiga bahasa, seperti inskripsi yang berkaitan dengan kultus kekaisaran yang ditulis dalam "bahasa Latin resmi, bahasa Punik lokal, dan bahasa Yunani yang dituturkan perdagang yang lewat dan elit yang terdidik atau kosmopolitan".[120]
Inskripsi berbahasa Libya menggunakan aksara yang mirip dengan tifinagh, yang biasanya ditulis secara vertikal dari bawah ke atas. 23 karakter memiliki "bentuk geometri yang cenderung kaku".[121] Contoh-contoh bilingual yang ditemui menggunakan campuran Libya-Punik dan Libya-Latin, dan menunjukkan bahwa beberapa orang yang dapat menulis bahasa-bahasa ini juga paling tidak bisa mengubah tulisan nama mereka menjadi aksara Libya. Walaupun inskripsi Libya terkonsentrasi di sebelah tenggara Hippo (di dekat perbatasan Aljazair-Tunisia modern), persebarannya secara keseluruhan menunjukkan bahwa pemahaman bahasa tersebut tidak terbatas di komunitas-komunitas yang terisolasi.[122]
Penulis-penulis Latin yang terkenal dari Afrika pada masa Kekaisaran adalah novelis Apuleius serta Bapa GerejaTertullianus dan Agustinus. Komunitas berbahasa Latin masih menetap di Afrika Utara (khususnya di sekitaran Kartago) pada masa kekuasaan Kerajaan Vandal (435–534), tetapi komunitas ini punah pada akhir abad ke-7 setelah penaklukan oleh bangsa Arab.[110]
Mesir
Wilayah Mesir didominasi oleh bahasa Koptik,[123] tetapi bahasa Yunani telah digunakan semenjak masa penaklukan oleh Alexander, dan bahasa Latin dan Yunani merupakan bahasa administratif pada periode Kekaisaran Romawi.[124]Alexandria yang didirikan pada tahun 331 SM di bawah kekuasaan Yunani merupakan salah satu dari tiga kota terbesar di Kekaisaran Romawi dan pusat kehidupan intelektual Yunani pada masa Helenistik maupun Kekaisaran. Kota ini dikenal akan Perpustakaan Alexandria-nya dan juga merupakan pusat penyebaran agama Kristen yang pertama-tama menyebar melalui penutur Yunani di Mesir.[125]
Sekitar tahun 700 M, setelah penaklukan oleh bangsa Arab, bahasa Yunani digantikan oleh bahasa Arab untuk keperluan administratif. Bahasa Koptik mulai mengalami kemunduran, dan semenjak itu hanya digunakan untuk keperluan liturgi di gereja.[62]
Kekaisaran Timur
Walaupun bahasa Yunani sering digunakan di sekitar Laut Tengah dan di Asia Kecil dan bahkan di luar perbatasan Kekaisaran, persebaran bahasa di wilayah timur Kekaisaran merupakan hal yang rumit. Bahasa-bahasa di Anatolia yang kini sudah punah, seperti bahasa Galatia (bahasa Keltik yang dibawa oleh serangan bangsa Galia pada abad ke-3 SM), Frigia, Pisidia, dan Kapadokia, dapat diketahui dari inskripsi-inskripsi pada zaman Kekaisaran.[126] Sumber-sumber Kristen juga menyebut bahwa bahasa Galatia, Kapadokia, Misia dan Isauria berhasil bertahan di Asia Kecil.[127] Seperti bahasa Yunani dan Latin, bahasa-bahasa ini digolongkan sebagai bahasa Indo-Eropa. Bahasa Frigia tidak disebut sebagai bahasa tersendiri di dalam teks-teks sastra hingga abad ke-6, tetapi bahasa ini diketahui keberadaannya dari ratusan inskripsi pemakaman dalam aksara Yunani, kebanyakan disertai dengan teks Yunani dan berasal dari abad ke-3.[127] Bahasa Yunani yang beraksen Kapadokia juga telah disebutkan di dalam beberapa sumber sejarah.[128]
Di luar militer, bahasa Latin tidak pernah menjadi bahasa sehari-hari warga di Timur. Pengecualiannya adalah koloni Romawi di Berytus (kini Beirut); di kota tersebut pendidikan Latin dapat dienyam, dan kota ini juga dikenal akan Sekolah Hukum Romawi-nya.[129]
Pengaruh Latin dan Yunani di kawasan ini dan di Balkan pada umumnya dibatasi oleh garis khayal yang disebut Garis Jireček—kawasan di utara garis ini amat dipengaruhi bahasa Latin, sedangkan di selatan dipengaruhi bahasa Yunani. Bahasa Yunani telah digunakan di bagian selatan Balkan semenjak akhir abad ke-4 SM akibat penaklukan Makedonia oleh Raja Filipus dan Alexander. Bahasa Makedonia Kuno, yang mungkin merupakan dialek Yunani,[131] tampaknya dituturkan di sebagian wilayah yang kini dikenal dengan nama Makedonia dan Yunani utara; di sebelah utara kawasan ini, bahasa yang dituturkan adalah bahasa Paeonia, sementara di selatan bahasa yang diucapkan adalah bahasa Epirot, tetapi tidak banyak bukti tertulis dari kedua bahasa tersebut.[132]
Bahasa Iliria dituturkan di barat laut, sementara di timur laut bahasa yang digunakan adalah bahasa Trakia dan Dacia.[132] Ketiga bahasa yang merupakan bagian dari rumpun bahasa Indo-Eropa ini diduga merupakan bentuk awal bahasa Albania.[132]
Selama pengasingannya di Tomis di pesisir Laut Hitam (kini di Constanța, Rumania), penyair Ovid mempelajari bahasa Getik dan Sarmatia, dan telah mengamati bahwa bahasa Yunani di situ dituturkan dengan aksen Getik yang mencolok.[133] Inskripsi dari Tomis pada masa Kekaisaran biasanya ditulis dalam bahasa Yunani, dengan nama-nama orang dan istilah-istilah agama dalam bahasa Trakia.[127]
