Share to:

 

Jangan mencuri

"Jangan mencuri" adalah salah satu dari Sepuluh Perintah Allah[1] yang terdapat dalam Taurat (dan Perjanjian Lama sebagai perluasannya), yang secara luas dipahami sebagai kewajiban atau perintah moral oleh para cendekiawan hukum, Yahudi, Katolik, dan Protestan.[2]

"Mencuri" dalam perintah ini secara tradisional ditafsirkan oleh kalangan Yahudi untuk menyebut pencurian seorang manusia, yakni penculikan.[3] Dalam pemahaman tersebut, terjemahan kontekstual dari perintah ini dalam tradisi Yahudi akan lebih terefleksikan secara akurat sebagai "Jangan menculik", sejalan dengan tergolongnya penculikan dalam salah satu pelanggaran berat dan karenanya termasuk di antara Sepuluh Perintah Allah.

Bagaimanapun, khususnya dalam tradisi-tradisi non-Yahudi, perintah ini pada umumnya dan dalam keseharian dipahami ataupun ditafsirkan sebagai larangan pengambilalihan milik pribadi secara tidak sah, atau disebut pencurian, yang adalah suatu tindakan salah dan biasanya tidak dikenakan hukuman mati serta dilarang pada bagian-bagian lain Alkitab Ibrani.

Perjanjian Baru

Perjanjian Baru mengulangi kembali perintah untuk tidak mencuri,[4] mencantumkan peringatan-peringatan mengerikan seputar konsekuensi rohani dari praktik demikian,[5] serta menjunjung tinggi gagasan-gagasan dasar hak milik pribadi dan peranan yang sebenarnya dari otoritas pemerintah dalam menghukum orang-orang yang mencuri.[6] Para pencuri diingatkan untuk tidak mencuri lagi dan bekerja keras dengan usaha mereka sendiri sehingga mereka juga dapat memiliki sesuatu untuk berbagi dengan orang lain yang membutuhkan.[7] Thomas Aquinas mengidentifikasi 5 jenis pencurian: dengan sembunyi-sembunyi, dengan kekerasan, dengan menahan upah, dengan penipuan, dan dengan membeli posisi atau jabatan.[8]

Pencuri hipokrit dipersonifikasikan oleh Yudas Iskariot, yang secara diam-diam mengambil uang yang dikumpulkan Yesus dan para Rasul untuk membantu kaum miskin; ia keberatan ketika Maria meminyaki Yesus dengan minyak narwastu murni, dengan munafik berpura-pura kalau minyak tersebut akan berguna jika dijual dan uangnya diberikan kepada kaum miskin.[9] Terdapat beberapa orang Farisi seperti Yudas: mereka mencuri kendati mengkhotbahkan untuk tidak mencuri.[10]

Meski kepemilikan pribadi dibenarkan, tema utama dalam Perjanjian Baru adalah bahwa orang harus percaya dan berharap pada Allah, bukan pada kepemilikan materiilnya, dan terdapat pengakuan akan suatu pergumulan dalam hati antara mencintai Allah atau mencintai uang.

Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi; di bumi ngengat dan karat merusakkannya dan pencuri membongkar serta mencurinya. Tetapi kumpulkanlah bagimu harta di sorga; di sorga ngengat dan karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya. Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada. Mata adalah pelita tubuh. Jika matamu baik, teranglah seluruh tubuhmu; jika matamu jahat, gelaplah seluruh tubuhmu. Jadi jika terang yang ada padamu gelap, betapa gelapnya kegelapan itu. Tak seorangpun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon.

— Matius 6:19-24[11]

Memang ibadah itu kalau disertai rasa cukup, memberi keuntungan besar. Sebab kita tidak membawa sesuatu apa ke dalam dunia dan kitapun tidak dapat membawa apa-apa ke luar. Asal ada makanan dan pakaian, cukuplah. Tetapi mereka yang ingin kaya terjatuh ke dalam pencobaan, ke dalam jerat dan ke dalam berbagai-bagai nafsu yang hampa dan yang mencelakakan, yang menenggelamkan manusia ke dalam keruntuhan dan kebinasaan. Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka.

