Faisal dari Arab Saudi
Faisal bin Abdulaziz Alu Saud (bahasa Arab: فيصل بن عبد العزيز آل سعود Fayṣal bin ʿAbd al-ʿAzīz Āl Suʿūd, Pengucapan bahasa Arab Najd: [fæjsˤɑl ben ˈʕæbd ælʕæˈziːz ʔæːl sæˈʕuːd]; 14 April 1906 – 25 Maret 1975) adalah seorang negarawan dan diplomat Arab Saudi yang menjadi Raja Arab Saudi dari 2 November 1964 sampai ia dibunuh pada 1975. Sebelum penobatannya, ia menjabat selaku Putra Mahkota Arab Saudi dari 9 November 1953 sampai 2 November 1964, dan ia sempat menjadi wali raja untuk saudara seayahnya Raja Saud pada 1964. Ia menjadi perdana menteri dari 1954 sampai 1960 dan dari 1962 sampai 1975. Faisal merupakan putra ketiga dari Raja Abdulaziz, pendiri Arab Saudi modern.[a] Faisal adalah putra dari pasangan Abdulaziz dan Tarfa binti Abdullah Alu Syaikh. Ayahnya masih menjabat selaku Amir Nejd pada waktu kelahiran Faisal,[b] dan ibunya berasal dari keluarga Alu asy-Syaikh yang menghasilkan banyak pemimpin agama Saudi berpengaruh. Faisal menjabat selaku politisi ningrat berpengaruh pada masa jabatan ayahnya. Ia menjabat selaku wazir Hejaz dari 1926 sampai 1932. Ia menjadi menteri luar negeri Arab Saudi dari 1930 dan perdana menteri dari 1954 sampai kematiannya, kecuali kala dua jabatan tersebut dipisah selama dua tahun dari 1960 sampai 1962. Setelah kematian ayahnya pada 1953 dan saudara seayahnya, Saud menjadi raja, Faisal menjadi putra mahkota. Kala menjabat selaku putra mahkota, ia melarang perbudakan di Arab Saudi. Ia mendorong Raja Saud untuk turun takhta sesuai keinginannya pada 1964 dengan bantuan para anggota keluarga ningrat lainnya dan sepupu pihak ibunya Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh, Mufti Agung Arab Saudi. Faisal menerapkan kebijakan modernisasi dan reformasi. Unsur-unsur kebijakan luar negeri utamanya adalah pan-Islamisme, anti-komunisme,[5][c] dan pro-Palestinianisme. Ia berniat untuk membatasi kekuasaan para pemimpin agama Islam. Mengecam dukungan Barat terhadap Israel, ia memberlakukan embargo minyak bumi yang menyebabkan krisis minyak bumi 1973. Faisal berhasil menstabilisasi birokrasi kerajaan. Masa jabatannya memiliki popularitas signifikan di kalangan masyarakat Arab Saudi, di samping reformasinya yang menuai beberapa kontroversi. Usai ia dibunuh oleh keponakannya Faisal bin Musaid pada 1975, ia digantikan oleh saudara seayahnya Khalid. Masa muda dan pendidikanFaisal bin Abdulaziz lahir di Riyadh pada 14 April 1906.[6][7] Ia adalah putra ketiga dari Abdulaziz bin Abdulrahman, Amir Nejd pada masa itu. Faisal adalah putra sulung dari ayahnya yang lahir di Riyadh.[8][9] Ibunya adalah Tarfa binti Abdullah Alu Syaikh,[10] yang menikahi Abdulaziz pada 1902 usai merebut Riyadh. Tarfa adalah keturunan dari pemuka agama Muhammad bin Abdul Wahhab.[11] Kakek pihak ibu Faisal, Abdullah bin Abdullatif Alu Syaikh, adalah salah satu guru agama dan penasehat utama Abdulaziz.[12][13] Faisal memiliki kakak kandung perempuan, Noura, yang menikahi sepupunya Khalid bin Muhammad, seorang putra dari saudara seayah Abdulaziz Muhammad bin Abdul Rahman.[14][d] Tarfa binti Abdullah meninggal dunia pada 1906 kala Faisal berusia enam bulan.[12] Ia kemudian mulai tinggal dengan kakek-nenek pihak ibunya, Abdullah bin Abdullatif dan Haya binti Abdul Rahman Al Muqbel,[15] yang mendidiki cucu mereka.[12] Di bawah bimbingan kakeknya, Pangeran Faisal merampungkan pembelajaraan bacaan al-Qur'an dan mempelajari doktrin dan hukum Islam dalam usia sembilan tahun.[16] Ia juga belajar menunggangi kuda dan politik dari ayahnya. Ayahnya mempengaruhinya secara militer dan politik. Pada masa muda, Faisal dipilih untuk mewakili ayahnya di forum-forum internasional.[16] Menurut Helen Chapin Metz, Faisal, dan sebagian besar generasinya, dibesarkan dalam lingkup kala keberanian sangat dinilai dan diberlakukan.[17] Sejak 1916, ia dibimbing oleh Hafiz Wahba yang kemudian menjabat dalam berbagai jabatan pemerintahan.[18][19] Pengalaman politik awalSelaku salah satu putra sulung Abdulaziz, Faisal diberi sejumlah penugasan. Pada 1919, pemerintah Inggris mengundang Abdulaziz untuk mengunjungi London.[20] Ia tidak dapat datang, namun ia menggantikan putra sulungnya, Turki, selaku utusannya.[20] Namun, Pangeran Turki meninggal dunia akibat flu Spanyol sebelum kunjungan tersebut.[20] Sehingga, Faisal datang ke London menggantikannya, menjadikannya anggota ningrat Arab Saudi pertama yang pernah mengunjungi Inggris.[20] Kunjungannya berlangsung selama lima bulan, dan ia menemui para pejabat Inggris.[21] Pada masa yang sama, ia mengunjungi Prancis, yang lagi-lagi menjadikannya anggota ningrat Arab Saudi pertama yang memenuhi kunjungan resmi ke sana.[22] Abdulaziz menyerahkan sebagian besar tugas militer kepada putranya Faisal untuk mempertahankan otoritas atas Arabia. Usai merebut Hail dan menguasai Asir pada 1922, Faisal dikirim ke daerah-daerah tersebut dengan sekitar enam ribu pejuang. Ia menerima kekuasaan penuh atas Asir pada akhir tahun tersebut.[23] Wazir Hejaz dan menteri luar negeriPangeran Faisal diangkat menjadi wazir Hejaz pada 9 Februari 1926 usai ayahnya merebut wilayah tersebut.[24][25][26] Ia sering berkonsultasi dengan para pemimpin lokal pada masa jabatannya.[27] Faisal menjadi ketua Majelis Permusyawaratan dan menteri dalam negeri.[28] Pada Desember 1931, usai pengumuman konstitusi Dewan Deputi (Majlis al Wukala), ia juga menjadi ketua dewan empat anggota dan menteri urusan luar negeri.[28] Ia kemudian terus menaungi kebijakan luar negeri Saudi sampai kematiannya—bahkan selaku raja, dengan hanya dua tahun pemisahan[29] antara 1960 dan 1962.[25] Faisal mengunjungi banyak negara pada masa itu, termasuk Iran pada Mei 1932,[30] Polandia pada 1932 dan Rusia pada 1933.[31][32] Pada 8 Juli 1932, ia mengunjungi Turki dan menemui Presiden Kemal Atatürk.[33] Pada 23 September 1932, pangeran resmi mengumumkan pendirian Arab Saudi atas perantaraan dari ayahnya di Istana Al Hamidiyah, Makkah dengan membacakan dekrit kerajaan yang mengganti nama Kerajaan Hejaz dan Nejd menjadi Kerajaan Arab Saudi.[34][35] Faisal mengkomandani kampanye dalam Perang Arab Saudi–Yaman pada 1934, yang dimenangkan oleh Arab Saudi.[25] Ia dan saudara seayahnya Khalid berkunjung ke Amerika Serikat pada Oktober 1943 atas undangan Presiden Franklin D. Roosevelt.