Diaspora Yahudi
Inskripsi dalam bahasa Yunani dan Latin yang dibuat oleh orang Yahudi menunjukkan aspek bilingualisme atau multilingualisme Yahudi, dan persebaran inskripsi-inskripsi tersebut di wilayah Kekaisaran juga menunjukkan persebaran diaspora Yahudi.[134] Inskripsi-inskripsi ini cukup banyak yang menyebut salam Ibrani shalom di akhir.[135] Bukti keberadaan orang Yahudi di Mesir terdapat di dalam papirus-papirus hingga meletusnya Pemberontakan Yahudi 116–117.[136] Pada paruh pertama abad ke-5, bahasa Yunani dituturkan beriringan dengan bahasa Ibrani dan bahasa Aram Yahudi di kalangan Yahudi dari Palaestina Prima dan Secunda, fenomena ini dapat dilihat dalam inskripsi-inskripsi mosaik, termasuk di dalam sinagoge.[52]
Seperti Septuaginta, terjemahan Alkitab Ibrani sudah ada sebelum zaman Kekaisaran, dan pada masa Kekaisaran sastra Yahudi dalam bahasa Yunani ditulis oleh orang Yahudi yang dapat menuturkan bahasa tersebut.[137] Beberapa orang Yahudi yang menulis dalam bahasa Yunani pada periode Helenistik akhir dan periode Kekaisaran awal-khususnya filsuf Philo dan sejarawan Josephus—juga menjadikan orang non-Yahudi sebagai sasaran pembaca mereka.[138] Tulisan yang kini dikenal sebagai Peramal-Peramal Sibylline dan Kebijaksanaan Salomo merupakan contoh sastra Yahudi dalam bahasa Yunani yang berasal dari periode ini.[139]
Tidak ada teks Yunani yang ditulis setelah tahun 100 yang dapat dengan pasti ditentukan sebagai karya yang ditulis oleh seorang Yahudi. Setelah masa tersebut, tulisan orang Yahudi dalam bahasa Yunani tidak lagi dianggap relevan oleh orang Kristen, sehingga mereka tidak berupaya melestarikan karya-karya tersebut. Sementara itu, tradisi manuskrip budaya Yahudi pada abad pertengahan hanya mempertahankan tulisan dalam bahasa Ibrani dan Aram.[140]
Komunitas-komunitas Kristen
Surat untuk Diognetus (tulisan dari abad ke-2) menyatakan bahwa bahasa bukanlah faktor yang menentukan bagi identitas Kristen; orang Kristen dapat menuturkan bahasa apapun.[141] Pada zaman kuno akhir, karya sastra Kristen telah dibuat dalam hampir semua bahasa yang dituturkan di seluruh Kekaisaran.[142]
Penggunaan bahasa Yunani secara internasional merupakan salah satu faktor yang memungkinkan penyebaran agama Kristen, seperti yang ditunjukkan oleh surat-surat Paulus yang ditulis dalam bahasa Yunani.[8] Kaisar pertama yang masuk Kristen, yaitu Kaisar Konstantinus, kemungkinan memiliki beberapa kemampuan berbahasa Yunani, tetapi bahasa Latin merupakan bahasa yang dituturkan di istananya, dan ia menggunakan penerjemah untuk berbicara dengan uskup-uskup berbahasa Yunani di Konsili Nikea.[144] Namun di kawasan Kristen Barat yang berbahasa Latin, bahasa Yunani dikaitkan dengan "paganisme" dan dianggap sebagai bahasa asing (lingua peregrina).[145] Santo Agustinus mengakui bahwa ia membenci bahasa Yunani dan menganggapnya sebagai bahasa yang sulit untuk dipelajari.[146] Namun, pada zaman kuno akhir, bahasa Yunani dapat dituturkan sebagai bahasa utama tanpa membuat orang tersebut menjadi seorang "Hellene" dalam hal agama dan budaya.[147] Pada paruh pertama abad ke-5, bahasa Yunani adalah bahasa standar yang dipakai oleh uskup-uskup,[148] dan Acta Conciliorum ("Akta Konsili-Konsili Gereja") awalnya dicatat dalam bahasa Yunani dan lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, Suryani, atau Koptik.[149] Para periode ini, bahasa Latin memiliki peran kecil dalam konsili-konsili ekumenis, dan begitu pula perwakilan dari Kekaisaran Barat.[150] Walaupun bahasa Armenia secara tradisional dianggap sebagai bahasa Kristen pada masa itu, bahasa tersebut tidak muncul di dalam Acta Conciliorum.[151] Terdapat petunjuk yang menyiratkan bahwa bahasa Koptik mungkin dituturkan di konsili-konsili tersebut, tetapi tidak ada catatan sejarah yang memastikannya.[152] Ucapan hadirin yang menuturkan bahasanya sendiri akan diterjemahkan secara langsung ke dalam bahasa Yunani, termasuk mereka yang disebut "Orang Arab", "Saracen" atau "Bani Isma'il".[153] Konten Kristen sendiri sudah ditemukan dalam beberapa inskripsi Arab dari abad ke-6.[153]
Bahasa ritual