— 1 Timotius 6:6-10[12]

Kitab 1 Korintus menegaskan bahwa para pencuri, penipu, dan orang serakah akan dikecualikan dari Kerajaan Allah sama seperti orang yang berzina, penyembah berhala, dan orang amoral secara seksual, tetapi mereka yang meninggalkan dosa-dosa tersebut dapat dikuduskan dan dibenarkan dalam nama Tuhan Yesus:

Atau tidak tahukah kamu, bahwa orang-orang yang tidak adil tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah? Janganlah sesat! Orang cabul, penyembah berhala, orang berzinah, banci, orang pemburit, pencuri, orang kikir, pemabuk, pemfitnah dan penipu tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah. Dan beberapa orang di antara kamu demikianlah dahulu. Tetapi kamu telah memberi dirimu disucikan, kamu telah dikuduskan, kamu telah dibenarkan dalam nama Tuhan Yesus Kristus dan dalam Roh Allah kita.

— 1 Korintus 6:9-11

Perintah yang melarang pencurian dipandang sebagai suatu konsekuensi alami dari perintah "Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri".[13] Larangan untuk menginginkan hal-hal terlarang juga dipandang sebagai suatu kewajiban moral bagi setiap orang untuk mengendalikan pikiran-pikiran dari budinya dan hasrat dari hatinya.[14]

Thomas Aquinas mengemukakan bahwa sebagaimana "Jangan membunuh" melarang orang melukai sesamanya dalam pribadinya sendiri, dan "Jangan berzinah" melarang melukai pribadi yang terikat dengan seseorang dalam perkawinan, maka Perintah "Jangan mencuri" melarang orang melukai sesamanya dalam barang-barang miliknya.[15]

Pandangan Katolik

Ajaran Katolik memandang perintah "Jangan mencuri" sebagai suatu ungkapan dari perintah untuk mengasihi sesama sebagaimana diri sendiri.[13] Perintah ini melarang untuk mengambil ataupun menyimpan barang-barang milik sesama secara tidak wajar dan menuntut penghormatan atas hak milik orang lain. Peter Kreeft mengatakan bahwa milik pribadi dan kebaikan bersama dipandang sebagai elemen-elemen yang saling melengkapi, yang keberadaannya dimaksudkan untuk mengukuhkan masyarakat.[16]

Perintah ketujuh melarang pengambilan atau penahanan barang-barang milik sesamanya secara tidak adil dan merugikannya dengan cara apapun sehubungan dengan barang-barang miliknya. Perintah ini mewajibkan keadilan dan cinta kasih dalam pengelolaan barang-barang duniawi dan hasil karya manusia. Demi kebaikan bersama, perintah ini menuntut penghormatan atas tujuan universal barang-barang dan penghormatan atas hak milik pribadi.

Ajaran Katolik menyatakan bahwa, dalam hal-hal keekonomian, penghormatan atas martabat manusia mensyaratkan orang agar melatih penguasaan diri, suatu kebajikan yang mengendalikan keterikatan pada barang-barang duniawi; keadilan, suatu kebajikan yang mempertahankan hak-hak sesama dan memberikan apa yang menjadi haknya; serta solidaritas, sesuai dengan etika timbal balik.[13] Seandainya pun tidak bertentangan dengan ketetapan-ketetapan eksplisit hukum sipil, segala bentuk penyimpanan atau juga pengambilalihan secara tidak adil milik orang lain adalah melawan perintah ini, seperti misalnya penahanan secara sengaja barang-barang yang dipinjam ataupun objek-objek hilang, penipuan bisnis, membayar upah secara tidak adil, menaikkan harga untuk mengambil keuntungan dari ketidaktahuan atau kesulitan orang lain. Kardinal Christoph Schönborn memberikan contoh dari kisah St. Agustinus, tertulis dalam Pengakuan-Pengakuan karyanya, yang mengambil buah pir dari kebun tetangga ketika ia masih kecil. Kardinal Schönborn mengatakan bahwa St. Agustinus masih merasakan "kepedihan hati nurani atas pencurian kekanak-kanakan" yang dilakukannya bahkan sampai ketika ia telah bertumbuh dewasa, sehingga menandakan bahwa hati nurani manusia sangat menyadari tindakan pencurian walaupun tindakan tersebut mungkin bukan pelanggaran terhadap hukum sipil.[17]

