Share to:

 

Jangan mengingini

"Perintah Kesepuluh", Harpers Weekly, 12 Maret 1870

"Jangan mengingini" merupakan terjemahan umum dari salah satu atau dua (tergantung dari tradisi penomoran) Sepuluh Perintah Allah atau Dekalog,[1] yang secara luas dipahami sebagai perintah moral oleh para pakar hukum, cendekiawan Yahudi, Katolik, ataupun Protestan.[2][3][4][5] Baik Kitab Keluaran maupun Kitab Ulangan menggambarkan bahwa Sepuluh Perintah Allah disampaikan oleh Allah,[6] tertulis pada dua loh batu oleh jari Allah,[7] kemudian loh-loh tersebut dipecahkan oleh Musa dan ditulis ulang oleh Allah pada dua loh bantu pengganti.[8]

Teks lengkap dari perintah ini yaitu:

Jangan mengingini rumah sesamamu; jangan mengingini isterinya, atau hambanya laki-laki, atau hambanya perempuan, atau lembunya atau keledainya, atau apapun yang dipunyai sesamamu. (Keluaran 20:17)

Berbeda dengan perintah-perintah lainnya yang berfokus pada perbuatan-perbuatan di luar diri seseorang atau yang kelihatan, perintah ini berfokus pada pikiran. Perintah ini melarang seseorang untuk mengingini atau menghasratkan hal-hal yang dilarang. Salah satu dari Sepuluh Perintah Allah melarang berzina, sementara perintah ini melarang keinginan untuk berzina. Perintah Allah lainnya melarang mencuri, sementara perintah ini melarang keinginan untuk mengambil alih milik orang lain. Perjanjian Baru mendeskripsikan penafsiran Yesus atas Sepuluh Perintah Allah sebagai hal-hal yang utamanya berasal dari hasrat atau keinginan di dalam hati, bukan hanya melarang tindakan-tindakan tertentu yang terlihat dari luar diri seseorang.

Kamu telah mendengar yang difirmankan kepada nenek moyang kita: "Jangan membunuh; siapa yang membunuh harus dihukum." Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum. ... Kamu telah mendengar firman: "Jangan berzinah." Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya. (Matius 5:21-22, 27-28)

Katekismus Gereja Katolik (KGK) mengaitkan perintah yang melarang keinginan dengan perintah "Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri."[9] Ibnu Ezra, dalam menanggapi pertanyaan "bagaimana mungkin seseorang tidak mengingini suatu hal yang indah dalam hatinya?", menuliskan bahwa tujuan utama dari semua perintah adalah untuk meluruskan hati.[10]

Perjanjian Baru

Injil Lukas mendeskripsikan peringatan Yesus untuk menjaga hati setiap orang terhadap ketamakan: "Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung dari pada kekayaannya itu."[11] Yesus juga mendeskripsikan dosa-dosa yang menajiskan seseorang sebagai dosa-dosa yang datang dari keinginan-keinginan liar di dalam hati.[12] Surat Yakobus menggambarkan keinginan tamak yang berada di dalam hati sebagai sumber internal dari pencobaan dan dosa.[13] Yakobus lebih lanjut mendeskripsikan bahwa keinginan tamak mengarah pada pertengkaran dan kurangnya kepemilikan materiil disebabkan karena tidak memintanya kepada Allah ataupun karena memintanya dengan motivasi yang salah.

Kamu mengingini sesuatu, tetapi kamu tidak memperolehnya, lalu kamu membunuh; kamu iri hati, tetapi kamu tidak mencapai tujuanmu, lalu kamu bertengkar dan kamu berkelahi. Kamu tidak memperoleh apa-apa, karena kamu tidak berdoa. Atau kamu berdoa juga, tetapi kamu tidak menerima apa-apa, karena kamu salah berdoa, sebab yang kamu minta itu hendak kamu habiskan untuk memuaskan hawa nafsumu. Hai kamu, orang-orang yang tidak setia! Tidakkah kamu tahu, bahwa persahabatan dengan dunia adalah permusuhan dengan Allah? Jadi barangsiapa hendak menjadi sahabat dunia ini, ia menjadikan dirinya musuh Allah.