Pencampuran bahasa dapat terjadi pada ritual pribadi yang disebut "sihir".[154] Sihir dan bahkan beberapa terapi penyakit hampir selalu menggunakan jampi-jampi atau pembacaan mantra (carmina), yang sering kali diiringi dengan pembuatan lauh inskripsi (lamellae) atau jimat. Benda-benda ini diketahui keberadaannya dari peninggalan arkeologis dan juga dari teks-teks tertulis seperti Papirus Sihir Yunani, yaitu koleksi mantra dari abad ke-2 SM hingga abad ke-5 M. Walaupun Kaisar Augustus mencoba menindas aktivitas sihir dengan membakar sekitar 2.000 buku pada awal masa kekuasaannya,[155] praktik sihir tersebar luas di dunia Yunani-Romawi dan menunjukkan kemampuan multilingualisme warga Kekaisaran.[156] Mantra-mantra tidak diterjemahkan karena praktisi sihir percaya bahwa efek mantra tersebut ditentukan oleh penggunaan kata yang tepat.[157] Maka dari itu, bahasa seperti bahasa Galia justru malah dilestarikan oleh keperluan ritual pribadi setelah bahasa tersebut tidak lagi dituturkan untuk keperluan sehari-hari.[158]
Papiris Sihir Yunani melambangkan sinkretisme Yunani-Mesir, yang tidak hanya menggabungkan agama Mesir dan Yunani, tetapi juga unsur-unsur lainnya dari wilayah Timur Dekat, seperti praktik sihir Yahudi dan Kristen. Di dalam manuskrip tersebut disebut nama dewa-dewi Mesir dan Yunani, Tuhan dalam agama Yahudi dan malaikat-malaikatnya, serta nama Yesus. Papirus ini sebagian besar ditulis dalam bahasa Yunani dengan bagian-bagian yang ditulis dalam bahasa Mesir Demotik.[159] Papirus ini juga memasukkan serangkaian kata-kata yang "dapat dilafalkan, walaupun tidak dapat dipahami".[160]Voces magicae ("kata-kata sihir") ini dapat ditemui dalam berbagai teks dan inskripsi sihir,[161] dan sering kali terlihat seperti kata dari bahasa Mesir atau Koptik,[162] bahasa Ibrani,[163] bahasa Aram atau bahasa Semit lainnya,[164] atau bahasa Keltik,[165] yang telah mengalami perubahan. Bahasa Ibrani dan Yunani muncul dalam teks sihir Demotik; sihir Koptik menggunakan bahasa Ibrani; bahasa Mesir juga muncul dalam mantra Latin.[166] Walaupun banyak voces magicae yang tampaknya merupakan neologisme atau obskurantisme yang dilakukan secara sengaja,[167] para ahli menduga bahwa bagian-bagian yang lebih dapat dipahami mungkin disebabkan oleh transmisi yang kacau atau salah, baik dalam proses penyalinan teks atau penulisan materi lisan.[168]
Inskripsi mengenai praktik sihir di Galia menunjukkan karakteristik penggunaan bahasa Yunani sebagai mantra pada periode Kekaisaran. Lauh kutukan dari abad ke-2 dari Autun (Augustodunum) menulis daftar nama yang akan dikutuk dalam bahasa Latin, dua kata sihir dalam bahasa Yunani, serta sejumlah voces magicae.[169]Defixio (mantra pengikat) dari Amélie-les-Bains tampaknya dibuat dalam bahasa Keltik dengan sisipan-sisipan Latin.[170] Sementara itu, sebuah lamella dari Britania Romawi telah ditafsirkan sebagai teks Ibrani yang ditulis dengan karakter Yunani.[171]
Orang Kristen pada zaman kuno akhir mungkin telah memasukkan bahasa Ibrani ke dalam praktik pengusiran setan bahasa Yunani.[172] Santo Hieronimus juga melaporkan cerita aneh mengenai seorang anggota penjaga pribadi Kekaisaran (Candidati) yang hanya bisa berbahasa Franka dan Latin, yang kemudian dirasuki setan dan mulai menuturkan bahasa Aram dengan sempurna.[173]
Bahasa hukum
Hukum Romawi ditulis dalam bahasa Latin.[174] Namun, bahasa lain dapat digunakan dalam kontrak lisan dan prosedur yang didasarkan pada ius gentium atau hukum internasional.[175]Ius gentium bukanlah undang-undang tertulis, tetapi diyakini oleh bangsa Romawi sebagai hukum yang berlaku untuk semua suku bangsa sebagai ius naturale (hukum kodrat). Ahli hukum Romawi juga memberikan perhatian kepada bahasa lokal seperti bahasa Punik, Galia, dan Aram, untuk memastikan agar hukum dan sumpah-sumpah dipahami dan diberlakukan dengan tepat.[123]
Walaupun akta kelahiran dan surat wasiat warga Romawi harus ditulis dalam bahasa Latin hingga tahun 200-an,[27] menurut opini hukum Ulpianus (sekitar tahun 215), fideicommissa (pewarisan harta benda yang memberikan kewajiban tertentu kepada pewarisnya demi keuntungan pihak ketiga[176]) tidak terbatas dalam bahasa Latin atau bahkan Yunani, tetapi juga dapat ditulis dalam bahasa "Punik, Galia, atau bahasa apapun".[177] Pada awalnya, fideicommissum penulis surat wasiat membebankan kewajiban moral (dan bukan hukum) kepada pewaris,[178] dan Ulpianus kemudian menegaskan bahwa "pernyataan apapun mengandung kewajiban dalam kata-katanya, asalkan setiap pihak memahami bahasa pihak yang lain atau melalui penerjemah yang akurat".[179] Sementara itu, Ahli hukum Gaius membedakan antara kontrak lisan yang menjadi sah dari pernyataan dalam bahasa Latin dengan kewajiban yang menyatakan kesepahaman bersama di bawah naungan ius gentium tanpa memandang apakah pihak-pihaknya memiliki kewarganegaraan Romawi atau tidak.[180]
Warna merah muda menunjukkan wilayah yang menuturkan bahasa-bahasa Roman di Eropa Timur pada abad ke-4 hingga ke-7.