[36] Peristiwa tersebut adalah salah satu kontak awal Arab Saudi dan Amerika Serikat.[36] Menjelang akhir hidupnya, Raja Abdulaziz mengangkat Faisal menjadi penerus memungkinkan atas putra sulungnya yang masih hidup, Putra Mahkota Saud, karena pengetahun Faisal yang luas, serta pengalamannya. Sejak Faisal masih kanak-kanak, Abdulaziz mengakuinya sebagai putra paling briliannya dan seringkali menugaskannya dengan penugasan perang dan diplomasi. Selain itu, Faisal dikenal karena menjalani gaya hidup Bedouin sederhana. "Aku hanya berharap aku memiliki tiga Faisal", Abdulaziz kala berujar saat membahas soal siapa yang akan menggantikannya.[37] Namun, Abdulaziz membuat keputusan untuk mempertahankan Saud selaku putra mahkota karena mengkhawatirkan hal lain yang akan berujung pada penurunan stabilitas.[38] Putra mahkota dan perdana menteriRaja Abdulaziz meninggal dunia pada 9 November 1953, dan Pangeran Faisal berada di pihaknya.[7][39][40] Kakak seayah Faisal, Saud, menjadi raja. Faisal kemudian diangkat menjadi putra mahkota. Pada 16 Agustus 1954, ia diangkat menjadi perdana menteri.[41] Raja Saud memberlakukan program pendanaan yang meliputi pembangunan hunian ningrat masif di pinggiran ibukota Riyadh. Ia juga menghadapi tekanan dari negara tetangganya Mesir, kala Gamal Abdel Nasser menggulingkan monarki pada 1952. Nasser dapat menghimpun para pangeran pembangkang pimpinan Pangeran Talal bin Abdulaziz, yang membelot ke Mesir. khawatir kebijakan keuangan Saud membuat negara berujung pada keruntuhan, dan penanganan urusan luar negerinya cenderung kurang, para anggota senior keluarga ningrat dan ulama menekan Saud untuk mengangkat Faisal ke jabatan perdana menteri pada 1958, yang memberikan kekuasaan yang lebih eksekutif terhadap Faisal.[42] Perebutan kekuasaan terjadi antara Saud dan Faisal. Pada 18 Desember 1960, Faisal mengundurkan diri dari jabatan perdana menteri selaku bentuk protes, berpendapat bahwa Saud tertekan atas reformasi keuangannya. Saud kembali memegang jabatan eksekutifnya. Kala Pangeran Talal kembali dari Mesir, Faisal diangkat menjadi menteri keuangan pada Juli 1958.[43][44] Namun, pada 1962, Faisal mendorong dukungan keluarga ningrat untuk mengangat dirinya menjadi perdana menteri untuk kedua kalinya.[42] Kurang dari sebulan sebelum peristiwa tersebut, Faisal mengadakan pertemuan rahasia dengan presiden Amerika Serikat John F. Kennedy di Washington, D.C., pada 4 Oktober 1962.[45][46] Pada tahun yang sama, Faisal mengumumkan Program Sepuluh Poin, yang menjelaskan susunan Arab Saudi untuk menjadi negara terindustrialisasi lewat penerapan prinsip ekonomi, keuangan, politik dan hukum. Beberapa diantaranya adalah:
Faisal mendirikan Komite Pembangunan Ekonomi pada 1958.[48] Ia berperan penting dalam pendirian Universitas Islam Madinah pada 1961. Pada 1962, ia membantu pendirian Liga Dunia Muslim, sebuah yayasan seluruh dunia yang dikabarkan disumbangkan lebih dari satu miliar dolar oleh keluarga ningrat Saudi.[49] Pada 1963, ia mendirikan stasiun televisi pertama negara tersebut, walaupun penyiaran aslinya masih belum dimulai sampai dua tahun kemudian.[50] Persaingan dengan Raja SaudPada masa ini, persaingan dengan Raja Saud berlanjut di balik layar, dengan para pangeran kerajaan bertemu dan membujuk Faisal untuk mengambil alih kekuasaan mutlak dari Saud. Saud membuat negara tersebut berhutang dalam jumlah yang besar dan mempermalukan keluarga kerajaan dengan menggodok rencana untuk membunuh presiden Republik Arab Bersatu, Gamal Abdul Nasir.[51] Faisal mengambil kesempatan dari kepergian Saud dari negara tersebut untuk alasan kesehatan pada awal 1963 untuk memegang kekuasaan yang lebih besar untuk dirinya sendiri kala keadaan ekonomi dan politik Arab Saudi memburuk. Ia melucuti banyak loyalis Saud dari jabatan mereka dan mengangkat para pangeran yang berkesepemahaman pada jabatan militer dan keamanan penting,[52][53] seperti saudara seayahnya Pangeran Abdullah, yang diberikannya komando atas Garda Nasional pada 1962. Kala kepulangannya, Saud menolak penyusunan baru Faisal dan meminta agar seluruh kekuasaannya dikembalikan.[51] Untuk menanggapinya, Faisal mengadakan pertemuan seluruh anggota senior keluarga kerajaan, kecuali Saud, beserta ulama dan tetua suku. Faisal mengumpulkan para kepala suku dalam menanggapi tuntutan Saud agar kekuasaan penuhnya dikembalikan.[51] Akibatnya, majelis tersebut mendukung Faisal dan mengusulkan agar Saud digulingkan dari takhta dan Faisal diangkat menjadi penguasa monarki. Mufti Agung Arab Saudi, Muhammad bin Ibrahim Al ash-Sheikh, sepupu pihak ibu Faisal, mengeluarkan fatwa yang menyerukan agar Raja menerima tuntutan-tuntutan saudaranya.[51] Di sisi lain, Faisal bmemutuskan agar Saud mempertahankan gelar ningratnya. Ia dikatakan merasa terikat oleh sumpahnya kepada ayahnya yang mengakui Saud selaku raja. Ia berujar, seluruh keputusan agar Saud meninggalkan kekuasaan berada di tangan Saud dan keluar dari kehidupan masyarakat.[52] Sebagai upaya akhir untuk merebut kekuasaan eksekutif, Saud memerintahkan pengerahan Garda Kerajaan di Istana Nasriyah, membuat Faisal memerintahkan Garda Nasional untuk mengelilingi istana Saud.[51] Karena para loyalisnya kalah jumlah dan kalah senjata, Saud mengalah. Pada 4 Maret 1964, Faisal diangkat menjadi wali raja. Pertemuan para tetua keluarga kerajaan dan ulama diadakan pada tahun berikutnya. Mufti agung mengeluarkan fatwa kedua, menyerukan agar Saud turun takhta dan digantikan dengan saudaranya. Faisal meyakini bahwa kesehatan buruk berkelanjutan Saud memberatkannya untuk mengambil takhta, sehingga menarik sumpahnya.[54] Keluarga kerajaan mendukung fatwa tersebut dan langsung memberitahukan keputusan mereka kepada Saud. Saud, yang kini menyerahkan segala kekuatannya, sepakat, dan Faisal diangkat menjadi raja pada 2 November 1964.[42][53] Saud kemudian diasingkan, mendapatkan suaka di Mesir sebelum kemudian bermukim di Yunani.[55] Penghapusan perbudakanPerbudakan tak dipersoalkan di Arab Saudi hingga Faisal mengeluarkan dekrit untuk peniadaan penuhnya pada 1962. Presenter BBC Peter Hobday menyatakan bahwa sekitar 1.682 budak dibebaskan pada masa itu, dengan biaya pemerintah sejumlah $2.000.[56] Analis politik Bruce Riedel berpendapat bahwa Amerika Serikat mulai memajukan persoalan perbudakan usai pertemuan antara Raja Abdulaziz dan presiden Amerika Serikat Franklin D. Roosevelt pada 1945 dan bahwa John F. Kennedy akhirnya mendorong Wangsa Saud untuk meniadakan perbudakan pada 1962.[57] Raja Arab SaudiDalam pidato tak lama usai menjadi raja, Faisal berujar:
Salah satu tindakan awal yang dilakukan oleh Faisal selaku raja adalah mendirikan dewan untuk menyepakati persoalan penggantian pada masa mendatang.[59] Para anggotanya meliputi para pamannya Abdullah dan Musaid dan para saudara seayahnya Khalid, Fahd, Abdullah, Sultan, dan Nawwaf.[59] Pada 1967, Faisal membentuk jabatan perdana menteri kedua dan mengangkat Pangeran Fahd pada jabatan tersebut.[46] Alasan untuk badan yang baru didirikan tersebut adalah permintaan dan saran Pangeran Khalid.[60] Pemakaian bendera Arab Saudi diresmikan olenya pada 15 Maret 1973, meskipun bendera tersebut telah dipakai sejak 1902.[61] Penasehat paling senior Faisal pada masa jabatannya adalah Rashad Pharaon, dokter pribadi ayahnya.[62] Penasehat lainnya adalah Mufti Agung Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh, yang berpengaruh dalam pembentukan peran politik Raja di dunia Arab.[63] ModernisasiPada masa awal kekuasaannya, Faisal mengeluarkan edik agar seluruh pangeran Saudi menyekolahkan anak mereka di dalam negeri, alih-alih mengirim mereka ke luar negeri. Hal ini memiliki dampak yang menjadikannya populer bagi keluarga-keluarga kelas atas untuk mengirim putra-putra mereka untuk kembali belajar di kerajaan.[64] Ia juga mengenalkan sistem mata uang wilayah administratif di negara tersebut dan melandasi pendirian sistem kesejahteraan modern. Pada 1970, ia mendirikan Kementerian Kehakiman dan mengadakan "rencana lima tahun" pertama negara tersebut untuk pembangunan ekonomi.[65] Salah satu upaya modernisasi Faisal adalah hukum-hukum baru tentang media, penerbitan dan arsip serta protokol kerjasama budaya bilateral dengan arsip perusahaan dan asing yang tercatat rapi di Arabia pada sekitaran pertengahan abad kedua puluh.[45] Siaran televisi resmi dimulai pada 1965. pada tahun yang sama, keponakan Faisal menyerang markas besar televisi Saudi yang baru didirikan namun dibunuh oleh personil keamanan. Penyerang adalah saudara dari kelak pembunuh Faisal, dan kejadian tersebut merupakan motif yang paling banyak diterima untuk pembunuhan tersebut.[66] Meskipun ada beberapa ketidaksinambungan dengan perubahan sosial yang dilakukan olehnya, dunia Arab makin menghormati Faisal selaku hasil kebijakannya memodernisasi Arab Saudi, kepengurusannya terhadap kota-kota suci Makkah dan Madinah, reputasinya selaku penentang keras Zionisme, dan penguatan keuangan yang meningkat cepat di negara tersebut.[67] Pengembangan ekonomiFaisal memajukan strategi untuk memaksimalisasi pemanfaatan pendapatan minyak bumi dan menginisiasi evaluasi menyeluruh perjanjian pembagian laba dengan Aramco, yang ia anggap tak setara dan meminta revisinya. Selain itu, pemerintah beralih dari penjalinan perjanjian pemanfaatan ladang minyak bumi menjadi pemberian ijin investasi minyak bumi pada lembaga-lembaga negara.[68] Usai deklarasi kebangkrutan dalam keuangan pemerintahan, Faisal mengarahkan fokusnya terhadap revitalisasi wirausaha-wirausaha industrial, pertanian, keuangan, dan ekonomi, meraih pengakuan untuk peran pentingnya dalam peremajaan ekonomi dan administratif Kerajaan.[69] Faisal mengambil perubahan perumusan rencana lima tahun dari negara tersebut dan mulai menghimpun struktur wilayah-wilayah administratif. Untuk menggelembungkan kemampuan BUMN, ia memberikan bantuan firma konsultasi luar negeri. Selain itu, ia secara aktif ikut serta dalam pembangunan industri, pertanian, inisiatif proyek, investasi lahan, dan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber air bersih. Faisal memainkan peran penting dalam pendirian Petromin Corporation dan melandasi pembentukan untuk jaringan pembangkit listrik dasar. Selain itu, ia mengepalai pembuatan industri esensial seperti petrokimia, besi, baja, semen, dan pertambangan. Mengakui signifikansi pengembangan keterampilan, Faisal mendukung pengiriman pelajar ke negara-negara Barat untuk pelatihan, sehingga turut mengembangkan ranah-ranah industrial. Pada 1969, Kerajaan menginisiasikan strategi pengembangan awalnya.[70] Faisal mengadakan pertemuan dengan presiden Amerika Serikat Lyndon B. Johnson pada 1966, menawarkan aliansi Saudi-Amerika yang berfokus pada dorongan kolaboratif untuk kemajuan Kerajaan tersebut. Kemudian, pada 1971, Faisal menjalinnya dengan Presiden Richard Nixon pada sebuah pertemuan di Washington. Tiga tahun kemudian, pada 1973, Komite Ekonomi Saudi-Amerika Bersama didirikan. Peletakan batu pertamanya diadakan pada 1974 kala Nixon menjadi presiden Amerika Serikat pertama yang mengunjungi Arab Saudi.[71][72] Pengembangan pertanianPada 1965, Kementerian Pertanian bekerjasama dengan firma-firma konsultasi multinasional untuk mendirikan program dasar untuk pemanfaatan air. Inisiatif tersebut ditujukan untuk pencarian sistematis terhadap sumber air melalui penyaringan. Kementerian mendedikasikan dorongannya untuk menghimpun praktek pertanian, mempromosikan ternak dan perikanan, mengkonservasi spesies-spesies tumbuhan, memberantas penggurunan dan menyediakan panduan kepada para petani untuk menunjang produksi kurma.[68] Selain itu, sektor perdagangan secara aktif didorong untuk berinvestasi dalam pengemasan dan penyajian kurma. Beberapa proyek signifikan berhasil disusul pada masa ini, termasuk pembangunan Bendungan Jizan pada 1970, yang dirampungkan dengan bantuan perusahaan-perusahaan asing.[68] Di Al-Ahsa, sebuah inisiatif pengamanan air diimplementasikan melalui proyek irigasi dan drainase, ditujukan dalam konservasi air dari mata air dan sumur sesambil secara efektif memanfaatkan surplus apapun. Bendungan-bendungan dibangun di Abha, Al-Majma'ah, dan di sepanjang Wadi Hanifa dekat Riyadh untuk mengumpuilkan air hujan. Selain itu, usaha-usaha pertanian diinisiasikan di Provinsi Tabuk, Provinsi Al-Jawf, Wadi Sirhan, Provinsi Al-Qassim, Kegubernuran Al Aflaj, Wadi Bisha, dan Provinsi Najran.