— Yakobus 4:2-4[14]

Surat Efesus dan Kolose memandang dosa ketamakan sebagai satu jenis "penyembahan berhala" serta menggolongkannya bersama dengan ketidakmurnian dan amoralitas seksual sebagai dosa yang "mendatangkan murka Allah".[15]

Tetapi percabulan dan rupa-rupa kecemaran atau keserakahan disebut sajapun jangan di antara kamu, sebagaimana sepatutnya bagi orang-orang kudus. Demikian juga perkataan yang kotor, yang kosong atau yang sembrono--karena hal-hal ini tidak pantas--tetapi sebaliknya ucapkanlah syukur. Karena ingatlah ini baik-baik: tidak ada orang sundal, orang cemar atau orang serakah, artinya penyembah berhala, yang mendapat bagian di dalam Kerajaan Kristus dan Allah. Janganlah kamu disesatkan orang dengan kata-kata yang hampa, karena hal-hal yang demikian mendatangkan murka Allah atas orang-orang durhaka.

— Efesus 5:3-6[16]

Perjanjian Baru menekankan rasa syukur dan rasa puas atas apa yang dimiliki sebagai sikap hati yang tepat, yang berkebalikan dengan ketamakan. Yohanes Pembaptis mendesak para prajurit yang bertanya kepadanya supaya merasa puas dengan gaji yang mereka terima daripada merampas dan memeras orang lain.[17] Surat Ibrani mendorong para pembacanya untuk menjaga hidup mereka agar bebas dari cinta akan uang dan mencukupkan diri dengan apa yang dimiliki, serta agar mereka bergantung pada janji dan pertolongan Allah daripada percaya pada kekayaan.[18] Surat 1 Timotius memuat suatu peringatan klasik terhadap cinta akan uang dan menekankan bahwa terdapat keuntungan besar jika merasa puas dengan makanan dan pakaian secukupnya.

Memang ibadah itu kalau disertai rasa cukup, memberi keuntungan besar. Sebab kita tidak membawa sesuatu apa ke dalam dunia dan kitapun tidak dapat membawa apa-apa ke luar. Asal ada makanan dan pakaian, cukuplah. Tetapi mereka yang ingin kaya terjatuh ke dalam pencobaan, ke dalam jerat dan ke dalam berbagai-bagai nafsu yang hampa dan yang mencelakakan, yang menenggelamkan manusia ke dalam keruntuhan dan kebinasaan. Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka.

— 1 Timotius 6:6-10[19]

Pandangan Gereja Katolik

Gereja Katolik memandang larangan untuk mengingini di dalam Ulangan 5:21 dan Keluaran 20:17 sebagai dua perintah, diberi nomor sebagai perintah kesembilan dan perintah kesepuluh. Menurut pandangan Katolik, perintah kesembilan merupakan suatu larangan terhadap nafsu badani (atau hawa nafsu) sementara perintah kesepuluh melarang keserakahan dan kelekatan hati pada harta milik.

Larangan terhadap hawa nafsu

Perintah kesembilan melarang rencana atau keinginan mental dan batin untuk melakukan perzinaan, yang dilarang keras oleh perintah keenam. Hal ini dipandang berdosa apabila diinginkan atau dipikirkan penuh nafsu dan secara sengaja dengan "pengetahuan penuh dan persetujuan penuh dari kehendak".[20]

Satu hal pokok dalam pemahaman Katolik mengenai perintah kesembilan adalah perkataan Yesus dalam Khotbah di Bukit, "Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzina dengan dia di dalam hatinya."[21] Dalam Teologi Tubuh, Paus Yohanes Paulus II mengatakan bahwa Yesus melarang seseorang untuk berzina dalam hati tidak hanya dengan pasangan orang lain, tetapi juga dengan pasangannya sendiri seandainya ia melihat kepadanya dengan hawa nafsu atau memperlakukannya "hanya sebagai objek untuk memuaskan insting".[22][23] Perintah ini memberi penekanan pada pikiran dan sikap hati, sekaligus juga janji bahwa hati yang murni akan melihat Allah dan menjadi seperti-Nya.

Sabda bahagia yang keenam menyatakan, "Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah." Yang memiliki "hati murni" ialah mereka yang telah menyelaraskan pikiran dan kehendaknya dengan tuntutan kekudusan Allah, terutama di dalam tiga bidang: kasih; kemurnian atau kebajikan dalam seksualitas; cinta akan kebenaran dan ortodoksi iman. ... Kepada orang-orang yang murni hatinya dijanjikan bahwa mereka akan memandang Allah dari muka ke muka dan menjadi sama seperti Dia. Kemurnian hati adalah prasyarat untuk dapat melihat Allah. Bahkan sejak sekarang dengannya kita dimungkinkan untuk melihat sebagaimana Allah melihat, untuk menerima orang lain sebagai "sesama"; dengannya kita dapat memandang tubuh manusia—tubuh kita sendiri dan sesama—sebagai bait Roh Kudus, suatu perwujudan keindahan ilahi. (KGK 2518-2519)[21]