Peta yang menunjukkan persebaran rumpun bahasa Roman pada abad ke-14.
Setelah melemahnya kekuasaan pusat kekaisaran pada zaman kuno akhir, bahasa Latin mengalami perubahan di provinsi-provinsi Barat. Variasi-variasi di berbagai daerah semakin lama semakin besar dan akhirnya membentuk berbagai bahasa yang berbeda. Bahasa-bahasa tersebut kini dikenal misalnya sebagai bahasa Spanyol, Portugis, Prancis, Italia, Rumania, dan Katala dan digolongkan dalam rumpun bahasa Roman. Bahasa Latin masih tetap bertahan sebagai bahasa yang digunakan untuk diplomasi dan perkembangan intelektual yang terkait dengan pergerakan humanisme Renaisans hingga abad ke-17, serta sebagai bahasa hukum dan Gereja Katolik hingga kini.[181]
Bahasa Yunani masih menjadi bahasa Kekaisaran Romawi Timur, tetapi tidak pernah menyingkirkan atau menggantikan bahasa-bahasa dari rumpun Afro-Asiatik yang sudah lama dituturkan secara beriringan dengan bahasa Yunani, khususnya bahasa Koptik di Mesir dan bahasa Aram di Suriah dan Mesopotamia.[182]
^Bruno Rochette, "Language Policies in the Roman Republic and Empire," diterjemahkan oleh James Clackson, dalam A Companion to the Latin Language (Blackwell, 2011), hlm. 560.
^Alex Mullen, "Introduction: Multiple Languages, Multiple Identities," in Multilingualism in the Graeco-Roman Worlds (Cambridge University Press, 2012), hlm. 28.
^Rochette, "Language Policies in the Roman Republic and Empire," hlm. 554, 556.
^J.N. Adams, "Romanitas and the Latin Language," Classical Quarterly 53.1 (2003), hlm. 185–186, 205.
^Fergus Millar, A Greek Roman Empire: Power and Belief under Theodosius II (408–450) (University of California Press, 2006), hlm. 279; Warren Treadgold, A History of the Byzantine State and Society (Stanford University Press, 1997), hlm. 5.
^Rochette, "Language Policies in the Roman Republic and Empire," hlm. 553.
^ abTreadgold, A History of the Byzantine State, hlm. 5.
^Richard Valantasis, introduction to Religions of Late Antiquity in Practice (Princeton University Press, 2000), hlm. 11.
^MacMullen, "Provincial Languages in the Roman Empire," hlm. 15–16.
^Joseph Eska, "Inscriptions in the Celtic World," in Celtic Culture: A Historical Encyclopedia (ABC-Clio, 2006), hlm. 965–970.
^ abTore Janson, A Natural History of Latin (Oxford University Press, 2004), hlm. 87.
^Mullen, Southern Gaul and the Mediterranean, hlm. 264–265.
^James Clackson, introduction to A Companion to the Latin Language, hlm. 1.
^Virgil, Aeneid 12.834 and 837; Rochette, "Language Policies in the Roman Republic and Empire," hlm. 549, 563; Adams, "Romanitas and the Latin Language," hlm. 184.
^ abRochette, "Language Policies in the Roman Republic and Empire," hlm. 552.
^József Herman, Vulgar Latin, translated by Roger Wright (Pennsylvania State University Press, 2000, originally published 1975 in French), hlm. 10.
^Rochette, "Language Policies in the Roman Republic and Empire," hlm. 549; Charles Freeman, The Greek Achievement: The Foundation of the Western World (New York: Penguin, 1999), hlm. 389–433.
^Agustinus dari Hippo, De Civitate Dei 19.7.18, seperti yang dikutip oleh Rochette, "Language Policies in the Roman Republic and Empire," hlm. 549.
^Rochette, "Language Policies in the Roman Republic and Empire," hlm. 549, mengutip Plutarch, Life of Alexander 47.6.
^Mullen, Southern Gaul and the Mediterranean, hlm. 265.