[68] Kementerian tersebut juga memerintahkan Bank Pertanian untuk menawarkan pinjaman kepada para petani dan nelayan untuk penunjangan peralatan khusus, dengan kondisi agar pinjaman dikembalikan di badan-badan jangka panjang yang bebas kepentingan.[68] Pengembangan transportasiDi bawah kepemimpinannya, Faisal mengawasi perluasan khusus jaringan-jaringan jalan raya modern di sepanjang kerajaan, mendaftarkan kehandalan perusahaan-perusahaan mancanegara untuk implementasi mereka. Pengembangan tersebut menyediakan koneksi dengan negara-negara tetangga seperti Yordania, Suriah, Irak, dan Kuwait.[68] Selain itu, ia memprioritaskan pengembangan jalan-jalan raya pertanian, memperkenankan desa-desa dan petani-petani untuk mengangkut barang-barang mereka ke pasar secara efisien. Di bidang penerbangan bandar-bandar udara diperluas dan diperbaharui, sementara Saudi Arabian Airlines mengakuisisi pesawat-pesawat jet untuk menunjang pelayanan mereka.[68] Di sisi lain, lembaga untuk pelatihan penerbangan sipil didirikan di Jeddah. Sementara itu, lalu lintas pelabuhan mengalami pertumbuhan signifikan, dengan perluasan Pelabuhan Islam Jeddah dan mendirikan pelabuhan-pelabuhan baru di Yanbu dan Jazan.[68] Pengembangan pendidikanPendidikan menerima perhatian tertinggi dan menjalankan penunjangan signifikan pada masa jabatan Faisal. Reformasi diterapkam dalam kurikulum, disertai dengan peningkatan dalam misi-misi pendidikan asing. Tujuan-tujuan khususnya dibuat untuk secara keuangan mendukung keluarga-keluarga yang kurang pendapatan untuk mendidik anak-anak mereka, memberikan kesempatan setara untuk murid putra maupun putri. Buku-buku pelajaran dibagikan secara gratis, menyingkirkan pungutan terkait apapun. Pada 1974, Faisal juga memerintahkan pendirian Universitas Islam Imam Muhammad bin Saud di Riyadh.[73] Selain itu, pada 1967, ia mendirikan Universitas Raja Abdulaziz di Jeddah. Pada 1974, ia memerintahkan Dewan Menteri untuk menggabungkan universitas tersebut dengan pemerintahan, mengubahnya menjadi universitas negeri dan memberikan pendidikan gratis untuk para murid Saudi.[74] Pada 1975, Perguruan Tinggi Minyak Bumi dan Mineral di Dhahran diubah menjadi Universitas Minyak Bumi dan Mineral Raja Fahd.[75] Selain itu, Universitas Raja Faisal didirikan di Al-Ahsa pada 1975, meskipun universitas tersebut baru dibuka pada masa jabatan saudaranya Khalid pada 1977.[76] Faisal diakui atas kontribusi signifikannya kepada pendidikan wanita di Arab Saudi, dimulai dari masanya sebagai putra mahkota. Pada 1956, ia mendirikan sekolah negeri umum pertama khusus putri di negara tersebut, yang dikenal sebagai Dar Al Hanan. Sekolah tersebut didirikan di bawah naungan istrinya Iffat. Acara peletakan batu pertamanya diadakan pada 1960 kala perintah kerajaan dikeluarkan pada masa jabatan Raja Saud, yang berujung pada pendirian Kepresidenan Umum untuk Pendidikan Putri. Ini menandai permulaan resmi pendidikan wanita di Arab Saudi, dengan menyediakan mereka dengan akses yang lebih luas untuk kesempatan-kesempatan pendidikan.[77] Pengembangan kesehatanPara tenaga kerja kesehatan, termasuk para dokter dan perawat, direkrut dari berbagai negara di seluruh dunia di bawah kepemimpinan Raja Faisal. Menyadari kepentingan perawatan kesehatan, ia mengeluarkan perintah untuk mendirikan Rumah Sakit Spesialis Raja Faisal di Riyadh di atas lahan yang disumbangkan olehnya, yang mulai beroperasi pada 1975. Kolaborasi dengan Organisasi Kesehatan Dunia dikedepankan untuk mengembangkan program-program kesehatan pemerintah.[78] Selain itu, investasi signifikan dialokasikan ke sektor perawatan kesehatan, dengan dana mancapai 3.4% biaya, ditujukan untuk memajukan komponen fondasional sistem perawatan kesehatan. Pada 1973 sendiri, biaya yang dialokasikan untuk kesehatan masyarakat dan kepentingan sosial berjumlah 591 juta riyal. Kerajaan menerapakan sistem perencanaan strategis dalam rencana lima tahunnya dari 1970 sampai 1975. Jumlah dokter meningkat sampai 1.020, asisten kesehatan berkembang menjadi 3.750, kasur-kasur rumah sakit mengalami peningkatan 30%, dispensari meningkat sampai 60%, dan jumlah pusat kesehatan bertumbuh menjadi 200, merefleksikan komitmen Kerajaan terhadap penunjangan pelayanan perawatan kesehatan.[79] Pengembangan militerUsai naik takhta, Faisal mengerahkan strategi komprehensif terhadap Angkatan Udara Kerajaan Arab Saudi yang ditunjang dengan kebutuhan dan tawaran yang memastikan pada masa itu. Mengakui kebutuhan lembaga khusus tersebut dapat mengakomodasi jumlah semestinya dari pelajar Arab Saudi dan menyediakan mereka dengan pelatihan tingkat tinggi, ia menyerahkan tugas pencarian perguruan tinggi yang layak. Hasilnya, pengumuman terkait pendirian Akademi Angkatan Udara Raja Faisal dibuat pada 1967, dan secara resmi beroperasi pada tiga tahun berikutnya, yakni pada 1970.[80] Pada 1972, Faisal menempatkan perintah untuk 39 pesawat Mirage 5 dari Prancis. Namun, kala kedatangannya di Kerajaan tersebut pada 1974, dan sebelum Angkatan Udara Kerajaan Arab Saudi dapat memanfaatkannya, Raja memutuskan untuk menyumbangkan pesawat tersebut ke Mesir dalam rangka mengembangkan angkatan udara mereka. Faisal menyatakan tanda dukungannya untuk membantu Mesir dalam memperkuat kemampuan militernya.[81] Kota militerPada masa jabatannya, Faisal menghimpun pendirian kota-kota militer maju pertama. kota-kota tersebut dirancang sebagai kompleks modern, mengarahkan pangkalan-pangkalan militer, melatih dan menembaki lahan-lahan, gudang-gudang untuk penyetoran amunisi dan kendaraan alat tempur, serta wilayah hunian dengan fasilitas pendidikan, kesehatan, hiburan, dan perdagangan. Kota-kota militer tersebut juga meliputi taman, ruang hijau, dan tempat olahraga. Kota militer pertamanya adalah Kota Militer Raja Faisal, yang didirikan pada 1971 dekat kota Khamis Mushait di wilayah selatannya. Kemudian, Kota Militer Raja Abdulaziz didirikan di wilayah barat laut dan resmi dibuka oleh Raja Faisal pada 1973. Kota-kota militer tersebut mewakili pengembangan signifikan dalam infreastruktur dan menyediakan fasilitas komprehensif untuk mendukung personil militer dan keluarga mereka.[82][83] Langkah melawan kudetaPada 1950-an dan 1960-an, sejumlah kudeta terjadi di wilayah tersebut. Kudeta oleh Muammar Gaddafi yang menggulingkan monarki di Libya yang kaya akan minyak pada 1969 secara khusus mengancam Arab Saudi karena kemiripan antar dua negara gurun berpenduduk sedikit tersebut.