Pengepungan Konstantinopel (674–678)
Pengepungan Konstantinopel oleh bangsa Arab untuk pertama kalinya, yang berlangsung mulai tahun 674 sampai tahun 678, adalah salah satu konflik besar dalam Perang Arab-Romawi Timur, dan merupakan puncak pertama dari usaha perluasaan wilayah yang dilancarkan terhadap Kekaisaran Romawi Timur oleh Khilafah Bani Umayyah di bawah pimpinan Khalifah Muawiyah I. Khalifah Muawiyah I, yang naik takhta pada tahun 661 seusai Perang Saudara Kaum Muslim I, kembali memerangi Kekaisaran Romawi Timur selepas jeda beberapa tahun, dengan harapan dapat menaklukkan seluruh negara kekaisaran itu dengan cara merebut ibu kotanya, Konstantinopel. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh penulis tawarikh Romawi Timur, Teofanis Sang Pengaku Iman, serangan-serangan bangsa Arab dilakukan secara seksama dan terencana. Selama kurun waktu 672–673, armada Arab mendirikan pangkalan-pangkalan di sepanjang pesisir Asia Kecil, kemudian memasang blokade yang tidak begitu ketat di sekitar Konstantinopel. Bangsa Arab menjadikan Semenanjung Kizikos yang tidak begitu jauh letaknya dari Konstantinopel sebagai pangkalan selama musim dingin, dan kembali menyerang benteng kota Konstantinopel pada musim semi. Kekaisaran Romawi Timur, di bawah pimpinan Kaisar Konstantinus IV, akhirnya berjaya menghancurkan armada Arab dengan senjata temuan baru berupa zat pembakar cair yang dikenal dengan sebutan Api Yunani. Kekaisaran Romawi Timur juga berhasil mengalahkan pasukan darat Arab di Asia Kecil, sehingga bangsa Arab terpaksa menghentikan pengepungan. Kemenangan Kekaisaran Romawi Timur sangat penting artinya bagi kelangsungan hidup negara itu, karena ancaman bangsa Arab sirna untuk sementara waktu. Sebuah perjanjian damai ditandangani tak lama kemudian, dan setelah pecahnya Perang Saudara Kaum Muslim II, Kekaisaran Romawi Timur bahkan mampu mendesak mundur Khilafah Bani Umayyah. Peristiwa pengepungan ini terabadikan dalam legenda-legenda Dunia Islam yang baru muncul, tetapi dicampuradukkan dengan riwayat-riwayat penyerbuan lain atas Konstantinopel, yang dilakukan beberapa tahun sebelumnya, di bawah pimpinan Khalifah Yazid I. Akibatnya, kebenaran riwayat Teofanis digugat pada tahun 2010 oleh peneliti Oxford, James Howard-Johnston, yang lebih mengutamakan sumber-sumber berbahasa Arab dan Suryani. Sumber-sumber tersebut tidak meriwayatkan apa-apa tentang peristiwa pengepungan ini, tetapi meriwayatkan rangkaian aksi militer, dan hanya beberapa riwayat yang berlanjut sampai ke Konstantinopel. Di lain pihak, kabar mengenai pengepungan dan perjanjian damai yang disepakati sesudahnya bahkan tersiar sampai ke Tiongkok, sehingga kelak termaktub pula dalam catatan-catatan sejarah Dinasti Tang. Latar belakangSetelah kalah dalam pertempuran Yarmuk pada tahun 636, Kekaisaran Romawi Timur menarik mundur sisa-sisa kekuatan tempurnya dari Syam ke Asia Kecil yang terlindung di balik Pegunungan Taurus, benteng alam yang mampu membendung gerak ekspansi kaum Muslim. Tindakan ini membuka peluang bagi Khilafah Rasyidin, yang baru saja terbentuk, untuk menuntaskan aksi penaklukan kaum Muslim atas Syam, dan selanjutnya juga atas Mesir. Kaum Muslim melancarkan serangan-serangan dadakan ke daerah-daerah di tapal batas Kilikia bahkan masuk sampai ke Asia Kecil semenjak tahun 640, yang berlanjut di bawah kepemimpinan Mu'awiyah bin Abu Sufyan, Wali Negeri Syam.