^Clifford Ando, Imperial Ideology and Provincial Loyalty in the Roman Empire (University of California Press, 2000), hlm. 86–87.
^William V. Harris, Ancient Literacy (Harvard University Press, 1989), hlm. 5; William A. Johnson, Ancient Literacies: The Culture of Reading in Greece and Rome (Oxford University Press, 2009), hlm. 3–4, khususnya catatan 5; T.J. Kraus, "(Il)literacy in Non-Literary Papyri from Graeco-Roman Egypt: Further Aspects of the Educational Ideal in Ancient Literary Sources and Modern Times," Mnemosyme 53.3 (2000), hlm. 325; Marietta Horster, "Primary Education," dalam The Oxford Handbook of Social Relations in the Roman World, hlm. 89, 97–98.
^Christian Laes, Children in the Roman Empire: Outsiders Within (Cambridge University Press, 2011, originally published in Dutch 2006), hlm. 108; Horster, "Primary Education," in The Oxford Handbook of Social Relations in the Roman World, hlm. 89.
^ abAdams, "Romanitas and the Latin Language," hlm. 186–187.
^Ando, Imperial Ideology and Provincial Loyalty in the Roman Empire, hlm. 101; Kraus, "(Il)literacy in Non-Literary Papyri from Graeco-Roman Egypt," hlm. 325–327.
^Susan P. Mattern, Rome and the Enemy: Imperial Strategy in the Principate (University of California Press, 1999), hlm. 197; Teresa Morgan, Literate Education in the Hellenistic and Roman Worlds (Cambridge University Press, 1998, 2000), hlm. 1–2 et passim; Greg Woolf, "Literacy or Literacies in Rome?" in Ancient Literacies, hlm. 46ff.; Horster, "Primary Education," in The Oxford Handbook of Social Relations in the Roman World, hlm. 97. Ando poses the question as "what good would 'posted edicts' do in a world of low literacy?' in Imperial Ideology and Provincial Loyalty in the Roman Empire, hlm. 101.
^Ando, Imperial Ideology and Provincial Loyalty in the Roman Empire, hlm. 152, 210.
^Edith Hall, introduction to New Directions in Ancient Pantomime (Oxford University Press, 2008), hlm. 6–7.
^Rance, "The De Militari Scientia or Müller Fragment," hlm. 63–64.
^Rochette, "Language Policies in the Roman Republic and Empire," hlm. 553; Lee I. Levine, Jerusalem: Portrait of the City in the Second Temple Period (538 B.C.E. – 70 C.E.) (Jewish Publication Society, 2002), hlm. 154.
^Rochette, "Language Policies in the Roman Republic and Empire," hlm. 556; Adams, "Romanitas and the Latin Language," hlm. 200.
^Rochette, "Language Policies in the Roman Republic and Empire," hlm. 553–554.
^Rochette, "Language Policies in the Roman Republic and Empire," hlm. 560.
^Rochette, "Language Policies in the Roman Republic and Empire," hlm. 560; A.H.M. Jones, The Decline of the Ancient World (Longmanns, 1966), hlm. 346.
^Rochette, "Language Policies in the Roman Republic and Empire," hlm. 562–563.
^Richard Miles, "Communicating Culture, Identity, and Power," in Experiencing Rome: Culture, Identity and Power in the Roman Empire (Routledge, 2000), hlm. 59–60.
^Edwards et al., introduction to Apologetics in the Roman Empire, hlm. 7; Matthew W. Dickie, "Lucian's Gods: Lucian's Understanding of the Divine," in The Gods of Ancient Greece: Identifies and Transformations (Edinburgh University Press, 2010), hlm. 350.
^Adams, "Romanitas and the Latin Language," hlm. 199.
^Mark Sheridan, From the Nile to the Rhone and Beyond: Studies in Early Monastic Literature and Scriptural Interpretation (Studia Anselmiana, 2012), hlm. 225.
^ abcSheridan, From the Nile to the Rhone, hlm. 226.
^Maged S.A. Mikhail, "An Historical Definition for the 'Coptic Period'," in Coptic Studies on the Threshold of a New Millennium. Proceedings of the Seventh International Congress of Coptic Studies Leiden 2000 (Peeters, 2004), vol. 2, hlm. 972.
^Mikhail, "An Historical Definition for the 'Coptic Period'," hlm. 973; Sheridan, From the Nile to the Rhone, hlm. 226.
^Mikhail, "An Historical Definition for the 'Coptic Period'," hlm. 973.
^ abMikhail, "An Historical Definition for the 'Coptic Period'," hlm. 974.
^Adams, Bilingualism and the Latin Language, hlm. 201, 213.
^Andrew Wilson, "Neo-Punic and Latin Inscriptions in Roman North Africa: Function and Display," in Multilingualism in the Graeco-Roman Worlds, hlm. 266–268.
^Wilson, "Neo-Punic and Latin Inscriptions in Roman North Africa," hlm. 282.
^Wilson, "Neo-Punic and Latin Inscriptions in Roman North Africa," hlm. 295.
^Wilson, "Neo-Punic and Latin Inscriptions in Roman North Africa," hlm. 269.
^Wilson, "Neo-Punic and Latin Inscriptions in Roman North Africa," hlm. 307ff.
^Karel Jongeling and Robert M. Kerr, Late Punic Epigraphy (Mohr Siebeck, 2005), hlm. 4; Wilson, "Neo-Punic and Latin Inscriptions in Roman North Africa," hlm. 305.