[84] Akibatnya, Faisal memutuskan untuk menghimpun aparat keamanan dan menekan pembelotan. Seperti dalam seluruh persoalan, ia membenarkan kebijakan tersebut dalam istilah-istilah Islam. Pada awal masa jabatannya, kala menghadapi tawaran untuk konstitusi tertulis untuk negara tersebut, Faisal menjawabnya dengan "konstitusi kami adalah al-Qur'an".[85] Pada musim panas tahun 1969, ia memerintahkan penangkapan ratusan perwira militer, termasuk sejumlah jenderal,[86] menuduh bahwa kudeta militer direncanakan. Kudeta utamanya direncanakan oleh para perwira AU serta berniat menggulingkan monarki dan mendirikan rezim Nasseris di negara tersebut.[87] Penangkapan diyakini berdasarkan pada sisipan dari intelijen Amerika.[84] Inklusivitas agamaFaisal dipandang memegang pandangan pluralis, menyukai akomodasi terbatas terhadap tawaran populer untuk reformasi inklusif, dan membuat upaya berulang untuk melebarkan perwakilan politik, sesuai dengan kebijakan integrasi nasioanl sukses temporernya dari 1965 sampai 1975. Raja mengakui keragaman agama dan budaya negaranya, yang meliputi Al Ahsa yang mayoritas Syiah di timur; Asir di barat daya, dengan persekutuan suku dengan Yaman, khususnya suku-suku Ismaili Najran dan Jizan; serta Kerajaan Hejaz, dengan ibukotanya Makkah. Ia melibatkan para penganut Sunni Hejazi kosmopolitan non-Wahhabi dari Makkah dan Jeddah dalam pemerintahan Arab Saudi.[88] Ia dikatakan tak mengambil keputusan apapun terkait Makkah tanpa meminta nasehat ulama Sunni (Sufi) al-Sayyid 'Alawi bin 'Abbas al-Maliki al-Hasani, ayah Muhammad bin 'Alawi al-Maliki.[89] Selain itu, pada 1962, dalam mempromosikan bentuk non-sektarian yang lebih luas dari pan-Islamisme, Faisal membentuk Liga Dunia Muslim kala mengundang ulama Sufi Tijani Ibrahim Niass.[90] Selain itu, ia menentang pandangan para penguasa Arab Saudi tertentu sebelumnya dalam mendeklarasikan kepada ulama negara Arab Saudi bahwa, "Seluruh Muslim, dari Mesir, India, dll adalah para saudara Anda".[91] Namun, Mai Yamani berpendapat bahwa setelah masa jabatannya, diskriminasi yang berlandaskan pada aliran, suku, wilayah dan jenis kelamin menjadi perintah masa itu dan masih berlaku sampai saat ini.[88] Peran dan otoritas ulama negara menurun usai Faisal menjadi raja pada 1964, bahkan meskipun mereka membantu membawanya ke takhta. Di samping kesalehan dan hubungan darahnya melalui ibunya dengan keluarga Alu as Shaykh, dan dukungannya untuk gerakan pan-Islam dalam perjuangannya melawan pan-Arabisme, ia menurunkan kekuatan dan pengaruh ulama.[92] Tak seperti penerusnya Khalid, Faisal berniat untuk mencegah para ulama radikal dari pengendalian lembaga agama seperti Dewan Ulama Senior, lembaga agama tertinggi di Arab Saudi, atau mengambil jabatan agama seperti Mufti Agung, yang bertugas mengurusi hukum Islam. Namun para penasehatnya memperingkatkan bahwa, kala para pihak keagamaan termotivasi, dampak tak diinginkan akan timbul.[49] Karena statusnya selaku Muslim taat, Faisal dapat menerapkan reformasi-reformasi sosial seperti pendidikan putri. Meskipun demikian, kaum konservatif menyatakan protes besar. Dengan mengadakan perbincangan dengan kaum konservatif, ia dapat menorong pengaruh perjuangan mereka pada masa mendatang dengan memakai logika mereka sendiri.[92][93] Korupsi di keluarga kerajaan ditindak sangat serius oleh para tokoh agama di perguruan tinggi teologi Islam. Mereka menantang beberapa penafsiran teologi yang diterima dan diadopsi oleh rezim Saudi. Salah satu tokoh berpengaruh semacam itu adalah Sheikh Abdulaziz Bin Baz, yang kala itu menjadi rektor perguruan tinggi teologi Al Madinah (kemudian ia menjabat selaku mufti agung negara tersebut). Faisal takkan mentoleransi kritikannya dan mencabut jabatannya. Namun, ajaran-ajaran Bin Baz telah meradikalisasi sejumlah muridnya, salah satunya adalah Juhayman al-Otaybi.[56] Kepentingan di tempat-tempat suciSaudi Binladin Group ditugaskan untuk memperluas Masjid al-Haram, yang menjadi pelebaran menonjol pertama dalam ribuan tahun. Proyek masif tersebut dimulai pada 1955, dalam masa jabatan Raja Saud, dan berlanjut selama dua puluh tahun pada masa jabatan Raja Faisal dan Raja Khalid. Pada 1967, sebuah konferensi di Makkah disepakati bersama sejumlah signifikan arsitek Muslim untuk membahas alternatif rancangan yang memungkinkan. Faisal menentang rekomendasi konferensi tersebut untuk membongkar bagian signifikan dari struktur Utsmaniyah, dengan alasan bahwa struktur Utsmaniyah harus dilestarikan dan rancangan arsitektur baru dibuat memakai metode konvergensi terbaik. Fase pembangunan baru dimulai pada 1969 dengan tambahan dua sayap baru dan perbaikan struktur dari tempat suci tersebut. pada fase tersebut, jalan-jalan raya disekitarnya dikembangkan dan lapangan-lapangannya dibangun. Pada masa itu, proyek tersebut menelan biaya sekitar 800 juta riyal Saudi. Pada 1962, ia juga memerintahkan pembukaan ulang Pabrik Kain Ka'bah di Makkah karena ketegangan politik antara Mesir (kala itu disebut Republik Arab Bersatu) dan Arab Saudi.[94] Liga Dunia Muslim berencana merenovasi Maqam Ibrahim pada 1965, dengan maqam yang ditempatkan di dalam tiang kristal dengan lapisan perak. Faisal sepakat dan mengeluarkan perintah untuk mewujudkan rencana tersebut. Bangunan-bangunan dirubuhkan untuk membuat ritual mengelilingi bangunan menjadi lebih mudah. Pada 1967, wilayah di sekitaran Maqam Ibrahim dikembangkan, dan kerumunan dapat melakukan ritual mengelilingi bangunan dengan nyaman dan mudah.[95] Dalam kasus Masjid Nabawi, Faisal mengeluarkan perintah untuk membangun tempat salat di barat masjid tersebut menyusul perampungan perluasan Saudi pertamanya, yang dibuka pada 1955 dan karena peningkatan jumlah peziarah. Bangunan tersebut dibangun pada 1973 dan berdiri sampai perluasan Saudi kedua, kala bangunan tersebut dirubuhkan. Saudi Binladin Group juga dikirim ke Yerusalem Timur pada 1964 untuk melakukan pengerjaan restorasi di Masjid Al-Aqsa.[96] Kebijakan luar negeriSelaku raja, Faisal memakai Islam selaku salah satu alat kebijakan luar negeri Arab Saudi yang diturunkan kepadanya dari Raja Abdulaziz dan Raja Saud.