Peter Kreeft mengulangi apa yang dinyatakan dalam KGK bahwa "terdapat hubungan antara kemurnian hati, kemurnian tubuh, dan kemurnian iman."[24] Pembaptisan menganugerahkan umat Kristen rahmat pemurnian dari dosa, namun mereka yang dibaptis harus terus berjuang melawan berbagai keinginan yang tidak teratur dan hawa nafsu. Rahmat Allah memampukan seseorang untuk melakukannya dengan:[25]

  • kebajikan dan anugerah kemurnian yang membuatnya dapat mencintai dengan hati yang lurus dan tak terbagi
  • niat murni yang mencari dan memenuhi kehendak Allah dalam segala hal
  • pandangan murni yang mendisiplinkan perasaan dan imajinasi serta menolak pikiran kotor
  • doa penyerahan kepada Allah yang memohon bantuan untuk mengatasi godaan dan menyerahkan segala kekhawatiran kepada-Nya

Ketaatan pada kemurnian yang disyaratkan dalam perintah kesembilan memerlukan keugaharian atau kesahajaan, yang melindungi pusat pribadi seseorang yang paling dalam, menolak untuk menyingkap apa seharusnya tetap tersembunyi. Kesahajaan mengarah pada kemurnian dan memandu seseorang bagaimana seharusnya memandang orang lain dan berperilaku terhadap mereka sesuai dengan martabatnya sebagai manusia. Kesahajaan mendorong kesabaran dan pengendalian diri dalam hubungan cinta kasih, menuntut dipenuhinya kondisi-kondisi pemberian secara mutlak serta komitmen timbal balik dari suami dan istri. Kesahajaan mencakup kepatutan atau kesopanan, mengilhami seseorang bagaimana seharusnya berpakaian. Kesahajaan mencakup kehati-hatian dan menghindari rasa penasaran yang tidak sehat atau berbahaya.[26]

Ada kesahajaan perasaan sebagaimana tubuh. Kesahajaan perasaan, sebagai contoh, memprotes eksplorasi voyeuristik terhadap tubuh manusia dalam iklan-iklan tertentu, atau tuntutan media tertentu yang bertindak terlalu jauh dalam peragaan hal-hal intim. Kesahajaan menginspirasi suatu cara hidup yang memungkinkannya menolak daya pikat mode pakaian dan desakan ideologi umum. Bentuk-bentuk ungkapan kesahajaan bervariasi antara satu budaya dengan yang lainnya. Namun di mana-mana kesahajaan ada sebagai suatu intuisi dari martabat rohani yang layak untuk manusia. Kesahajaan lahir dengan bangkitnya kesadaran untuk menjadikannya suatu pokok bahasan. Mengajarkan kesahajaan kepada anak-anak dan remaja berarti membangkitkan perhormatan terhadap pribadi manusia di dalam diri mereka. (KGK 2523-2524)[27]

Selain kesahajaan dan kemurnian pribadi, Gereja Katolik mengajarkan bahwa kemurnian Kristiani mensyaratkan suatu pemurnian lingkungan sosial. Media komunikasi perlu menunjukkan rasa hormat dan menahan diri dalam penyajian yang mereka berikan, yang seharusnya bebas dari erotisme serta tayangan yang mengarah pada voyeurisme dan khayalan. Permisivitas moral bersandar pada pemahaman yang keliru terkait kebebasan manusia. Pendidikan dalam hukum moral diperlukan untuk pengembangan kebebasan yang sejati. Para pendidik diharapkan untuk memberikan "pengajaran yang menghormati kebenaran, kualitas hati, serta martabat rohani dan moril manusia" kepada kaum muda.[28]

Larangan terhadap ketamakan dan iri hati

Ajaran Katolik tentang larangan atas ketamakan (atau keserakahan) dan iri hati berpusat pada teguran-teguran Yesus agar seseorang mengingini dan menyimpan harta di Surga, bukan di bumi, "Di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada."[29] Perintah kesepuluh dipandang melengkapi dan menyingkap perintah kesembilan, melarang mengingini milik orang lain karena keinginan ini merupakan akar dari pencurian dan penipuan yang dilarang oleh perintah "Jangan mencuri". "Keinginan mata" mengarah pada kekerasan dan ketidakadilan yang dilarang oleh perintah "Jangan membunuh". Ketamakan, sama seperti percabulan, berasal dari penyembahan berhala yang dilarang oleh ketiga perintah yang pertama (lih. Kebijaksanaan 14:12). Bersama dengan perintah kesembilan, perintah kesepuluh merangkum keseluruhan Sepuluh Perintah Allah, dengan berfokus pada niat dan keinginan hati.[30]