^Jongeling and Kerr, Late Punic Epigraphy, hlm. 4.
^Adams, Bilingualism and the Latin Language, hlm. 185 et passim.
^Adams, Bilingualism and the Latin Language, hlm. 195.
^Fiona A. Rose, "Text and Image in Celtiberia: The Adoption and Adaptation of Written Language into Indigenous Visual Vocabulary," Oxford Journal of Archaeology 22.2 (2003), hlm. 155.
^Rose, "Text and Image in Celtiberia," hlm. 157, 159.
^Rose, "Text and Image in Celtiberia," hlm. 159; Leonard A. Curchin, The Romanization of Central Spain: Complexity, Diversity and Change in a Provincial Hinterland (Routledge, 2004), hlm. 120.
^Adams, Bilingualism and the Latin Language, hlm. 280.
^Irenaeus, Against Heresies I, preface; Pierre-Yves Lambert, La langue gauloise: description linguistique, commentaire d'inscriptions choisies (Editions Errance, 2003), hlm. 10.
^Digest 31.1.11; Lambert, La langue gauloise, hlm. 10.
^Adams, Bilingualism and the Latin Language, hlm. 192.
^ abcLaurence Hélix. Histoire de la langue française. Ellipses Edition Marketing S.A. hlm. 7. ISBN978-2-7298-6470-5. Le déclin du Gaulois et sa disparition ne s'expliquent pas seulement par des pratiques culturelles spécifiques: Lorsque les Romains conduits par César envahirent la Gaule, au 1er siecle avant J.-C., celle-ci romanisa de manière progressive et profonde. Pendant près de 500 ans, la fameuse période gallo-romaine, le gaulois et le latin parlé coexistèrent; au VIe siècle encore; le temoignage de Grégoire de Tours atteste la survivance de la langue gauloise.
^Latin Anthology 285 (= 279 in the edition of Shackleton Bailey): Inter 'eils' Goticum 'scapia matzia ia drincan' / non audet quisquam dignos edicere versus ;Adams, Bilingualism and the Latin Language, hlm. 275.
^Adams, Bilingualism and the Latin Language, hlm. 274.
^Adams, Bilingualism and the Latin Language, hlm. 274–275, mengutip Tacitus, Annales 2.10.3.
^Adams, Bilingualism and the Latin Language, hlm. 276.
^Adams, Bilingualism and the Latin Language, hlm. 276–277.
^Sidonius, Epistle 5.5; Adams, Bilingualism and the Latin Language, hlm. 277.
^Moatti, "Translation, Migration, and Communication," hlm. 111, catatan 9.
^Rochette, "Language Policies in the Roman Republic and Empire," hlm. 553–555.
^Mullen, introduction to Multilingualism in the Graeco-Roman Worlds hlm. 1–4.
^Miles, "Communicating Culture, Identity, and Power," hlm. 58.
^James Clackson and Geoffrey Horrocks, The Blackwell History of the Latin Language (Wiley-Blackwell, 2010), hlm. 83; Herman, Vulgar Latin, hlm. 11.
^Giuliano Bonfante and Larissa Bonfante, The Etruscan Language (Manchester University Press, rev. ed. 2002), hlm. 33.
^Kalle Korhonen, "Sicily in the Roman Imperial Period," in Language and Linguistic Contact in Ancient Sicily (Cambridge University Press, 2012), hlm. 332.
^Korhonen, "Sicily in the Roman Imperial Period," hlm. 336–338.
^Korhonen, "Sicily in the Roman Imperial Period," 339–340.
^Korhonen, "Sicily in the Roman Imperial Period," hlm. 363.
^ abKorhonen, "Sicily in the Roman Imperial Period," hlm. 366.
^Rochette, "Language Policies in the Roman Republic and Empire," hlm. 550; Stefan Zimmer, "Indo-European," dalam Celtic Culture: A Historical Encyclopedia (ABC-Clio, 2006), hlm. 961; Leonard A. Curchin, "Literacy in the Roman Provinces: Qualitative and Quantitative Data from Central Spain," American Journal of Philology 116.3 (1995), hlm. 464.
^Varro as quoted by Isidore of Seville, Origines 15.1.63, trilingues quod et graece loquantur et latine et gallice; Edgar C. Polomé, "The Linguistic Situation in the Western Provinces of the Roman Empire," Aufstieg und Niedergang der römischen Welt II (De Gruyter, 1983), hlm. 527; Philip Freeman, Ireland and the Classical World (Austin: University of Texas Press, 2001), hlm. 15.
^ abMiles, "Communicating Culture, Identity, and Power," hlm. 58–59.
^Mullen, Southern Gaul and the Mediterranean, hlm. 8, khususnya catatan 10.
^Mullen, Southern Gaul and the Mediterranean, hlm. 266, 273.
^Mullen, Southern Gaul and the Mediterranean, hlm. 266.
^Mullen, Southern Gaul and the Mediterranean, hlm. 267.
^Ausonius, Epicedion in patrem 9–10; J.N. Adams, Bilingualism and the Latin Language (Cambridge University Press, 2003), hlm. 356–357, khususnya catatan 109, mengutip R.P.H. Green, The Works of Ausonius (Oxford: Clarendon Press, hlm. 1991), hlm. 276 mengenai sudut pandang bahwa bahasa Galia adalah bahasa asli Iulius Ausonius. Adams cenderung berkeyakinan bahwa ia hanya menuturkan bahasa Latin dengan aksen Galia. Lihat juga Mullen, Southern Gaul and the Mediterranean, hlm. 269 (catatan 19).
