Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apa pun
"Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apa pun" adalah suatu bentuk singkatan dari salah satu Sepuluh Perintah Allah yang, menurut Kitab Ulangan, diberitahukan oleh Allah sebagai satu-satunya Tuhan kepada bangsa Israel dan kemudian ditulis pada kedua loh batu dengan Jari Allah.[1] Kendati tidak ada satu pun bagian tersendiri dalam Alkitab yang memuat definisi lengkap pemujaan atau penyembahan berhala, subjek ini dibahas dalam berbagai bagian yang memunjukan Allah tidak memiliki wujud, sungguh besar dan kita tidak boleh menggambar Allah dengan gambaran kita yang terbatas sedangkan alam semesta saja memiliki jutaaan triliyun planet-planey dan bintang sebagai wujud bahwa Allah adalah yang terbesar, sehingga penyembahan berhala dianggap mengecilkan Allah, pembuatan patung apapun atau pemberhalaan apapun dapat diringkas sebagai penyembahan patung (atau gambar) berhala; penyembahan dewa-dewi politeistik, berdoa didepan patung Yesus, Sidharta atau Dewa-Dewi Hindu adalah jelas dengan menggunakan patung, berdoa didepan gambar juga adalah berhala; penyembahan makhluk ciptaan seperti sapi, ular cobra, merpati, pohon, juga adalah salah, tapi kita tidak salah jika hanya menghadap Bait Allah, karena Bait Allah adalah Rumah Allah dalam tabut bahasa Ibrani kita juga tidak boleh menganggap laki-laki atau perempuan sebagai Tuhan, karena itu termasuk salah karena sudah sangat jelas tertulis dalam perjanjian lama, termasuk menyembah apapun manusia lainnya adalah salah, Tuhan tidak mirip apapun baik didarat, laut maupun udara dan penggunaan berhala dalam penyembahan atau ibadah kepada Allah (YHWH Elohim, Allah Israel).[2] Dalam Perjanjian Baru, keserakahan (ketamakan) didefinisikan sebagai penyembahan berhala.[3] Ketika perintah ini diberikan, terdapat banyak kesempatan untuk turut serta dalam pemujaan atau penyembahan berhala, dan agama-agama suku bangsa Kanaan yang bertetangga dengan bangsa Israel banyak berpusat pada sebuah patung berhala kultus yang dibangun dan dipelihara dengan saksama.[4] Namun, menurut Kitab Ulangan, orang-orang Israel diperingatkan dengan keras agar tidak menerapkan atau mengadaptasikan praktik keagamaan apa saja dari bangsa-bangsa di sekitar mereka.[5] Bagaimanapun, kisah mengenai bangsa Israel hingga Pembuangan Babel meliputi pelanggaran perintah ini serta perintah yang sebelumnya, "Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku". Banyak pengajaran biblika dari zaman Nabi Musa hingga pengasingan tersebut didasarkan pada perintah-perintah itu—yakni pilihan antara ibadah yang dikhususkan kepada Allah atau kepada berhala-berhala.[6] Pembuangan Babel tampaknya menjadi suatu titik balik yang kemudian menjadikan bangsa Yahudi secara keseluruhan sangat monoteistik serta bersedia untuk melakukan berbagai peperangan (seperti Pemberontakan Makabe) dan menghadapi kemartiran daripada memuja allah lainnya.[7] Menurut Nabi Yesaya, mereka yang menyembah berhala tak bernyawa akan menjadi seperti demikian, yaitu tidak mampu melihat, merasa, ataupun mendengar kebenaran yang Allah sampaikan kepada mereka.[8] Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma mengidentifikasi penyembahan segala sesuatu yang diciptakan (bukan Sang Pencipta) sebagai penyebab kehancuran moralitas seksual dan sosial.