Indo Acidatama
PT Indo Acidatama Tbk adalah sebuah perusahaan publik di Indonesia (IDX: SRSN) yang bergerak dalam bisnis usaha manufaktur kimia, seperti asam asetat dan etanol ditambah produk pupuk. Berkantor pusat di Graha Kencana, Jl. Raya Perjuangan, Jakarta Barat dan memiliki pabrik di Jl. Raya Solo-Sragen, Karanganyar, Jawa Tengah,[1] perusahaan ini sempat mengganti nama dan usaha yang digelutinya sejak berdiri. Manajemen
Kepemilikan
Produk
SejarahPT Indo Acidatama Chemical IndustryPada 15 Februari 1983, didirikan sebuah perusahaan bernama PT Indo Alkohol Utama yang kemudian pada 8 September 1986 berganti nama menjadi PT Indo Acidatama Chemical Industry (IACI).[4] Perusahaan ini didirikan dalam rangka memproduksi alkohol (untuk kebutuhan pakan), spiritus, asam asetat dan etil asetat dari molase (tetes tebu) di Karanganyar, Jawa Tengah, sedangkan kantor pusatnya ada di Surakarta.[5] Pabriknya kemudian mulai dibangun pada tahun 1986[6] oleh Krupp-Koppers Jerman,[7] dan direncanakan akan selesai pada tahun 1988.[8][9] Akhirnya, pabrik yang diklaim sebagai produsen etanol terbesar di Indonesia dan produsen asam asetat/etil asetat pertama di Asia itu memulai operasionalnya sejak Desember 1988[6] dan diresmikan pada pertengahan 1989 (bersama 5 pabrik lainnya) oleh Presiden Soeharto. Pabrik PT IACI ini memakan investasi Rp 48 miliar dan diharapkan bisa mengurangi impor produk luar negeri serta mendatangkan devisa. Kebetulan, pabrik tersebut sejak awal sudah mengekspor produksinya ke dua perusahaan Jepang untuk kebutuhan industri di sana.[8][10] Pabrik tersebut awalnya memiliki kapasitas produksi 15.400 ton/tahun,[11] yang kemudian dinaikkan menjadi 33.000 ton/tahun dengan penyelesaian pembangunan pabrik lain di daerah yang sama pada Desember 1994.[6][7] PT IACI sendiri dimiliki oleh sejumlah pengusaha lokal, termasuk Sudwikatmono yang didudukkan sebagai presiden komisaris perusahaan ini[8] dan Bambang Setijo, seorang pengusaha tekstil.[12] PT IACI sendiri sempat tersandung masalah limbah dengan petani dan penduduk lokal di akhir 1990-an, meskipun kemudian bisa diatasi dengan kesepakatan kedua pihak pada tahun 1999.[13] Tercatat, pabrik IACI yang memiliki luas 11 hektar,[14] pada 2000-an memproduksi pertahun 42 juta liter etanol, spiritus 1,26 juta liter, asam asetat 33 juta liter, etil asetat 7,5 juta liter, selulosa asetat 33.000 ton, dan produk-produk lainnya.[15] PT Sarasa NugrahaPerusahaan ini didirikan pada tanggal 7 Desember 1982 dan mulai beroperasi sejak 1 Februari 1984, dengan kantor pusatnya ada di Jakarta Pusat dan pabriknya ada di Tangerang.[16][17] PT Sarasa Nugraha merupakan salah satu produsen tekstil, dalam hal ini pakaian jadi baik untuk pria dan wanita (blus, celana panjang dan pendek, kaos, dll)[18] dengan tujuan utama ekspor. Pada tahun 1992, produksi garmen Sarasa sudah mencapai 4 juta potong/tahun yang utamanya diekspor ke Amerika Serikat dan negara-negara lain seperti Jepang dan Australia, yang ditujukan kepada toko serba ada dan eceran di sana. Untuk memperkuat produksinya, perusahaan juga telah mengakuisisi perusahaan produsen garmen lainnya, PT Sarasa Mitratama (d/h PT Collen Kurnia Wisesa) pada tanggal 1 Juni 1992. Tercatat, dengan akuisisi itu, Sarasa Nugraha memiliki kuota ekspor 480.000 ton/tahun dan lebih dari 4.000 karyawan.[17][19] Sejak 11 Januari 1993, PT Sarasa Nugraha telah menjadi perusahaan publik, dengan melepas 29,41% sahamnya ke publik dengan harga penawaran Rp 3.500/lembar saham.[16][17] Hasil IPO ini digunakan mayoritas untuk modal kerja dan pembayaran hutang, sisanya untuk mesin garmen baru.[19] Kode emiten SRSN berasal dari nama perusahaan saat itu. Di tahun 1995, perusahaan tercatat mencatat omset Rp 87 miliar/tahun dari ekspornya.[20] Belakangan, Sarasa Nugraha juga mendapat hak produksi produk-produk merek internasional ternama dari Polo Ralph Lauren, Jones Apparel Group, Kohl's Department Store, Perry Ellis International,[21] Eddie Bauer, May Co., Belk, Tommy Hilfiger, Dillard's, dan Esprit.