Keinginan-keinginan yang tamak menyebabkan gangguan karena bergerak di luar pemuasan kebutuhan dasar manusia serta "melampaui batasan akal dan mendorong kita untuk mengingini secara tidak adil apa yang bukan milik kita, melainkan milik orang lain atau adalah hak orang lain."[31] Perintah ini melarang keserakahan dan keinginan tanpa batas untuk mengumpulkan barang duniawi, melarang ketamakan yang timbul dari hasrat akan kekayaan dan kekuasaan yang mengiringinya. "Jangan mengingini" berarti bahwa seseorang perlu menjauhkan diri dari keinginan atas milik orang lain. Merasa tidak pernah memiliki cukup uang dipandang sebagai suatu gejala cinta akan uang (lih. Sirakh 5:1-8).[32] Ketaatan pada perintah kesepuluh mensyaratkan agar rasa iri disingkirkan dari hati seseorang. Iri hati termasuk salah satu dosa pokok yang berupa kekecewaan ketika melihat milik orang lain dan menghendaki untuk memilikinya untuk kepentingan pribadi. Iri hati sering kali timbul dari kesombongan. Orang yang telah dibaptis seharusnya menjauhkan diri darinya dengan melatih kerendahan hati, serta bersukacita dan bersyukur kepada Allah atas apa yang dimiliki sesamanya.[33] Allah memperingatkan manusia untuk menjauhkan diri dari apa yang tampak "baik untuk dimakan dan sedap kelihatannya, lagipula ... menarik hati karena memberi pengertian";[34] hukum dan rahmat memalingkan hati seseorang dari ketamakan dan iri hati, serta mengarahkannya kepada Roh Kudus yang memuaskan hati manusia.[35]

"Tetapi sekarang, tanpa hukum Taurat kebenaran Allah telah dinyatakan seperti yang disaksikan dalam Kitab Taurat dan Kitab-Kitab para nabi, yaitu kebenaran Allah karena iman dalam Yesus Kristus bagi semua orang yang percaya" (Roma 3:21-22). Selanjutnya, orang yang percaya kepada Kristus "telah menyalibkan daging dengan segala hawa nafsu dan keinginannya" (Galatia 5:24); mereka dipimpin oleh Roh Kudus dan mengikuti keinginan-keinginan-Nya. (KGK 2543)[36]

Ajaran Katolik mengingatkan bahwa Yesus mendorong para murid-Nya untuk lebih memilih Dia daripada semua hal dan semua orang, serta meminta mereka agar "melepaskan dirinya dari segala miliknya" demi Dia dan Injil.[37] Kepada para murid-Nya, Yesus mencontohkan seorang janda miskin di Yerusalem yang memberikan seluruh penghasilan dari kemiskinannya yang sebenarnya ia butuhkan untuk hidup.[38] Ketidakterikatan atau kelepasan dari harta milik digambarkan sebagai syarat wajib untuk dapat masuk ke dalam Kerajaan surga.[39] "Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah"[40] menggambarkan bahwa mereka yang secara sukarela tidak menerima berbagai kebutuhan fisik cenderung lebih mencari pemenuhan kebutuhan rohani melalui Yesus Kristus. "Tuhan bersedih hati atas orang-orang kaya, karena mereka menemukan penghiburan dalam kelimpahan barang-barang."[41] "Aku ingin melihat Allah" mengungkapkan keinginan sejati manusia. Air kehidupan kekal memuaskan diri dari rasa haus akan Allah.[42] Keterikatan pada barang-barang di dunia ini dipandang sebagai suatu perbudakan. Cara penyembuhan yang disampaikan dalam Kitab Suci adalah menginginkan kebahagiaan sejati yang terpenuhi di dalam pandangan akan Allah dalam kebahagiaan-Nya. Semua umat Kristen harus berjuang dengan bantuan rahmat Allah untuk memperoleh hal-hal baik yang dijanjikan Allah. Orang yang beriman kepada Kristus perlu mematikan nafsunya, dan dengan bantuan rahmat-Nya ia menang atas godaan kesenangan dan kekuasaan.[43] "Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi ia kehilangan nyawanya?"[44]