[9] Meskipun perintah ini mengimplikasikan bahwa ibadah kepada Allah tidak dapat dipadukan dengan ibadah kepada berhala, keadaan seorang individu sebagai seorang penyembah berhala ataupun sebagai seorang penyembah Allah tidak digambarkan dalam Alkitab sebagai keadaan yang telah ditetapkan sejak awal oleh Allah dan tidak dapat berubah. Ketika perjanjian dengan Allah diperbarui di bawah kepemimpinan Yosua, bangsa Israel didesak untuk menyingkirkan allah-allah lain dan ia berkata: "pilihlah pada hari ini kepada siapa kamu akan beribadah".[10] Raja Yosia, ketika ia sadar akan adanya perjanjian Allah, berupaya dengan penuh semangat untuk menyingkirkan berhala-berhala dari kerajaannya.[11] Menurut Kisah Para Rasul, Rasul Paulus menyampaikan kepada orang-orang Atena bahwa meskipun kota mereka dipenuhi dengan patung-patung berhala, Allah yang benar tidak direpresentasikan oleh satu pun dari antaranya dan meminta mereka untuk berpaling dari berhala-berhala.[12] Perjanjian BaruKendati Yesus membahas Sepuluh Perintah Allah dalam Khotbah di Bukit, Ia tidak berbicara secara langsung mengenai makna dari perintah yang menentang penyembahan berhala ini. Menurut Kisah Para Rasul, para Rasul membahas persoalan perubahan-perubahan perilaku yang perlu dilakukan segera oleh bangsa bukan Yahudi yang menjadi pengikut Yesus Kristus pada saat dilangsungkannya Konsili Yerusalem. Mereka menetapkan bahwa para konver baru tersebut "harus menjauhkan diri dari makanan yang dipersembahkan kepada berhala, dari darah, dari daging binatang yang mati dicekik dan dari percabulan."[13] Dalam suratnya yang pertama kepada jemaat di Korintus, Rasul Paulus menjelaskan instruksi itu untuk menasihati para konver, yang khawatir tentang kenyataan bahwa banyak daging yang dijual di pasar kemungkinan merupakan hasil penyembelihan secara ritual di altar berhala dan/atau sebagian darinya mungkin telah dikonsumsi sebagai suatu persembahan kepada berhala. Ia mengecam kehadiran jemaat dalam perayaan-perayaan pemberhalaan, karena partisipasi tersebut jelas merupakan partisipasi dalam penyembahan berhala.[14] Namun, Rasul Paulus menasihati jemaat di Korintus agar tidak khawatir untuk makan daging yang dijual di pasar umum ataupun yang disajikan kepada mereka sebagai hidangan pada saat mereka bertamu, asalkan mereka tidak mengetahui bahwa "itu persembahan berhala" dan tidak menyebabkan "keberatan-keberatan hati nurani orang lain".[15] Bahasa yang digunakan oleh Rasul Paulus dalam ayat-ayat ini mirip dengan kedua perintah pertama dalam kaitannya secara umum dengan kecemburuan Allah, peringatan-peringatan keras terhadap penyembahan berhala, serta identifikasi YHWH sebagai pencipta dan pembebas bangsa Israel dari Mesir.[16] Di Athena, Rasul Paulus sangat sedih melihat bahwa kota itu penuh dengan berhala,[12] dan di Areopagus, ia menyampaikan bahwa Allah Israel adalah pencipta segala sesuatu, unik, dan tidak diwakili oleh berhala apapun. Ia mengajarkan:
Di Efesus, Rasul Paulus membuat murka para perajin perak (yang khawatir akan kehilangan pendapatan akibat penurunan penjualan berhala-berhala) ketika orang-orang menanggapi positif khotbahnya dan berpaling dari penyembahan berhala.[17] Ia mengajarkan bahwa umat Kristen perlu senantiasa menghindari partisipasi dalam ibadah apa saja selain kepada Allah, serta memandangnya masuk akal bahwa ibadah kepada Allah dan ibadah kepada makhluk spiritual lainnya adalah saling bertentangan:
Perjanjian Baru juga menggunakan istilah "berhala" sebagai acuan berbagai gagasan konseptual, misalnya yang terdapat dalam surat Paulus kepada jemaat di Kolose: "Karena itu matikanlah dalam dirimu segala sesuatu yang duniawi, yaitu percabulan, kenajisan, hawa nafsu, nafsu jahat dan juga keserakahan, yang sama dengan penyembahan berhala." Dengan demikian ruang lingkup penyembahan berhala lebih luas lagi hingga meliputi prioritas dan perilaku tertentu manusia di dunia ini, yang menyita perhatian dan penghormatan dari yang seharusnya diberikan manusia kepada Allah.[18] (lihat pula "Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku") Rasul Paulus memperingatkan jemaat di Galatia bahwa mereka yang hidup dalam penyembahan berhala "tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah", dan pada perikop yang sama menghubungkan sihir dengan penyembahan berhala.[19] Dalam suratnya kepada jemaat di Filipi, ia menyebutkan mereka yang memandang "Tuhan mereka ialah perut mereka" (mengacu pada kerakusan).[20] Dalam beberapa perikop Perjanjian Baru, termasuk Khotbah di Bukit, istilah penyembahan berhala diterapkan pada kecintaan akan uang.[21] Rasul Yakobus menegur mereka yang berfokus pada hal-hal duniawi, menggunakan bahasa yang serupa dengan yang digunakan para nabi Perjanjian Lama: "Atau kamu berdoa juga, tetapi kamu tidak menerima apa-apa, karena kamu salah berdoa, sebab yang kamu minta itu hendak kamu habiskan untuk memuaskan hawa nafsumu. Hai kamu, orang-orang yang tidak setia! Tidakkah kamu tahu, bahwa persahabatan dengan dunia adalah permusuhan dengan Allah? Jadi barangsiapa hendak menjadi sahabat dunia ini, ia menjadikan dirinya musuh Allah."[22] Rasul Paulus memuji jemaat di Tesalonika dengan mengatakan, "Karena dari antara kamu firman Tuhan bergema bukan hanya di Makedonia dan Akhaya saja, tetapi di semua tempat telah tersiar kabar tentang imanmu kepada Allah, ... bagaimana kamu berbalik dari berhala-berhala kepada Allah untuk melayani Allah yang hidup dan yang benar, dan untuk menantikan kedatangan Anak-Nya dari sorga, yang telah dibangkitkan-Nya dari antara orang mati, yaitu Yesus, yang menyelamatkan kita dari murka yang akan datang."[23] Dalam Surat Roma, Rasul Paulus mengidentifikasi ibadah kepada segala ciptaan (bukan Sang Pencipta) sebagai penyebab terjadinya kehancuran moralitas seksual dan sosial.[9] Rasul Petrus dan Kitab Wahyu juga menyebutkan hubungan antara ibadah kepada allah lain dengan dosa-dosa seksual, baik secara kiasan maupun harfiah.[24] Rasul Yohanes menuliskan pesannya secara ringkas, "Anak-anakku, waspadalah terhadap segala berhala."[25] Pandangan Katolik
Karena karakteristik transenden dan identitas Allah dideskripsikan dalam Kitab Suci sebagai "unik",[27] ajaran Gereja Katolik mengharamkan takhayul serta sikap tak beragama dan menjelaskan bahwa perintah ini dilanggar dengan memiliki citra atau gambar apa saja (misalnya patung dan lukisan) yang dianggap sebagai sumber kuasa ilahi maupun mengilahikan apa saja yang bukan Allah. Dalam hal venerasi atau penghormatan gambar-gambar suci, menurut pendapat Gereja, "penghormatan yang diberikan kepada gambar-gambar suci adalah suatu 'penghormatan yang khidmat', bukan penyembahan, karena penyembahan hanya dapat diberikan kepada Allah".