[1][2][3] Mu'awiyah juga merintis pembentukan angkatan laut kaum Muslim, yang dalam beberapa tahun saja sudah cukup kuat dikerahkan untuk menduduki Pulau Siprus, dan untuk melancarkan serangan-serangan dadakan sampai ke Pulau Kos, Pulau Rodos, dan Pulau Kreta di Laut Aegea. Angkatan laut kaum Muslim yang belum lama terbentuk ini akhirnya berjaya mengalahkan angkatan laut Kekaisaran Romawi Timur dalam pertempuran Foinikos pada tahun 655.[4][5][6] Setelah Khalifah Utsman bin Affan tewas terbunuh dan Perang Saudara Kaum Muslim I meletus, serangan bangsa Arab terhadap Kekaisaran Romawi Timur terhenti. Pada tahun 659, Mu'awiyah bahkan menandatangani kesepakatan gencatan senjata dengan Kekaisaran Romawi Timur, yang mewajibkan kaum Muslim untuk membayar upeti kepada Kekaisaran Romawi Timur.[7] Gencatan senjata berlanjut sampai Mu'awiyah beserta kaum kerabatnya memenangkan perang saudara kaum Muslim pada tahun 661, dan mendirikan Khilafah Bani Umayyah.[8][9] Setahun kemudian, kaum Muslim kembali menyerang. Tekanan terhadap Kekaisaran Romawi Timur semakin meningkat karena bala tentara kaum Muslim mulai melewatkan musim dingin di wilayah kekaisaran, yakni di sebelah barat gugus pegunungan Taurus, sehingga kian mengganggu perekonomian kekaisaran. Aksi-aksi penyerangan kaum Muslim di darat adakalanya dibarengi dengan aksi-aksi penyerangan dari laut ke daerah-daerah pesisir di kawasan selatan Asia Kecil.[10][11][12] Pada tahun 668, bangsa Arab mengirim bala bantuan kepada Saborios, Strategos Tema Armeniakon, yang memberontak melawan Kekaisaran Romawi Timur, dan mempermaklumkan dirinya sendiri sebagai kaisar. Perang sudah usai ketika pasukan Umayyah di bawah pimpinan Fadhalah bin 'Ubaid tiba di medan tempur, karena Saborius sudah wafat setelah terjatuh dari kuda tunggangannya. Pasukan Umayyah akhirnya melewatkan musim dingin di daerah Heksapolis, yakni di sekitar kota Melitene, sambil menunggu kedatangan pasukan-pasukan tambahan.[12][13] Pada musim semi tahun 669, setelah pasukan-pasukan tambahan datang bergabung, Fadhalah memimpin pergerakan pasukan Umayyah sampai ke Kalsedon, bandar di pesisir benua Asia yang berseberangan perairan Selat Bosporus dengan Konstantinopel, ibu kota Kekaisaran Romawi Timur. Serangan bangsa Arab atas Kalsedon dapat dipatahkan, dan sebagian besar prajurit Arab tewas akibat kelaparan dan terserang penyakit. Untuk membantu Fadhalah, Mu'awiyah mengerahkan pasukan lain di bawah pimpinan putranya, Yazid, yang di kemudian hari menjadi Khalifah berikutnya. Keterangan mengenai pergerakan pasukan Umayyah selanjutnya berbeda-beda dari satu catatan sejarah ke catatan sejarah lainnya. Penulis tawarikh Romawi Timur, Teofanis Sang Pengaku Iman, meriwayatkan bahwa pasukan Umayyah tetap bertahan di depan kota Kalsedon selama beberapa waktu sebelum pulang ke Syam. Dalam perjalanan pulang, mereka merebut Amorion dan menempatkan garnisun di kota itu. Dengan menempatkan pasukan penjaga di Amorion, untuk pertama kalinya bangsa Arab berusaha mempertahankan benteng yang telah berhasil direbutnya di pedalaman Asia Kecil, di luar masa perang. Kemungkinan besar tindakan ini dilakukan karena pasukan Umayyah bermaksud kembali menggempur Konstantinopel pada tahun berikutnya, sehingga Amorion perlu dipertahankan agar nantinya dapat dijadikan pangkalan kekuatan tempur mereka. Namun, kota Amorion direbut kembali oleh Kekaisaran Romawi Timur pada musim dingin berikutnya. Di lain pihak, sumber-sumber Arab melaporkan bahwa sebelum pulang ke Syam, bala tentara kaum Muslim sempat menyeberang ke daratan Eropa dan menggempur Konstantinopel, kendati berakhir dengan kegagalan.