Kesenjangan digital (bahasa Inggris: digital divide) adalah kesenjangan antara yang kaya teknologi dengan yang miskin teknologi.[1] Kesenjangan antara antarnegara (seperti kesenjangan digital di Amerika Serikat) dapat mengacu kepada kesenjangan antar individu, rumah tangga, bisnis, atau wilayah geografis, biasanya dengan tingkat sosial-ekonomi yang berbeda atau kategori demografi lain. Kesenjangan antarnegara atau kawasan dunia disebut kesenjangan digital global,[2] yaitu kesenjangan teknologi antara negara berkembang dan negara maju di tingkat internasional.[3]
Definisi
Kesenjangan digital merupakan sebuah permasalahan yang muncul di dalam masyarakat karena adanya perkembangan teknologi, informasi, dan komunikasi (TIK) yang kurang merata. Permasalahan ini kerap dialami oleh masyarakat rural (masyarakat perdesaan) karena masyarakat urban (masyarakat perkotaan) lebih dahulu mendapatkan kesempatan untuk merasakan dampak pembangunan infrastruktur TIK jika dibandingan dengan masyarakat rural.[4]
Kesenjangan digital dibagi menjadi dua bentuk, yaitu kesenjangan digital tradisional dan kesenjangan terkait outcome. Kesenjangan digital tradisional terdiri atas kesenjangan akses terhadap internet dan teknologi digital serta kesenjangan kemampuan menggunakan teknologi digital secara optimal. Adapun kesenjangan terkait outcome merupakan hasil dari kemampuan tersebut ketika dikonversikan ke dalam berbagai jenis kapital lainnya (misalnya kapital ekonomi seperti pendapatan).[5]
Kesenjangan digital juga kesenjangan kemampuan digital antara orang-orang yang telah mempunyai akses teknologi yang pada akhirnya berdampak pada ketidaksetaraan hasil.[6] Kesenjangan digital mengacu kepada kesenjangan antara mereka dalam mengakses internet. Bagi yang tidak mendapakan akses internet yang baik, maka tidak mendapakan hasil yang baik.[7] Kesenjangan digital juga dapat diartikan sebagai kesenjangan ekonomi dan sosial terkait akses, penggunaan, atau dampak teknologi informasi dan komunikasi (TIK).[8] Kesenjangan digital juga mengacu kepada mereka yang mendapat mamfaat digital dengan yang tidak.[9][10]
Menurut Van Dijk, Kesenjangan digital adalah kesenjangan antara seseorang yang memiliki akses terhadap komputer dan internet, artinya sebuah disparitas atau perbedaan antara kelompok tertentu dengan kelompok lainnya dalam menggunakan, mengakses, dan memanfaatkan teknologi digital dan internet.[11]Van Dijk memberikan penjelasan bahwa kesenjangan digital dapat dikaji berdasarkan aspek material acces, skill access, motivational, dan usage.[12] Menurut Organization for Economic Co-Operation and Development (OECD), kesenjangan digital terjadi antara tingkat individu, rumah tangga, dan area geografis yang memiliki perbedaan tingkat sosial ekonomi berdasarkan kesempatan untuk mengakses teknologi informasi dan komunikasi.[13]
Latar belakang
Istilah kesenjangan digital pertama kali diperkenalkan oleh The National Telecommunication and Information Administration (NTIA), sebuah badan pemerintah federal Amerika Serikat yang mengurusi bidang telekomunikasi dan informasi dalam laporannya.[14] Oleh pemerintah Amerika Serikat pada tahun 1990-an pada masa pemerintahan Clinton, istilah kesenjangan yang mereka sebut dengan istilah digital divide diperkenalkan. Kemudian dengan cepat diserap oleh negara lain dan memberikan penyebutan berdasarkan bahasa masing-masing. Pada 1996, kesenjangan digital pun menjadi isu dunia. Kondisi ini tidak hanya dialami negara berkembang tapi juga negara maju.[15]
Upaya pencegahan
Bank Dunia menyebut jika kesenjangan digital akan akses internet di Indonesia masih begitu lebar. Hal ini terbukti dari sebanyak 49% penduduk dewasa di Indonesia masih belum memiliki akses internet.[16] Menteri Komunikasi dan Informatika, Johnny G. Plate, di lain pihak menyatakan bahwa upaya untuk mengatasi permasalahan ini di Indonesia adalah menerapkan strategi melalui penguatan infrastruktur digital, pengembangan talenta digital, dan pembentukan hukum yang tepat untuk melengkapi regulasi primer. Perluasan akses internet harus berjalan beriringan dengan pengembangan sumber daya manusia. Oleh karena itu, pemerintah juga berupaya membekali masyarakat Indonesia dengan literasi digital.[17] Namun, pemerintah yang menggunakan teknologi digital untuk program kesejahteraan sosial juga harus memastikan adanya penyertaan dalam sistem dan lembaga ketika program ini melekat.[18]
^Chinn, Menzie D. and Robert W. Fairlie. (2004). The Determinants of the Global Digital Divide: A Cross-Country Analysis of Computer and Internet Penetration. Economic Growth Center. Retrieved from http://www.econ.yale.edu/growth_pdf/cdp881.pdf.
^Garuda, Mata (2018-08-24). Indonesia 2045 (dalam bahasa Arab). Bentang Pustaka. hlm. 256. ISBN978-602-291-494-5.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^U.S. Department of Commerce, National Telecommunications and Information Administration (NTIA). (1995). Falling through the net: A survey of the have nots in rural and urban America.. Retrieved from http://www.ntia.doc.gov/ntiahome/fallingthru.html.
Borland, J. (1998, April 13). "Move Over Megamalls, Cyberspace Is the Great Retailing Equalizer". Knight Ridder/Tribune Business News.
Brynjolfsson, Erik and Michael D. Smith (2000). "The great equalizer? Consumer choice behavior at Internet shopbots". Sloan Working Paper 4208-01. eBusiness@MIT Working Paper 137. July 2000. Sloan School of Management, Massachusetts Institute of Technology, Cambridge, MA.
James, J. (2004). Information Technology and Development: A new paradigm for delivering the Internet to rural areas in developing countries. New York, NY: Routledge. ISBN 0-415-32632-X (print). ISBN 0-203-32550-8 (e-book).
E-inclusion, an initiative of the European Commission to ensure that "no one is left behind" in enjoying the benefits of Information and Communication Technologies (ICT).