[28][29] Santo Basilius Agung mengatakan bahwa "penghormatan yang diberikan kepada sebuah gambar diteruskan kepada acuan aslinya", dan Konsili Nicea II menetapkan bahwa penghormatan pada ikon ataupun patung tidak melanggar perintah ini serta menyatakan bahwa "siapapun yang menghormati gambar menghormati orang yang digambarkannya."[30][note 1] Katekismus Gereja Katolik (KGK), dengan menggunakan argumen yang sangat tradisional, menyebutkan bahwa Allah memberi izin penggunaan gambar yang melambangkan keselamatan Kristen melalui instruksi pembuatan simbol-simbol seperti ular tembaga, dan kerubim pada Tabut Perjanjian. Peter Kreeft menjelaskan hal ini menggunakan pernyataan dalam KGK bahwa "dengan menjelma menjadi manusia, Putra Allah memperkenalkan suatu 'ekonomi' gambar yang baru".[28][29] "Manusia melakukan penyembahan berhala setiap kali ia menghormati dan memuja suatu makhluk ciptaan sebagai pengganti Allah, apakah itu dewata atau setan-setan (umpamanya satanisme), kuasa, kenikmatan, ras, leluhur, negara, uang, dll." Gereja Katolik mengajarkan bahwa penyembahan atau pemujaan berhala bukan hanya sebatas memuja citra-citra allah lain. "Penyembahan berhala memungkiri Ketuhanan Allah yang unik; oleh karena itu mengeluarkan orang dari persekutuan dengan Allah."[32] KGK memuji mereka yang menolak, sekalipun dalam konteks budaya, pemujaan semacam itu[32] dan menyatakan bahwa "kewajiban untuk memberikan kepada Allah ibadah yang autentik berkaitan dengan manusia sebagai makhluk individual maupun sebagai makhluk sosial."[33] KGK mencatat bahwa perintah ini diingatkan kembali berulang kali dalam berbagai bagian Alkitab dan mengutip perikop-perikop yang mendeskripsikan konsekuensi-konsekuensi bagi orang-orang yang menempatkan kepercayaan mereka selain dalam Allah:
Dalam urainnya mengenai Mazmur 96, Santo Agustinus dari Hippo sepakat dengan deskripsi sang pemazmur dalam hal berhala-berhala "hampa" atau tak bernyawa, dan ia teringat kata-kata Rasul Paulus kepada jemaat di Korintus bahwa pengurbanan kepada berhala-berhala merupakan persembahan kepada roh-roh jahat. Allah-allah alternatif tidak hanya dikecam oleh monoteisme, roh-roh jahat yang iri akan kebebasan yang dimiliki manusia itu digambarkan oleh St. Agustinus sebagai makhluk-makhluk jahat yang memiliki hasrat untuk menguasai manusia dan membujuknya untuk turut serta berbagi hukuman kekal dengan mereka, sama seperti seorang penjahat dengki mungkin melibatkan seorang tak bersalah untuk memuaskan kedengkian dalam hatinya sendiri.[35] Santo Antonius dari Padua, dalam usahanya untuk mereformasi hasrat berlebihan akan uang dalam diri beberapa imam yang ia amati, menyamakan imam-imam yang melakukan jual-beli jabatan dan mengabaikan jemaat mereka itu dengan berhala-berhala, menggunakan bahasa sang pemazmur dan Nabi Yesaya untuk mendeskripsikan orang-orang yang mempunyai mata tetapi tidak melihat, mempunyai kaki tetapi tidak berjalan.[36] Pandangan IslamSebagai Agama Abrahamik, Dalam ajaran Islam, terdapat beberapa sumber dan dalil yang melarang dalam pembuatan patung, salah satunya adalah dari sabda Rasulullah yang berbunyi:
Al-Qur'an, kitab suci Islam, tidak secara eksplisit melarang penggambaran sosok manusia, tapi mengutuk penyembahan berhala.[37] Lihat pula
Catatan
Referensi
Pranala luar
|