Jangan menyebut nama Tuhan Allahmu dengan sembarangan
"Jangan menyebut nama Tuhan, Allahmu, dengan sembarangan" atau "Jangan menyebut nama Tuhan Allahmu dengan tidak hormat" adalah salah satu dari Sepuluh Perintah Allah. Perintah ini merupakan larangan penghujatan, khususnya penyalahgunaan ataupun penyebutan nama Allah Israel "dengan sembarangan" atau "dengan tidak hormat". Kitab Keluaran 20:7 menyatakan bahwa:
Berdasarkan perintah ini, Yudaisme Bait Kedua pada periode Helenistik mengembangkan suatu tabu sama sekali dalam hal pengucapan nama Allah, sehingga Tetragrammaton diganti dengan "Adonai" (secara harfiah "Tuhanku" atau "Tuanku") dalam pengucapannya. Dalam Alkitab Ibrani sendiri, perintah ini ditujukan terhadap penyalahgunaan nama Allah, bukan terhadap penggunaan apa saja. Terdapat banyak contoh dalam Alkitab Ibrani dan beberapa contoh dalam Perjanjian Baru yang memuat penyebutan nama Allah dalam sumpah untuk mengatakan kebenaran ataupun untuk mendukung kebenaran pernyataan yang disumpahkan. Kitab Daniel dan Kitab Wahyu mengisahkan seorang malaikat yang diutus oleh Allah menyebutkan nama Allah untuk mendukung kebenaran wahyu apokaliptik.[2] Allah sendiri dicatat bersumpah dengan nama-Nya sendiri ("Demi Aku yang hidup ...") untuk menjamin kepastian berbagai peristiwa yang dinubuatkan melalui para nabi.[3] Perjanjian BaruDalam Khotbah di Bukit, Yesus mengajarkan bahwa perkataan seseorang harus dapat dipercaya dan orang tidak diperkenankan bersumpah demi Allah ataupun ciptaan-Nya.[4] Dalam suratnya, Rasul Yakobus menegaskan kembali perintah agar hanya mengatakan 'ya' atau 'tidak' dan memegang kata-kata, "supaya kamu jangan kena hukuman."[5] Menurut David Cook, para pemimpin Yahudi pada zaman Yesus biasa mengucapkan sumpah untuk mengesahkan suatu kesepakatan atau perjanjian.[6] Yesus dikutip memperingatkan kebutaan dan kebodohan mereka atas alasan yang mereka gunakan untuk membenarkan sumpah mereka.[7] Menurut Injil Yohanes, Yesus menyerukan kuasa nama Allah[8] dan juga mengklaim nama Allah sebagai milik-Nya juga, yang adalah penghujatan seandainya tidak benar. Injil Yohanes mengisahkan suatu insiden terkait sekelompok orang yang berupaya untuk melempari Yesus setelah Ia menyinggung nama Allah.[9] Yesus mengatakan kalau Ia adalah Mesias, dan menyetarakan diri-Nya dengan "Anak Manusia" yang disebut oleh Nabi Daniel, sehingga menimbulkan reaksi tegas bahwa Yesus telah menghujat (melanggar perintah ini) dan layak dihukum mati.[10] Rasul Paulus sesekali menyebut nama Allah dalam surat-suratnya, menyebut Allah sebagai saksi atas kemurnian motivasinya dan kejujurannya dalam berurusan dengan jemaat-jemaat yang ia layani.[11] Penulis Surat Ibrani mengulas janji Allah kepada Abraham sebagai jaminan bahwa janji-janji-Nya akan terpenuhi kelak. "Sebab manusia bersumpah demi orang yang lebih tinggi, dan sumpah itu menjadi suatu pengokohan baginya, yang mengakhiri segala bantahan."[12] Dalam kasus janji Allah kepada Abraham, Allah bersumpah dengan nama-Nya sendiri untuk menjamin janji yang Ia berikan, karena "karena tidak ada orang yang lebih tinggi dari pada-Nya".[13] Filo menunjukkan bahwa adalah wajar kalau Allah "bersumpah demi diri-Nya sendiri", kendati hal ini merupakan "suatu hal yang mustahil bari orang lain."[14] Serupa dengan peristiwa-peristiwa yang dideskripsikan dalam Kitab Daniel, Kitab Wahyu memuat suatu deskripsi dari seorang malaikat yang bersumpah demi Allah untuk kebenaran peristiwa-peristiwa pada akhir zaman yang diwahyukan kepada Yohanes.[15] Pandangan Katolik
Dalam Gereja Katolik, perintah yang dinomori sebagai perintah kedua ini melarang penggunaan nama Allah dengan sembarangan.[17] Banyak budaya kuno yang meyakini bahwa nama adalah sakral; beberapa budaya memiliki larangan-larangan terkait kapan nama seseorang tidak dapat diucapkan. Injil Yohanes menghubungkan suatu insiden di mana sekelompok orang Yahudi berupaya untuk melempari Yesus dengan batu setelah Ia menggunakan satu nama sakral Allah untuk menunjuk diri-Nya. Mereka menafsirkan pernyataan-Nya sebagai suatu klaim keilahian. Karena mereka tidak percaya bahwa Ia adalah Allah, mereka menganggap hal ini penghujatan yang menurut hukum Musa dikenai hukuman mati.[18][19] Peter Kreeft menuliskan bahwa semua nama yang olehnya Allah dikenal adalah kudus, dan dengan demikian semua nama itu dilindungi oleh perintah kedua.[19] Katekismus Gereja Katolik (KGK) menyatakan, "Menghormati nama-Nya merupakan suatu ungkapan penghormatan yang patut diberikan kepada misteri Allah sendiri dan kepada seluruh realitas kekudusan yang disebabkannya."[20] KGK juga menyebutkan perlunya penghormatan nama-nama orang untuk menghormati martabat orang tersebut.[21] Sentimen di balik perintah ini lebih lanjut dibakukan dalam Doa Bapa Kami yang dimulai dengan, "Bapa kami yang ada di surga, dimuliakanlah nama-Mu". Menurut Paus Benediktus XVI, ketika Allah mengungkapkan nama-Nya kepada Musa, Ia menjalin suatu relasi dengan umat manusia; Paus Benediktus menyatakan bahwa Inkarnasi merupakan puncak dari suatu proses yang "telah dimulai dengan pemberian nama ilahi tersebut."[22] Ia menguraikan bahwa hal ini berarti nama ilahi tersebut dapat saja disalahgunakan dan bahwa disertakannya "dimuliakanlah nama-Mu" oleh Yesus merupakan suatu permohonan untuk pengudusan nama Allah, untuk "melindungi misteri indah aksesibilitas-Nya bagi kita dan menegaskan jati diri-Nya secara terus-menerus, kontras dengan penyimpangan yang kita lakukan atasnya".[22] Menurut ajaran Katolik, perintah ini tidak melarang penggunaan nama Allah ketika mengucapkan sumpah khidmat yang diselenggarakan oleh otoritas yang sah. Namun demikian, berbohong ketika mengucapkan sumpah, menyerukan nama Allah demi tujuan magis, atau menyuarakan kata-kata kebencian atau perlawanan terhadap Allah dipandang sebagai dosa penghujatan.[21][20] Lihat pulaReferensi
Pranala luar
|