[22] Meskipun demikian, usaha garmen ini terbilang tidak terlalu besar, sehingga sempat muncul rumor akuisisi pada tahun 1996.[23] Bisnis Sarasa mulai goyang setelah munculnya krisis ekonomi yang menimpa Indonesia di akhir 1990-an, yang dimana pada tahun 1998, perusahaan terpaksa mencatatkan kerugian.[24] Memburuknya kondisi perusahaan ini dibuktikan dengan ancaman penghapusan sahamnya dari BEJ pada tahun 2000, akibat akuntan publik menyatakan disclaimer pada laporan keuangannya,[25] meskipun sempat menyatakan perusahaan berhasil mencatatkan penjualan tertinggi.[26] Hal ini karena keuangan perusahaan yang belakangan terus merugi dan banyak terbelit utang, sehingga menyulitkan perbaikan keuangan Sarasa Nugraha Tbk.[27] Tantangan-tantangan pun mulai bermunculan, seperti instabilitas rupiah atas dolar AS; penurunan ekonomi tujuan ekspor utamanya, AS; adanya instabilitas politik;[28] dan munculnya negara-negara produsen garmen pesaing, seperti Tiongkok.[29] Berbagai langkah pun ditempuh demi memperbaiki kinerjanya, seperti konversi hutang menjadi saham,[27] rencana pencarian investor strategis,[30] dan merger dengan anak usahanya, PT Sarasa Mitratama pada pertengahan 2002.[31] Namun, akhirnya malang tak dapat ditolak, tekanan yang dihadapi Sarasa pun makin besar, terutama konflik dengan para buruh yang terjadi sejak 2003 terkait kenaikan upah.[32] Angin reformasi membuat para buruh mulai bergerak, namun di saat yang sama, posisi keuangan perusahaan makin merugi dan kehilangan pesanan dari pasar luar negeri. Pada 29 Februari 2004, manajemen PT Sarasa Nugraha Tbk memutuskan untuk menutup operasional pabriknya di Balaraja, Tangerang yang berarti merumahkan para buruh yang mencapai 1.652 orang. Namun, pihak manajemen kemudian hanya membayar 25% dari kewajiban pesangon, tidak memenuhi seluruh kewajibannya dan membuat banyak buruh mengalami nasib "luntang-lantung" tanpa kepastian. Sejumlah buruh dan serikatnya juga mengklaim bahwa pihak manajemen hanya berbohong tentang masalahnya karena pabriknya yang lain di Cibodas, Tangerang tidak ikut ditutup, dan menduga penutupan tersebut karena pemilik pabrik berkeinginan mengubah status buruh tetap menjadi buruh kontrak. Sebenarnya, pihak manajemen pada Oktober 2004 sudah bersepakat untuk membuka kembali pabriknya di Balaraja dan memperkerjakan 841 orang buruh, namun kemudian tidak ada realisasi yang jelas hingga 2005.[21][33][34][35] Buruh pun dalam perkembangannya terus berdemo di pabrik Balaraja.[36] Akibat krisis ini, tercatat harga saham perusahaan di BEJ melorot menjadi di bawah Rp 25/lembar saham.[37] Ketika protes pekerja di pabrik Balaraja masih berlangsung, manajemen akhirnya memutuskan menutup pabrik keduanya di Cibodas sejak Februari 2005, memecat sekitar 1.700 karyawan,[29] dalam kondisi keuangan yang masih merugi. Peristiwa tersebut mengakhiri bisnis tekstil dan garmen yang sudah dijalani perusahaan ini sejak awal, dan sebagai gantinya, bisnis garmen dan pabrik perusahaan kemudian diambilalih oleh perusahaan lain.[38] Merger perusahaanRupanya, kesulitan yang dihadapi oleh Sarasa Nugraha Tbk kemudian dimanfaatkan oleh PT Indo Acidatama Chemical Industry untuk melakukan backdoor listing. Dimulai pada 17 Juni 2005, dimana pemilik PT IACI (Bambang Setijo) menjadi Komisaris Utama PT Sarasa Nugraha Tbk.[39] Kemudian, pada 26 Agustus 2005, PT IACI kemudian menggabungkan usahanya (merger) ke dalam PT Sarasa Nugraha Tbk, dimana pemegang saham PT IACI akan menjadi pemegang saham utama (86%) dari PT Sarasa Nugraha Tbk. Hal ini menyebabkan pemegang saham lama Sarasa menghilang/terdilusi, dan eks-pemegang saham PT IACI menjadi pemilik utama Sarasa. Merger ini diklaim dapat memperkuat modal perusahaan dan meningkatkan kinerjanya, karena industri kimia lebih menguntungkan dibanding industri garmen. Proses ini tuntas dengan disahkannya merger oleh Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dengan Surat Keputusan No. C-27286.HT.01.04.TH.2005 tanggal 4 Oktober 2005 dan pergantian nama dari PT Sarasa Nugraha Tbk menjadi PT Indo Acidatama Tbk terhitung mulai 30 Juni 2006,[40] yang berarti membawa Indo Acidatama memasuki bursa saham. Bidang usahanya kemudian juga berganti dari industri garmen ke industri kimia. Pasca-merger, PT Indo Acidatama Tbk menargetkan belanja modal US$ 4,5 juta dan menargetkan mulai memproduksi gasohol pada tahun 2006-2007.