[14][15] Karena serangan ini tidak disebut-sebut dalam sumber-sumber Romawi Timur, maka mungkin sekali para penulis tawarikh Arab sengaja "mendongkrak" serangan terhadap Kalsedon menjadi serangan terhadap Konstantinopel, mengingat Yazid hadir di tengah-tengah bala tentara kaum Muslim kala itu, dan mengingat Kalsedon adalah salah satu kota penyangga Konstantinopel.[16] Langkah-langkah awal (673-674)Aksi militer tahun 669 membuat bangsa Arab sadar bahwa mereka sebenarnya berpeluang untuk melancarkan serangan secara langsung terhadap Konstantinopel, dan bahwasanya mereka perlu memiliki pangkalan logistik yang tidak terlampau jauh dari kota itu. Pangkalan logistik didirikan di Semenanjung Kizikos, yang terletak di pesisir selatan Laut Marmara, tempat armada tempur di bawah pimpinan Fadhalah bin 'Ubaid berlabuh sepanjang musim dingin tahun 670 atau 671.[15][17][18] Mu'awiyah pun mulai berancang-ancang melancarkan serangan penghabisan terhadap ibu kota Kekaisaran Romawi Timur. Berbeda dari aksi militer yang dipimpin oleh Yazid, Mu'awiyah berencana mendatangi Konstantinopel lewat jalur pesisir.[19] Pelaksanaannya harus seksama dan bertahap. Pertama-tama kaum Muslim harus menguasai titik-titik penting, dan mendirikan pangkalan-pangkalan di sepanjang daerah pesisir. Selanjutnya dari pangkalan mereka di Kizikos, kaum Muslim harus memblokade Konstantinopel di darat maupun di laut, sehingga tidak dapat lagi menerima pasokan bahan pangan dari daerah-daerah pertanian di pedalaman.[20][21] Pada tahun 672, tiga armada besar kaum Muslim akhirnya dikerahkan untuk mengamankan jalur-jalur laut dan mendirikan pangkalan-pangkalan di antara Syam dan Kepulauan Aegea. Armada yang dipimpin oleh Muhammad bin Abdullah berlabuh sepanjang musim dingin di Smirna, sementara armada yang dipimpin oleh Qais (mungkin Abdullah bin Qais) berlabuh sepanjang musim dingin di Likia dan Kilikia. Armada ketiga yang dipimpin oleh seorang bernama Khalid akan menyusul dan bergabung kemudian. Menurut laporan Teofanis, Kaisar Konstantinus IV (memerintah 661-685) mulai menyiagakan armadanya begitu mendengar kabar kedatangan armada-armada Arab. Armada tempur Romawi Timur diperkuat pula dengan sejumlah kapal pengangkut tangki dan pipa yang akan digunakan untuk mengoperasikan senjata pembakar terbaru, yakni api Yunani.[15][22][23] Pada tahun 673, armada Arab lain di bawah pimpinan Junadah bin Abu Umayyah merebut Tarsus di Kilikia, dan Rodos. Pulau Rodos, yang terletak di antara Syam dan Konstantinopel, dijadikan pangkalan pasokan terdepan sekaligus pusat serangan laut kaum Muslim. Garnisun pangkalan yang beranggotakan 12.000 orang prajurit secara teratur dirotasi kembali ke Syam, satu armada kecil disiagakan untuk menjaga pangkalan sekaligus untuk dikerahkan dalam aksi-aksi serangan dadakan. Orang-orang Arab bahkan membuka lahan-lahan gandum dan mendatangkan ternak untuk digembalakan di pulau ini. Kekaisaran Romawi Timur berusaha menghalang-halangi rencana bangsa Arab dengan melancarkan serang laut terhadap Mesir, tetapi gagal.[15][24] Selama kurun waktu ini, aksi-aksi serangan dadakan di daratan Asia Kecil terus berlanjut, bahkan pasukan Umayyah melewatkan musim dingin di dalam wilayah Kekaisaran Romawi Timur.