^Karmele Rotaetxe, "Basque as a Literary Language," in A Comparative History of Literatures in the Iberian Peninsula (John Benjamins, 2010), hlm. 446.
^Clackson and Horrocks, The Blackwell History of the Latin Language, hlm. 85–86.
^Charles-Edwards, T. M. (2012). Wales and the Britons, 350-1064. hlm. 75. ISBN0198217315.
^Millar, "Local Cultures in the Roman Empire," hlm. 127.
^Clackson and Horrocks, The Blackwell History of the Latin Language, hlm. 86–87; Millar, "Local Cultures in the Roman Empire," hlm. 128–129, menyatakan keraguan dalam menetapkan bahasa non-Punik di Afrika Utara sebagai bahasa "Berber".
^Wilson, "Neo-Punic and Latin Inscriptions in Roman North Africa," hlm. 284, 286.
^Millar, "Local Cultures in the Roman Empire," hlm. 129.
^Millar, "Local Cultures in the Roman Empire," hlm. 128–130.
^ abRochette, "Language Policies in the Roman Republic and Empire," hlm. 558–559.
^Simon Price, "Latin Christian Apologetics: Minucius Felix, Tertullian, and Cyprian," in Apologetics in the Roman Empire: Pagans, Jews, and Christians (Oxford University Press, 1999), hlm. 103.
^Valantasis, introduction to Religions of Late Antiquity, hlm. 11.
^Robin Margaret Jensen, Understanding Christian Art (Routledge, 2000), hlm. 51; Alison E. Cooley, The Cambridge Manual of Latin Epigraphy (Cambridge University Press, 2012), hlm. 233.
^Mark Edwards, "The Constantinian Circle and the Oration to the Saints," in Apologetics, hlm. 255.
^Augustine, Confessions 1.14.23; Moatii, "Translation, Migration, and Communication," hlm. 112.
^Augustine, Confessions 1.13.20 dan 2.38.91; Moatti, "Translation, Migration, and Communication," hlm. 112, catatan 16.
^Simon Swain, "Defending Hellenism: Philostratus, in Honour of Apollonius," in Apologetics, hlm. 173.
^Alderik Bloom, "Linguae sacrae in Ancient and Medieval Sources: An Anthropological Approach to Ritual Language," in Multilingualism in the Graeco-Roman Worlds, hlm. 124, lebih memilih istilah "ritual" untuk menyebut perbedaan antara "agama" dengan "sihir" yang problematis pada zaman kuno.
^Hans Dieter Betz, "Introduction to the Greek Magical Papyri," The Greek Magical Papyri in Translation, Including the Demotic Spells (University of Chicago Press, 1986, 1996), hlm. xli.
^William M. Breshear, "The Greek Magical Papyri: An Introduction and Survey," Aufstieg und Niedergang der römischen Welt II 18.5 (1994), passim.
^James Clackson, "Language Maintenance and Shift," dalam Multilingualism in the Graeco-Roman Worlds, hlm. 55.
^Betz, introduction to "The Greek Magical Papyri," hlm. xlv–xlvi; Janet H. Johnson, "Introduction to the Demotic Magical Papyri," hlm. lv in the same volume (page numbering of the two introductions is independent, not sequential).
^Selain Papirus Sihir Yunani, jimat sering ditulis dalam teks-teks dari zaman kuno akhir, termasuk koleksi resep farmakologi Marcellus dari Bordeaux; Pseudo-Apuleius, Herbarius; Sextus Placitus, Liber medicinae ex animalibus; Hippiatrica; Physica Plinii; Pseudo-Dioscurides, De herbis feminis; dan Lacnunga dari budaya Anglo-Sachsen. Lihat Blom, "Linguae sacrae," hlm. 127, catatan 22. Inskripsi telah ditemukan dalam jimat, permata intaglio, mangkuk jampi-jampi, lauh kutukan, dan lamellae (lauh logam tipis).
^Fritz Graf, “Prayer in Magic and Religious Ritual,” dalam Magika Hiera: Ancient Greek Magic and Religion, (Oxford University Press, 1991), hlm. 191, and Roy Kotansky, “Incantations and Prayers for Salvation on Inscribed Greek Amulets,” juga dalam Magika Hiera, hlm. 132, catatan 60, keduanya mengenai bahasa Mesir; John G. Gager, “A New Translation of Ancient Greek and Demotic Papyri, Sometimes Called Magical,” Journal of Religion 67 (1987), hlm. 83 mengenai bahasa Koptik.
^Gager, “A New Translation of Ancient Greek and Demotic Papyri,", hlm. 83; Paul Mirecki, “The Coptic Wizard's Hoard,” Harvard Theological Review 87 (1994), hlm. 457–458.
^Kotansky, “Incantations and Prayers for Salvation," hlm. 117.
^Lambert, La langue gauloise, hlm. 176–178, khususnya dalam lauh dari abad ke-3 hingga ke-4 dari kota Galia-Romawi Rom, yang mungkin dutlis dalam bahasa Keltik dengan konteks Romawi.