[22] Pada tahun tersebut, perusahaan memperkerjakan 381 karyawan,[40] naik dari Juni 2005 sebesar 8 karyawan.[39] Tidak lama setelah merger, tepatnya pada 2007, PT Indo Acidatama Tbk juga telah mengadopsi logo baru sejalan dengan visi dan misi barunya.[41] Perkembangan pasca-mergerUntuk memperluas usahanya, pada tahun 2007 perusahaan ini merencanakan akan membangun pabrik baru di Lampung seluas 30 ha yang direncanakan akan beroperasi pada tahun 2009.[42] Selain itu, demi efisiensi, perusahaan juga akan menjual sejumlah asetnya di tahun tersebut yang tidak menguntungkan.[43] Meskipun demikian, dalam perjalanannya perusahaan ini cenderung naik-turun. Pada tahun 2008, perusahaan misalnya merugi di tengah catatan penjualan Rp 313 miliar,[44] tetapi juga sempat untung pada 2010 mencapai Rp 23 miliar. Kondisi ini tergantung situasi seperti harga produknya dan bahan baku tebu di pasaran.[45] Etanol pada tahun 2010 menjadi penyumbang 75% penjualannya, sedangkan sisanya produk lain seperti asam asetat.[46] Di tahun 2013, PT Indo Acidatama Tbk menargetkan pembangunan pabrik bioetanol berkapasitas 50.000 kiloliter/tahun dengan investasi Rp 20 miliar yang ditargetkan selesai pada tahun selanjutnya.[47] Belakangan, perusahaan juga memproduksi pupuk dengan merek Pomi, Randex dan Beka,[48] yang tercatat bisnisnya sudah dikembangkan sejak 2007[49] dengan aneka aplikasi, seperti untuk lahan gambut[50] dan rawa.[51] Pihak Indo Acidatama sendiri mengklaim bahwa pupuk mereka cocok untuk pertumbuhan padi dengan basis organik.[52] Kondisi keuangan fluktuatif pun juga dalam perkembangannya terus terjadi. Di tahun 2015, perusahaan mencatatkan laba Rp 15,5 miliar (naik 6,19%) yang ditopang perbaikan penjualan,[53] kemudian di awal 2017 merugi Rp 434 juta,[54] dan di tahun 2019 untung Rp 42 miliar.[55] Sahamnya di Bursa Efek Indonesia juga tergolong stagnan, kebanyakan di bawah Rp 100/lembar (umumnya Rp 50 keatas saja).[53][56] Untuk meningkatkan kinerjanya, perusahaan juga menargetkan pasar ekspor. Misalnya pada Desember 2019, perusahaan telah mengekspor 10.000 liter pupuk cair ke Malaysia.[49] Selain itu, perusahaan juga dirumorkan beberapa kali diminati investor asing untuk bekerjasama atau diakuisisi, karena potensinya cukup besar, seperti pada tahun 2010 dari Uni Emirat Arab.[57][58] Pada tahun 2020, kinerja perusahaan sendiri sempat terganggu larangan ekspor alkohol dalam penanganan pandemi COVID-19, namun sejak 25 Agustus 2020, PT Indo Acidatama Tbk telah memulai kembali ekspornya, awalnya 539.000 liter ke Filipina dan ditargetkan naik menjadi 5 juta liter di akhir tahun ke berbagai negara.[59][60] Di tahun tersebut juga, perusahaan mencatatkan untung Rp 44,5 miliar,[61] yang kemudian merosot pada tahun 2021 menjadi Rp 26 miliar (dari alkohol Rp 731,31 miliar, asam asetat Rp 122,33 miliar, pupuk Rp 50,9 miliar, Co2 Rp 1,619 miliar, dan spiritus Rp 1,659 miliar) karena kenaikan beban produksi.[62] Penurunan ini juga tercatat di kuartal pertama 2022.[63] KontroversiPerusahaan ini beberapa kali dikabarkan tersangkut masalah pencemaran lingkungan yang merugikan masyarakat. Sempat PT Indo Acidatama Tbk dikeluhkan warga karena masalah pencemaran udara, namun kemudian bisa diatasi dengan pembangunan fasilitas.[64] Di bulan Agustus 2020, Indo Acidatama dikeluhkan oleh Dinas Lingkungan Hidup Karanganyar karena limbahnya mencemari Sungai Siwaluh dan Sroyo,[65] dengan dituduh membangun "pipa siluman" demi membuang limbahnya. Meskipun demikian, perusahaan membantah klaim "pipa siluman" itu dan menyatakan siap menangani masalah limbahnya.[65][66] Rujukan
Pranala luar |