[25] Serangan bangsa Arab (674–678)Pada tahun 674, armada bangsa Arab bertolak dari pangkalan-pangkalannya di kawasan timur Laut Aegea menuju Laut Marmara. Menurut catatan Teofanis, pada bulan April, pasukan Umayyah mendarat di pantai Trakia, tak jauh dari kota Hebdomon, pada bulan April, dan terus-menerus bertempur melawan bala tentara Romawi Timur sampai dengan bulan September. Teofanis melaporkan bahwa "pertempuran berlangsung setiap hari, dari pagi hingga malam, di antara tembok pertahanan luar Gapura Kencana dan benteng Kiklobion, adakalanya maju mendesak lawan dan adakalanya membendung desakan lawan". Pasukan Umayyah selanjutnya bertolak menuju Kizikos, yang mereka rebut dan ubah menjadi lahan perkemahan berbenteng untuk mereka tinggali sepanjang musim dingin. Mereka menyiapkan pola serangan yang terus berlanjut sepanjang pengepungan. Setiap musim semi, pasukan Umayyah melintasi Laut Marmara dan menyerang Konstantinopel dan berbalik ke Kizikos untuk menghabiskan waktu musim dingin.[15][26][27][28] Yang sebenarnya terjadi, "pengepungan" Konstantinopel adalah serangkaian pertempuran di sekitar kota yang bahkan dapat direntangkan dengan memasukkan serangan Yazid pada tahun 669.[29] Baik penulis sejarah dari Arab dan Romawi Timur mencatat pengepungan ini berlangsung selama tujuh tahun alih-alih lima tahun. Catatan ini dapat dikompromikan dengan cara memasukkan aksi militer pembuka pada tahun 672–673 atau dengan menghitung tahun hingga mundurnya pasukan Umayyah dari pangkalan mereka untuk terakhir kalinya pada tahun 680.[29][30] Keterangan perihal bentrokan di sekitar Konstantinopel tidak jelas karena Teofanis menulis pengepungan dalam catatan tahun pertamanya secara singkat dan penulis Arab tidak menyebutkan pengepungan sama sekali, tetapi hanya menulis nama pemimpin dari ekspedisi yang namanya tidak spesifik ke wilayah Kekaisaran Romawi Timur.[31][32][33]. Jadi, dari sumber-sumber Arab hanya mengetahui bahwa Abdullah bin Qais dan Fadhalah bin 'Ubaid menyerang Kreta dan menghabiskan musim dingin di sana pada tahun 675, manakala pada tahun yang sama Malik bin Abdullah memimpin serangan ke Asia Kecil. Sejarawan Arab Ya'qubi dan Ibnu Jarir ath-Thabari melaporkan bahwa Yazid berikut bala bantuannya dikirim oleh Mu'awiyah ke Konstantinopel pada tahun 676, dan catatan bahwa sasaran aksi militer yang dipimpin Abdullah bin Qais pada tahun 677 tidak diketahui.[15][34][35] Pada saat yang sama, karena terlalu mementingkan kesiagaan dalam menghadapi ancaman serangan bangsa Arab, kesiagaan Kekaisaran Romawi Timur dalam menghadapi ancaman di daerah lain justru menurun. Di Italia, orang Lombardi memanfaatkan kesempatan ini untuk merebut sebagian besar Calabria, termasuk Tarentum dan Brundisium, sementara di Semenanjung Balkan, sebuah koalisi yang beranggotakan suku-suku Slavia menyerang Thessaloniki dan melancarkan serangan laut lewat kapal layar di Aegea yang bahkan berhasil menembus Laut Marmara.[36][37] Akhirnya, pada musim gugur 677 atau awal 678 Konstantinus IV memutuskan untuk menghadapi pengepung dari Arab dalam pertempuran langsung. Armadanya yang dilengkapi dengan api Yunani mengarahkan senjata baru mereka kepada armada Arab. Bisa jadi kematian Laksamana Yazid bin Syagharah yang dilaporkan oleh penulis Arab pada 677/678 berkaitan dengan serangan ini. Pada waktu yang hampir bersamaan, pasukan Muslim di Asia Kecil dikomandoi Sufyan bin 'Auf dikalahkan oleh pasukan Romawi Timur yang dipimpin Jenderal Floros, Petron dan Kiprian; menurut Teofanis, sekitar 30.000 prajurit Muslim gugur. Kekalahan ini memaksa pasukan Umayyah untuk menghentikan aksi pengepungan mereka pada tahun 678. Dalam perjalanan pulang ke Syam, pasukan Umayyah nyaris binasa diamuk badai di dekat Sillyon.