[97] Namun, ia meneruskan aliansi dekat dengan Amerika Serikat yang dimulai oleh Raja Abdulaziz, dan sangat memohon kepada Amerika Serikat untuk mempersenjatai dan melatih angkatan bersenjatanya. Kunjungan resmi pertama Faisal selaku raja kepada Amerika Serikat dilakukan pada Juni 1966.[36] Faisal merupakan anti-komunis. Ia menolak hubungan politik apapun dengan Uni Soviet dan negara-negara blok Komunis lainnya, dengan alasan memandang kesenjangan penuh antara komunisme dan Islam.[98] Ia menandatangani perjanjian dengan Abdel-Halim Mahmoud, Imam Agung al-Azhar dari Mesir, untuk melawan Komunisme pada 1971 pada masa kepresidenan Anwar Sadat.[99] Perjanjian tersebut menelan biaya sejumlah 40 juta pound sterling.[99] Faisal berujar kepada Syah Iran, Mohammad Reza Pahlavi, dalam perbincangan bahwa ia bukanlah "Syah Prancis" dan ia harus tetap berpikir bahwa Iran adalah negara mayoritas Muslim. Ini menanggapi surat provokatif dari Mohammad Reza yang mendorong Faisal untuk memodernisasi Arab Saudi, membujuknya untuk memperkenankan wanita untuk memakai rok mini, mengijinkan disko dan lain sebagainya. Di sisi lain, Syah merasa bahwa ia tak dapat menjaga hal yang dipertahankan Raja di takhta.[100] Kemerdekaan PalestinaUsai ia menjadi menlu, Pangeran Faisal menyatakan dukungannya untuk kemerdekaan Palestina. Keterlibatannya dengan kemerdekaan Palestina dimulai pada 1938, kala ia mewakili ayahnya di Konferensi London yang membahas masalah Palestina, kala ia menyampaikan pidato penting yang menentang rencana pembagian. Ia menulis pesan kepada rakyat Saudi pada 1948 yang membahas perjuangan Palestina dan penderitaan rakyat Palestina.[101] Delegasi Saudi pimpinan Faisal dan saudaranya Khalid di Konferensi Istana St. James, yang diserukan Inggris, mengundang para perwakilan Arab Palestina, negara-negara tetangga Arab-nya, dan Agensi Yahudi untuk berkonsultasi dengan pemerintah Inggris di London soal pembagian Palestina.[102] Konferensi tersebut dimulai pada 7 Februari 1939 dan berakhir pada 17 Maret 1939, di Istana St. James, London. Menyoroti laporan Komisi Woodhead, baik Arab dan pemerintah Inggris menolak rencana pemisahan karena tak dapat diterapkan. Pemerintah Inggris mengeluarkan pernyataan kebijakan menolak pemisahan atas alasan tak dapat diterapkan karena "kesulitan politik, pemerintahan, dan keuangan."[103] Konferensi tersebut juga tak mampu untuk menuntaskan masalah imigrasi Yahudi ke Palestina, yang menjadi makin marak usai Jerman Nazi menganeksasi seluruh Cekoslowakia.[104][105] Faisal adalah advokat global untuk hak Palestina, dibuktikan dengan salah satu pidatonya di PBB pada 1963, kala ia mengklaim bahwa krisis Palestina merupakan satu-satunya hal yang meruntuhkan perdamaian Arab sejak resolusi PBB untuk pemisahan Palestina. Salah satu kebijakannya tentang masalah tersebut adalah menolak mengakui Israel, mempersatukan upaya Arab sesambil meninggalkan perbedaan, menyumbangkan uang dan tenaga, mendirikan badan yang mewakili Palestina, dan melibatkan Muslim dalam memperjuangkan kemerdekaan.[106] Dalam pidatonya pada 22 September 1947 kepada PBB, Faisal berkata:
Serangan pembakaran di Masjid Al-AqsaAntara 23 dan 25 September 1969, Faisal mengadakan konferensi di Rabat, Maroko, untuk membahas serangan pembakaran terhadap Masjid Al Aqsa yang terjadi sebulan sebelumnya. Para pemimpin dari 25 negara Muslim hadir dan konferensi tersebut menyerukan agar Israel menyerahkan wilayah yang direbut pada 1967. Konferensi tersebut juga membentuk Organisasi Kerjasama Islam dan menyatakan dukungannya untuk Palestina.[107] Perang Saudara Yaman UtaraPerang Saudara Yaman Utara timbul antara loyalis Kerajaan Mutawakkilit Yaman dan pihak Republik Arab Yaman dari 1962 sampai 1970. Republik Yaman dibentuk usai republikan revolusioner yang dikepalai oleh pasukan di bawah naungan Abdullah al-Sallal melakukan kudeta melawan Imam Muhammad al-Badr. Akibatnya, Imam kabur ke perbatasan Arab Saudi-Yaman. Di sana, ia berkirab balik dari suku-suku Syiah utara untuk merebut kembali kendali, yang menimbulkan perang saudara berskala penuh. Arab Saudi membekingi al-Badr dan para pengikut royalisnya, sementara Mesir di bawah naungan Republik Arab Bersatu membekingi republikan-republikan Yaman. Akibatnya, hubungan Arab Saudi dan Mesir merenggang.[108] Pada September 1964, Nasser dan Faisal bertemu di Iskandariyah, Mesir, kala KTT Arab. Pada waktu itu, Mesir memiliki 40.000 pasukan di Yaman, dengan 10.000 warga sipil tewas. Dua pemimpin tersebut memutuskan untuk mengeluarkan deklarasi resmi mereka untuk merampungkan kerjasama dalam menuntaskan ketidaksepakatan terkini antara faksi-faksi Yaman yang terpecah, berkolaborasi dalam mencegah pertikaian bersenjata di Yaman, dan meraih keputusan damai. Deklarasi tersebut banyak dipuji di dunia Arab, dan Washington memujinya sebagai "tindak bak negarawan" dan "langkah besar menuju resolusi damai dari perang saudara panjang tersebut." Di bandara Iskandariyah, Nasser dan Faisal saling sambut dan menyebut satu sama lain sebagai "saudara." Faisal berujar bahwa ia meninggalkan Mesir "dengan hatiku diwarnai dengan cinta untuk Presiden Nasser."[109] Gamal Abdel Nasser datang ke Jeddah memakai kapal Freedom pada Agustus 1965, menandai kunjungan perdananya ke Arab Saudi sejak 1954, kala ia datang untuk berhaji. Faisal menyambut hangat Nasser kala ia datang.[110] Disamping perbedaan mereka, hubungan dua negara tersebut pulih. Kedua sosok tersebut menyatakan perjanjian sebagai berikut (yang dikenal sebagai Perjanjian Jeddah) dalam 48 jam:
Sami Sharaf, seorang pejabat Mesir, mengakui bahwa penerapan perjanjian tersebut akan sulit karena ditolak oleh seluruh pihak Yaman. Ketua Republikan Abdullah al-Sallal berujar, "Perjanjian tersebut adalah campur tangan rancu dalam kemerdekaan Republik Arab Yaman, dan serangan rancu terhadap kedaulatannya untuk segaal hukum internasional." Di sisi lain, para royalis mendukung perjanjian tersebut pada mulanya sebelum menolak upaya apapun untuk menangguhkan perang dengan para republikan.[110] Konferensi Haradh diadakan pada 23 November 1965, di bawah pengawasan Mesir dan Arab Saudi, agar membuat deklarasi Saudi-Mesir antar kedua belah pihak konflik Yaman diberlakukan.[111] Hakim Abd al-Rahman al-Iryani memimpin delegasi republikan, sementara Ahmed Muhammad al-Shami, menlu royalis, memimpin delegasi kerajaan. Namun, pihak yang bertikai tak mampu untuk memegang janji, yang mengakibatkan pertumpahan darah berkelanjutan antara republikan dan royalis.[112] Mesir menyatakan niatnya untuk menghentikan perang di Yaman sebagai bagian dari Resolusi Khartoum Agustus 1967. Menteri Luar Negeri Mesir Mahmoud Riad menyatakan bahwa Mesir dan Arab Saudi memperbaharui Perjanjian Jeddah tahun 1965. Faisal sepakat dengan tawaran Nasser, dan Imam al-Badr memohon untuk mengerahkan pasukannya untuk berjuang bersama dengan Mesir melawan Israel jika Nasser mewujudkan perkataannya.[113] Nasser dan Faisal menandatangani kesepakatan yang disepakati oleh Nasser untuk menarik 20.000 pasukannya dari Yaman, Faisal sepakat untuk berhenti mengirim persenjataan kepada al-Badr, dan tiga negara Arab netral sepakat untuk mengirim pengamat. Al-Sallal merasa bahwa Nasser telah mengkhianatinya.[114] Nasser mencairkan sekitar $100 juta dalam aset Saudi di Mesir, dan Faisal mendenasionalisasikan dua bank milik Mesir yang diambil olehnya pada setahun sebelumnya.[115] Arab Saudi, Libya, dan Kuwait sepakat untuk memberikan $266 juta subsidi tahunan kepada Mesir, dengan Arab Saudi menyumbangkan $154 juta.[116] Perang Enam HariPada Perang Enam Hari, Faisal memerintahkan Angkatan Bersenjata Arab Saudi untuk terlibat, menanda segala plesir dan mengerahkan pasukan di utara kerajaan. Setelah itu, perintah dikeluarkan untuk pasukan 20.000 prajurit Saudi untuk mendatangi Yordania untuk ikut serta bersama dengan pasukan Arab. Usai perang, ia memerintahakan agar pasukan Saudi dikerahkan di dalam wilayah Yordania untuk menyediakan dukungan dan bantuan yang dibutuhkan selama sepuluh tahun.[117][118][119] Selain itu, di Konferensi Khartoum, Arab Saudi, Libya, dan Kuwait sepakat untuk menghimpun dana sejumlah $378 jut auntuk didistribusikan pada negara-negara yang terdampak oleh Perang Juni 1967. Arab Saudi menggelontorkan $140 juta.[120] Cucu Faisal, Pangeran Amr bin Mohammed Al-Faisal, berujar "Aku dikatakan oleh para kerabatku, para kerabatku lainnya, usai 1967 dan kejatuhan Yerusalem di tangan Israel, bahwa itu adalah titik balik dalam kehidupannya. Ia tak lagi senyum, menurut mereka. Aku tak melihatnya banyak senyum, dan ia menjadi sangat diam dan termenung, dan ia banyak menjalani waktunya menyimak alih-alih berbicara sendiri."[121] Perang RamadanUsai Presiden Nasser dari Mesir meninggal dunia pada 1970, Faisal menjalin kedekatan dengan penerus Nasser, Anwar Sadat, yang ia sendiri berencana memutus hubungan dengan Uni Soviet dan beralih ke kelompok pro-Amerika. Usai Sadat meluncurkan Perang Arab–Israel 1973, Faisal menarik minyak bumi Saudi dari pasar dunia dan menjadi sebab utama di balik krisis minyak bumi 1973, dalam menentang dukungan Barat terhadap Israel pada konflik tersebut. Embargo awalnya diberlakukan terhadap Kanada, Jepang, Belanda, Britania Raya, dan Amerika Serikat, namun kemudian diperluas ke Portugal, Rhodesia, dan Afrika Selatan.[122] Harga minyak bumi naik sekitar 300 persen melalui keputusan embargo pada Maret 1974.[123] Pada 1974, Faisal diangkat menjadi Man of the Year oleh Time, dan kejatuhan keuangan yang ditimbulkan oleh krisis tersebut memicu ledakan ekonomi yang terjadi di Arab Saudi usai kematiannya. Pendapatan minyak bumi baru juga memperkenankan Faisal untuk makin meningkatkan bantuan dan subsidi yang dimulai menyusul Perang Enam Hari tahun 1967[124] kepada Mesir, Suriah, dan Organisasi Pembebasan Palestina.[125] Di Arab Saudi dan dunia Arab, Embargo minyak bumi Faisal banyak diyakini sebagai sebab sebenarnya dari pembunuhannya, melalui persekongkolan Barat.[126][127] Kehidupan pribadiFaisal menikah beberapa kali.[15] Para pasangannya berasal dari keluarga-keluarga berkuasa: al-Kabir, al-Sudairi, al-Jiluwi dan ats-Tsunayan.[128] Istri-istrinya adalah:
Anak-anak Faisal dididik dengan baik dan memiliki peran penting dalam masyarakat dan pemerintahan Saudi. Para putrinya belajar di luar negeri dan mereka lulus dari berbagai sekolah dan universitas di seluruh dunia.[142][143] Para putranya juga dididik di luar negeri.[144] Secara keseluruhan, hanya enam dari 108 anak Raja Saud yang lulus dari perguruan tinggi.[142][143] Putra Faisal, Turki menerima pendidikan formal di sekolah-sekolah prestisius di New Jersey, dan ia kemudian masuk Universitas Georgetown,[145] sementara putra lainnya, Saud, adalah alumnus Universitas Princeton. Putra-putra Faisal memegang jabatan penting dalam pemerintahan Saudi. Putra sulungnya, Abdullah, memegang jabatan-jabatan pemerintahan. Putra Faisal, Khalid menjadi gubernur Provinsi Asir di barat daya Arab Saudi selama lebih dari tiga dasawarsa sebelum menjadi gubernur Provinsi Makkah pada 2007. Pangeran Saud menjadi menlu Saudi antara 1975 dan 2015. Pangeran Turki menjabat sebagai kepala Intelijensi Saudi, dubes untuk Britania Raya, dan kemudian dubes untuk Amerika Serikat.[146] Salah satu putra Faisal, Abdul Rahman, merupakan lulusan Akademi Militer Sandhurst, dan ia meninggal pada Maret 2014. Putra-putra Faisal Mohammed dan Saad meninggal pada 2017. Pangeran Mohammed menjadi seorang pengusaha.[147] Putri-putri Faisal juga memegang jabatan penting dalam masyarakat Saudi. Dari 2013 sampai 2016, putrinya Sara menjabat dalam Dewan Syura.[148] Ia juga menjadi aktivis penting untuk pendidikan putri dan masalah sosial lain di Arab Saudi, seperti halnya para saudarinya Lolowah, Latifa, dan Haifa.[24][149][150] Putra Faisal, Haifa menikahi Pangeran Bandar, putra dari saudara seayah Faisal, Sultan dari seorang gundik. Perkawinan Putri Gaifa dan Pangeran Bandar memaksa Pangeran Sultan untuk mengakui Bandar sebagai pangeran sah. Putri lain Faisal, Lolowah, menjadi aktivis penting untuk pendidikan putri di Arab Saudi. Pada 1962, putrinya Sara mendirikan salah satu organisasi amal pertama, al-Nahda, yang memenangkan penghargaan Chaillot pertama untuk organisasi HAM di negara-negara teluk pada 2009.[151] Pasangannya adalah Pangeran Muhammed, salah satu putra Raja Saud. Putri Faisal Mishail meninggal dalam usia 72 tahun pada Oktober 2011.[152] Cucunya Reem binti Mohammed menjadi fotografer dan pemilik galeri yang berbasis di Jeddah,[153][154] sementara cucu lainnya, Reema binti Bandar, menjadi dubes perempuan pertama Arab Saudi.