^Matthias Klinghardt, “Prayer Formularies for Public Recitation: Their Use and Function in Ancient Religion,” Numen 46 (1999), hlm. 50; Hans Dieter Betz, "Secrecy in the Greek Magical Papyri," dalam Secrecy and Concealment: Studies in the History of Mediterranean and Near Eastern Religions (Leiden 1995), 153–175, khususnya 158–164; Brashear, “The Greek Magical Papyri," hlm. 3434.
^Richard Janko, “Forgetfulness in the Golden Tablets of Memory,” Classical Quarterly 34 (1984), hlm. 89–100 mengenai kesulitan penulisan materi lisan; Graf, “Prayer in Magic and Religious Ritual,” hlm. 191; Betz, "The Greek Magical Papyri," hlm. xlvi; Breshear, "The Greek Magical Papyri," hlm. 3434–3438.
^IGF 159; Mullen, Southern Gaul and the Mediterranean, hlm. 266–267.
^Adams, Bilingualism and the Latin Language, hlm. 194.
^L.C. Youtie, "A Medical Prescription for Eye-salve," ZPE 23 (1976), hlm. 121–29; Collingwood and Wright, “Roman Inscriptions of Britain I” (Oxford 1965), hlm. 144, no. 436.
^Menurut Origen, Commentary on Matthew (PG 13.1757): Hebraeo acceptis adiurant daemonia; Adams, Bilingualism and the Latin Language, hlm. 194.
^Jerome, Vita Hilarionis 13.7: videres de ore barbaro, et qui Francam tantum et Latinam linguam noverat, Syra ad purum verba resonare: Adams, Bilingualism and the Latin Language, hlm. 275.
^W.W. Buckland A Textbook of Roman Law from Augustus to Justinian, 3rd ed. edited by Peter Stein (Cambridge University Press, 1921, 2007), hlm. 9.
^Digest 32.11 pr.; Ramsey MacMullen, "Provincial Languages in the Roman Empire," American Journal of Philology 87.1 (1966), hlm. 2.
^Adolf Berg, Encyclopedic Dictionary of Roman Law (American Philosophical Society, 1980, 1991), hlm. 470–471. Pada zaman kuno akhir, fideicommissa juga mengikat secara hukum.
^Françoise Waquet, Latin, Or, The Empire of the Sign: From the Sixteenth to the Twentieth Century (Verso, 2001; originally published 1998 in French), hlm. 1–2; Kristian Jensen, "The Humanist Reform of Latin and Latin Teaching," in The Cambridge Companion to Renaissance Humanism (Cambridge University Press, 1996, 2003), hlm. 63–64.
^Adams, "Romanitas and the Latin Language," hlm. 199; Treadgold, A History of the Byzantine State and Society, hlm. 5, 7.
Daftar pustaka
Buku
Adams, J.N. Bilingualism and the Latin Language. Cambridge University Press, 2003.
Anderson, Graham The Second Sophistic: A Cultural Phenomenon in the Roman Empire. Routledge, 1993.
Ando, Clifford. Imperial Ideology and Provincial Loyalty in the Roman Empire. University of California Press, 2000.
Clackson, James; Horrocks, Geoffrey. The Blackwell History of the Latin Language. Blackwell, 2007, 2011.
Goodman, Martin Welsh. Mission and Conversion: Proselytizing in the Religious History of the Roman Empire. Oxford University Press, 1994.
Herman, József. Vulgar Latin. Translated by Roger Wright, based on the original 1975 publication in French. Pennsylvania State University Press, 2000.
Millar, Fergus. A Greek Roman Empire: Power and Belief under Theodosius II (408–450). University of California Press, 2006.
Mullen, Alex. Southern Gaul and the Mediterranean: Multilingualism and Multiple Identities in the Iron Age and Roman Periods. Cambridge University Press, 2013.
Treadgold, Warren. A History of the Byzantine State and Society. Stanford University Press, 1997.
Situs nonton bola gratis sepak bola hanya ada di Jalalive
Buku suntingan
Apologetics in the Roman Empire: Pagans, Jews, and Christians. Disunting oleh Mark Edwards, Martin Goodman, and Simon Price, with Christopher Rowland. Oxford University Press, 1999.
A Companion to the Latin Language. Disunting oleh James Clackson. Blackwell, 2011.
Multilingualism in the Graeco-Roman Worlds. Disunting oleh Alex Mullen. Cambridge University Press, 2012.
Artikel
Adams, J.N. "Romanitas and the Latin Language." Classical Quarterly 53.1 (2003) 184–205. JSTOR3556490
MacMullen, Ramsey. "Provincial Languages in the Roman Empire." American Journal of Philology 87.1 (1966) 1–17. JSTOR292973
Millar, Fergus. "Local Cultures in the Roman Empire: Libyan, Punic and Latin in Roman Africa." Journal of Roman Studies 58 (1968) 126–134. JSTOR299702
Moatti, Claudia. "Translation, Migration, and Communication in the Roman Empire: Three Aspects of Movement in History." Classical Antiquity 25.1 (2006) 109–140. JSTOR10.1525/ca.2006.25.1.109
Rance, Philip. "The De Militari Scientia or Müller Fragment as a Philological Resource. Latin in the East Roman Army and Two New Loanwords in Greek: palmarium and *recala." Glotta 86 (2010) 63–92. JSTOR41219881