[26][32][36][38] Garis besar dari catatan Teofanis dapat diperkuat dengan satu-satunya rujukan semikontemporer dari Kekaisaran Romawi Timur mengenai pengepungan ini yaitu puisi perayaan oleh Teodosius Grammatikus yang tidak dikenal, yang awalnya diyakini merujuk kepada pengepungan kedua Konstantinopel oleh Arab pada 717–718. Puisi Teodosius memperingati kemenangan besar angkatan laut yang menentukan di depan tembok kota—dengan rincian yang menarik bahwa armada Arab takut dengan kapal bersenjatakan api Yunani—dan membuat rujukan kepada "ketakutan akan bayangan mereka yang kembali", yang ditafsirkan sebagai pembenaran atas serangan Arab yang berulang setiap musim semi dari pangkalan mereka di Kizikos.[39] Kepentingan dan peristiwa setelahnyaKonstantinopel adalah kota terpenting di negara Kekaisaran Romawi Timur. Andaikata kota ini runtuh, provinsi-provinsi Romawi Timur yang tersisa tidak mungkin bersatu, dan akan menjadi sasaran empuk bagi pasukan Umayyah.[40] Pada saat yang sama, kegagalan serangan Arab di Konstantinopel merupakan peristiwa yang sangat penting bagi bangsa Arab. Aksi militer ini adalah puncak dari serangkaian aksi militer Mu'awiyah yang dilakukan secara terus menerus sejak tahun 661. Sumber daya dalam jumlah besar dicurahkan bagi pelaksanaan aksi militer ini, termasuk untuk membentuk armada yang besar. Kegagalan ini memiliki dampak yang sama pentingnya dan turut andil pada pukulan yang hebat pada kewibawaan khalifah.[41] Sebaliknya, wibawa Kekaisaran Romawi Timur kembali terangkat, khususnya di Barat. Konstantinus IV menerima utusan dari Avar dan bangsa Slav Balkan yang datang mempersembahkan hadiah, ucapan selamat, dan pengakuan atas kedaulatan Romawi Timur.[26] Perdamaian selanjutnya juga memberikan kelonggaran yang amat diperlukan dari penyerangan terus-menerus ke Asia Kecil dan memungkinkan Kekaisaran Romawi Timur untuk memulihkan keseimbangan dan memperkokoh kekaisarannya mengikuti perubahan yang dahsyat dari dasarwarsa-dasawarsa sebelumnya.[42] Kegagalan pasukan Umayyah bersamaan dengan meningkatnya aktivitas kaum Mardaitai, masyarakat Kristen di gunung-gunung kawasan Syam yang menolak tunduk di bawah kekuasaan kaum Muslim dan menyerbu kawasan dataran rendah. Berhadapan dengan ancaman baru ini, dan setelah kerugian yang sangat besar sebagai dampak dari upaya pengepungan Konstantinopel, Mu'awiyah memulai perundingan untuk menetapkan gencatan senjata, dan kedua negara ini saling bertukar utusan. Perundingan ini ditunda hingga 679 untuk memberikan waktu kepada pihak Arab untuk serangan terakhir yang dipimpin 'Amru bin Murrah ke Asia Kecil, yang bisa jadi dimaksudkan untuk memberi tekanan kepada Kekaisaran Romawi Timur. Sebuah perjanjian damai yang berlangsung selama 30 tahun akan dilakukan, asalkan khalifah bersedia membayar upeti tahunan sebanyak 3.000 keping nomismata, 50 ekor kuda, dan 50 orang budak belian. Garnisun Arab ditarik dari pangkalan mereka di daerah pesisir wilayah Kekaisaran Romawi Timur termasuk dari Rodos pada 679–680.[26][43][44][45] Segera selepas Arab mundur dari ibu kotanya, Kaisar Konstantinus IV mengerahkan bala tentara untuk memerangi suku bangsa Slav di daerah Thessaloniki, membatasi aksi-aksi perompakan mereka, dan menegakkan kembali kedaulatan kekaisaran di Thessaloniki.[45][46] Selepas berakhirnya perdamaian, Kaisar Konstantinus IV maju memerangi orang Bulgar yang kian merajalela di Jazirah Balkan, tetapi pasukan besar yang terdiri dari keseluruhan pasukan kekaisaran mampu dilumpuhkan secara meyakinkan. Kekalahan Romawi Timur berujung pada pembentukan Kekaisaran Bulgar di kawasan timur laut Jazirah Balkan.