[155] Tak seperti kebanyakan saudara seayahnya, Faisal dapat berbicara dalam bahasa Inggris dan Prancis. Namun, ia lebih sering berbicara dalam bahasa Arab. Kala para penerjemahnya membuat kesalahan, Faisal akan mengkoreksinya.[156] Kepribadian dan waktu luangFaisal dikenal karena integritasnya, kerendahan hatinya, kemurahan hatinya dan kebijaksanaannya dengan setiap orang. Akibatnya, ia menjadi asketis, menjauhi penyimpanan barang-barang luar biasa dan mewah. Ia memiliki banyak hobi, yang meliputi bermain dengan elang, berburu, menulis, membaca dan bersyair. Ia juga merupakan penasehat besar acara dan perayaan Najdi tahunan.[157] Faisal memilih untuk menjalankan waktu panjang dan mengkesampingkan beberapa kepentingannya usai berkuasa dan dinaungi dengan urusan negara.[158] Penampilan fisikUsai berkuasa pada 1964, Faisal dengan cepat meraih perhatian masyarakat mancanegara. The New York Times menyatakan bahwa Faisal nampak seperti "sosok yang timbul dari sebuah puisi karya Rudyard Kipling atau pemeran dalam Hollywood."[156] Ia memiliki tinggi enam kaki, tinggi di atas rata-rata,[156] namun tak setinggi ayahnya Abdulaziz dan saudaranya Saud.[159][160] Dibandingkan para penguasa Muslim lain seperti Shah Mohammad Reza dari Iran yang nyaris berbusana gaya Eropa, Faisal dikenal karena berbusana sederhana, karena ia lebih sering nampak mengenakan gamis Saudi tradisional, bahkan dalam kunjungan para tetamu asing.[156] Pembunuhan dan dampakPada 25 Maret 1975, Raja ditembak dan dibunuh oleh Faisal bin Musaid, salah satu putra saudara seayahnya Musaid bin Abdulaziz, yang baru kembali dari Amerika Serikat. Pembunuhan tersebut terjadi pada saat majlis ('tempat untuk duduk'), sebuah acara kala raja atau pemimpin membuka huniannya kepada masyarakat untuk masuk dan menemuinya.[161] Di tempat tunggu, Pangeran Faisal berbincang dengan para perwakilan Kuwait yang juga menunggu untuk bertemu Raja Faisal. Kala pangeran mendatanginya, Raja Faisal menciumi keponakannya sesuai dengan kebiasaan Saudi. Tak lama kemudian, Pangeran Faisal mengeluarkan pistol dan menembaknya. Tembakan pertamanya mengenai dagu Raja dan tembakan kedua mengenai telinganya. Seorang pengawal menyerang Pangeran Faisal dengan pedang. Menteri minyak bumi Zaki Yamani berulang kali mendorong agar pangeran tersebut tak dibunuh.[162] Raja Faisal dengan cepat dibawa ke Rumah Sakit Pusat di Riyadh. Ia masih dalam keadaan sadar kala para dokter memeriksa jantungnya dan memberikannya transfusi darah. Upaya para dokter gagal, dan sang Raja meninggal dunia tak lama setelahnya. Sebelum dan setelah serangan, pembunuh dikabarkan diam. Usai pembunuhan, Riyadh mengadakan tiga hari masa berkabung dengan seluruh kegiatan pemerintah ditangguhkan.[162] Upacara pemakaman untuk Raja Faisal diadakan di masjid 'Id di Riyadh,[163] dan ia dikebumikan di pemakaman Al Oud pada 26 Maret 1975.[164][165] Kala pemakaman, Raja Khalid yang baru diangkat menangisi jasad saudaranya yang dibunuh.[166] Satu teori terhadap pembunuhan Raja adalah pembalasan kematian Pangeran Khalid bin Musaid, saudara Pangeran Faisal bin Musaid. Raja Faisal mengadalam reformasi sekuler yang berujung pada penayangan televisi, yang menimbulkan pertentangan. Pangeran Khalid memimpin serangan ke stasiun televisi pada 1966, dan ia ditembak mati oleh polisi.[167] Dalam sebuah dokumenter berjudul Faisal, Legacy of a King, cucu Faisal, Amr bin Mohammed bin Faisal mengklaim bahwa Raja menjauhkan dirinya sendiri dari dunia menjelang kematiannya. Zaki Yamani mengklaim bahwa Raja Faisal berujar kepada para kerabat dan temannya sendiri tentang mimpi bahwa ia didatangi ayahnya, Raja Abdulaziz, mengendarai mobil dan membujuknya untuk masuk. Yamani berujar bahwa Faisal merasa bahwa ajalnya sudah menjemput. Menurut keyakinan Islam, jika orang mati menemui orang hidup dalam mimpi, orang hidup tersebut akan meninggal tak lama kemudian.[168][169] Pangeran Faisal bin Musaid ditangkap tak lama usai serangan tersebut. Ia mula-mula dikatakan gila, namun usai pengadilan, kelompok pakar kesehatan Saudi menyatakan bahwa ia berada dalam keadaan sadar kala ia menembak Raja. pengadilan agama tingkat tinggi negara tersebut mendakwanya melakukan regisida dan memberikannya hukuman mati. Ia secara terbuka dipancung di Lapangan Deera, Riyadh.[162] Peringatan dan warisanUsai kematiannya, para putra Faisal mendirikan organisasi amal internasional, Yayasan Raja Faisal, untuk menghormatinya.[170] Faisal disanjung oleh pembuat lirik Robert Hunter dalam rekaman utama dari album tahun 1975 karya Grateful Dead berjudul Blues for Allah.[171] Gerald de Gaury menerbitkan sebuah biografi Faisal berjudul Faisal: King of Saudi Arabia.[172] Dalam biografi lain yang diterbitkan oleh Arabis Rusia Alexei Vassiliev tahun 2013, King Faisal of Saudi Arabia: Personality, Faith and Times.[5] Sebuah film yang disutradarai oleh Agustí Villaronga pada 2019 berjudul Born a King tentang kunjungan Faisal ke London pada 1919 dalam usia tiga belas tahun.[173] Pada Oktober 1976, Raja Khalid memerintahkan pembangunan Masjid Faisal di Islamabad, Pakistan.[174] Lyallpur, kota Pakistan terbesar ketiga, diganti namanya menjadi Faisalabad (artinya "Kota Faisal") pada 1979 untuk menghormati Faisal.[175][176] Salah satu dari dua pangkalan Angkatan Udara Pakistan besar di Karachi, ibukota terbesar di provinsi Sindh, dinamai "PAF Base Faisal" untuk menghormati Faisal.[176][177] PandanganFaisal memegang pandangan pro-Palestina. Sepanjang karirnya, ia mendukung kemerdekaan Palestina, dan ia dikenal karena mengkritik Israel.[124] Ia juga merupakan anti-komunis, dan Arab Saudi di bawah naungan Faisal meneruskan persekutuan dengan Amerika Serikat melawan Uni Soviet.[98] Faisal juga mendukung pan-Islamisme, dan ia berniat untuk menyatukan umat Muslim. Meskipun demikian, ia mengurangi kekuatan ulama Islam pada masa jabatannya.[92] PenghargaanFaisal meraih sejumlah penghargaan dari berbagai negara yang dikunjungi olehnya sebelum dan setelah berkuasa.[178] Penghargaan dan penghormatan yang diberikan kepada Faisal disimpan di Pusat Raja Faisal untuk Riset dan Kajian Islam di Riyadh yang didirikan oleh Yayasan Raja Faisal pada 1983.[170][178] Penghargaan-penghargaan tersebut adalah sebagai berikut: Dalam Negeri
Luar Negeri
Catatan
Referensi
Pranala luar
|