Hal-hal berikut juga dipandang terlarang secara moril: spekulasi yang merancang untuk memanipulasi harga barang secara semu demi mendapatkan keuntungan dengan merugikan orang lain, korupsi untuk mempengaruhi penilaian dari mereka yang harus membuat keputusan menurut hukum, perampasan atau penggunaan untuk kepentingan pribadi barang-barang umum milik suatu perusahaan, pekerjaan yang dilakukan dengan buruk, penghindaran pajak, pemalsuan cek ataupun faktur/tagihan, segala bentuk pembajakan dan pelanggaran hak cipta, serta pemborosan dan pengeluaran yang berlebihan.[18] Dengan sengaja merusak milik pribadi ataupun publik adalah bertentangan dengan hukum moral, dan atas perbuatan demikian dituntut perbaikannya. Selain itu, Gereja Katolik mengajarkan bahwa setiap kontrak dan janji harus benar-benar ditepati. Atas setiap tindakan ketidakadilan dituntut restitusi atau ganti rugi kepada pemiliknya.[13]

Janji harus ditepati dan kontrak dipenuhi secara tegas, sejauh komitmen-komitmen yang dibuat di dalamnya adalah adil secara moral. Suatu bagian penting dari kehidupan ekonomi dan sosial tergantung pada penghormatan atas kontrak-kontrak antara pribadi-pribadi secara lahiriah atau bermoral - kontrak komersial pembelian atau penjualan, kontrak sewa-menyewa, atau kontrak kerja. Semua kontrak harus disepakati dan dilaksanakan dengan iktikad baik. Kontrak-kontrak tunduk pada keadilan komutatif, yang mengatur pertukaran antara pribadi-pribadi dan antara institusi-institusi berdasarkan penghormatan secara tegas hak-hak mereka. Keadilan komutatif diwajibkan secara tegas, menuntut perlindungan hak kepemilikan, pembayaran utang, dan pemenuhan kewajiban dalam kontrak secara sukarela. Tanpa keadilan komutatif, tidak mungkin ada bentuk keadilan yang lain.

Ajaran Katolik mengingatkan bahwa Yesus memerintahkan murid-murid-Nya agar lebih memilih Dia daripada segala sesuatu dan semua orang, dan menawarkan mereka untuk "melepaskan dirinya dari segala miliknya" demi Dia dan demi Injil.[19] Yesus memberikan murid-murid-Nya contoh seorang janda miskin di Yerusalem yang memberikan apa yang ia miliki dan ia butuhkan untuk bertahan hidup.[20] Melepaskan diri dari kekayaan digambarkan sebagai kewajiban untuk dapat masuk ke dalam Kerajaan Surga.[21] "Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah"[22] mencerminkan harapan bahwa mereka yang tidak menerima segala kerinduan jasmani mereka lebih condong untuk mencari pemenuhan kerinduan rohani melalui Yesus Kristus. "Tuhan berdukacita atas orang-orang kaya, karena mereka menemukan penghiburan mereka dalam kelimpahan barang-barang duniawi."[23] "Aku ingin melihat Allah" mengungkapkan kerinduan sejati manusia. Air hidup yang kekal memuaskan kehausan akan Allah.[24][25] Keterikatan pada barang-barang dari dunia ini merupakan suatu belenggu. Berdasarkan Kitab Suci, obatnya adalah keinginan akan kebahagiaan sejati yang ditemukan dalam mencari dan menemukan Allah. Orang-orang kudus tetap harus berjuang, dengan bantuan rahmat dari Allah, untuk memperoleh hal-hal baik yang dijanjikan-Nya. Umat Kristiani yang setia mematikan hasrat atau keinginan mereka dan, dengan rahmat Allah, menang atas godaan-godaan kenikmatan maupun kekuasaan.[26] Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi ia kehilangan nyawanya[?][27]

Lihat pula

Bacaan lanjutan

  • (Inggris) The Jewish Study Bible, Tanakh Translation. 2004. Berlin, Adele; Brettler, Marc Zvi; Fishbane, Michael, eds. Jewish Publication Society, New York: Oxford University Press. ISBN 0-19-529751-2
  • (Inggris) Matthew Henry’s Concise Commentary on the Whole Bible[28]
  • (Inggris) The Holy Bible, English Standard Version. 2007. Crossway Bibles, Wheaton, IL. ISBN 1-58134-379-5
  • (Inggris) New Jerusalem Bible. 1985[29]
  • (Inggris) The NIV Study Bible. 1995. Barker, Kenneth, Burdick, Donald; Stek, John; Wessel, Walter; Youngblood, Ronald, eds. Zondervan. Grand Rapids, MI, USA ISBN 0-310-92709-9
  • (Inggris) U.S. Catholic Church. Catechism of the Catholic Church. 2003. Doubleday Religion. ISBN 0-385-50819-0[30]