[47][48] Di Dunia Islam, berbagai kekuatan oposisi di dalam negara khilafah mulai menampakkan dirinya setelah Mu'awiyah mangkat pada tahun 680. Pembagian kekhalifahan selama Perang Saudara Kaum Muslim II ini tidak saja memungkinkan Kekaisaran Romawi Timur untuk meraih perdamaian, tetapi juga menjadikannya sebagai kekuatan yang paling unggul di perbatasan timurnya. Armenia dan Iberia kembali tunduk di bawah kedaulatan Kekaisaran Romawi Timur, dan Siprus menjadi kondominium antara Kekaisaran Romawi Timur dan khilafah.[49][50] Perdamaian berlangsung sampai putra sekaligus penerus Konstantinus IV, Yustinianus II (m. 685–695, 705–711), menggantikannya pada tahun 693, dengan konsekuensi yang buruk. Kekaisaran Romawi Timur dikalahkan, Kaisar Yustinianus digulingkan, dan periode anarki dua puluh tahun bermula. Kaum Muslim kian gencar menyerang, yang mengarah ke upaya Arab kedua dalam menaklukkan Konstantinopel pada kurun waktu 717–718, yang juga terbukti gagal.[51][52][53] Dampak budayaSumber-sumber Arab di kemudian hari membahas secara mendalam dan panjang lebar mengenai ekspedisi Yazid pada tahun 669 dan dugaan serangan terhadap Konstantinopel, termasuk berbagai anekdot yang bersifat mitos yang dikutip ilmuwan modern bagi merujuk kepada peristiwa pengepungan pada kurun waktu 674–678. Beberapa tokoh penting pada masa Islam awal disebutkan turut ambil bagian, seperti Ibnu Abbas, Ibnu Umar, dan Ibnu Zubair.[54][55] Tokoh yang menonjol di antara mereka pada tradisi kemudian adalah Abu Ayyub al-Anshari, satu di antara kaum Ansar dan pembawa panji Muhammad, yang meninggal karena terserang penyakit di depan Tembok Konstantinopel selama pengepungan dan dimakamkan di sana. Menurut tradisi Muslim, Konstantinus IV mengancam untuk menghancurkan kuburannya, tetapi khalifah memperingatkan bahwa jika Konstantinus IV berani berbuat demikian, maka orang-orang Kristen di wilayah kekuasaan kaum Muslim akan menanggung akibatnya. Dengan demikian, kuburan tersebut dibiarkan seperti sediakala, dan bahkan menjadi tempat pemujaan oleh orang-orang Romawi Timur yang berdoa ketika wilayah mereka dilanda kekeringan. Kuburan ini "ditemukan kembali" selepas Konstantinopel jatuh ke tangan Turki Utsmani pada 1453 oleh darwis Syaikh Akşemseddin, dan Sultan Mehmed II (m. 1444–1446, 1451–1481) memerintahkan pembangunan pemakaman berbahan marmer dan sebuah masjid yang menaunginya. Sudah menjadi kebiasaan bahwa Sultan Utsmani disumpah dengan Pedang Osman di Masjid Eyüp ketika melakukan pergantian jabatan. Kini masjid ini tetap menjadi satu di antara tempat ziarah suci umat Muslim di Istanbul.[56][57][58] Pengepungan ini bahkan disebutkan dalam sejarah dinasti Tiongkok dari Kitab Dinasti Tang Lama dan Kitab Dinasti Tang Baru. Buku tersebut mencatat ibu kota bertembok besar dan kokoh bernama Fulin (拂菻, Kekaisaran Romawi Timur) dikepung oleh Dashi (大食, Khilafah Bani Umayyah) yang dikomandani oleh "Moyi" (Mandarin: 摩拽伐之, Hanyu Pinyin: Mózhuāifázhī), yang ditemukenali Friedrich Hirth sebagai Mu'awiyah. Sejarah Tiongkok kemudian menjelaskan bahwa pasukan Umayyah memaksa Kekaisaran Romawi Timur untuk membayar upeti sesudahnya sebagai bagian dari penyelesaian damai (bertentangan dengan sumber-sumber lainnya). Dalam sumber-sumber Tiongkok, Fulin secara langsung berkaitan dengan Daqin (Kekaisaran Romawi),[59] yang sekarang dianggap oleh ahli sejarah Tiongkok sebagai Kekaisaran Romawi.