Lihat pula

Referensi

  1. ^ Keluaran 20:1–21 dan Ulangan 5:1–23
  2. ^ (Inggris) Posner, Richard A., How Judges Think, Harvard University Press, 2008, p. 322
  3. ^ (Inggris) ‘’Ten Commandments,’’ New Bible Dictionary, Second Edition, Tyndale House, 1982 pp. 1174-1175
  4. ^ Bromiley, Geoffrey W., The International Standard Bible Encyclopedia, 1988, p. 117
  5. ^ (Inggris) Renewal theology: systematic theology from a charismatic perspective, J. Rodman Williams, 1996 p.240; Making moral decisions: a Christian approach to personal and social ethics, Paul T. Jersild, 1991, p. 24
  6. ^ Keluaran 20:1
  7. ^ (Inggris) "Exodus 31:18, Deuteronomy 9:10, Catholic Catechism 2056", Ten Commandments, New Bible Dictionary, Second Edition, Tyndale House, hlm. 1174–1175, 1982 
  8. ^ Ulangan 10:1-5
  9. ^ (Inggris) Leviticus 19:18, Romans 13:9, Catechism of the Catholic Church 2514-2533
  10. ^ (Inggris) Sefer Ha-chinukh, Mitzva 416 Diarsipkan 2015-03-17 di Wayback Machine.
  11. ^ Lukas 12:15
  12. ^ Markus 7:20-22
  13. ^ Yakobus 1:13-15
  14. ^ Yakobus 4:2-4
  15. ^ Efesus 5:3-6, Kolose 3:5-6
  16. ^ Efesus 5:3-6
  17. ^ Lukas 3:14
  18. ^ Ibrani 13:5-6
  19. ^ 1 Timotius 6:6-10
  20. ^ (Inggris) Baker, Kenneth (1982). Fundamentals of Catholicism: Creed, Commandments. 1. Ignatius Press. hlm. 240–241. ISBN 9780898700176. 
  21. ^ a b (Inggris) Catechism of the Catholic Church, The Ninth Commandment, Matthew 5:28
  22. ^ (Inggris) Pope John Paul II (8 October 1980), Interpreting the Concept of Concupiscence, L'Osservatore Romano (retrieved from EWTN), diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-07-05, diakses tanggal 2016-03-17 
  23. ^ (Inggris) McCormick, Richard A. (1998). John Paul II and Moral Theology. Paulist Press. hlm. 152–155. ISBN 9780809137978. 
  24. ^ (Inggris) Kreeft, Peter (2001). Catholic Christianity. Ignatius Press. hlm. 255. ISBN 0-89870-798-6. 
  25. ^ (Inggris) Catechism of the Catholic Church 2520 Diarsipkan 2007-09-28 di Wayback Machine.
  26. ^ (Inggris) "Paragraphs 2521–2522", Catechism of the Catholic Church, Second Edition, Libreria Editrice Vaticana, 2012 
  27. ^ (Inggris) Catechism of the Catholic Church 2523-2524
  28. ^ (Inggris) Catechism of the Catholic Church 2525-2526 Diarsipkan 2007-09-28 di Wayback Machine.
  29. ^ (Inggris) Catechism of the Catholic Church, The Tenth Commandment, Matthew 6:21
  30. ^ (Inggris) "Paragraph 2534", Catechism of the Catholic Church, Second Edition, Libreria Editrice Vaticana, 2012 
  31. ^ (Inggris) Catechism of the Catholic Church, 2535 Diarsipkan 2007-09-28 di Wayback Machine.
  32. ^ (Inggris) Catechism of the Catholic Church, 2536 Diarsipkan 2007-09-28 di Wayback Machine.
  33. ^ (Inggris) Catechism of the Catholic Church, 2538-2540
  34. ^ Kejadian 3:6
  35. ^ (Inggris) Catechism of the Catholic Church, 2541
  36. ^ (Inggris) Catechism of the Catholic Church 2543
  37. ^ Lukas 14:33
  38. ^ Lukas 21:4
  39. ^ (Inggris) Catechism of the Catholic Church 2544,
  40. ^ Matius 5:3
  41. ^ Catechism of the Catholic Church 2547
  42. ^ (Inggris) Catechism of the Catholic Church 2557, John 14:14
  43. ^ (Inggris) 2548-2550 Catechism of the Catholic Church 2548-2550
  44. ^ Markus 8:36

Bacaan lanjutan

Pranala luar

Kembali kehalaman sebelumnya