Referensi

  1. ^ Keluaran 20:1-21, Ulangan 5:1-23, (Inggris) ‘’Ten Commandments,’’ New Bible Dictionary, Second Edition, Tyndale House, 1982 pp. 1174-1175
  2. ^ (Inggris) How Judges Think, Richard A. Posner, Harvard University Press, 2008, p. 322; ‘’Ten Commandments,’’ New Bible Dictionary, Second Edition, Tyndale House, 1982 pp. 1174-1175; The International Standard Bible Encyclopedia, Geoffrey W. Bromiley, 1988, p. 117; Renewal theology: systematic theology from a charismatic perspective, J. Rodman Williams, 1996 p.240; Making moral decisions: a Christian approach to personal and social ethics, Paul T. Jersild, 1991, p. 24
  3. ^ (Inggris) b. Sanh. 86a; Commentary on Exodus 20:13, The Jewish Study Bible, Oxford University Press (2004), p. 150
  4. ^ Matius 19:18, Markus 10:19, Lukas 18:20
  5. ^ 1 Korintus 6:10
  6. ^ 1 Petrus 4:15, Roma 13
  7. ^ Efesus 4:28
  8. ^ (Inggris) Aquinas, Thomas. "Explanation of the Ten Commandments" Diarsipkan 2017-03-29 di Wayback Machine.
  9. ^ (Inggris) "Ioan 12.3-8 ESV;NIVUK;ASV - Mary therefore took a pound of". Bible Gateway. Diakses tanggal 2013-09-01. 
  10. ^ (Inggris) "Rom2.17-21 ESV;NIVUK;ASV - But if you call yourself a Jew and rely". Bible Gateway. Diakses tanggal 2013-09-01. 
  11. ^ Matius 6:19-24
  12. ^ 1 Timotius 6:6-10
  13. ^ a b c d e f (Inggris) "Catechism of the Catholic Church - The seventh commandment". Vatican.va. Diakses tanggal 2015-02-25. 
  14. ^ (Inggris) "Torah on the Web - Virtual Beit Midrash - 17yitro". Vbm-torah.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-03-17. Diakses tanggal 2015-02-25. 
  15. ^ Thomas Aquinas. Summa Theol., II-II, Q. cxxii, Art. 6
  16. ^ (Inggris) Kreeft, Peter (2001). Catholic Christianity. Ignatius Press. hlm. 260–261. ISBN 0-89870-798-6. 
  17. ^ (Inggris) Schönborn, Christoph (2001). Living the Catechism of the Catholic Church. 3. Ignatius Press. hlm. 46. ISBN 9780898708356. [pranala nonaktif permanen]
  18. ^ (Inggris) Schönborn, Christoph Cardinal (2011). "Q. 428-429". YOUCAT: Youth Catechism of the Catholic Church. Ignatius Press. ISBN 9781681496412. 
  19. ^ Lukas 14:33
  20. ^ Lukas 21:4
  21. ^ (Inggris) "Paragraph 2544", Catechism of the Catholic Church, Second Edition, Libreria Editrice Vaticana, 2012 
  22. ^ Matius 5:3
  23. ^ (Inggris) "Paragraph 2547", Catechism of the Catholic Church, Second Edition, Libreria Editrice Vaticana, 2012 
  24. ^ (Inggris) "Paragraph 2557", Catechism of the Catholic Church, Second Edition, Libreria Editrice Vaticana, 2012 
  25. ^ Yohanes 4:14
  26. ^ (Inggris) "Paragraphs 2548–2550", Catechism of the Catholic Church, Second Edition, Libreria Editrice Vaticana, 2012 
  27. ^ Markus 8:36
  28. ^ (Inggris) "Matthew Henry's Concise Commentary on the Whole Bible". Diarsipkan dari versi asli tanggal August 31, 1999. Diakses tanggal October 29, 2009. 
  29. ^ (Inggris) "Bible - Catholic Online". Catholic.org. Diakses tanggal 2015-02-25. 
  30. ^ (Inggris) "Catechism of the Catholic Church - The fourth commandment". Vatican.va. Diakses tanggal 2015-02-25. 

Pranala luar

Kembali kehalaman sebelumnya