[60][61] Henry Yule menggarisbawahi keakuratan catatan sejarah Tiongkok, yang bahkan menyebut orang yang melakukan perundingan perdamaian ini dengan nama "Yenyo" atau Ioannes Pitzigaudes. Menurut catatan sejarah Edward Gibbon, utusan ini adalah sosok tak bernama yang dikirim ke ibu kota khalifah di Damaskus beberapa tahun kemudian sehubungan dengan penambahan jumlah upeti yang harus dibayarkan akibat kesulitan keuangan yang dihadapi oleh Umayyah.[62] Peninjauan ulang pada zaman modernNarasi pengepungan Konstantinopel yang diterima oleh para sejarawan modern lebih banyak bergantung pada riwayat dari Teofanis, sementara sumber-sumber berbahasa Arab dan Suryani tidak meriwayatkan apa-apa tentang peristiwa pengepungan ini, tetapi meriwayatkan sebuah rangkaian aksi militer, dan hanya beberapa riwayat yang berlanjut sampai ke Konstantinopel. Dengan demikian, perebutan pulau bernama Arwad "di laut Kustantiniya" dilaporkan terjadi pada tahun 673/674, walaupun tidak jelas apakah laut tersebut merujuk kepada Laut Marmara atau Laut Aegea, dan ekspedisi Yazid pada 676 juga dikatakan telah mencapai Konstantinopel. Penulis sejarah Syam juga tidak setuju dengan Teofanis dalam menempatkan pertempuran yang menentukan dan penumpasan armada Arab oleh api Yunani pada tahun 674 dalam ekspedisi Arab di pantai Likia dan Kilikia daripada Konstantinopel. Bantahan ini diikuti dengan pendaratan Bala Tentara Romawi Timur di Syam pada tahun 677/678, yang memulai pemberontakan oleh kaum Mordaitai yang cukup mengancam cengkeraman Khilafah Bani Umayyah di Syam yang berujung pada perjanjian damai pada tahun 678/679.[63][64][65] Berdasarkan penilaian ulang sumber asli yang digunakan oleh sejarawan Abad Pertengahan, cendekiawan James Howard-Johnston dari Universitas Oxford dalam buku karyanya tahun 2010 berjudul Witnesses to a World Crisis: Historians and Histories of the Middle East in the Seventh Century menolak penafsiran tradisional atas peristiwa tersebut (yang didasarkan pada Teofanis) dan mendukung laporan oleh penulis sejarah Syam.[66] Howard-Johnston menegaskan bahwa pengepungan yang sebenarnya tidak pernah terjadi karena peristiwa ini sama sekali tidak tercatat dalam sumber-sumber sejarah timur dan juga karena logistiknya tidak memungkinkan untuk melakukan pengepungan sepanjang ini. Sebaliknya, dia yakin bahwa rujukan mengenai pengepungan tersebut adalah hasil interpolasi dari zaman berikutnya yang dipengaruhi oleh peristiwa pengepungan kedua oleh Arab pada 717–718, oleh sebuah sumber awanama yang kemudian digunakan oleh Teofanis. Menurut Howard-Johnston, "blokade Konstantinopel pada 670-an adalah mitos yang diperbolehkan untuk menutupi keberhasilan sangat nyata yang dicapai oleh Kekaisaran Romawi Timur pada dasawarsa terakhir kekhalifahan Mu'awiyah, mula-mula lewat laut di lepas pantai Likia dan kemudian di darat, melalui pemberontakan yang tak lama kemudian membangkitkan kecemasan yang mendalam di antara orang-orang Arab yang sadar bahwa mereka hanya sekadar menutupi Timur Tengah dengan kekuatan mereka".[67] Di sisi lain, sejarawan Marek Jankowiak berpendapat bahwa bangsa Arab memang pernah melancarkan sebuah pengepungan besar, tetapi menurutnya Teofanis (yang menulis sekitar 140 tahun setelah kejadian, berdasarkan sebuah sumber awanama yang ditulis sekitar 50 tahun setelah kejadian) salah memberikan tanggal dan mengacaukan pengisahan kejadian tersebut. Ia sendiri menegaskan bahwa penanggalan yang tepat untuk pengepungan tersebut seharusnya adalah tahun 667–669, dengan serangan besar yang berlangsung pada musim semi tahun 668.[68] Referensi
Daftar pustaka
Pranala luar
|